A

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Reincarnation
-Note. 01: Same Like Her Act-

Serupa namun tak sama.
A untuk "act", artinya tingkah.

Jika tingkahnya selalu "begini", akankah tingkahmu juga "begini"?

~***~

"Kamu itu blak-blakan ...."

Camelia mati-matian menahan amukannya.

"... cerewet ...,"

Gadis itu bersiap untuk meledakkan dirinya sendiri.

"... dan yang paling utama: pendek."

Dan kini benar-benar meledak. "ALAN! AKU NGGAK SEPENDEK ITU, TAHU!" jerit Camelia dilanda frustasi. Seruan-seruan jahil bahwa dia tergolong pendek semakin menjadi di kalangan sekolah hanya diakibatkan oleh makhluk berupa seorang laki-laki yang sudah membuatnya kacau di hari pertama sekolah.

"Lihat faktanya aja, Anak Baru," tukas Alan santai. "Nih, aku bawa cermin. Butuh ngaca?"

"ALAN!"

.

Alan terlonjak di kursinya sendiri dengan mata terbelalak lebar. Punggungnya menegak tanpa aba-aba lagi. Napasnya menderu-deru selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sadar di mana dia berada.

Di dalam kelas, dan kini baru terbangun dari acara ketiduran yang dia lakukan sebelum jam pelajaran kedua dimulai.

Tolong, pikir Alan, utang sebesar apa yang kubuat sampai-sampai masih digentayangin dalam mimpi?

Plang pintu bertuliskan X-IPA 1 itu tampak bersinar ditimpa sinar mentari yang menerobos masuk bersamaan dengan debu-debu lembut yang mengiringi. Seisi kelas mulai sibuk sendiri dengan teman bicara mereka akibat jam pelajaran pertama tersisa lima menit lagi sebelum akhirnya jam kedua akan dimulai.

Merasa bosan, akhirnya laki-laki itu memutuskan untuk melanjutkan acara coret-mencoret kertas yang dia lakukan di buku tulis khusus agenda coretannya.

Terkesan seperti anak TK, tapi harus Alan akui bahwa dia nyaman dengan hal itu.

Alan tetap fokus kepada obyek di hadapannya sekalipun orang-orang terus menyapanya berulang kali.

Setidaknya, fokus sebelum gadis berambut cokelat sepinggang menghancurkan semua fokusnya.

"Hei," sapanya riang. Gadis itu melempar bokongnya ke atas kursi orang lain dengan bebasnya. "Wah, kok pucat gitu? Kenapa, nih? Jangan bilang kalau kamu habis begadang gara-gara tugas prakarya?" tanyanya dengan cengiran lebar pada ujung kalimatnya.

"Hm." Alan sibuk sendiri menggoreskan pensilnya ke atas kertas. Tidak berniat untuk menggubris gadis itu.

Yang dikacangi hanya bisa mengerucutkan bibirnya. "Kalau ditanya, jawab yang benar, dong!"

Alan melirik gadis itu, dengan salah satu alis terangkat, dia berkata, "Azure, lip balm-mu tebal banget."

"HEH?!" Azure--nama gadis itu--segera menutup mulutnya dengan satu tangan dan menggosok permukaan bibirnya dengan kehati-hatian ekstra. "DASAR MESUM!"

Kepala Alan sempurna terangkat sekarang. "Emangnya cuma bilang begitu bisa disebut mesum, ya?" tanyanya retoris.

"B-bukan begitu!"

"Terus, kenapa?"

Azure memilin ujung rambut. "Aneh kalau dengar ada laki-laki yang bilang begitu. Bukannya tadi itu pertanda kalau kamu lagi teliti?" tanyanya pelan.

"Nggak sama sekali."

"Heh?"

Alan bertopang dagu dengan malas. "Walau nggak kulihat baik-baik pun itu udah kelihatan jelas. Tuh, bibirmu merah banget. Nggak normal. Lagipula, aku nggak suka perempuan yang dandanannya berlebihan padahal lagi hari sekolah," tuturnya tajam.

Azure menjulurkan lidahnya akibat kesal. "Jahat!"

Tepat sebelum Alan membuka mulutnya untuk melontarkan kata-kata lainnya, bel pertanda ganti mata pelajaran berdentang keras dan lantang. Semua kegiatan random yang tengah dilakukan seisi kelas spontan berhenti karenanya. Guru jam pelajaran pertama izin keluar kelas. Kemudian segalanya digantikan oleh suara langkah tegas dari lorong gedung menambah kesan sakralnya suasana di saat itu juga.

"Nah." Alan melambaikan tangannya dengan santai, bibirnya mengerucut jenaka. "Balik, sana! Hush! Hush!" usirnya.

Azure melengos dan akhirnya memilih untuk kembali ke tempat duduknya yang berada di belakang kursi Alan. "Iya, iya."

Ketika pintu kelas menjeblak terbuka, Ms. Maria--sang guru prakarya termuda di sekolah--memulai langkahnya yang anggun di dalam kelas tersebut. Map di pelukannya seakan memberi peringatan kepada setiap murid bahwa akan ada pengambilan nilai pada jam mapelnya hari ini. Kacamatanya yang sedikit merosot dari tulang hidungnya yang tinggi tampak berkilat menandakan ketegasan.

"Baik, sekarang siapkan tugas rumah yang saya berikan pekan lalu. Kumpulkan ke meja paling depan. Saya akan menilai tugas kalian, sementara kalian akan saya beri tugas--persiapkan lagu yang akan kalian nyanyikan untuk pengambilan nilai ujian akhir semester nanti."

Rivale, teman semeja Alan, mengangkat satu tangannya. "Miss, berarti hari ini jam kosong?" tanyanya.

Ms. Maria mendelik. "Rivale Zachari, melakukan tugas ringan selama guru menilai tugas rumah bukanlah jam kosong," bantahnya dengan tegas.

"Ah, iya, iya, Miss. Intinya, jam kosong, kan? Tugasnya itu doang, kan?" Rivale mendesak pelan.

"Khusus untuk Rivale, tulis nama-nama alat musik beserta penemunya. Wajib dikumpulkan hari ini."

Tawa geli terdengar memenuhi kelas. Rivale mengerucutkan bibirnya dengan kejengkelan ekstra ketika Alan menepuk-nepuk bahunya dengan makna, "Good luck, Bro."

Buku gambar berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Bergerak estafet menuju meja paling depan. Tepat sedetik setelah buku itu lepas dari tangan mereka, suara dengungan yang mengerikan terdengar akibat hasil dari suara obrolan yang mulai bersatu padu.

Alan melempar buku tulisnya ke dalam loker meja. Hendak menukar buku tulis dengan buku sketsa yang dia simpan di loker meja sejak kemarin. Ketika tangannya meraba-raba, tidak ada hasil memuaskan dan Alan bahkan tidak merasakan adanya buku sketsa di dalam sana. Dia merundukkan kepala, berusaha melihat kondisi loker mejanya yang kemarin sempat dibajak Rivale selama berjam-jam.

"Rivale," panggilnya.

Rivale menoleh ke arah si pemanggil. "Apa?"

"Buku sketsaku lenyap. Coba jawab ke mana?"

Rivale terlonjak, wajahnya pias. Yha, dia sadar aku nggak bawa bukunya. Itu buku udah nyemplung ke akuarium tempat kursus. Mati aku! Dia cengengesan. "A-ah, iya. Lupa bawa. Maaf, Al. Besok kuganti, deh," tukasnya dengan kekehan paksa.

Alan mengangkat kedua alisnya serempak. "'Kuganti'? Jadi, benar-benar lenyap?"

Sebelum Rivale menjawab, Azure sudah lebih dulu mencolek bahunya dari belakang. Kemudian menyodorkan sebuah buku lusuh kepada Alan tanpa berpikir panjang lagi. Di saat itu juga, Rivale merasa terancam karena sebuah fakta bahwa gadis itu berada di tempat kursus yang sama dengannya.

"Kemarin aku lihat buku itu berenang di akuarium tempat kursus. Kayaknya punya kamu. Soalnya aku hafal banget kebiasaanmu bawa buku ini," tutur Azure kalem, kemudian matanya melirik tajam seorang Rivale. "Aku kurang paham isi kepala laki-laki, tapi, harusnya kamu nggak sebodoh itu, Rivale."

Alan mengangguk lega sedangkan Rivale sekarat di tempat.

"Kayaknya kamu harus kuajarin cara bikin kapal-kapalan dari kertas dulu, ya?" sindir Alan.

"Aku lebih suka lihat pesawat tenggelam daripada adegan Titanic," balas Rivale.

Azure berdeham keras-keras. Menarik perhatian dari dua laki-laki yang siap berperang dengan kata-kata dan biasanya akan diiringi dengan lemparan bom kertas.

"Mending sekarang kita diskusi tentang lagu buat ujian akhir semester. Tiga minggu lagi, lho. Sedangkan kita belum ada persiapan sama sekali, apalagi, kita satu kelompok," celotehnya.

"Yeah, ketika yang lain berempat dalam satu kelompok, kita cukup bertiga dan salah satu anggota kelompoknya adalah hamster betina," cibir Rivale dengan juluran lidah pada akhir kalimat.

Azure menatapnya sinis. "Oh, ya? Aku nggak merasa menjadi hamster betina di sini," bantahnya.

"Daripada ribut dan bikin aku jadi figuran"--Alan kembali melempar buku sketsa lusuhnya ke dalam loker meja--"mending sekarang kita izin ke ruang musik. Pak Yon pasti lagi pengangguran gara-gara pekan lalu kita sibuk nyeret Rivale ke ruang BK sampai-sampai kelupaan ada tugas pengambilan nilai. Lagipula, hari ini nggak ada jadwal kelas yang punya pelajaran musik," usulnya.

"Aku udah ikut susulan kemarin siang. Kalian izin pergi aja sekarang," ucap Azure dengan cepat.

Mengikuti saran Azure, akhirnya dua laki-laki itu sepakat untuk meminta izin pergi mendatangi Pak Yon. Naasnya, Ms. Maria seakan memiliki dendam terdalam sehingga Rivale tidak diizinkan untuk pergi sekalipun sudah meminta izin.

Alan melangkah pelan keluar kelas, menginjakkan kaki di lantai lorong yang sepi dan dingin.

Toh, ujung-ujungnya aku sendirian yang susulan, pikir Alan dengan kusutnya.


Can you hear my heartbeat?

Tired of feeling never enough

I close my eyes and tell myself

That my dreams will come true


Langkah Alan serta merta terhenti ketika suara alunan merdu itu tertangkap oleh telinganya. Beberapa meter di depannya, plang pintu ruang musik sudah terlihat olehnya. Dia yakin merasa familier dengan suaranya. Dengan jantung berdegup kencang, laki-laki itu menambah kecepatan langkah.

Bukannya hari ini nggak ada kelas musik sama sekali? Tapi, kenapa?

Kenapa suara itu ... familier?

Alan mengerem langkahnya di hadapan pintu ruang musik, napasnya beradu dengan kecepatan angin. Semua rasa janggal di dalam dadanya semakin menjadi ketika dentingan piano semakin terdengar mengiringi lagu itu.


There'll be no more darkness

When you believe in yourself you are unstoppable

Where your destiny lies

Dancing on the blades

You set my heart on fi--


BRAK!

"Uwah! Siapa itu?"

Alan meringis di dalam hati. Merutuki kebodohannya yang telah berbuat semena-mena terhadap pintu ruang musik yang tidak bersalah.

Di detik selanjutnya, mereka hanya bisa terdiam saling menatap.

Gadis ponytail bermata biru cemerlang, dengan seragam sekolah yang sama, namun dengan wajah yang asing kini sedang berdiri gugup di belakang piano grand hitam mewah, itulah pemandangan yang Alan dapatkan setelah membanting paksa pintu ruang musik hingga menjeblak terbuka.

"Bikin kaget aja," gerutu gadis ponytail itu sembari mengelus dada.

Alan mati kutu.

Tatapan itu bukanlah yang pertama kalinya dia dapatkan.

Terasa asing dan ... nyaman.

Bibir laki-laki itu bergerak dengan sendirinya, mengeluarkan suara lirih yang bergetar samar. "Siapa?" tanyanya spontanitas.

"Eh?" Gadis bermata biru itu ikut-ikutan kebingungan. Perasaan bersalah sekaligus panik langsung bercampur menjadi satu di dalam dadanya.

Satu detik diisi dengan keheningan.

Tiga detik selanjutnya diisi dengan kegugupan.

Enam detik kemudian diisi dengan ketakutan.

Kemudian akhirnya, diisi dengan kecanggungan.

Alan mengusap tengkuk lehernya dengan ringisan kecil. "Ah, maaf. Aku cuma penasaran dan ...."

"Ah! Bukan! Bukan! Harusnya aku yang minta maaf, aku udah lancang. Asal masuk ke ruangan yang bahkan belum pernah kumasuki sebelumnya, main piano, asyik nyanyi dan--ah," celotehan gadis itu terputus seketika. Raut wajahnya menunjukkan wajah panik. "Se-seharusnya aku nggak di sini! A-uhm, maaf. Tapi, bisa tolong antar ke ruang Kepala Sekolah, nggak? K-kayaknya aku nyasar," pintanya gelagapan.

Alan mati-matian menahan tawanya di detik itu juga. Naasnya, tawanya meledak sedetik kemudian.

"Heh?" Gadis itu terbelalak. "Lho? Kenapa ketawa? Aku serius, tahu!"

"Blak-blakan banget," ucap Alan tanpa berpikir dua kali. "Jadi, kamu anak baru dan kamu nyasar?"

Mata biru itu melihat-lihat ke arah lain. Bibir mungilnya yang merah delima kini mengerucut jengkel. "Yah, begitu, sih."

"Payah."

"Apa?!"

"Kenapa ke ruang Kepsek pun harus nyasar?" Alan berkacak pinggang.

Puas manyun selama beberapa detik, akhirnya gadis itu berganti menjadi memainkan jari telunjuknya. "Habisnya, aku punya kebiasaan buat selalu ikut panutanku aja," gumamnya.

"Apa?"

"Ngh ..., aku selalu suka kalau ada hal yang hubungannya sama musik dan bunga. Tapi, karena di sini nggak ada ruangan khusus bunga, jadinya aku pergi ke ruang musik aja," tuturnya pelan.

Alan bersedekap. "Paling nggak kamu harus keliling gedung buat cari ruang Kepsek."

"Aku capek! Aku nggak suka dipandang kayak orang asing masuk ke kandang paus!" seru gadis itu, rasa kesalnya melonjak seketika.

"Nggak ada yang nyuruh kamu masuk ke kandang paus."

"Itu perumpamaan!" Mata biru itu berkilat-kilat. "Aku paling nggak suka dan paling nggak tahan kalau ... kalau ...."

Alan menelengkan kepalanya. Masih penasaran mengapa gadis ponytail itu masih bisa berceloteh panjang lebar kepada orang yang bahkan belum dia kenal.

"Mereka panggil aku, 'pendek', 'kecil', 'norak', 'Dek Loli', dan segala macamnya! Gimana aku nggak kesel?! Terus juga, aku ngerasa nggak enak sama orang yang kuminta buat antar aku keliling gedung. Karena kalau sampai mereka kena bully, ujung-ujungnya pun itu salahku juga." Gadis itu tertegun ketika laki-laki itu berjalan menghampirinya. Semua perasaan panik segera menyergap dirinya. "Eh? Aku salah ngomong, ya?" gumamnya lirih.

Alan menghentikan langkahnya tepat di depan gadis ponytail itu, kemudian tangannya bergerak menepuk kepala gadis itu. Setelah terdiam dengan tangan di atas kepala, Alan menggerakkan tangannya secara perlahan dengan sejajar. Hingga tangan itu berakhir di bagian ulu hatinya. Tanpa pikir panjang, Alan membuka mulutnya dan mengatakan,

"Maha Loli."

Mata biru cemerlang itu berubah menjadi semengerikan birunya lidah api.

"SEPENDEK ITUKAH AKU?!"

Alan terbahak seketika. Melupakan fakta unik bahwa seorang "Loli" bisa lebih mengerikan daripada ini jika dirinya merasa terancam bahaya.

Tawa Alan menyurut. "Ke ruang Kepsek, kan? Ayo, kuantar," katanya.

Mata biru itu berbinar-binar sekalipun dia sadar sudah diberi sebutan lain oleh orang asing yang baru ditemuinya. Sedetik kemudian, matanya sedikit meredup. "Yakin? Aku nggak mau kena masalah di hari pertama," ucapnya lirih, pertanda kesulitan untuk jujur.

"Tapi, jangan nempel-nempel! Nanti orang-orang kira kamu itu adikku."

Binar-binar itu lenyap seketika. "Aku nggak pernah mimpi punya seorang kakak," bantahnya.

Alan melangkah keluar ruang musik lebih dulu, sedangkan si gadis ponytail mengekornya dari belakang sambil buru-buru meraih tasnya. Mati-matian Alan berusaha meyakinkan diri bahwa si Loli itu akan tetap menjaga jarak darinya. Karena sejujurnya, Alan pernah disebut sebagai sistercomplex dan harus dia akui bahwa rasanya amat mengerikan. Entah si gadis yang dimaksud cantik atau tidak, bagi Alan rasanya akan sama-sama mengerikan.

Koridor mulai ramai oleh orang-orang, menandakan waktu istirahat pertama sudah tiba.

"Ih! Lucu banget!"

"Adiknya siapa? Eh, kok, pakai seragam sekolah ini?"

"Uwah! Dek Loli yang tadi!"

"Itu Alan? Siapa yang ada di belakangnya?"

"Guys, siapkan pasukan wibu! Kita punya loli baru di sekolah!"

"Lho? Alan sukanya sama yang pendek, ya?"

"Parah, seleranya low-class banget."

Bukan hal yang baru bagi Alan, tentu saja. Ini sudah yang kesekian kalinya dia berjalan dengan iringan lirikan dan tatapan yang berbeda dari semua orang di sekolah. Langkahnya yang ringan menandakan bahwa dia tidak peduli dengan apa-apa lagi.

"Hei, loli! Kamu manis banget, sih. Yakin, nih bukan anak SD yang nyasar?"

"A-uhm, anu ..., maaf. Permisi, aku mau lewat."

Alan melirik ke belakang, mendapati gadis ponytail itu masih mengangkat kepalanya walau tatapan matanya sudah redup dan menandakan bahwa dia sudah tidak tahan lagi dikerubungi oleh laki-laki yang kualitas tubuhnya jauh lebih besar daripada si loli itu sendiri. Entah efek samping dari apa, Alan merasa risi dibuatnya.

"Oi, Bocah."

Gadis itu tertegun begitu dipanggil "Bocah", dia menundukkan kepalanya dalam-dalam kemudian menyelip keluar dari kerumunan tak mengenakkan itu. Bisikan protesnya terhenti seketika saat melihat laki-laki di depannya membuat kode lewat mata agar dia berjalan di sampingnya. "Eh, kok, tiba-tiba?" tanyanya dengan suara rendah.

"Jangan sampai kamu nyasar lagi. Kamu, tuh, pendek. Nggak bakal kelihatan kalau udah tenggelam di tengah lautan manusia," ujar Alan terang-terangan.

"Huuu ..., makasih banget udah peduli. Tapi, kamu terlalu jujur. Bohong sedikit demi kebaikan juga nggak apa-apa, kok. Nggak bakal dosa," jawab gadis ponytail itu. "Padahal udah terharu aku, tuh."

"Aku nggak ngejek."

"Hah? Maaf? Semoga aku nggak salah dengar," cibir gadis itu dengan pedasnya.

"Kamu emang pendek, dan fakta itu yang barusan bikin aku khawatir kamu terseret arus keramaian. Kamu masih baru, kan? Jadi, kupikir seharusnya tingkahku bisa lebih baik dari ini," tutur Alan pelan. Kepalanya tertoleh ke arah gadis di sampingnya. "Maaf kalau aku terkesan jel--eh? Kok, bengong?"

Mata biru itu mengerjap beberapa kali, disusul dengan gelengan kepala sehingga ponytail-nya turut bergoyang. Kepalanya tertunduk. "Nggak tahu kenapa ... aku senang."

Gantian, kini Alan yang kebingungan.

"Terima kasih memanggilku 'Maha Loli'. Kamu secara nggak langsung buat aku senang dengan tubuhku yang kecilnya nggak wajar." Gadis itu tersenyum lebar. "Oh, iya. Aku lupa. Jadi, namamu?"

Hening sejenak.

"Ah, aku makin lancang, ya?"

"Alan," jawab Alan seadanya.

"Nama lengkap?" tanya gadis itu lagi. Matanya menyipit waspada. "Jangan-jangan ... Alan Walker?"

"Yakali." Alan memutar kedua bola matanya dan mendengus malas. "Alan Andraltair," jawabnya lagi.

Kepala gadis itu mengangguk-angguk kecil. "Alan, ya?" gumamnya. "Setahuku, 'Alan' itu artinya tampan, tapi, kok ...." Mata birunya melirik laki-laki di sampingnya. Bergerak naik-turun hanya untuk memastikan laki-laki itu dari atas hingga bawah.

Alan balas melirik. "Apa?"

"Nggak," jawab gadis itu cepat-cepat. "Aku, kan, cuma bercanda. Kamu lumayan, kok. Mata cokelat gelap, rambut acak-acakan dengan warna yang sama, kulitnya putih, tulang hidungnya tinggi, dan yang paling utama: kamu tinggi."

Demi apapun, Alan tertegun mendengar celotehan gadis loli bermata biru itu. Hanya penuturan biasa, namun entah mengapa terdengar menohok keras dadanya.

"Kamu nggak mau balas apa-apa?"

"Eh?"

Mata biru itu mengerjap beberapa kali. Terheran-heran ketika melihat laki-laki di sampingnya tampak termenung beberapa saat.

Alan menarik napas, mengingat-ingat hal apa yang ingin dia lontarkan.

"Kamu itu blak-blakan ...." Persis kayak Lia.

"... cerewet ...." Nggak jauh beda sama Lia.

"... dan yang paling utama: kamu pendek." Tepat sama ke-loli-annya.

Gadis itu mengerucutkan bibirnya sejenak. "Oke, oke. Aku anggap itu ciri khasku. Terima kasih banyak," tukasnya dengan nada melonjak kesal.

Alan terkekeh singkat. Tanpa sadar kembali melirik pucuk kepala si loli yang kini tengah asyik menyenandungkan nada-nada lain yang samar-samar bisa Alan dengar. Salah satu penyesalannya terasa hilang. Seakan-akan kemunculan Loli Bermata Biru itu adalah asal muasal segala penyesalannya menguap lalu menghilang.

Kalau saja aku tidak mengejeknya ....

... seharusnya kami bisa seakur ini.

[TO BE CONTINUED]

* * *

._.

Ini drama, gaes. Percayalah. Aku pun merasa begitu.

Rasanya mau plot twist ke paranormal, atau mungkin ke thriller aja sekalian, ya? //mumpung masih chapter awal-awal//

Sungguh, aku tuh nggak pernah berbakat di drama apalagi romance. TT__TT //nangis darah//

Yah, kita lihat sajalah bagaimana CRINGE-nya cerita ini bagiku satu atau dua tahun kemudian. :3

Oh, iya. Judul lagu di atas tadi itu, "History Maker".


Stay tune!

-MeChox-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro