Kehidupan 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mengerang kesakitan. Sepertinya hempasan sebelumnya membuatku tidak bisa bergerak. Punggungku mati rasa. Aku harap tidak ada yang patah. Kuraskan darah mengalir di beberapa bagian tubuhku. Aku berusaha bangkit mengabaikan respons tubuhku yang menyedihkan.

Gempa yang sangat besar mulai terjadi. Bumi seperti akan mengeluarkan semua isi perutnya. Retakan-retakan mulai terlihat di tanah. Bumi terbelah. Aku bahkan sempat berpikir apa seperti ini kiamat nantinya? Kulihat ukiran-ukiran di dinding kuil itu mulai berhenti bersinar. Sesaat kemudian, kuil itu perlahan runtuh dan berubah menjadi puing-puing. Asap hitam keluar dan membubung sampai ke langit. Asap itu perlahan menyebar sampai membuat langit siang yang terang berubah menjadi hitam bagaikan malam. Matahari benar-benar menghilang. Dari awan-awan hitam itu, aku bisa melihat kilatan-kilatan petir yang menyambar.

Sebuah suara tawa yang menggelegar terdengar. Lebih seperti teriakan perempuan. Suara itu seperti berasal dari mana-mana, tetapi tidak terlihat sumbernya. Suara yang melengking dan menyakitkan. Bahkan suara itu seperti masuk ke dalam kepalaku dan menghancurkannya dari dalam.

Asap pekat hitam yang membubung ke langit kini mulai memadat membentuk sebuah sosok. Sosok itu besar. Sangat besar. Kepalanya bahkan mencapai awan hitam yang ada di atas sana. Mungkin lebih. Namun, sosoknya jelas sangat terlihat. Sosok itu menggunakan tudung di kepalanya sehingga hanya memperlihatkan wajahnya yang mengerikan. Ia memiliki tiga mata, dengan dua mata 'normal' berwarna hitam pada bagian yang seharusnya putih dan warna iris merah. Mata ketiganya terletak di dahi antara dua mata lainnya, tetapi dengan arah vertikal. Tubuhnya terbalut seperti jubah hitam panjang yang hanya memperlihatkan kedua telapak tangannya. Bahkan kakinya pun tidak terlihat.

Suara itu terdengar lagi. Kini petir mengiringi tawanya. Aku bahkan dapat melihat taringnya dengan jelas. "Manusia," katanya langsung masuk ke kepalaku. "Sudah lama aku tidak melihat kalian."

Aku melihat orang-orang berjubah hitam yang kami hadapi semuanya jatuh bersujud kepadanya. Thiye.

"Sudah saatnya kekuasaan kembali kepadaku!" Thiye mengangkat kedua tangannya menghasilkan petir dan guntur yang memekakkan telinga. Ia pun kembali tertawa membuat kepalaku rasanya sangat sakit mendengarnya.

"Takkan kubiarkan!"

Aku mencoba menghabisi setiap kalangkang yang menghalangi, tetapi gempa-gempa kecil yang terjadi membuatku sulit untuk sekadar berpijak. Sesekali petir kecil menyambar di antara kami. Aku melompat ke samping kanan saat ada petir yang mengarah mendekat dari depan. Tepat di antara aku dan kalangkang berbentuk manusia serigala yang kuhadapi. Aku lengah. Satu hantaman keras berhasil didaratkannya pada dadaku sampai membuatku terpental.

Kulihat Thiye sepertinya belum berniat memulai penghancurannya. Ia seakan menikmati pemandangan di depannya. Seolah ia hanya membantu bawahannya dengan mengirimkan petir dan gempa-gempa kecil.

Suara keresak terdengar dari alat di telingaku. "Kenapa ia hanya diam saja?! Apa ia sedang mengolok-olok kita?!" Pertanyaan itu datang dari Akasia dengan nada penuh amarah yang meluap. Aku harus jujur, itu juga yang dari tadi menjadi pertanyaan yang menggangguku.

Aku mengusap darah yang keluar dari mulut. Berusaha bangun lagi dengan rasa sakit yang menjalar di punggung. Aku menumpu pada pedang sebelum akhirnya kugunakan untuk menangkis serangan cakar kalangkang yang datang dari arah atas.

Entah kekuatannya yang bertambah atau aku yang sudah kelelahan, aku sudah tidak sanggup menahan serangannya. Semakin aku sulit menahannya, semakin dekat bilah pedangku pada wajah sendiri. Kurasakan keringat dingin mengucur deras bersamaan pompaan jantung yang meningkat. Rasa takut .... Aku harus jujur, aku sedang takut sekarang.

Satu buah belati menancap tepat di dada kalangkang itu. Makhluk itu menjerit. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Kutendang dia sekuat tenaga tepat di perutnya. Arga tiba-tiba datang menerjang melewatiku. Mengambil belatinya kembali kemudian menyerang monster itu bertubi-tubi. Aku hanya bisa ternganga melihat cara Arga menghabisi musuh yang dihadapinya itu.

"Ayo," kata Arga sambil mengulurkan tangan. Aku agak ragu dengan tatapannya yang datar itu. Wajahnya dihiasi dengan darah yang berlumuran. Entah itu darahnya atau bukan.

Aku berusaha bangkit sendiri mengabaikan bantuan Arga. "Aku nggak akan membiarkanmu terbunuh," kata Arga tiba-tiba. Aku yang berusaha berdiri tiba-tiba membatu sesaat. Aku segera melihat matanya yang masih datar. Tidak, bukan datar. Wajahnya mungkin datar. Akan tetapi, tatapan matanya memancarkan kesedihan.

Sebuah suara ledakan terdengar membuyarkan percakapan kami. Aku dan Arga segera mengambil posisi siaga. Kulihat bola-bola api dan lemparan-lemparan batu terbang tidak jauh dari posisi kami berada. Sulur-sulur tanaman terlihat melilit beberapa orang berpakaian hitam. Kristal-kristal es yang tajam tampak menghujam tubuh-tubuh kalangkang yang ada di depannya. Suasananya semakin memanas.

Aku dan Arga kembali melawan orang-orang berpakaian hitam dan para kalangkang yang ada agar bisa mencapai Thiye. Langkah kami terhenti saat satu petir menyambar di depan kami. Jika kami telat menyadarinya dan tidak segera menghindar, mungkin saja aku dan Arga sudah habis. Asap dari petir sebelumnya yang menghalangi pandangan telah menghilang digantikan sosok hitam besar. Makhluk itu seperti manusia dengan warna hitam pekat. Dia memegang pedang yang sangat besar seperti pisau daging dengan ukuran yang berkali-kali lipat.

Makhluk itu menyerang tanah di antara aku dan Arga sampai kami terhempas. Dia seolah sengaja melakukannya untuk memperlihatkan kekuatannya pada kami. Sebuah senyuman—atau mungkin lebih tepat seringaian—terpatri di wajahnya sampai memperlihatkan barisan taringnya yang tajam. Sepertinya aku benar tentang dia yang pamer kekuatan.

Aku merintih karena luka yang kudapat di bahu kanan. Aku mencoba berdiri sebelum serangan selanjutnya dapat dia lancarkan. Kubantu Arga agar dapat bangkit kembali dan melakukan serangan balasan. Makhluk itu terlihat berlari kemari. Kontras dengan tubuhnya yang besar, makhluk itu dapat berlari cepat dan terlihat tidak terganggu dengan pedang besar yang dibawanya. Sambil menekan luka gores di lengan kirinya, Arga mencoba membuat gravitasi di sekitar makhluk itu bertambah. Tepat sebelum efeknya terasa, makhluk itu melompat dengan tinggi sambil menyiapkan pedangnya untuk membelah kami berdua. Ini kesempatanku. Makhluk itu tidak akan bisa apa-apa selama di udara. Aku merobek ruang tepat di tempat dia akan jatuh, tetapi entah bagaimana caranya dia bisa menghindar. Aku hanya bisa melihat makhluk itu membelokkan pedangnya ke satu sisi dan tubuhnya secara otomatis bergerak ke arah sebaliknya.

Makhluk itu mendarat dengan mulus dan langsung mengayunkan pedangnya secara horizontal. Aku harus mundur sampai beberapa langkah agar tidak terkena sabetannya. Akan tetapi sayangnya, aku tetap terkena serangannya. Satu sayatan kecil tepat di mata kiri menghiasi wajahku. Meskipun tidak dalam, tetapi luka itu cukup lebar. Penglihatanku jadi terganggu karena harus terpejam menahan perih.

Aku mencoba membuat lubang di perut makhluk itu seperti yang pernah kulakukan. Dengan sisa tenaga yang ada, kufokuskan kekuatanku untuk membuat robekan di sana. Satu lubang kecil berhasil kubuat, tetapi sepertinya hal itu masih kurang. Monster itu hanya tersentak meskipun terdapat luka di perutnya. Aku meringis. Dia tangguh. Sangat.

Stab!

Satu belati milik Arga menancap di samping kepala makhluk itu. Dengan kepala agak miring yang masih tertancap benda tajam itu seakan hanya dilempar batu, dia melirik Arga dengan tatapan membunuh. Aku melihat Arga yang sudah menyiapkan kuda-kudanya. Makhluk itu berlari ke arah Arga dan sepertinya siap membunuhnya.

Arga melompat dengan sangat tinggi menghindari serangan makhluk itu. Akan tetapi, tepat sebelum dia setinggi kepala makhluk itu, kakinya ditarik dan tubuhnya dibanting dengan sangat keras sampai tanah yang dihantamnya retak. Arga mengerang. Aku juga merasakan sakit seolah bisa merasakan apa yang dirasakannya. Aku tidak bisa tinggal diam melihatnya yang disiksa seperti itu.

Aku berlari menuju makhluk itu dan melompat untuk naik ke punggungnya. Dia menggerak-gerakkan bahunya hingga aku kesulitan bergerak. Kutancapkan pedangku tepat di punggungnya sampai makhluk itu berteriak. Seolah seranganku hanya sebuah gigitan nyamuk, monster itu juga berusaha menyingkirkanku dengan tangan besarnya. Kurasakan goncangan seperti tubrukan pada tubuh yang kunaiki ini. Arga terihat sedang menancapkan belatinya di perut makhluk itu, tepat di luka yang kubuat sebelumnya.

Makhluk itu mengerang. Sepertinya serangan di tempat yang sudah dilukai lebih efektif daripada serangan baru. Baiklah, kalau begitu. Kutarik pedang yang telah menancap di punggungnya itu kemudian dengan sengaja menancapkannya kembali dengan kedalaman yang lebih dari sebelumnya. Kulakuan hal itu berkali-kali. Darah yang memancar sampai mengotori wajahku dan teriakan makhluk itu yang memekakkan telinga tidak membuatku berhenti. Aku berhenti melakukannnya setelah membuat satu robekan panjang di punggungnya yang memperlihatkan tulang punggungnya.

Aku ngeri sendiri dengan apa yang telah kuperbuat. Aku bahkan tidak menyangka dapat melakukannya. Arga mencabut belatinya yang sedari tadi tertancap di kepala makhluk itu yang kini sudah tidak bergerak. Dia menghampiriku untuk melanjutkan apa yang tertunda sebelumnya.

Orang-orang berpakaian hitam sudah mulai sedikit terlihat. Beberapanya terlihat bergelimpangan dengan luka yang bermacam-macam. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk memfokuskan serangan pada Thiye.

"Bagaimana keadaan kalian?" kata Pak Ficus dari alat komunikasi.

"Beberapa masalah sudah teratasi," jawab Jati dengan nada yang kelelahan.

"Di sini lumayan," sahut dokter Lian.

"Aku sudah selesai." Itu Albasia dengan nada yang kurang stabil.

Gempa mulai terasa di sekeliling kami. Getaran itu membuat tanah di sekitarku retak.

"Ke posisi masing-masing!" kata Pak Ficus tiba-tiba. Aku mengangguk pada Arga kemudian berpisah dengannya untuk membuat formasi mengelilingi Thiye.

Jarak aku dan yang lainnya berjauhan. Kami sudah mengelilingi Thiye seperti yang sudah diperintahkan. Anehnya, sumber kehancuran itu tidak melakukan apa-apa seolah pasrah dengan apa yang akan dihadapinya. Perasaanku tidak enak.

"Tancapkan senjata kalian ke tanah. Kemudian alirkan energi kalian!" perintah Pak Ficus. Aku langsung melakukan semua yang diperintahkan Pak Ficus. Pendar cahaya mucul dari pedangku. Garis-garis cahaya putih muncul di atas tanah menyambung dengan garis lainnya pada senjata yang lain. Garis-garis yang keluar dari pedangku berjumlah enam. Jika aku tidak salah membayangkan, bentuk yang akan dibuat adalah ... heptagram.

Pendar cahaya yang dibuat semakin besar sampai bergerak ke atas, tetapi Thiye sepertinya tidak berkutik ... atau belum. Sebuah getaran kecil yang semakin membesar terasa di sekitarku, disusul dengan suara tawa yang menggelegar. Firasat buruk.

"Manusia memang menarik. Tetapi trik yang sama tidak akan berlaku lagi padaku!"

Sebuah gelombang kejut menghempaskan kami semua dengan jarak yang sangat jauh. Thiye terlihat mengangkat tangannya, kemudian petir kembali menyambar dengan frekuensi yang lebih banyak. Kalangkang-kalangkang terlihat bangkit dari dalam tanah dengan jumlah yang sangat banyak dan ukuran yang lebih besar.

"Harus kalian tahu, wahai Manusia. Kekuatanku sudah bertambah berkali-kali lipat sejak terakhir bangsa kalian menyegelku. Dan sekarang, sebagai balasannya aku akan membawa pada apa yang seharusnya kalian terima sejak awal!"

Thiye mengibaskan tangannya. Sesaat kemudian, sebuah angin seperti badai datang menerpa. Seolah sebuah sinyal untuk bergerak, kalangkang yang telah dibangkitkan Thiye berlari menyerang. Mereka datang secara bergerombol. Aku harus segera membuat lubang-lubang di depan mereka agar aku tidak kewalahan.

Satu per satu kalangkang-kalangkang itu terjatuh ke lubang-lubang yang aku buat. Ternyata jumlah mereka saja yang banyak, sedangkan otak mereka tidak ada. Tidak seperti makhluk yang kuhadapi sebelumnya sampai aku kewalahan.

Oh, sial. Sepertinya perkiraanku salah. Beberapa kalangkang berhasil melompat dan berlari ke arahku dengan cepat. Tepatnya ada tiga ekor. Aku tidak yakin dapat menghadapi semua. Sepertinya sudah saatnya aku menggunakan strategi 'kecelakaan' yang tidak sengaja aku lakukan.

Kalangkang berbentuk manusia serigala datang menyerangku dengan cakar-cakar mereka yang tajam. Aku berhasil menghindari satu serangan cakarnya, tetapi satu sayatan berhasil terpatri di wajah bagian kananku.

"Akh!" Aku terlempar cukup jauh dari ketiga makhluk itu. Sial, aku tidak memperhitungkan kalangkang di belakangku. Punggungku sakit ... perih ... panas. Tetapi, mungkin dengan bertambahnya jarakku dengan mereka bisa membuatku mempersiapkan serangan berikutnya.

"Uhuk!" Darah? Sepertinya serangan tadi membuatku pendarahan. Aku tidak boleh mati dulu.

Baiklah, tidak ada lagi sikap defensif. Aku berlari menerjang ketiga makhluk itu. Tepat sebelum mereka berhasil menghunuskan cakarnya, aku membuka dua portal yang saling terhubung. Satu di depan para makhluk itu sebagai jalan masuk dan yang kedua ....

Stab!

Di atas makhluk itu sebagai jalan keluar. Kutancapkan pedangku di salah satu tengkuk makhluk itu sampai dia mengerang. Aku melompat ke belakang dan menghunuskan pedangku untuk menusuk makhluk itu. Satu jatuh, sisa dua. Makhluk-makhluk itu terlihat marah. Asal kalian tahu, aku juga tidak kalah seperti kalian.

Aku mencoba trik yang sama saat dua sisanya berusaha menyerangku. Kubuka lagi portal di depan mereka dan muncul kembali di belakang. Satu lagi tumbang. Namun, sepertinya kalangkang yang terakhir telah belajar dari kesalahan kedua rekannya sebelumnya. Sebelum aku berhasil membuka portal untuk yang ketiga kalinya, makhluk itu berhasil mencengkram tubuhku.

"Aaakh!" Sesak. Aku tidak bisa bernapas. Cakar-cakarnya yang tajam berhasil mencekikku. Kulihat tangan besar hitam penuh cakar itu dia tarik sampai ke belakang telinga, bersiap menusukkannya tepat ke dadaku. Atau bagian vital lainnya. Aku berusaha melawan, tetapi yang kudapatkan hanyalah tekanan yang lebih keras sampai oksigen benar-benar tidak bisa kuhirup.

Makhluk itu menyeringai, seolah kemenangan berada di genggaman tangannya.

Kufokuskan pikiranku. Aku tidak akan menyerah dengan mudah.

-oOo-

Author's Note

Dua bab lagi menuju ending!

Salam literasi!

Diterbitkan: 12-7-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro