L

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Reincarnation
-Note. 02: Same Like Her Lies-

Penyabar bukanlah pemimpin dari segalanya.
L untuk "lies", artinya kebohongan.
Jika satu kebohongan membuatnya murka, akankah kamu juga sama sepertinya?

~***~

Alan bukanlah tipe penyabar, begitupun Camelia, dan untungnya mereka berdua menyadari hal itu. Sebaliknya, Alan juga tahu bahwa gadis yang secara kebetulan sering berpapasan dengannya juga memiliki kepribadian yang tidak jauh berbeda darinya. Bedanya, Alan bisa mengekang amukannya sedangkan Camelia bisa jauh lebih ganas dan kesulitan mengekang amarahnya.

"Enak, ya? Kamu bisa tahan marah dengan mudahnya sedangkan aku kayaknya harus benturin kepala ke dinding dulu baru sadar," gumam Camelia sembari bertopang dagu.

"Lah, baru sadar? Kamunya aja yang emosian, makanya jadi gampang marah."

"Aku apa, hah?!"

"Tuh, kan, marah."

.

Gadis bermata biru itu menengadahkan kepalanya, menatap lamat-lamat plang pintu ruangan Kepala Sekolah yang seharusnya dia cari hingga ketemu sejak tadi pagi. Tangannya meremas tali tas kuat-kuat. Ada rasa janggal yang bergejolak di dalam dadanya. Dalam satu tarikan napas, akhirnya dia menoleh ke arah laki-laki di sampingnya dan berkata,

"Terima kasih. Seharusnya aku berani tanya-tanya ke orang sekitar daripada berdiam diri di ruang musik," katanya. Senyum lebarnya terlepas tanpa beban. "Diam-diaman di ruang musik, udah kayak di film horor aja, ya?" selorohnya.

Alan mendengus geli. "Perlu kutemani ke dalam?" tawarnya.

"Ah, nggak. Sampai sini udah cukup. Maaf merepotkan," tolak gadis itu. Mata birunya tampak bingung harus melihat ke mana asalkan tidak bersibobrok dengan mata Alan. Tangannya bergerak menyentuh daun pintu. "K-kalau begitu, sampai nanti, Al."

Al.

Hanya segelintir orang asing yang berani memanggilnya dengan sebutan akrab itu secara langsung dan terang-terangan di hadapannya.

"Oh, iya. Jangan sampai kena banyak masalah, ya! Aku paling nggak tahan kalau orang yang kukenal punya masalah dan ternyata malah dia tanggung sendirian."

"Wah, kamu persis ibuku. Bedanya, ibuku tinggi."

"Haha." Gadis itu memalsukan tawanya, menghasilkan tawa menyindir yang sempurna. "Oke, aku paham. Terima kasih lagi buat pujian yang satu itu."

Alan terdiam ketika gadis itu hampir membuka pintu ruang Kepala Sekolah. "Hei," panggilnya pelan, tanpa mengharapkan adanya sahutan dari si dipanggil.

Gerakan gadis itu serta-merta terhenti. "Ya?"

Alan tertegun. Semua rasa penasaran yang sedari tadi melambung di dalam dadanya kini lenyap tak bersisa tanpa adanya aba-aba penghilangan. Kepalanya spontan tergeleng. "Kapan-kapan aja, deh. Dadah, Maha Loli!"

Terbawa suasana semangat, tanpa sadar mata biru itu kembali berbinar semangat dan tangannya ikut melambai dengan semangat yang serupa.

Dan itulah, akhir dari pertemuan pertama mereka.

Hingga tujuh hari selanjutnya, tanpa adegan berpapasan sama sekali.

Azure dan Rivale sepakat sama-sama merasa aneh dengan kebiasaan melamun Alan yang sepertinya semakin menjadi dan semakin tidak normal di kalangan anak laki-laki. Setiap mereka menyeret-nyeret sebutan "si Loli", barulah Alan kembali ke dunia nyata untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali ke dunia lamunan dengan cepat.

Rivale mengklaimnya sebagai gejala pertama jatuh cinta.

Sedangkan Azure segera menyangkal hipotesis berkualitas rendahan itu.

Hari ini, Alan bersama mereka--Azure dan Rivale--berniat untuk membicarakan masalah kelompok prakarya mereka yang mana akan menghadapi ujian tengah semester dalam hitungan jari. Dua minggu adalah waktu yang tersisa bagi mereka untuk menyiapkan segalanya. Belum ada sesi latihan bersama sama sekali. Dan masalahnya, mereka bahkan belum menemukan lagu yang sekiranya pantas dan bisa mereka nyanyikan dalam satu nada sempurna. Berbanding terbalik jika harus dibandingkan dengan kelompok lain yang sudah setengah matang dalam persiapan mereka.

Bunga-bunga di luar kaca kantin sukses membuat Alan melamun lagi. Melati yang putih mulai menyebarkan semerbak wanginya. Mengingatkan Alan pada minyak wangi neneknya yang dulu sempat dibencinya. Kumpulan bunga liar yang tidak dia ketahui namanya, mengingatkannya pada kebebasan yang dulu sering didapatkannya jika tugas liburan sudah selesai. Deretan bunga kaca piring berwarna merah muda itu semakin membuatnya mendalami lamunan.

Bunga itu mengingatkannya pada Camelia.

Bunga yang dia bunuh secara tidak langsung.

"Oi, oi?"

"Ah, dia bengong lagi."

"Rekor?"

"Ini yang ketujuh di hari ini. Tiga lagi mencapai rekor."

"Zure, aku mau pakai jurus andalan. Kamu restu, nggak?"

"Silakan aja, toh, aku bukan ibunya. Dia udah kebanyakan bengong sejak kemunculan murid baru itu di sini."

"Oh ..., si Ratu Loli Bermata Biru itu, ya?"

"Rivale, jujur, aku nggak pernah suka dengar sebutan itu."

"Uwah? Azure cemburu? Haha! Ternyata fakta bahwa Alan lebih suka sama yang pendek udah sukses bikin kamu melonjak dan cemburu, ya? Uyey, uyey. Azure cemburu!"

"Rivale!"

Alan mengerjapkan matanya, kesadarannya kembali muncul ke permukaan tepat ketika dua makhluk pribumi di hadapannya malah asyik ribut sendiri. Jika dia ingat-ingat kembali, rasanya kelakuan mereka sebelumnya adalah sedang berdiskusi di meja kantin. Alan juga menyimpulkan bahwa dia juga dihantui oleh kenangan itu dalam lamunan, bukan hanya lewat mimpi.

Azure bersedekap dengan wajah dongkol. "Nah, Alan kembali pulang ke bumi dengan selamat," cibirnya. "Bengong gara-gara apa lagi, hah?" tanyanya ketus.

"Lho? Kenapa kamu yang sewot?" balas Alan.

Rivale tertawa, nyaris menyemburkan isi mulutnya. "Jadi, ceritanya ada yang cemburu sama si Ratu Loli, Al," celetuknya tanpa berpikir dua kali. Dengan santai dia mengabaikan lirikan mematikan yang ditembakkan Azure, laki-laki itu kembali asyik meneguk minuman kalengnya. "Padahal aku udah bilang, si Ratu Loli itu punya poin utama di ke-loli-annya. Sedangkan Azure, bah, udah cantik, ratu kelas, populer, tinggi juga oke, kurang apa lagi, coba?"

"Haha," ledek Azure, "terima kasih atas pujiannya. Itu sama sekali nggak membantu."

"Tapi, kedatangan si Ratu Loli, kan, udah mencapai batas seminggu. Masa', sih, kamu masih jengkel dengar sebutannya?"

"Faktor utama adalah: dia berada di kelas yang berbeda dengan kita."

Alan mengangkat sebelah alisnya. Terkadang dia masih kebingungan setiap orang-orang menyebut-nyebut 'Loli' di hadapannya, hingga dia teringat dengan si gadis bermata biru barulah dia paham.

Naasnya, ada kejanggalan yang tak mengenakkan setelah genap seminggu sejak pertemuan pertama mereka di ruang musik.

Salah satunya adalah kebodohan Alan yang lupa menanyakan namanya dan tidak peduli sampai di detik ini juga.

"Bodohnya, lupa tanya nama," gumam Alan lirih, lantas terkekeh pelan.

Mata Azure menyipit curiga. "Apa? Lupa tanya apa?" tanyanya mendesak.

"Jadi, tentang lagunya?" tanya Alan, dengan cepat memutar ke arah topik pembicaraan yang lain.

Rivale mengedikkan kedua bahunya. "Aku sarankan lagu rock, tapi si hamster betina kayaknya lagi galau sampai-sampai nyaris kasih saran lagu mellow," jawabnya setengah malas.

Azure melancipkan bibirnya. "Aku nggak merasa lagi galau, kok," bantahnya mentah-mentah. Tanpa sadar jarinya saling mengait dengan gerakan gelisah. "Tapi, ya, aku lagi nggak mood buat hari ini. Padahal tinggal dua minggu lagi, ya?" gumamnya lirih. Tatapannya jatuh pada pinggir gelas minumannya.

Alan tanpa sadar turut mengangguk muram. "Yeah, tinggal dua minggu lagi dan akhirnya perang praktek pun dimulai."

"Jadi, penentuan jenis lagu? Pop atau rock atau yang lain?" Rivale mulai mengutak-atik ponselnya. "Yah, lowbat. Al, pinjam ponsel, dong!"

Tanpa rasa curiga sedikit pun, Alan menyodorkan ponselnya kemudian langsung bangkit tanpa memikirkan apa-apa lagi. Azure yang tengah melamun menjadi terheran-heran karenanya.

"Alan?" panggilnya. "Mau ke mana?"

"Ruang musik," jawab Alan sekenanya.

"Ruang musik?" Azure membeo dengan sinis. Kening gadis itu berkerut dalam pertanda tidak suka, semua gejolak emosi yang sedari tadi dia tahan rasanya sudah siap untuk diledakkan. "Mau apa? Ambil nilai susulan?"

Alan mengangkat sebelah alisnya. Kebingungan melandanya. "Setahuku kamu ikut aku ambil nilai susulan kemarin. Kenapa harus pura-pura nggak tahu?"

"Haha? Oh, iya juga. Kamu pasti udah mulai sibuk sama si Loli-Loli itu, kan?"

"Azure--"

Azure berdiri dari kursinya, berkacak pinggang dengan kejengkelan yang luar biasa. "Ya, ya, ya! Nikmati dunia imajinasimu dengan Loli kesayanganmu! Kalau kalian udah serius buat diskusi tentang musik, aku ada di kelas!" potongnya dengan ketus, sebelum akhirnya mengentakkan langkah meninggalkan kantin.

Dua laki-laki itu terheran-heran dibuatnya.

Tanpa sadar, Alan melirik Rivale dengan dingin. "Jadi, bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi selama aku sibuk di 'dunia imajinasi'?" tuntutnya tanpa ada keramahan yang menjalar.

Rivale mengedikkan kedua bahunya. "Azure cemburu. Itu yang kulihat selama si Ratu Loli tiba dan kamu mulai sibuk dengan imajinasimu," jawabnya santai.

"Rivale, kamu tahu sendiri aku nggak berimajinasi, kan?"

"Erh, kalau itu, aku--"

"Kamu tahu masalahku, Vale," potongnya dingin.

Rivale balas memberikan tatapan datar. "Dan kamu tahu gimana seorang Azure, Al," balasnya. "Semua yang ada di kepalamu cuma dia. Kamu punya penyesalan karena dia mati akibat kesalahanmu."

Alan menarik napas panjang. Berusaha mati-matian menahan amarahnya. "Vale--"

"Oke. Awalnya aku peduli, tapi, siapa yang nggak jengkel kalau lihat sahabatnya selalu buat yang di masa lalu menjadi prioritas sedangkan yang sekarang ada justru diabaikan? Aku juga jengkel, Al. Kamu selalu melamun gara-gara masa lalu juga bikin aku ikut kesal kenapa kamu nggak pernah rela sama yang udah terlewat."

"Rivale."

"Siapa yang ada di kepalamu, hah? Siapa? Camelia udah nggak ada dan kamu masih terus anggap dia ada?"

BRAK!

"...."

"Jangan bawa-bawa nama itu." Iris cokelat gelap itu berkilat-kilat murka. "Kalau kamu emang nggak suka berurusan dengan yang begini, seharusnya bilang dari awal," desisnya menahan ego yang mulai tersulut.

"Dan seharusnya kamu menawarkan hal itu sejak awal," balas Rivale sebelum akhirnya melempar ponsel Alan dengan semena-mena ke atas meja dan memutuskan untuk melenggang pergi meninggalkan kantin.

Tanpa orang-orang perhatikan dengan teliti pun mereka paham, bahwa dua laki-laki itu berada dalam mood terburuknya.

.

BRUG!

"WADAOW!"

Menjadi korban tabrak lari setelah adegan ribut dengan sahabat.

Sungguh dramatis.

Itulah yang Alan pikirkan setelah ada makhluk tak kasat mata yang menabraknya dari depan dengan kecepatan maksimum.

Yang dia yakini bahwa makhluk tak kasat mata itu jugalah manusia berseragam sama dengannya.

Alan meringis setelah mengaduh keras-keras, dengan tambahan sensasi ngilu yang menjalar di bokongnya akibat langsung membentur lantai yang dingin tanpa persiapan apapun. Bibirnya bergerak mengeluarkan sumpah serapah dan frasa sihir lainnya, seakan-akan dengan begitu maka hal yang menjadi penyebab kejadian ini terjadi akan lenyap tak bersisa. Padahal dia tahu hal itu tidak akan berguna.

Kenapa harus di saat-saat begini? Rutuk Alan di dalam hati. Punggungnya ikut-ikutan nyeri padahal hanya bokong yang menjadi korban. Kayak di drama, sumpah. Kayaknya lain kali harus menghindar setiap kali ibu minta ditemani nonton drama, imbuhnya tanpa suara yang keluar.

Suara cempreng itu mengaduh kemudian bergumam-gumam panik. "Uwah, ampun, ampun. Aku minta maaf. Tolong jangan panggil aku dengan sebutan 'Loli' itu lagi!"

Loli?

Alan mendengus kesal. "Kalau jalan tuh lihat-lihat, Pendek," gerutunya tanpa pikir panjang lagi.

Kepala itu masih tertunduk dalam sementara tangannya sibuk merapikan buku paket yang berserakan dengan gemetar. Ponytail-nya bergoyang pelan. "Maaf, maaf," gumamnya lagi. Sedetik kemudian, buku tebal yang dia pegang kembali terlempar dan jatuh berdebum di atas lantai. "Aduh!"

Hening sedetik. Yang terdengar hanyalah ringisan pelan dari gadis loli yang kini tengah memegangi tangan kirinya.

Gadis itu bahkan tidak mengangkat wajahnya.

Mungkinkah sebutan "pendek" meskipun disuarakan oleh Alan belum cukup spesifik?

Alan mengerutkan keningnya. "Maha Loli?" panggilnya dengan ragu.

Gadis itu tersentak. Kepalanya terangkat dan mata biru cemerlang itu kembali berbinar-binar dengan semangat--pertanda dia ingat betul siapa orang yang memanggilnya begitu. Tangan kirinya teracung dengan semangat tinggi dan, "Uwah! Al--aduduh!"

Untuk yang kedua kalinya, kening Alan berkerut akibat kebingungan.

"Tanganmu?"

"Terkilir," jawab gadis itu pelan. Dia meringis. "Erh, ceritanya agak konyol, sih. Jadi, kemarin itu aku sempat kejepit pintu kaca di laboratorium, sampai memarnya berbekas biru. Terus, waktu di rumah, sepupu jauhku datang dan mengajakku main sepeda. Terus, habis itu, waktu aku tancap rem, aku baru sadar kalau tanganku memar dan nggak tahu kenapa tiba-tiba nyangkut di antara rem dan stang sepeda. Aku panik. Nggak bisa langsung dilepas. Itu lucu, tapi bagiku itu mengerikan juga," tuturnya, diakhiri dengan cengengesan lemah pertanda pasrah.

Alan garuk-garuk kepala dibuatnya. "Bodoh."

"Sakit, tahu."

"Yang penting bukan tangan kanan, kan?"

"Uhm, iya, sih."

"Yang penting masih bisa dipakai buat menulis."

"I-iya juga, sih."

Laki-laki itu mengembuskan napas lelah. "Yah, walaupun aku tahu sakitnya pasti nggak ketulungan."

"Ahaha, iya. Terus, Alan sendiri kenapa bisa di sini?" tanyanya retoris. "Eh, iya. Alan, kan, juga satu sekolah denganku, ya? Makanya bisa ketemu di sini," gumam gadis itu. "Eh, tunggu. Tapi, tapi, bukan itu maksudku!"

"Oh, tadi ada urusan pribadi. Tentang urusan kelompok," jawab Alan seadanya.

"Kelompok?" ulang gadis itu dengan semangat. "Wah, enaknya. Aku belum terlalu kenal siapa-siapa aja yang ada di kelasku. Jadi, kalau ada tugas kelompok begitu pun aku jadi risi sendiri."

"Seenggaknya kamu nggak perlu merasa dijauhi," celetuk Alan dengan lirih.

Mata biru itu melebar. "Apa?"

"Nggak. Bukan apa-apa." Alan bangkit berdiri kemudian bersiap melangkah meninggalkan gadis bermata biru itu. "Aku duluan, ya, Maha Loli," pamitnya dengan lambaian tangan.

"Alan."

Langkah laki-laki itu terhenti, kemudian dia menghadap ke belakang.

"Aku dengar, kok," ucap gadis itu tanpa ragu.

"Maaf? Apa?"

"'Seenggaknya kamu nggak perlu merasa dijauhi', itu yang tadi kamu bilang, kan?" tanyanya memastikan. Tak ada lagi binar-binar semangat khas anak kecil di mata birunya. Kini bayang-bayang serius penuh kedewasaan terpantul lewat matanya. Dengan ragu, gadis itu melanjutkan, "Kamu ... punya masalah?"

Alan mendengus pelan. "Nggak usah ikut campur. Gadis Loli kayak kamu mendingan ikutan hal-hal yang baik aja."

"Yakin?"

"Hm."

"Kamu benar-benar yakin? Aku siap menjadi pendengar, lho!"

Alan meliriknya datar. "Aku nggak pernah berniat punya pendengar," sanggahnya ketus.

Gadis bermata biru itu mengedikkan kedua bahunya, hendak memeluk buku tebal itu lagi. "Dulu, banyak yang bilang kalau aku ini nggak sabaran. Sekali marah, bisa melonjak sampai ke depannya. Dan aku sadar, gara-gara itu aku jadi nggak punya banyak teman. Paling-paling cuma teman sehobi atau teman sekelompok."

Alan masih diam di tempat. Sebelah alisnya terangkat seolah menantang gadis loli itu untuk berbicara lebih banyak lagi.

"Oh, iya. Kalau bisa, kamu jangan sampai kayak aku, ya? Bisa gawat kalau kamu dibenci banyak orang."

"Hm?"

"Oi, Alan dengar nggak, sih?"

"Dengar."

Bibir mungil itu mengerucut lagi. "Bilang sesuatu, dong!" serunya setengah memancing.

"Selama kamu masih banyak omong?"

"Eh?"

"Ini bukan saluran televisi, jadi jangan bicara yang aneh-aneh kayak dialog di drama-drama pasaran," potong Alan.

"Tapi, aku nggak--" Gadis itu terlonjak kaget ketika laki-laki di hadapannya kembali menghadap ke arahnya dan memukul keras buku yang dia pegang hingga terbanting keras.

Tangan kirinya mendadak ngilu, namun Alan tidak pernah mengetahui hal itu.

Lirikan matanya mengalirkan rasa dingin yang membekukan gerakan. "Aku oke. Kamu nggak usah ikut campur." Laki-laki itu melangkah meninggalkan si gadis bermata biru yang kini sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit dijabarkan.

Sayangnya, mood Alan yang telah sempurna memburuk membuatnya buta dengan apa yang ada di sekitarnya.

Sedikit lagi saja.

Andai saja.

Andai gadis bermata biru menambah pancingannya agar Alan meledak ....

... Alan pasti sudah kembali membentak seorang gadis.

"Kalau kamu mau bicara, panggil aku, ya?"

Ketika Alan memutar tubuh, gadis ponytail itu sudah kembali berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.

Aneh. Bukan ibu, bukan kerabat, bukan siapa-siapa, tapi kerjaannya ngoceh melulu, gerutunya di dalam hati.

Pintu kelas terbuka, Alan memasuki kelas tanpa masalah. Sedangkan yang menjadi masalah hanyalah dua teman sekelompoknya yang kini berkelakuan seakan-akan Alan hanyalah angin lalu. Baik itu Azure maupun Rivale, keduanya tampak bersekongkol untuk menjauhi Alan entah sampai kapan.

Bahkan selama kelas berlangsung, tidak satu pun dari mereka berbincang ria sebagaimana biasanya.

Alan mengembuskan napas panjang.

Kini dia tahu bagaimana perasaan para pemeran utama dalam drama kesukaan ibunya.

.

"Alan!"

Alan menoleh ke asal suara. Rasa jengkel kembali memenuhi dadanya ketika melihat mata biru itu berbinar-binar semangat. Kalau diizinkan dan tidak melanggar kesopansantunan, Alan ingin mengabaikan suara itu dan melanjutkan langkah pulangnya saja. Sudah cukup kesialannya pada hari ini.

Alan tidak menggubris dan terus melanjutkan langkah, gadis itu mengerucutkan bibir dan berseru histeris.

"HEH?! Jahat!" Dia berlari menghampiri, mengakibatkan ponytail-nya bergoyang-goyang. "Hei, hei, aku mau ke ruang musik. Temani, yuk?" pintanya, lebih bernada ke sebuah paksaan.

"Nggak."

"Ayolah, temani sebentar," desaknya. Mata biru itu berkedip beberapa kali, memohon dengan paksa. Tiga detik diabaikan, akhirnya dia menurunkan tas dan mengambil beberapa lembar kertas dari dalam sana. Lantas mencegat langkah Alan di depan dan mengacungkan kertasnya dengan bangga. "Ada lagu yang mau kumainkan," lapornya.

Alan menundukkan pandangannya demi melihat wajah semringah si loli yang tingginya hanya mencapai ulu hatinya. Siapapun pasangan hidupnya di masa depan, semoga dia nggak menyesal punya kekasih loli, pikirnya.

Hening.

Mata biru itu berbinar-binar penuh harap.

Alan mati-matian menghindarinya.

Namun mata itu justru semakin berbinar seolah ada kepingan kaca di dalam matanya.

Alan mendengus pasrah. Dia kalah. "Sebentar aja, ya?"

"YEY!" Gadis itu melonjak girang kemudian segera merampas tasnya dan kembali berjalan memimpin di depan. Binar-binar penuh harap itu lenyap digantikan binar-binar jenaka.

"Kamu pemaksa, ya?" tanya Alan setengah jengkel.

"Masa', sih?" Mata biru itu mengerling ke arah lain seolah sedang berpikir. "Aku nggak pernah merasa punya cita-cita jadi seorang pemaksa," jawabnya enteng.

Dan aku nggak bertanya apa cita-citamu, balas laki-laki itu di dalam hati.

"Tapi ...."

Alan menoleh singkat.

"Begitu aku dengar lagunya dari salah satu temanku tadi, rasanya lembut dan ... sedikit tajam," tuturnya menjelaskan. "Karena terlanjur suka, aku cari terjemahannya dan ternyata perkiraanku nggak meleset. Makna lagunya dalam banget." Gadis itu melirik ke arah Alan yang mulai menatapnya dengan tatapan ilfeel. "Ini bukan lagu cinta-cintaan, kok. Tenang aja," hiburnya sebelum terlambat.

Ruang musik bagaikan markas pribadi.

Buktinya, si gadis loli tidak pernah tersesat dalam perjalanan ke sana.

Kali ini adalah kedua kalinya Alan melenggang masuk ke ruangan itu bersama gadis loli ber-ponytail dan juga dengan mata biru cemerlangnya itu. Warna sebiru laut tenang yang ditimpa cahaya matahari, namun bisa sebiru langit ketika gadis itu berbinar kesenangan. Dan juga bisa bertransformasi menjadi sebiru lidah api ketika dia marah.

Tanpa memedulikan sekitarnya lagi, gadis itu membuka jendela ruang musik dengan bebasnya, kemudian duduk dengan manis di hadapan sang alat musik yang hitam mengilap.

Alan berdiri bersandar di dekat pintu, tidak minat lebih dekat lagi dengan gadis loli itu.

Satu tuts ditekan dan satu nada keluar.

Kemudian gerakannya terhenti.

Spontanitas, Alan mengangkat kedua alisnya serempak, pertanda heran.

"Aku baru ingat," ucap gadis itu tiba-tiba. Matanya mengerjap beberapa kali, kemudian tatapannya terjatuh pada kedua tangannya yang berada di atas tuts piano. Dengan cengiran lemah dia berkata, "tangan kiriku, kan, lagi terkilir. Ehe."

Nah.

"Terus, masih mau main?" Alan bertanya, berharap-harap agar gadis itu membatalkan niat bermain pianonya.

"Maulah. Lagunya nggak susah-susah amat, kok," jawabnya mudah.


Sorezore no basho e tabidatte mo

Tomodachi da kiku made mo nai jan

Juunin toiro ni kagayaita

Hibi ga mune hare to senaka osu


Alan mengerutkan keningnya. Mengingat-ingat lagu yang sebelumnya pernah dimainkan sekaligus dinyanyikan oleh gadis loli itu untuk yang pertama kalinya di ruang musik itu.

Waktu itu pakai bahasa Inggris, sekarang bahasa Jepang, pikirnya.


Tsuchibokori age kisotta koutei

Kyuukutsu de kizutsushita seifuku

Tsukure no ue ni kaita rakugaki

Doremo kore mo bokura no akashi


Hakushi no touji ni wa tsutaekirenai

Omoi de no kazu dake namida ga nijimu

Osanakute kizutsuke mo shita

Bokura wa sukoshi kurai

Otona ni nareta no kana


Kyoushitsu no mado kara Sakura no Ame

Fuwari te no hira kokoro ni yoseta

Minna atsumete dekita hanatabaou

Sora ni hanatou wasurenaide

Ima wa mada chiisana hanabira da toshite mo

Bokura wa hitori janai


Nada piano semakin bertenaga sekalipun salah satu tangan itu terkilir parah. Masuk ke bagian bridge, pikir Alan.


Ikusen no manabiya no naka de

Bokura ga meguriaeta kiseki

Ikutsu toshi wo tottemo kawaranai de

Sono yasashii egao


Kyoushitsu no mado kara Sakura no Ame

Fuwari te no hira kokoro ni yoseta

Minna atsumete dekita hanatabaou

Sora ni hanatou wasurenaide

Ima wa mada chiisana hanabira da toshite mo

Bokura wa hitori janai


Itsuka mata ookina hanabira wo sakase

Bokura wa koko de aou


Kepala gadis itu tertunduk layu seiring rendahnya nada piano dan akhirnya outro berakhir.

Dalam satu gerakan cepat, dia berdiri dengan semangat kemudian membungkuk rendah ke arah Alan yang masih termangu di depan pintu ruang musik. Kelakuan yang membuat Alan mau tak mau bertepuk tangan sejenak.

Puas diberi sambutan, gadis itu kembali mengangkat kepalanya dan memberikan senyuman lebar.

Alan menurunkan kedua tangannya. "Aku masih bertanya-tanya," ucapnya, "sebenarnya kamu itu pindahan dari mana?" tanyanya.

Gadis itu mundur hingga menabrak bingkai jendela, dia menelengkan kepalanya sejenak sembari menikmati tiupan angin dari luar jendela. "Uhm, dari mana, ya?" Mata birunya menjelajahi raut wajah Alan yang mulai bertambah kusut setelah mendengar selorohan itu. Dia tertawa singkat. "Sabar, dong. Begitu aja kusut."

Masih dilanda badmood, Alan tidak menggubris.

"Aku pindahan dari daerah sini, kok. Orang Indonesia asli juga. Tapi, aku numpang lahir di Kyoto karena waktu itu pas banget ayah-ibuku lagi cuti kerja selama tiga bulan. Terus, waktu kelas satu sampai kelas empat SD, aku mampir ke London buat ketemu kerabat Ayah dan sempat beberapa bulan di Schöebrunn cuma buat nonton konser dan kursus musik. Ayah rakyat Inggris asli sedangkan ibu asli orang sini," tutur gadis itu panjang lebar. "Jadi, menurutmu?"

"Kamu alien."

"Jahat."

Alan mendengus geli. Tangannya spontan bergerak mengelus tengkuk leher dengan canggung. "Anu ..., tentang yang di koridor tadi, maaf," ucapnya pelan.

"Eh?" Mata biru mengerjap. "Oh, yang waktu kamu tiba-tiba PMS itu, ya?"

Siapa yang PMS?

"Nggak apa-apa, kok. Kamu pasti lagi badmood parah, ya, sampai-sampai aku kena imbasnya?"

"Kamu nggak tersinggung?"

"Apa?"

"Waktu aku membanting buku yang kamu pegang tadi," ujar Alan menjelaskan. "Maaf, tanganmu pasti makin sakit."

Gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tidak ada masalah.

Alan menatap kertas di atas piano itu lamat-lamat. "Lagu tadi ... apa judulnya?" tanyanya.

"Sakura no Ame," jawab gadis loli itu cepat-cepat, "artinya 'Hujan Sakura'. Kalau aku nggak salah ingat, isi lagunya kayak semacam janji buat reuni gitu. Oh, iya, aku punya kertas lirik dan terjemahannya. Kalau mau, aku bisa kasih kamu sekarang."

"Janji buat reuni," gumam Alan. Isi kepalanya serasa melayang-layang ketika membayangkan bagaimana lirik terjemahannya.

Gadis itu menjauhi bingkai jendela, mulai sibuk mengubek-ubek isi tasnya, dan beberapa saat kemudian akhirnya mengeluarkan selembar kertas dari sana. Tangannya bergerak menyodorkan kertas itu kepada Alan.

"Nih, silakan."

Diterimanya sodoran kertas itu, matanya bergerak menelusuri setiap kalimat yang ada. Sedangkan gadis loli itu kembali memainkan pianonya dengan nada yang Alan anggap random namun berkelas. Setelah Alan terdiam beberapa detik terpaku pada isi kertas, dia mengangkat kepalanya. Menatap gadis kecil itu lamat-lamat.

Rasanya ringan.

Satu fakta bahwa si Loli Bermata Biru bukanlah tipe pemarah dan tidak mudah tersulut ego seperti Camelia membuat Alan merasa ringan.

Satu penyesalan kembali menguap dan akhirnya menghilang, lagi.

Kalau saja aku tidak membentaknya ....

"Maha Loli."

"Hm?" Gadis itu menghentikan permainannya. Tatapan matanya yang sebiru dan setenang laut terasa menembus kepala Alan. Kepalanya miring beberapa derajat ke kanan. "Alan? Kenapa?" tanyanya.

Alan menarik napas panjang. "Aku tahu ini terlambat, tapi ...."

Gadis loli bermata biru itu diam menunggu.

"... siapa namamu?"

... seharusnya kami bisa setenang ini.

[TO BE CONTINUED]

* * *

Another song for this story: "Sakura no Ame"!

Yang penasaran sama lagunya, silakan dicari di mbah gugel.

Enak, kok. :3

Satu hal yang pasti, ini merupakan lagu yang dijadiin film yang mana aku malah nyaris nangis nonton film Sakura no Ame (giliran nonton Isshukan Friend Live Action malah ga nangis.. :3)


Stay tune!

-MeChox-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro