Kehidupan 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gelap. Aku benar-benar tidak bisa melihat apa-apa. Tubuhku terasa sangat ringan, bahkan seperti melayang-layang. Apa ini rasanya di ruang hampa? Tetapi anehnya aku bisa bernapas di sini. Di sini juga terasa dingin, tetapi bukan dingin yang menyiksa. Rasanya damai. Dimensi lain, kah? Tunggu dulu! Ini bukan saatnya santai. Aku harus cari cara untuk keluar dari sini.

Aku menggerak-gerakan tangan dan tubuhku untuk mengubah posisiku yang awalnya telentang menjadi tegap. Namun, ketiadaan gravitasi di sini membuatku pusing untuk menentukan arah. Bahkan di mana atas dan bawah pun aku tidak tahu. Aku melihat ke sana kemari, mencari 'portal' yang aku buat sebelumnya. Akan tetapi, sama seperti sebelumnya, hanya kegelapan yang ada di sekitarku.

Tidak ada pilihan lain. Kalau aku tidak bisa menggunakan robekan ruang dari mana aku berasal, mungkin aku bisa membuat yang lain. Aku tidak bisa berdiam diri terus di sini. Arga pasti mencari-cariku sekarang. Membuatnya bertarung sendirian rasanya sangat jahat.

Baiklah. Fokus, fokus. Kucoba bayangkan robekan ruang di hadapanku. Akan tetapi, sepertinya aku harus lebih berusaha lagi. Ayolah, aku harus membantu Arga. Sebuah celah berhasil aku buat. Seberkas sinar muncul dari celah itu. Aku berusaha untuk membuat celah itu lebih lebar. Sekarang, saatnya untuk keluar dari tempat ini.

Brugh.

Aku mendarat di atas tubuh seseorang. Kurasakan tubuh hangatnya. Untung saja bukan di atas mayat. Aku jadi bergidik sendiri membayangkannya. Orang yang kutindih langsung menyingkirkanku dengan kasar. Aku terjatuh ke belakang karena kaget.

Aku berjengit ketika sebuah belati di arahkan tepat di depan wajahku. Dengan refleks aku mengangkat pedangku untuk menahan serangan itu. Mataku terpejam karena takut.

"Re?" panggilnya lebih seperti pertanyaan. Aku mengintip dengan sebelah mataku untuk melihat pelakunya.

"Arga!" pekikku senang. Keadaanya cukup memprihatinkan. Dengan darah di kepala dan memar di wajahnya. Aku kagum pada Arga yang masih bisa berdiri tegap seperti tidak terjadi apa-apa pada wajahnya.

"Dari mana saja kamu?" tanyanya yang terdengar penuh tuntutan. "Dan bagaimana kamu bisa menindihku tiba-tiba?"

"Kecelakaan," jawabku singkat sambil menunjuk robekan lubang di atasnya yang perlahan menutup. Arga menengadahkan kepalanya, melihat arah yang kumaksud.

"Wow. Kamu berkembang pesat, Re," pujinya. "Tahu dari mana teknik itu?" tanya Arga lagi.

"Kecelakaan," jawabku seperti pertanyaan sebelumnya.

"O ... key," sahut Arga dengan kening berkerut seperti tidak puas dengan jawabanku.

Suara geraman terdengar dari arah belakang Arga. Astaga, aku hampir lupa dengan apa yang sedang kami hadapi. Dua kalangkang terlihat bangkit dengan amarah yang besar. Taring-taringnya mencuat bagaikan pedang yang siap terhunus. Kuku tajamnya siap mengoyak daging mangsanya. Aku belum pernah melihat kalangkang yang seperti ini sebelumnya. Makhluk yang biasanya aku lihat hanyalah yang berbentuk hewan. Sementara yang ini, makhluk ini lebih seperti campuran manusia dan hewan dengan moncong yang tajam. Manusia serigala?

Arga menyiapkan belatinya. Matanya awas melihat ke arah lawannya itu. Pertarungan satu lawan satu, ya? Aku tidak akan kalah. Akan kutunjukkan kalau aku dapat berguna kali ini.

Makhluk itu datang menerjang. Dia datang dengan cepat sambil menghunuskan kukunya padaku. Aku berguling ke samping menghindari kuku tajamnya. Makhluk itu langsung berbelok tajam ketika aku menghindar, membuatku langsung harus menangkis serangan berikutnya. Satu tangannya yang bebas siap untuk mengoyakku dari samping.

Aku menendang perutnya sampai dia mundur selangkah. Namun, hal itu tidak membuat serangan cakarnya berhenti. Serangan itu hanya meleset. Aku tetap menerima luka koyak di lengan kanan meskipun tidak terlalu parah. Akan tetapi, tetap saja rasanya perih dan sakit. Aku mencoba menahan darah yang keluar dari luka itu sebisa mungkin.

Makhluk itu menghunuskan cakarnya lagi tepat ke wajahku. Terlambat satu detik aku akan berubah menjadi mayat yang terkoyak persis seperti yang kulihat sebelumnya. Aku membuat robekan ruang tepat di jalur cakaran makhluk itu yang mengarah padaku. Lengan makhluk itu masuk ke dalam lubang itu dan buru-buru langsung kututup. Perbuatanku itu membuatnya kehilangan satu lengan. Kalangkang itu kehilangan keseimbangannya dan langsung terjatuh ke samping. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku langsung bangkit dan menghunuskan pedangku ke arah leher monster itu. Kemudian asap muncul dari sisa si kalangkang.

Aku berdiri untuk menghampiri Arga yang sedang terkulai lemas karena pertarungannya tidak jauh dari tempatku. Dapat kurasakan rasa lelahnya dari dadanya yang turun naik dengan sangat cepat. Napasnya pun terdengar berderu. Sahabatku itu menutup matanya dengan lengan kiri yang penuh dengan luka.

"Ga," panggilku yang langsung direspon dengan tatapannya yang tertuju padaku. Dia berusaha bangkit walaupun akhirnya hanya bisa terduduk miring.

"Kamu terlihat kacau," timpalnya sambil tersenyum. Sesekali dia meringis karena luka yang diterimanya. Kulihat ada beberapa luka sayatan di tubuhnya yang masih mengeluarkan darah.

"Kamu juga. Bahkan lebih." Aku ikut duduk di sampingnya. Mencoba tenang dalam situasi yang menegangkan ini. Arga masih terlihat mencoba mengatur napasnya. Sesekali dia terbatuk dan meringis.

"Kita harus pergi," kata Arga tiba-tiba.

Aku menatapnya yang telah berdiri. "Kamu yakin?" tanyaku yang ragu karena Arga masih terlihat kelelahan.

"Kita nggak punya waktu lagi," sahut Arga seraya mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku menyambut tangan besar itu. Sebelum kami berhasil melangkahkan kaki sesuatu yang mengejutkan mengagetkan kami.

"Arga! Reksa! Di mana kalian?!" Sebuah suara dari alat komunikasi di telingaku terdengar nyaring sampai mungkin saja indra pendengaranku bisa menjadi tuli.

Belum sempat aku membalas, Arga sudah dulu mengambil alih. "Aku dan Re sedang menuju ke sana. Pastikan saja jalannya aman agar kami tiba lebih cepat," sahut Arga dengan wajah berkerut dan tangan yang sesekali menggosok telinga.

"Cepatlah. Kami membutuhkan kalian di sini. Kita harus menyingkirkan mereka sebelum penyegelan." Suara itu kemudian terputus.

"Ayo," ajak Arga.

Aku dan Arga berlari ke arah bukit yang cukup tinggi di depan. Samar-samar kulihat sebuah bangunan berwarna abu-abu dengan atap yang meruncing ke atas. Sepertinya terbuat dari batu.

Perjalanan kami harus terhenti ketika sebuah benda asing berhasil menggores bahu kiriku. Aku meringis sambil menahan lukaku yang mulai terasa perih. Detik berikutnya, puluhan tembakan menyerang kami. Arga langsung mengeluarkan kekuatannya dalam radius beberapa meter. Peluru-peluru yang menyasar kami seketika melambat ketika memasuki zona kekuatan sahabatku itu. Aku sempat tertegun dengan kemampuannya. Aku tidak tahu Arga bisa melakukan itu.

Aku dan Arga langsung menangkis serangan-serangan itu. Gerakan yang lambat memudahkan kami untuk menghindar. Akan tetapi, aku tidak bisa melihat dari mana peluru-peluru itu ditembakkan. Sepertinya siapa pun yang menembakkan peluru itu sedang bersembunyi di antara pepohonan sekarang ini.

Setelah beberapa menit kami bertahan, akhirnya serangan itu berhenti juga. Sepertinya mereka menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan itu sia-sia. Namun, hal selanjutnya yang terjadi adalah banyak 'orang-orang' berpakaian hitam dengan jubah menutupi seluruh tubuhnya muncul dari pepohonan. Mereka seperti memakai tudung berbentuk kerucut yang menutupi seluruh kepala dan wajah mereka; menyisakan mata yang tampak menyala. Aku seperti pernah melihat sebelumnya, tetapi entah kapan dan di mana.

Orang-orang itu mengeluarkan senjata jarak pendek: pedang, kapak, belati. Aku berjengit melihat benda-benda tajam itu yang berjumlah lusinan. Dua orang melawan banyak. Baiklah, itu tidak adil.

"Aku akan menahan mereka. Sementara kamu buat lubang tepat di bawahnya. Bagaimana?" usul Arga dengan berbisik.

"Kita coba," sahutku sambil memicingkan mata ke arah musuh yang semakin memperpendek jarak.

'Orang-orang' itu mulai mendekat. Arga menunggu mereka sampai jarak tertentu baru kemudian menggunakan kekuatannya. Saat mereka mulai jatuh berlutut, aku mencoba merobek tanah tepat di kaki mereka. Beberapa di antaranya ada yang berhasil masuk jebakan kami, tetapi ada saja yang lolos. Seseorang yang berbadan besar dengan kapak di tangannya berhasil keluar dari pengaruh gravitasi Arga. Dia melompati 'lubang dimensi'ku dan menyerang ke arahku. Dengan satu ayunan kuat ditambah gravitasi yang menambah beratnya berkali-kali lipat membuatku tidak bisa menahannya. Orang itu berhasil menumbangkanku dengan satu serangan. Dia berhasil menendang perutku berkali-kali sampai rasanya ingin muntah.

Tangan besarnya terangkat, membuat cahaya matahari terpantul di kapaknya. Aku buru-buru menyeruduk tubuhnya sebelum dia berhasil menyerangku. Akan tetapi, sepertinya usahaku sia-sia. Orang ini terlalu kuat. Bahkan satu tangannya berhasil mencengkram tubuhku dengan keras sampai aku tidak bisa bergerak.

Cengkraman tangan itu melemah. Meninggalkanku yang terkulai lemas dengan napas terengah-engah. Arga berhasil melukai makhluk itu di tengkuknya, tetapi serangan Arga sepertinya juga kurang mempan. Aku menghunuskan pedang tepat di dadanya saat dia sibuk menjauhkan Arga dari lehernya. Kutusukkan pedangku lebih dalam. Seketika darah memancar mengotori wajahku. Tunggu! Darah?! Aku membelalak. Makhluk ini bukan kalangkang.

Aku mencabut pedangku yang tertancap dalam di dada makhluk itu. Seketika darah segar mengalir deras dari tubuh yang sudah tak berdaya itu. Aku berjalan mundur dengan lemah menghindari tubuh yang akan ambruk itu. Aku jatuh berlutut. Wajahku tertunduk merutuki perbuatan yang baru saja aku lakukan. Arga mendekatiku dengan panik.

"Re, kamu nggak apa-apa?" tanya Arga sambil menepuk bahuku. "Kamu kenapa, Re?"

"Aku ... aku baru saja membunuh," jawabku dengan nada yang bergetar.

"Re—"

"Aku sudah membunuh manusia, Ga! Aku nggak tahu kalau aku juga harus membunuh manusia!"

"Mereka itu orang jahat, Re," kata Arga seolah itu adalah hal yang lumrah. Aku tidak bisa berhenti merasa bersalah terhadap apa yang telah aku buat. Aku baru saja mengambil satu nyawa manusia, dan mungkin ditambah beberapa yang masuk ke dalam dimensi lain lewat robekan ruangku.

Aku hampir terisak saat Arga mencengkram bahuku dengan keras. "Ingat, Re. Mereka itu telah membunuh orangtuamu," kata Arga tegas. Kemudian aku benar-benar menangis karena orangtuaku disebut lagi. Entah kenapa akhir-akhir ini aku jadi cengeng. "Ingat saja ini: kamu bertarung demi orangtuamu." Kuusap mataku dengan punggung tangan. Aku mencoba untuk berhenti menangis. Kuresapi setiap kata-katanya. Arga benar. Semua ini kulakukan demi orangtuaku dan keluarga. Namun, tetap saja, aku sudah mengambil nyawa seseorang.

Arga membantuku berdiri. Kupikirkan lagi kata-katanya. Meskipun begitu, mereka tetap jahat. Sudah kuputuskan, aku akan terus berjuang hingga akhir tanpa mengeluh. "Terima kasih, Ga."

"Untuk apa?" tanya Arga sambil melirikku.

"Untuk semua. Dukunganmu, semangatmu. Karena selalu ada di sampingku saat dibutuhkan. Kamu sahabat yang sangat berarti," jawabku sambil agak malu mengatakannya.

"Tentu saja. Atau kamu ingin aku jadi lebih dari sekadar sahabat?" tanyanya sambil menggaruk belakang kepalanya.

"Seperti?"

"Entahlah. Saudara, mungkin?"

"Sudah. Kamu memang sudah kuanggap saudaraku dari dulu, Ga." Arga tersenyum lebar sampai matanya terpejam.

"Ayo," ajak Arga.

Kami kembali berlari sambil sesekali menahan sakit karena luka-luka yang dialami. Bangunan yang sebelumnya kulihat samar-samar kini terlihat jelas. Bangunan itu sepenuhnya terbuat dari batu dengan bentuk dasar seperti prisma. Entah prisma apa, tetapi menurut Pak Ficus kuil itu memiliki tujuh sudut. Kuil itu memiliki undakan-undakan di atasnya yang meruncing sampai ke atas. Terdapat banyak ukiran-ukiran aneh di dindingnya. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena jarak yang terbatas.

Seakrang di depan kami, terdapat puluhan orang berbaju hitam seperti yang kuhadapi sebelumnya bersama Arga. Aku menelan ludah. Tidak, tidak boleh ada keluhan lagi. Mereka semua berdiri berjajar mengelilingi kuil itu. Seolah ingin melindungi apa yang ada di dalamnya. Mereka semua mengeluarkan berbagai macam senjata, mulai dari senjata api sampai senjata tajam.

Semua Reinc telah berkumpul. Tidak hanya kami, tetapi juga para anggota ordo yang lain pun turut membantu. Satu getaran kecil, dan hal itu menjadi awal sebuah pembantaian besar-besaran. Semua orang mengacungkan senjatanya. Suara tembakan terdengar bersahutan disusul suara ledakan yang memekakkan telinga.

Kami, para Reinc, berlari menuju kuil itu secara bersama. Satu tujuan yang hanya ada di benak kami sekarang: penyegelan harus segera dilakukan. Bagaimanapun juga, Thiye tidak boleh sampai bangkit. Keselamatan dunia ada di tangan kami saat ini.

Peluru-peluru menyasar kami. Aku berhasil berlindung dengan cara yang sama seperti sebelumnya, gravitasi Arga membuat semua timah panas itu melambat. Berbeda denganku dan Arga, Akasia dan Jati berlindung di balik tameng kayu yang sangat tebal sambil terus menerjang musunh di hadapannya. Sementara dokter Lian dan Pak Ficus dengan tameng batu yang memutari mereka. Albasia dengan mudahnya membelokkan semua peluru itu, karena kemampuan memanipulasi logamnya.

Beberapa gempa kecil lagi terjadi. Saat kami mulai lebih dekat dengan kuil itu, aku baru menyadari ada orang-orang yang seperti sedang menyentuhkan tangan mereka pada dinding-dinding kuil itu.

Aku terkejut saat suara Pak Ficus terdengar. "Gawat!" teriaknya dari alat komunikasi. "Mereka sepertinya telah memulai ritual kebangkitannya!" Aku terbelalak. Ini tidak boleh terjadi!

Tanpa perintah apa pun lagi, aku langsung berlari dan menerjang siapa saja yang menghalangiku. Kurobek tubuh-tubuh mereka dengan kekuatan dimensiku tepat di perut mereka. Tidak hanya merobek ruang, tetapi juga merobek tubuh yang berada di dalamnya. Satu terjangan kuat berhasil menghempaskanku sampai aku jatuh berguling. Kurasakan asin di mulutku dan baunya agak amis. Darah.

Orang itu bertubuh tinggi dan besar. Dia menggenggam kapak besar dengan kedua tangannya. Aku menerjang tubuh itu sebelum dia berhasil mengenaiku. Kutusukkan pedangku tepat ke perutnya. Dia tersentak dan mundur selangkah saat menerima seranganku. Tepat sebelum dia berhasil menyerangku balik, aku telah berhasil terlebih dahulu membuat sebuah lubang di perutnya. Orang itu langsung ambruk tanpa perlawanan lagi.

Aku berhasil tiba di salah satu sudut kuil itu. Kukalahkan salah satu orang yang melakukan ritual kebangkitan Thiye. Akan tetapi, sepertinya usahaku terlambat. Sebuah getaran besar tiba-tiba muncul. Sebuah sinar terang keluar dari gambar-gambar di dinding kuil di sisiku. Tanpa ada aba-aba, sebuah gelombang kejut menghempaskanku menjauhi kuil itu.

"Kita terlambat!"

Tidak! Ini tidak boleh terjadi!

-oOo-

Author's Note

Beberapa bab lagi menuju akhir.

Salam literasi!

Diterbitkan: 21-6-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro