Kehidupan 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PERINGATAN! Bagian ini mengandung adegan kekerasan yang sangat mengganggu bagi sebagian pembaca, termasuk di dalamnya darah dan potongan tubuh. Untuk sebagian orang yang merasa tidak nyaman, dimohon untuk tidak melanjutkan—tunggu, peringatan macam apa ini?! Kalau dilarang baca, terus mau baca apa? Tahu kelanjutannya bagaimana?

Anyway, teman-teman bisa lanjut membacanya dari bagian yang sudah tidak mengandung kekerasan terlalu banyak dimulai dari bagian awal paragraf yang dicetak tebal.

...

Aku sudah memakai pakaian lengkap yang diberikan dokter Lian. Termasuk memakai sebuah benda komunikasi kecil yang dapat ditempelkan di telinga. Seperti kata Arga, bajunya pas. Entah dari mana dia bisa sampai tahu ukuran tubuhku. Orang itu selalu punya cara untuk membuatku terkejut.

Untuk diketahui, aku juga sudah membersihkan diri seperlunya.

Aku duduk di sofa dengan gelisah. Kutautkan kedua tangan agar bisa lebih rileks. Kedua mataku melihat meja di depan, sementara pikiranku tidak berada di tempatnya.

"Tenanglah, Re. Kita akan melewati ini semua," kata Arga sambil menepuk bahuku. Dia mengusap punggungku pelan, berharap bisa menenangkanku. Arga selalu melakukan itu ketika aku gusar. Namun, usahanya sia-sia kali ini.

Tubuhku bergetar karena takut. Ini adalah hal pertama bagiku. Tanggung jawab yang sangat besar. Kalau aku gagal—kalau kami gagal, maka keselamatan dunia ancamannya. Aku sudah tidak bisa lagi mengelak dengan apa yang terjadi. Semua kejadian di luar nalar yang selama ini aku alami adalah nyata adanya. Bukan lagi dongeng orang-orang terdahulu.

Arga merangkulku. Kepalanya yang bersandar di bahuku membuatku agak geli. Tangan satunya melingkar di tubuhku. Sekarang, dia jadi seperti sedang memelukku dari samping. Sesaat kemudian, dia menarik kepalaku untuk bersandar di dadanya. Aku terlonjak kaget dengan perlakuannya yang sepert itu, tetapi setelahnya aku merasa tenang. Mendengarkan detak jantungnya membuatku bisa menghilangkan sedikit rasa takutku. Aku memejamkan mata untuk menikmatinya. Aku juga pernah tahu kalau bayi yang mendengarkan detak jantung ibunya akan merasa lebih baik saat rewel. Mungkin seperti ini rasanya.

"Terima kasih, Ga," gumamku. Arga tidak menjawab. Dia hanya memelukku lebih erat kemudian membisikkan sesuatu yang sangat pelan sampa-sampai aku saja tidak bisa mendengarnya. Bisikkan itu bahkan lebih seperti desiran angin yang membuat bulu kudukku berdiri. Lalu dia melepas pelukannya.

"Baik, semuanya. Ini rencananya," kata Pak Ficus yang sebelumnya pergi ke tempat pilot. Semua orang berkumpul di sofa yang ada di tengah kabin. Mata mereka tertuju fokus pada Pak Ficus. "Di pegunungan itu ada sebuah kuil, jika ada di antara kalian yang belum tahu." Pak Ficus menunjuk sebuah peta hologram yang terbentuk dari model tiga dimensi berbentuk pegunungan dengan pointer berwarna merah. "Kuil itu memiliki tujuh sudut di mana senjata kita dapat ditempatkan. Penyegelan akan dimulai ketika kita menaruh senjata dan mengalirkan energi padanya. Kita akan langsung mendarat di dekat kuil itu. Jika ada kalangkang yang menghalangi, langsung habisi dan buat formasi. Ada—"

Sebuah getaran besar tiba-tiba mengguncang seluruh pesawat. Semua orang tampak tidak menduga apa yang sudah terjadi. Barang-barang yang ada terlempar ke segala arah. Sebuah suara yang berasal dari kokpit terdengar menggema. "Kepada seluruh penumpang diharapkan mengambil parasut yang telah disediakan kemudian mengambil posisi untuk melakukan terjun payung." Dia gila, ya?! Aku 'kan belum pernah terjun payung sebelumnya!

Sebuah bayangan bergerak cepat di antara jendela-jendela pesawat. Sesaat kemudian, sebuah guncangan lain datang menyusul. Seorang pilot dan co-pilotnya keluar dari kokpit sambil mengenakan parasut di punggung mereka. "Kita diserang!" katanya panik.

"Semua! Perubahan rencana! Kenakan parasut dan langsung tinggalkan pesawat!" perintah Pak Ficus. Semua orang langsung mematuhinya tanpa protes. Beberapa parasut tampak terbang dan mendarat dengan mulus di pangkuan beberapa orang yang belum mendapatkannya. Aku sendiri memakai parasut itu dengan panik. Tidak tahu harus melakukan apa setelah ini.

"Tarik talinya saat kalian hampir mendekati daratan. Jangan sampai lupa," tutur co-pilot. Pintu samping pesawat terbuka. Angin kencang serta-merta berembus masuk ke dalam pesawat. Kertas-kertas yang ada terlihat berhamburan. Aku bahkan harus melindungi wajah karena embusan angin yang sangat keras.

Sekarang, aku bisa melihat mereka dengan jelas. Kalangkang-kalangkang berbentuk burung elang terbang mengitari kami, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang. Dan sekarang sepertinya adalah waktu yang tepat! Kalangkang itu terbang cepat menuju kami. Guncangan hebat lainnya menyerang membuat kami terpental.

Bau. Ada sesuatu yang sepertinya terbakar. Sialan! Pesawat ini tak akan bertahan lama. "Semuanya! Lewat pintu belakang!" perintah Pak Ficus. Pintu itu perlahan terbuka ketika kami sampai. Tidak lama kemudian, suara ledakan terdengar dari arah kabin tempat kami sebelumnya berkumpul.

"Kita lompat!" kata Pak Ficus sambil benar-benar melompat ke langit bebas. Aku terperangah. Melompat dari ketinggian dan keadaan seperti ini? Aku pasti akan mati ketika masih di udara. Aku perlahan mundur tanpa sadar.

"Re, Ayo!" ajak Arga yang tidak langsung melompat saat diperintah. Dia menarikku dengan paksa. Kemudian kami benar-benar melompat.

"Sialan!!!" umpatku di tengah angin yang menerpa kencang. Tidak lama setelah aku melompat, ledakan besar terjadi di atas sana. Terlambat beberapa detik Arga menarikku, aku mungkin sudah tinggal sejarah.

Aku menghitung orang-orang yang sudah ada di bawah sana. Satu, dua, tiga, hanya lima orang. Ke mana sisanya? Bukankah harusnya ada sembilan orang di pesawat? Suara ledakan lagi. Tidak mungkin.

"Re! E ... ngan ...," kata Arga di tengah udara yang membuatku tuli.

"Apa?!" teriakku untuk mengimbangi suara angin. Arga terlihat menyentuh kupingnya. Sesaat kemudia suara keresak terdengar di telingaku. Suara itu berasal dari alat komunikasi yang sebelumnya aku pasang.

"Re, pegang tanganku," kata Arga lewat alat komunikasi itu. Aku melihat ke arah Arga dan mengangguk paham. Kuusahakan untuk bisa menggapai tangannya yang agak jauh bagaimanapun juga. Kugerakkan tangan semampuku sampai akhirnya tangan kami tertaut.

"Aaah!!! Kenapa jatuhnya malah semakin kencang?!" Sialan. Badanku semakin berat, dan kecepatan jatuh kami semakin cepat. Ini pasti ulah Arga. Apa yang akan dia rencanakan?!

Posisi kami akhirnya sejajar dengan yang lain. Jarak kami dengan tanah masih terlampau jauh. Tapi kecepatan gravitasi membuat kecepatan jatuh kami semakin berkali-kali lipat.

"Semua, saling berpegangan!" perintah Arga. Semua orang langsung saling menautkan tangan seperti yang Arga bilang. Sesaat setelahnya, sensasi beban yang kurasakan berubah. Aku seperti lebih ringan. Namun, kesenanganku harus berganti lagi.

Sebuah bola bayangan besar menyerang kami. Bayangan itu berhasil mengenai Albasia di bagian bahu, sontak pegangan kami terlepas. Kalangkang yang meyerang kami adalah makhluk yang sama yang menghancurkan pesawat. Makhluk itu mendekat dengan cepat. Jati terlihat mengumpulkan kekuatan di tangan kanannya, kemudian melemparkan sebuah bola api ke arah makhluk itu. Dia melakukan hal itu berulang kali pada kalangkang yang berhasil menghindar itu. Serangan-serangan Jati berhasil dihindari dengan mudah. Di udara terbuka seperti ini, jenis seperti makhluk itulah yang berkuasa.

Aku tidak tinggal diam. Kugerakkan jariku untuk membuat robekan ruang di sekitar makhluk itu, berharap agar dia setidaknya bisa terluka. Akan tetapi, di kondisi seperti ini, aku sulit untuk berkonsentrasi. Beberapa kali aku gagal. Aku bahkan merasakan kalau energiku banyak terkuras. Aku mencoba sekali lagi. Aku harap percobaan ini akan berhasil.

Kufokuskan energiku untuk membuat robekan di salah satu sayapnya. Fokus, fokus. Berhasil! Satu robekan kecil berhasil aku buat di sayap kirinya. Makhluk itu sepertinya sadar dengan perbuatanku, tetapi hal itu tidak akan menghentikanku. Aku lebih fokus menyerangnya sampai akhirnya sayap makkhluk itu benar-benar robek. Jati tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia langsung membuat bola api yang lebih besar dan mengarahkannya langsung pada kalangkang itu dengan satu hentakan tepat di dadanya. Satu masalah selesai, dan masalah lain muncul.

Jarak kami dengan tanah tinggal beberapa ratus meter lagi. Seluruh dataran yang kami tuju penuh dengan warna hitam. Kami terlambat menyadari jarak yang ditempuh karena masalah kalangkang elang itu.

"Tarik talinya sekarang!" seru seseorang lewat alat komunikasi. Kami serentak melakukan apa yang diperintahkan. Tidak pengalamannya kami dan situasi yang tidak mendukung membuat semuanya menjadi terasa sulit. Pendaratan yang kami lakukan pun tidak bisa dibilang mulus. Suara erangan terdengar di sekitarku. Semua orang tampaknya mengalami beberapa luka ringan akibat pendaratan yang agak keras itu. Di tengah linglungnya diriku, aku mendengar suara lain.

Suara ledakan.

Suara dentingan.

Suara teriakan.

Kami ... di medan perang.

"Semuanya, siaga!" teriak seseorang membuyarkan lamunanku. Aku segera menyentuh bandul kalungku, kemudian mengalirkan energi padanya. Pedang ramping dengan hiasan lekukan di bilahnya dan ukiran rumit di gagangnya itu membesar.

(Peringatan! Adegan selanjutnya akan banyak mengandung hal yang agak mengganggu untuk sebagian pembaca)

Aku menggenggam erat pedang itu, bersiaga terhadap apa yang akan terjadi. Kurasakan beberapa gempa kecil di sekelilingku. Sepertinya kami agak jauh dari area yang berbahaya, karena saat kulihat sekeliling yang ada hanyalah ... mayat.

Aku berjengit melihat banyaknya tubuh-tubuh tak bernyawa di sekitarku. Tubuh yang tertusuk tepat di dada. Luka sayat yang lebar di perut. Kepala yang berlubang dan mengeluarkan darah terus menerus. Di antara mereka bahkan ada yang tidak lagi utuh. Tubuh yang telah dibagi dua di bagian perut sampai organ dalamnya terlihat. Tangan yang terpotong, kaki yang terlipat tidak pada arahnya, tubuh tanpa kepala, bagian tubuh yang tercabik. Bahkan aku dapat melihat kepala pucat seseorang yang terpenggal lengkap dengan mata yang masih terbuka lebar dan darah yang mengalir dari mulut dan lehernya.

Darah yang terciprat di mana-mana. Bau amis yang sangat mengganggu. Pemandangan yang sangat mengerikan. Rasanya aku ingin muntah. Kutahan sekuat tenaga agar makananku tidak sampai keluar. Namun, semakin lama aku berdiam diri di sini, semakin mual rasanya. Aku sudah tidak bisa lagi menahan diriku. Kakiku lemas, dan sepertinya ... isi perutku akan keluar.

Sepertinya aku perlu makan lagi. Lebih banyak. Dan kali ini di tempat yang layak. Bukan tempat mengerikan seperti ini.

Aku menumpu pada kedua tangan. Melihat pantulan wajahku yang menyedihkan pada bilah pedang milikku. Aku tidak bisa berhenti merutuki diri sendiri. Aku tidak pantas dengan semua ini. Hampir saja menyalahkan nasib atas apa yang terjadi pada diriku selama ini.

"Re!" teriak seseorang memanggilku. Orang itu berlari mendekatiku seolah aku akan kabur darinya.

"Arga?"

"Apa yang kamu lakukan?! Kita harus cepat ke kuil itu!" ujarnya sambil memegang bahuku yang gemetaran. Yang bisa kulakukan hanyalah menatapnya. Aku terlalu takut untuk sekadar berdiri. Sekarang aku sadar bahaya apa yang sebenarnya mengintai kami. Benar kata Arga waktu itu, kalangkang yang kami hadapi tidak apa-apanya dibanding ini.

"Re!" panggilnya lagi. Aku terkesiap karena teriakannya. Arga membantuku berdiri, kemudian menarikku dengan paksa. Aku tidak bisa membantahnya dengan keadaan yang seperti ini.

Aku berlari mengikuti Arga menuju sebuah puncak bukit. Melewati banyaknya mayat yang bergelimpangan. Kututup hidung untuk mengurangi bau amis yang menguar. Aku juga sesekali menutup mata untuk menghindari pemandangan yang mengerikan ini. Akan tetapi, sepertinya waktunya tidak tepat. Aku terjatuh karena tersandung sesuatu. Saat kulihat apa penyebabnya, seketika aku seperti membatu. Tidak bisa bergerak karena ketakutan menguasaiku.

Aku panik bukan main. Tanpa sadar aku bahkan berteriak seperti anak kecil. Benda yang menyandungku adalah sebuah potongan tangan dari mayat yang keadaannya mengerikan. Tubuhnya terkoyak menjadi beberapa bagian, darah membanjiri sekitarnya, mulutnya menganga mengeluarkan darah dan matanya melotot ke arahku. Tangannya terulur seperti meminta pertolongan.

Aku mundur beberapa langkah dengan terseok. Kudengar suara langkah seseorang mendekatiku. "Re, sadarlah!" katanya sambil mengguncang tubuhku. Aku terlalu takut dan panik di saat bersamaan. Tidak bisa merespon kata-katanya dengan cepat. Aku refleks menghindari sesuatu di hadapanku itu. Memeluk tubuh Arga tanpa sadar.

"Kamu harus kuat, Re," ujar Arga sambil menepuk-nepuk punggungku. "Kita akan pastikan kalau kita bisa mengakhiri ini semua," katanya meyakinkanku. Aku mengangguk menanggapi perkataannya.

Sekali lagi, Arga membantuku berdiri. Kali ini dia menggenggam pergelangan tanganku agar aku tidak jauh darinya, katanya. Sepertinya lama-lama pergelanganku bisa memerah karena perbuatannya.

Perjalanan kami tidak mudah tentu saja. Baru beberapa meter kami berlari, kalangkang-kalangkang sudah menghadang kami. Jumlahnya ada lima ekor. Aku menelan ludah. Kuyakinkan diriku kalau aku bisa menghadapinya. Aku dan Arga langsung menyiagakan senjata kami. Meskipun aku tidak bisa benar-benar bertarung, setidaknya aku tahu beberapa gerakan. Aku juga lumayan bangga dengan gerak refleksku yang sangat bagus ini. Bukannnya ingin sombong, tetapi aku sudah berhasil menghindar beberapa kali dari serangan monster-monster ini berkat kelebihanku itu.

Kami saling memunggungi. Kulirik Arga yang sudah siaga dengan dua belati di tangannya. Aku tidak akan kalah. Kuangakat pedangku sebahu dengan mata tajamnya terhunus ke depan. Seperti kata Arga, akan kupastikan semua akan berakhir.

Suara dentingan terdengar saat pedangku beradu dengan kuku kalangkang harimau yang aku hadapi. Satu kaki depannya terkunci karena menahan seranganku. Sedangkan kaki yang satunya tidak dapat digerakkan karena tertahan oleh medan gravitasi Arga. Aku memutar tubuh agar dapat menyerangnya dari titik yang lebih terbuka. Satu tebasan dan makhluk itu pun jatuh.

Aku belum bisa senang karena ternyata seranganku tidak berarti apa-apa. Kalangkang itu masih bisa berdiri. Sementara pengaruh gravitasi Arga sudah hilang. Aku melihatnya sekilas yang kewalahan menghadapi empat kalangkang sekaligus. Walaupun ukurannya relatif sedang, tetap saja mereka adalah musuh yang tidak bisa diremekan.

Aku harus mengeluarkan lebih banyak energi untuk mengalahkan monster di hadapanku. Aku mencoba untuk membuat robekan ruang agar makhluk itu terjebak di dalamnya. Akan tetapi, sepertinya makhluk itu cukup cerdas untuk melewati jebakan yang aku buat. Dia menerjang ke arahku. Aku refleks menghindar ke samping, tetapi sepertinya makhluk itu lebih cepat.

"Akh!" Makhluk itu menyerangku tepat di dada. Rasanya perih dan panas. Dia menghempasku ke arah robekan ruang yang aku buat sebelumnya.

Sialan. Aku terkena jebakan sendiri.

-oOo-

Semoga bagian ini tidak terlalu gore, ya. Lagipula hanya sedikit, hehe. Semoga tetap menghibur.

Salam literasi!

Diterbitkan: 18-6-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro