Kehidupan 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak pernah menyangka akan terbangun dengan cara yang sangat kasar. Bukan karena diguyur air es atau ditindih seseorang, tetapi dengan cara yang lebih mengerikan. Gempa bumi. Ranjangku terasa ada yang menggeser-geser. Aku kira awalnya itu ulah Paman, tetapi saat aku melihat ternyata tidak ada siapa-apa. Aku merinding. Butuh waktu beberapa saat untukku menyadari kalau itu adalah gempa. Setelahnya, Paman benar-benar datang dengan panik untuk menyuruhku keluar.

Orang-orang sudah berada di luar dengan wajah panik saat aku tiba. Beberapa kendaraan bahkan berhenti sejenak agar tidak terjadi kecelakaan. Gempa itu tidak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian bencana tersebut akhirnya berhenti. Aku melihat sekeliling. Untung saja tidak ada yang rusak. Semua orang dapat bernapas lega setelahnya.

Aku kembali ke kamar setelah suasana dirasa cukup aman. Beberapa butir debu terlihat berserakan dan mengotori seantero ruangan sampai ke atas kasur. Aku harus membereskan semua kotoran ini. Ada beberapa barang tidak berguna yang kukeluarkan dari bawah ranjang. Beberapa di antaranya tidak aku buang, karena mungkin saja ada manfaatnya nanti.

Aku menatap kamar yang kini sudah agak mendingan dari yang tadi. Lumayan. Kulihat beberapa barang yang kutemukan. Tali, rantai kecil. Kulihat gantungan kunci berbentuk pedang itu di antara barang-barang di atas nakas. Sekarang aku tahu apa yang akan kubuat dengannya. Sebuah kalung.

Aku tidak pernah memiliki aksesoris sebelumnya, apalagi kalung seperti ini. Kulihat diriku sendiri di kamera ponsel. Lumayan.

Duar!

Suara ledakan. Ini pasti ulah mereka. Kenapa mereka selalu mengawalinya dengan ledakan, sih? Aku bergegas ke luar untuk melihat apa yang terjadi. Ledakan itu berasal dari kejauhan. Tidak ada asap. Namun, ada ledakan lagi, dan itu semakin dekat. Teriakan. Teriakan lagi.

"Re! Berlindung!" kata Paman dari dalam rumah. "Jadilah pahlawan." Kata-kata Agni berdengung. Aku melihat Paman yang sangat kahawatir padaku. Padahal aku sudah berjanji untuk tidak membuat siapa pun khawatir. Akan tetapi, sepertinya aku bukan orang yang mudah menepati janji seperti itu.

Aku berlari masuk ke rumah, mencari-cari sesuatu yang dapat dipakai bertarung. Dengan tergesa dan tanpa menghiraukan Paman dan Bibi, aku melesat keluar.

"Re!" teriak Bibi.

"Reksa!" teriak Paman tak kalah kencang. Itu benar. Aku adalah Reksa dan aku akan menjaga kalian semua. Tidak akan kubiarkan keluargaku terluka lagi.

Aku berlari membawa sesuatu yang kemungkinan dapat dijadikan senjata. Tidak, ini memang senjata. Sebuah golok yang selalu Paman pakai untuk mengupas kelapa muda kalau aku berkunjung kemari.

Saat aku kembali ke jalanan, suasana mulai mencekam. Kalangkang-kalangkang besar sedang meraung di jalanan. Aku berlari ke tengah jalan untuk memancing makhluk-makhluk itu. Aku tahu ini sangat gegabah, tetapi ini adalah cara yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan orang-orang di sekitarku. Bersama kekuatan, ada tanggung jawab.

"Hey, Monster! Aku yang kalian incar!" teriakku untuk mengalihkan perhatian salah satu makhluk yang akan menyerang seorang wanita. Perhatian makhluk itu seketika teralih. Matanya yang merah memicing ke arahku. Dari kejauhan, bahkan geramannya dapat terdengar jelas.

Makhluk itu mulai mendekat. Aku refleks berlari menjauhi keramaian terutama Paman dan Bibi. Aku mulai terbiasa dengan berlari karena akhir-akhir ini aku sering melakukannya dengan terpaksa. Apalagi kalau bukan karena mereka?

Kalangkang itu semakin mendekat. Aku bahkan seperti bisa merasakan napasnya yang panas di tengkuk leherku. Bayangan di belakangku mulai membesar. Dengan hati-hati aku berbalik hanya untuk mendapatkan kalangkang itu bersiap menyerangku dengan cakarnya. Aku mengangkat tangan, berhasil menahan satu cakarnya dengan golokku. Namun, itu tidak berlangsung lama.

Brag!

Ekornya yang panjang berhasil melemparkanku ke arah sebuah lapangan yang luas. Aku meraba tanah kemudian memperhatikan sekitar. Sial! Aku tidak bisa menemukan golok Paman di mana pun. Dengan menahan rasa sakit di punggung, aku berusaha bangkit. Kugenggam erat kalung yang kugunakan, berharap benda itu benar-benar berfungsi. Kualirkan energi ke dalam bandul itu.

Gantungan kunci itu kembali membesar seperti saat aku tidak sengaja melakukannya. Jadi begitu caranya. Kugenggam erat-erat pedang itu. Pertama kali aku merasakannya, rasanya sangat berat, tetapi setelah beberapa saat menjadi ringan. Aku mengayunkannya perlahan untuk mencoba sensasinya.

Satu ekor kalangkang sudah berdiri di hadapanku. Aku tidak yakin bisa menanganinya sendirian. Namun, sudah tidak ada kata mundur lagi sekarang. Apa pun yang terjadi itu urusan nanti. Kalangkang berbentuk singa itu datang menerjang. Aku refleks membentuk sikap bertahan dengan menyilangkan pedangku di depan dada. Aku bahkan tidak yakin kuda-kudaku sudah benar.

Tanganku sedikit gemetar menggenggam pedang ini. Entah karena rasa takutku atau hal lain.

Trang!

Kuku makhluk itu dan pedangku saling beradu. Aku menarik sedikit pedangku kemudian berputar dan menunduk untuk menghindari serangan kuku itu. Kuayunkan pedang itu dengan kencang sampai memotong kakinya yang satu lagi. Makhluk itu seperti akan jatuh. Aku buru-buru melompat ke belakang untuk menghindarinya.

Aku baru sadar. Woah, dari mana aku tahu semua gerakan itu? Tapi, sekarang bukan saatnya untuk kagum, apalagi dengan diri sendiri.

Ada bekas asap yang menguar dari arah potongan yang kubuat. Kalangkang itu jadi terpincang karenanya. Dia terlihat amat murka. Aku mencoba mengalirkan energi lagi ke dalam pedangku. Kuayunkan lagi ke atas tanah sehingga sekarang membentuk sebuah garis hitam tidak beraturan. Saat kalangkang itu menginjaknya, seketika itu juga dia jatuh terjerembab. Aku berhasil merobek ruang. Tak kusia-siakan kesempatan ini. Aku mencoba menebas wajah buruknya. Berhasil! Kalangkang itu seketika lenyap menjadi asap. Wajah senangku seketika luntur saat aku melihat lebih banyak monster serupa yang datang.

Sial! Ini pasti bisa lebih buruk lagi.

Aku tidak yakin bisa mengalahkan mereka dalam jumlah banyak seperti itu. Kugenggam lebih erat pedang di tanganku. Kutempatkan pedang itu di sisi wajah dengan posisi horizontal dan mata pedang yang terhunus ke depan. Bersiap menghabisi mereka sebisaku.

Aku menelan ludah menyadari jumlah mereka yang semakin bertambah. Kuda-kudaku mulai goyah. Satu ide terlintas di benakku. Kubayangkan beberapa lubang sambil menggerakan pedangku ke samping. Tidak seperti bayanganku yang akan memunculkan puluhan lubang besar, yang terjadi hanyalah beberapa lubang kecil yang tidak ada artinya. Monster itu bahkan melewatinya tanpa terganggu. Apa ini efek karena aku kelelahan? Mataku bahkan mulai berkunang-kunang. Pada akhirnya aku akan tetap mati di tangan mereka juga.

Aku jatuh berlutut dengan menumpu pada pedangku. Menunggu keajaiban datang di saat yang tak terduga.

Stab!

Keajaiaban datang.

Sebuah belati mendadak muncul tepat di hadapanku. Bilah belati itu seperti mengeluarkan asap hitam dari sisi-sisinya. Saat aku mendongak ke atas, seekor kalangkang berbentuk beruang sedang menguap dengan lubang di dadanya. Sesaat kemudian, anomali gravitasi terasa. Beban tubuhku terasa lebih berat, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Aku berdiri agar bisa melihat lebih jelas. Aku yang dapat bergerak bebas sangat berbeda dengan kalangkang di sekitarku yang diam terpaku tak bisa bergerak. Entah dari mana datangnya, tetapi aku menjadi bersemangat kembali setelah tahu apa yang terjadi.

Seperti mendapat energi tambahan. Aku menerjang kalangkang-kalangkang itu dengan rasa puas. Mengayunkan pedangku ke segala arah mengenai kalangkang mana pun yang terlewati. Si pemilik belati ikut bertarung bersamaku. Kami saling mengawasi punggung satu sama lain. Kulihat dia sangat bersemangat menghadappi monster di depannya.

Semuanya lenyap. Semua kalangkang di sekitarku habis tak bersisa. Aku duduk sambil menumpu pada pedang. Sepertinya aku menampakkan ekspresi puas dengan mulut terbuka sekarang. Sensasi ini ... kenapa rasanya menyenangkan? Apa karena adrenalin? Akan tetapi, di saat bersamaan, ada rasa janggal di hatiku.

Seseorang itu mendekatiku. Dia membuka helm yang sedari tadi dipakainya saat bertarung. Orang itu tampak sangat khawatir dan lega di saat bersamaan. Melihatku yang kacau seperti ini, dia refleks memelukku.

"Re," panggilnya lirih.

"Ar ... ga," jawabku terbata karena tak disangka akan diperlakukan seperti ini. Setelah kelakuanku yang mengusirnya dengan kasar, dia masih bisa bersikap biasa rupanya.

"Kulihat kamu sudah mendapatkannya," kata Arga seraya melirik ke arah pedang di tanganku. Aku mengangguk sebagai jawaban. Dia menunjukkan wajah serius menggantikan senyum khasnya. "Sekarang kita harus bergegas," ujarnya sambil menatap lekat mataku.

"Ke mana?"

"Tempat penyegelan," jawabnya singkat. Arga bergegas bangkit. "Ayo."

Aku mengikuti Arga ke arah motornya yang diparkir di pinggir jalan tepat di depan lapangan. Arga terlihat sedikit terburu-buru sebab berlari kecil.

"Kenapa—"

"Kamu nggak sadar? Bulan purnama sudah dimulai dan sekarang kita sudah terlambat. Kita harus segera berangkat sebelum semuanya semakin kacau." Arga menyerahkan satu helmnya. Tanpa membantah, aku mengambil helm itu dan langsung naik ke atas motornya. "Pegangan, aku akan ngebut."

Kami berangkat sangat cepat. Aku bahkan tidak sadar sudah melewati rumah Paman dan Bibi. Aku belum sempat mengucapkan selamat tinggal. Karena aku takut, aku tidak akan kembali. Tubuhku menggigil memikirkannya. Aku merapatkan tubuhku pada Arga untuk menghindari angin yang cukup dingin.

"Hey, Ga," panggilku pada Arga yang berwajah serius; terpantul dari kaca spion.

"Hm? Apa, Re?"

"Kamu tahu? Aku belum mandi," kataku berusaha mencairkan suasana. Namun, sepertinya Arga tidak suka dengan candaanku itu. Dia mengerling.

"Jangan sekarang," timpal Arga ketus. Aku mendesah berat.

Jalan yang retak, bangunan condong, asap membubung. Hal-hal seperti itulah yang kami lihat sepanjang perjalanan ke entah-ke-mana-tujuan-Arga-membawaku. Hari ini dia terlihat sangat serius, berbeda dengan Arga yang biasanya.

"Baik, aku mengerti," kata Arga tiba-tiba.

"Apa, Ga?" tanyaku bingung pada Arga yang seperti berbicara pada dirinya sendiri.

"Apa? Oh, aku baru saja berbicara dengan Jati."

"Apa katanya?"

"Katanya aku harus cepat," sahut Arga yang semakin menambah kecepatan motornya. Aku hampir terjungkal ke belakang karena tindakannya yang tanpa aba-aba itu. Aku masih penasaran ke mana tujuan kami.

"Tempat penyegelannya memang di mana?"

"Pegunungan Astral."

"Ta-tapi, itu 'kan melewati laut?"

"Memang. Makanya kita akan pergi naik pesawat jet."

"Apa?! Jet?!" Tepat setelah aku mengatakan itu, suara bising datang menyerbu. Sebuah bayangan seperti burung melintas cepat di atas kepalaku. Burung besi yang cepat. Pesawat itu terbang rendah di depan kami. Mencari tempat yang lebih lebar untuk mendarat. Atau itu yang kupikirkan sebelumnya saat pesawat itu terbang rendah ke arah lapangan dan membuka—apa disebutnya? Pintu belakang?—dan Arga melaju ke arahnya. Kami masuk ke dalamnya dengan satu hentakan keras. Kemudian kami terbang.

Semua terlihat agak gelap sebelum akhirnya aku sadar dengan keadaan. Arga segera menangkap jatuh tubuhku yang masih beradaptasi dengan lingkungan yang kurang stabil.

"Hati-hati," katanya dengan senyum yang beberapa waktu ini hilang. Aku pasti akan kena jet lag.

Arga menuntunku ke kabin. Semua anggota Reinc terlihat sudah bersiap dengan apa pun yang akan mereka hadapi nanti. Mereka semua terlihat sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hal yang menarik perhatianku adalah saat Jati dan Albasia saling adu mulut. Maksudku mereka bertengkar, entah karena apa. Aku tidak terlalu peduli. Arga langsung mendekati dokter Lian dan membisikkan sesuatu. Ia menatapku sekilas kemudian mengangguk. Lalu pergi ke suatu tempat.

Aku memutuskan untuk melihat ke luar jendela. Awan-awan menghiasi langit. Hanya ada benda-benda itu saja di jarak penglihatanku. Tadinya aku berharap sesuatu yang lebih menarik seperti formasi burung yang sedang migrasi atau sejenisnya. Namun tidak ada yang seperti itu. Tentu saja, ini kan di atas langit yang tinggi.

"Re, kamu belum makan, kan?" tanya Arga seraya menepuk bahuku. Dia sudah membawa piring dengan nasi porsi besar dan lauknya yang sangat banyak. Mulai dari daging ayam, sayuran sampai potongan buah.

"A ... aku nggak mungkin bisa habiskan semuanya."

"Kamu akan butuh energi yang besar di lapangan nanti," jawab Arga meyakinkanku. "Ayo makan."

"Aku bisa sendiri," timpalku buru-buru mengambil piring itu sebelum satu suapan mendarat dari tangan Arga.

Yang kubingungkan dari semua ini adalah, bagaimana semua orang bisa sangat tenang di situasi seperti ini? Bukankah tadi Arga bilang kami akan ke tempat penyegelan? Itu artinya kami akan menghadapi sesuatu yang besar, kan? Kuperhatikan lagi orang-orang yang ada. Sekarang aku baru melihatnya. Mereka semua tampak gelisah. Akasia tampak melihat langit luar dengan tangan yang mencengkram pinggir jendela dengan keras. Jati yang sudah selesai bertengkar tampak mondar-mandir tak karuan. Albasia terlihat duduk dengan kepala tertunduk dan tangan bertaut. Pak Ficus tidak terlhat di mana pun. Sementara Arga, dia ....

"Kamu mau?" tanyaku pada Arga yang sedari tadi menatapku terus. Sujujurnya aku agak tidak enak karena ditatap saat makan seperti ini.

"Aku hanya ingin lebih lama melihatmu," jawab Arga tertunduk. Aku hanya bisa balas menatapnya dengan tatapan 'Apa, sih?'.

Aku melanjutkan kegiatanku dengan masih sadar Arga mencuri-curi pandang ke arahku. Aku tidak pernah mengerti dengan sikapnya. Terkadang dia sangat hangat, tetapi beberapa waktu belakangan dia agak dingin.

Dokter Lian datang menghampiriku dengan sesuatu di tangannya. Sebuah pakaian seperti jubah putih. "Ini untukmu, Re. Ayo, pakai," perintah dokter Lian sambil memberikan jubah itu padaku. Aku mengambilnya dengan agak bingung.

Kuperhatikan pakaian itu dengan saksama. Jubah bertudung berwarna putih dengan lengan yang panjang. ada beberapa saku di kedua sisinya. Bahannya agak tebal dan licin.

"Apa ini?" tanyaku pada akhirnya.

"Itu baju pelindung," jawab dokter Lian.

Aku baru sadar kalau dokter Lian juga memakai pakaian serupa. Bahkan semua yang ada di sini memakai pakaian yang sejenis. Kenapa aku tidak sadar?

"Bagaimana dokter tahu ukuranku?" tanyaku seraya mencoba mempaskan ukuran pakaian itu sambil berdiri.

"Arga yang memberitahuku," jawab dokter Lian ringan. Aku menatap Arga yang sedang balik melihat ke arahku.

"Sudah kubilang ukurannya akan pas," kata Arga sambil terus melihat gerak-gerikku. Dia tersenyum simpul, tapi di mataku seperti yang sedang menahan tawa. Aku segera memeluk tubuh karena merasa ditelanjangi olehnya. Aku bergidik ngeri. Dia bahkan sampai tahu ukuran pakaianku.

Suara pintu dari arah ruang pilot terdengar terbuka. Seorang pria tua dengan jubah hitam tampak berjalan tenang menuju kemari. "Bersiaplah, semua. Sebentar lagi kita akan sampai," kata Pak Ficus dengan wajah serius.

Aku menelan ludah. Jantungku berpacu dengan hebat. Kami akan menghadapi sesuatu yang besar. Dan mungkin saja kemungkinan selamatnya kecil. Tetapi, aku tidak boleh gagal. Aku punya tanggung jawab yang besar.

-oOo-

Author's Note

Beberapa bab lagi menuju ending. Akhirnya!

Semoga tetap menghibur, ya.

Salam literasi!

Diterbitkan: 14-6-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro