Kehidupan 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku dan Akasia berlari melewati tanah-tanah dan bebatuan tajam yang mencuat. Sesekali aku melompat untuk menghindari retakan tanah yang sangat curam. Menghindari serangan-serangan petir yang datang dan bebatuan yang melayang.

"Aku akan menyerangnya dari belakang," kataku pada Akasia. Mengingat dirinya ingin diberitahu terlebih dahulu terkait apa yang akan kulakukan.

"Siapa maksudmu?" tanyanya sambil membuat perisai dari kayu di sekitar kami.

"Thiye."

"Jangan bertindak gegabah! Kau harus pikirkan matang-matang rencanamu itu. Kalau kau sampai terbunuh, semuanya akan semakin sulit."

"Baiklah," jawabku seraya meninggalkan Akasia.

"Reksa!" teriak Akasia memperingatkanku. Aku tidak menghiraukan panggilannya.

Aku terus berlari melewati penghalang-penghalang berupa batu, tanah dan kayu yang berserakan. Aku mulai membuka portal dan muncul di dekatnya. Thiye sepertinya menyadari apa yang akan kulakukan. Sebuah gelombang kejut bahkan mementalkanku sesaat setelah aku keluar dari portal. Aku kembali berdiri, membiarakan rasa sakit di punggungku. Thiye sama sekali tidak ingin didekati.

Mungkin setelah ini aku akan mengambil jalan yang lebih ekstrem. Aku akan melakukan hal yang sama seperti pada kalangkang yang kuhadapi sebelumnya. Dengan harapan hal yang serupa bisa terjadi.

Aku membuka portal lagi dan keluar tepat di atas 'kepala' Thiye. Udara dingin dan angin yang menerpa kencang menyambutku ketika aku keluar. Aku kesulitan bernapas karena udara yang tipis. Ditambah angin yang sangat kencang membuatku sulit untuk bergerak. Saat pertama aku melihat Thiye, hal yang kupikirkan adalah betapa besar dan mengerikannya ia. Dan di saat aku dapat melihatnya sedekat ini, aku tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak juga benar. Mungkin yang lebih tepat adalah menambahkan kata 'sangat' pada pernyataanku yang sebelumnya. Thiye sangat besar dan sangat mengerikan. Biar kuulangi. SANGAT BESAR DAN SANGAT MENGERIKAN. Aku bahkan merasa seperti kutu kepala dibandingkan dengan tubuhnya itu.

Aku mendarat dengan mengaitkan pedangku pada kepalanya. Gravitasi membuatku meluncur ke bawah sambil berpegangan pada senjataku itu. Membuat alur sayatan vertikal yang menutup dengan cepat meninggalkan jejak serupa asap.

"Aarg!!"

Sesak. Panas. Sesuatu mencengkram tubuhku dengan sangat kencang. Rasanya seluruh badanku remuk. Aku tidak bisa melawan. Bahkan satu jari pun tidak bisa kugerakkan. Tubuhku seperti dibawa melayang.

"Manusia." Suara Thiye menusuk telingaku. "Kau sangat berani ... atau mungkin cukup tolol untuk menghadapiku sendirian."

Aku mendongak hanya untuk mendapati wajah besar menyeramkan yang sedang menatapku. Mata ketiganya yang terletak di dahi sangat jelas memantulkan raut wajahku yang saat ini ketakutan.

"Apa kau tidak pernah berpikir kenapa aku menjadi seperti ini, wahai Mortal?" Aku tidak menjawab kata-katanya. Aku terlalu takut untuk membalas. Di saat seperti ini, aku malah tidak bisa berbuat apa-apa. Entitas kegelapan itu menyeringai. Kemudian suara tawa terdengar sampai gendang telingaku seakan mau pecah. Aku tidak bisa menghindarinya. Yang bisa kulakukan hanyalah menutup mataku dan berharap semua ini cepat berakhir. Samar-samar terasa cairan dari lubang telingaku.

Suara itu berhenti. Aku belum bisa bernapas lega karena masih berada di dalam cengkramannya. "Aku hanyalah bagian dari kosmis. Kalian tidak ada apa-apanya tanpaku. Tanpa diriku yang sebenarnya. Tetapi kalian membuatku—menjadikanku sebagai simbol kejahatan. Kematian. Harus kalian tahu, kalianlah yang membuatku seperti ini. Keseimbangan tercipta saat hitam dan putih setara, menjadikannya abu-abu. Sekarang yang kuinginkan hanyalah membuat keseimbangan itu kembali seperti sedia kala. Saat dunia pertama tercipta."

Thiye mencengkramku lagi dengan sangat keras kemudian menghempaskanku. Aku terkaget saat ia melakukan itu. Dalam keadaan seperti itu, aku tidak bisa berpikir apa-apa. Yang kurasakan hanyalah sayatan angin di tubuhku lalu rasa dingin di kulit seperti air. Untuk sesaat aku tidak bisa bernapas. Rasanya seperti tenggelam. Aku baru menyadari bahwa aku memang tenggelam, secara harfiah.

Dokter Lian membantuku berdiri, tetapi rasanya tubuhku terasa lemas bahkan hanya untuk duduk. Akasia terlihat menggendong Arga yang tidak sadarkan diri. Tidak ada Pak Ficus, Albasia maupun Jati.

Seluruh tubuhku basah kuyup. "Apa ... ini?" tanyaku lemas.

"Itu air. Untunglah aku menangkapmu tepat waktu." Rupanya dokter Lian membuat bantalan dari air yang berbentuk bola. Syukurlah benturanku dapat teredam karenanya.

Aku memaksa untuk bangun. Dengan menumpu pada pedangku sambil dibantu dokter Lian, aku berusaha menyeimbangkan tubuh. Namun, usahaku gagal. Terlebih karena sebuah getaran yang kencang tiba-tiba muncul. Thiye benar-benar harus segera diatasi. Kehancuran yang dilakukan makhluk kegelapan itu semakin menjadi. Tanah-tanah di sekitarku mulai terangkat.

Tubuhku ikut terangkat karena berada di atas tanah yang melayang-layang itu. Sesekali kepalaku terbentur karena terjatuh dan mengenai bebatuan di sekitarku. Aku mencoba menyeimbangkan tubuh dan melompat di antara batu-batu itu. Beberapa kali aku terpeleset dan tersandung karena kurang hati-hati. Aku mencoba mencari celah untuk berlindung sembari memikirkan cara mengalahkan makhluk kegelapan itu.

Thiye adalah manifestasi dari kegelapan. Ia tidak bisa dihancurkan. Dunia hanya akan berada dalam kekacauan dan akhirnya kehancuran dengan ketiadaannya. Sangat ironis mengingat ia adalah bagian dari kekacauan dan kehancuran itu sendiri. Meskipun begitu, dunia butuh keseimbangan. Hitam dan putih. Namun, aku tetap tidak bisa membiarkannya memusnahkan kehidupan yang sudah ada.

Sekali lagi, aku membuka portal dan muncul di atasnya. Dengan sekuat tenaga, aku memaksa tubuhku untuk bergerak. Kali ini aku tidak mengincar belakang kepalanya, tetapi kali ini aku mengincar mata ketiganya. Ya, mata yang membuatku takut setengah mati sebelumnya. Atau mata yang menunjukkan rasa takutku sepenuhnya.

Aku sudah bersiap menusukkan pedangku pada mata di dahinya saat ia mendongak dan melihatku dengan ketiga matanya. Aku tersentak karena gerakannya yang tiba-tiba itu. Tubuhku bergetar, dan terhempas untuk yang kesekian kalinya.

aku sudah belajar dari kejadian sebelumnya. Aku tidak mungkin terus menerus mengandalkan keberuntunganku di saat-saat seperti ini. Jadi, saat aku berteriak karena kesakitan dan panik, aku membuka portal yang terhubung dengan tanah di bawah sana sehingga aku tidak perlu merasakan tumbukan yang amat sangat menyakitkan.

Tumbukan yang kurasakan dengan tanah tetap terasa sakit sampai aku merasa bahwa punggungku mungkin patah. Aku jatuh berguling-guling saat keluar dari portal. Kumuntahkan darah sebagai reaksi pendarahan di dalam. Tubuhku lemas. Serasa seluruh badanku tidak bisa digerakkan.

Aku ingat pernah ada yang bilang kalau aku ini adalah kuncinya, tetapi aku tidak ingat kunci untuk apa. Kunci untuk memenangkan perang ini, kah? Atau agar pihak lawan menang dengan membunuhku? Aku tidak mengerti pertanyaan-pertanyaan itu. Yang terpenting adalah aku menjadi kunci akan bagaimana jadinya perang ini.

"Ya, itu benar. Kau adalah kuncinya."

"Apa?"

"Kau adalah kuncinya."

"Siapa kau?"

"Hanya kau yang bisa mengalahkan Thiye."

"Bagaimana mungkin? Aku sudah dua kali mencobanya dan gagal."

Semua ini percuma. Yang kulihat hanyalah warna putih dalam ketiadaan. Bahkan aku tidak bisa merasakan tubuhku.

"Reksa."

"Ap—"

"Kau ditakdirkan sebagai penjaga. Aku tidak bisa turun langsung untuk membantu kalian. Thiye adalah manifestasi dari kegelapan yang telah disegel ratusan tahun. Sementara kalian adalah manifestasi dari cahaya yang terus terlahir. Terkadang cahaya akan redup di tengah kegelapan. Namun, dalam kegelapan sehitam apa pun, cahaya akan tetap terlihat walau satu titik sekalipun."

"Jadi, apa intinya? Kenapa aku berada di sini? Aku harus segera mengalahkan Thiye."

"Mengalahkan Thiye. Itu bukanlah kata yang tepat."

"Lalu?"

Hawa sejuk tiba-tiba terasa di sekitarku. Aneh. Kumpulan uap putih terlihat muncul dari ketiadaan membentuk sesosok figur perempuan berjubah putih panjang yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali bagian wajah. Matanya berwarna putih dengan iris berwarna kelabu. Sama seperti Thiye, ia juga memiliki mata ketiga di dahinya. Bibirnya merah alami. Secara keseluruhan, wajahnya memperlihatkan ketenangan, kasih sayang dan cinta.

"Bukanlah sebuah kebetulan dirimu memiliki kekuatan untuk membuka gerbang ke dimensi lain. Saudariku tidak bisa dikalahkan. Kekuatanmu saat ini memang tidak bisa mengatasinya, tetapi dengan sedikit bantuan dariku, kau akan bisa."

"Hanya aku?"

"Tidak. Kau tetap memerlukan bantuan teman-temanmu, karena kalian adalah satu. Kalian adalah bagian dariku."

"Bagaimana caranya aku mengatasi Thiye? Serangan fisik tidak bisa melukainya."

"Sudah kubilang bukan seperti itu."

"Kalau begitu beritahu aku."

Entitas cahaya itu tersenyum. "Saat gerbang terbuka, tujuh cahaya akan menyinari kegelapan. Memberi terang pada tanah yang baru. Berkasnya terpencar ke seluruh penjuru, membentuk dia yang telah merawat Bumi dari kehancuran."

"Itu puisi?" Aku merengut bingung. "itu bukan jawaban dari permasalahanku," keluhku.

"Sekarang, selamatkan dunia, Reksa." Entitas cahaya itu mengibaskan tangannya ke arahku. Sebuah sensasi dingin menyapaku.

"... Sa!"

"Reksa!"

Plak!

Teriakan dan tamparan seseorang benar-benar ampuh untuk menyadarkanku. Albasia terlihat akan mengangkat tangannya dan menamparku saat aku membuka mata dan menghentikannya.

"Dia sudah sadar," kata Jati yang melihatku iba.

"Re—"

"Aku tahu cara mengalahkannya. Aku tahu cara mengalahkan Thiye!"

"Bagaimana?" tanya Pak Ficus.

"Sulit dijelaskan. Aku seperti bertemu seorang perempuan. Ia mengaku sebagai saudari Thiye dan memberiku sebuah puisi."

"Puisi? Kau bercanda," sahut Albasia.

"Itu benar," balasku. Aku kemudian menceritakan semua obrolanku dengan entitas itu. Pak Ficus tampak mengangguk-angguk mendengar ceitaku.

"Apa pun itu, aku akan mencobanya."

Aku mencoba berdiri. Terakhir aku ingat rasanya tubuhku remuk.

"Lindungi aku," pintaku.

Aku kembali berusaha mendekati Thiye, tetapi kali ini bukan tindakan tiba-tiba seperti yang kulakukan sebelumnya. Aku mengangkat pedangku ke atas seperti sedang merobek tepat di atas Thiye. Kubayangkan setiap robekannya. Bukan kebetulan kekuatanku adalah membuka dimensi, katanya. Tujuh gerbang cahaya, katanya.

Kubuat tujuh portal yang memancarkan cahaya dari langit. Dengan sisa tenaga yang kupunya, kubuat portal-portal itu saling terhubung.

"Apa yang akan kau lakukan, Mortal?" Suara Thiye berdengung di telingaku. Kulihat para kalangkang mulai berdatangan ke arahku untuk menghentikan apa pun yang akan kulakukan.

"Lindungi Reksa!" perintah Pak Ficus.

Tanganku bergetar. Aku terus memfokuskan kekuatanku pada portal-portal itu. Perlahan robekan-robekan itu terus membesar memancarkan cahaya yang sedikit demi sedikit menerangi 'malam'.

"Kau berniat menyegelku lagi, Mortal?!"

Aku tidak menggubris perkataannya. Cahaya-cahaya itu terhubung dan bergabung membentuk sebuah heptagon tepat di atas kepala Thiye. Entitas itu mengibaskan tangannya dan membuat angin yang sangat kencang. Pak Ficus membuat pelindung dari tanah untuk menghalangi serangan itu menggangguku.

Seluruh cahaya dari portal-portal itu memandikan Thiye dan membuatnya berhenti melakukan sesi menghancurkan Bumi. Entitas kegelapan itu seperti terkunci di bawah sinar yang berasal dari atas sana. Tubuhnya seakan kaku. Aku bahkan tidak mengerti dengan apa yang kulakukan. Perlahan, cahaya-cahaya itu terus semakin terang bahkan seperti membutakan mata. Aku sendiri harus memejamkan mata untuk menghindari silaunya. Cahaya itu melebar seperti flashbang yang dilempar di zona perang, kemudian meredup.

Saat semua cahaya itu hilang dan memperlihatkan semua yang terjadi, Thiye terlihat memudar. Di sekujur tubuhnya terlihat titik-titik cahaya yang berpendar di tengah warnah hitam yang pekat. Ia seperti tidak bisa berkutik dan pasrah dengan apa yang terjadi.

Saat titik gelap terakhir entitas kegelapan itu menghilang, gelombang kejut menghempaskan kami semua. Dengan tersegelnya Thiye kembali, kulihat para kalangkang yang mengamuk perlahan menguap menjadi asap. Suara sorakan dan teriakan gembira terdengar. Aku terjatuh dengan tubuh yang sangat lemas.

Aku ... tidak percaya. Semua ini sudah berakhir. Thiye sudah dikalahkan. Lebih tepatnya dikirim ke dimensi lain.

Tetapi, tunggu dulu. Kenapa langitnya masih hitam? Bukankah harusnya sudah cerah kembali? Apa aku gagal? Tidak, tidak mungkin.

Suara langkah seseorang mendekatiku. "Re—"

"Apa aku gagal?!" teriakku panik pada lawan bicara di belakangku.

"Apa maksudmu?"

"Langitnya ...."

"Malam. Sekarang sudah malam, Re."

"Ap—Owh." Aku hampir saja menangis karena mengira aku gagal. Bodohnya aku.

Aku melihat langit di atas sana. Cerah. Hitam kelam tanpa awan, dihiasi langit berbintang. Bulan purnama bertengger di cakrawala. Satu-satunya penerangan di malam hari ini. Cahaya di tengah kegelapan. Harus kuakui, bulan akan terlihat tidak ada apa-apanya tanpa kegelapan. Dan bagaimanapun juga, semua makhluk membutuhkan cahaya dan kegelapan dalam keadaan yang seimbang.

Dokter Lian tiba-tiba memeluk tubuhku. Aku tersentak karena terkejut dan hampir saja melompat mundur. "Kamu berhasil," katanya lirih.

"Kita semua berhasil," ralatku. Dan satu per satu para anggota Reinc yang lain mendekat dan memeluk tubuhku bersamaan. Berat. Tubuhku rasanya lemah.

Aku tidak tahu apakah ini akhir ceritaku atau merupakan sebuah awal yang baru.

-oOo-

Author's Note

Saya harap ending yang diberikan tidak mengecewakan, ya!

Salam literasi!

Diterbitkan: 12-7-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro