I

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Reincarnation
-Note. 03 - Same Like Her Instinct-

Tidak setajam milik hewan, namun harus selalu tajam.
I untuk 'instinct', artinya insting.
Jika kukatakan hal ini dengan samar, mampukah instingmu menangkapnya?

~***~

Gadis loli itu terdiam sejenak, kemudian dia melebarkan seringainya. "Kasih tahu nggak, ya?"

"...."

Tawa gadis itu meledak. "Alan emosian banget! Baru dijahilin baik-baik udah meledak, gimana kalau dijahilin perempuan genit kayak di sekitar rumahku?" selorohnya. "Aku dapat kabar dari Rivale, katanya kamu keseringan melamun. Udah kayak anak perempuan habis diputusin pacarnya. Benar, benar?"

Alan terlonjak. "Kamu kenal Rivale?"

"Dia bakal jadi seatmate-ku di hari UTS tulis nanti. Kayaknya dia langsung hyper waktu tahu kalau dia bakal duduk sama si Pendek Seantero Sekolah," jawabnya. "Aneh, ya? Padahal namanya huruf 'R' tapi duduknya bakal sama aku."

"Ahmad."

"Hah?"

Alan mengedikkan kedua bahunya. "Nama depannya 'Ahmad'. Jarang dipakai buat absen karena guru-guru pun lebih suka nama tengahnya daripada nama depannya," tuturnya menjelaskan.

"... Bisa begitu, ya?"

"Aku juga heran awalnya."

Gadis itu manggut-manggut. "Jadi, kembali ke topik"--dia duduk bersila di lantai ruang musik--"kamu keseringan melamun karena apa? Apa jangan-jangan karena diputusin pacar juga? Atau kebanyakan praktikum yang harus di her?"

"Bahasamu kayak anak farmasi. Remedial, gitu. Orang mana paham kalau kamu bilangnya 'her'."

"Yah ..., aku kebanyakan baca komik farmasi. Makanya jadi begini. Tuh, kamu sendiri tahu kalau itu bahasanya anak farmasi. Tahu dari mana, coba?"

"Baca Webtoon."

"Nggak usah nyebut sponsor!" Gadis itu menyembur garang. Mata lidah apinya kembali menjadi biru laut. "Duduk dulu, dong. Kuat, ya, berdiri terus?"

"Capeklah. Ngaco." Alan membuang napas lelah, lantas mengambil posisi duduk bersila di samping gadis loli itu. Yang pasti, mereka menjaga jarak sedemikian rupa. "Kamu masih minta cerita?"

Mata itu mengerjap sejenak. "Kalau itu buat kepentingan kamu sendiri, kenapa nggak?" sahutnya santai. "Aku nggak bakal memotong, kok. Janji."

Alan menarik napas panjang, bersiap mendongeng.

"Sebut aja namanya Lia. Dia itu salah satu perempuan sejenis kamu yang dulu sempat muncul waktu aku duduk di kursi kelas 2 SD. Sama-sama pendek kayak kamu, tapi waktu itu nggak terlalu kelihatan karena berhubung kita masih sama-sama kecil. Sama-sama cerewet kayak kamu, tapi nggak seaktif mata biru kamu. Dia juga pindahan dari Jerman, nggak beda jauhlah sama kamu yang habitatnya pindah-pindah.

"Bedanya, Lia lebih pemarah dan aku lebih penyabar kalau ada di dekat dia. Kecuali kalau aku lagi mengamuk, nah, dia yang takut sama aku. Sedangkan kamu, Loli, kamu lebih penyabar dibanding Lia."

Gadis loli itu manggut-manggut.

"Walau aku dibilang 'penyabar', nyatanya kelakuanku ke Lia sama sekali bukan kelakuannya seorang penyabar. Aku suka ngejek dia, bentak-bentak, paling nggak suka kalau udah dengar dia ngomong panjang-lebar, dan juga terlalu kasar ke perempuan.

"Waktu pulang sekolah itu, aku lagi demam dan Lia tahu, sampai-sampai dia paksa aku buat istirahat dulu di UKS. Siapa yang mau? Tidur sendirian di sekolah yang sepi? Aku, sih, nggak banget. Jadi, ya, aku bantah perintahnya yang nyuruh-nyuruh orang seenak jidat.

"Terus, aku juga nggak sadar waktu itu kalau ...." Alan menggelengkan kepalanya dengan kalut. "Aku ... Lia ...." Seketika kesulitan berbicara di saat-saat klimaks dongengnya.

Mata biru itu menatap sendu laki-laki di sampingnya. Warna birunya seketika mirip dengan laut dilanda badai. Biru kelabu.

"Aku paham, aku paham."

Alan menolehkan kepalanya. Tertegun ketika melihat mata biru itu kembali berubah warna yang naasnya amat mendukung suasana mendung di dalam dadanya.

Gadis itu menarik ujung bibirnya ke atas, membentuk seulas senyum tipis yang jarang dia buat. "Kalau nggak bisa lanjut, nggak masalah. Aku bisa tangkap semuanya, kok," hiburnya pelan. Senyum lebarnya kembali muncul di tengah mata biru sendunya, sehingga rasanya ganjil untuk Alan lihat. "Jangan sampai kamu nangis cuma karena cerita masa lalu aja, sih."

Hening sejenak.

"Matamu ...."

"Hm?"

Alan mengerutkan keningnya. "Aku yang salah lihat atau gimana? Mata birumu itu bisa berubah-ubah sesuai mood-mu," katanya.

"Ha?" Gadis itu melongo. Mata biru cemerlangnya kembali. "Maksudmu?"

"Setiap sikapmu netral, warna matamu biru laut ...."

"Emang iya, kan?"

"... tapi setiap kamu girang atau hyper, rasanya warna biru laut itu berubah menjadi biru langit. Nggak biru langit banget, sih. Tapi, ada unsur lebih cerahnya gitu."

"Eh? Bohong! Mana bisa begitu!"

"Setiap kamu marah, warnanya jadi kayak lidah api. Dan tadi, buat yang pertama kalinya, warna matamu jadi mirip laut mati--atau laut diterjang badai?--kayak biru kelabu gitu. Aku yakin itu warna matamu kalau sedih," sambung Alan. "Kamu sendiri nggak tahu? Itu matamu sendiri, lho."

"Aku, kan, nggak pernah perhatiin mata setiap berubah-ubah mood."

"Lah, gimana, sih? Kan, bisa lihat pakai mata."

"Gimana caranya mata lihat mata sendiri?!"

Alan tertawa.

Setelah beberapa detik mengerucutkan bibir, akhirnya gadis itu mengerlingkan mata ke arah lain. "Uhm, buat membuktikan, kenapa nggak dicoba sekarang?" tanya si loli tiba-tiba. Matanya kembali berbinar-binar cemerlang.

"Coba apa?" Alan membeo. Dengan sedikit paksaan dia memutar otaknya. "Maksudmu, uji coba mata birumu itu?"

"Apa lagi?" Gadis itu menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Alan. Sebelum Alan semakin menjauh darinya, tangan putih itu menyambar ujung seragamnya. "Jangan jauh-jauh, dong! Gimana aku mau tahu mataku kayak apa warnanya kalau kamu jauh-jauh?" serunya setengah kesal. "Oh, iya. Kamu punya cermin?"

"Lah? Bukannya setiap perempuan pasti bawa cermin ke sekolah?" tanya Alan retoris.

"Emang, ya? Kok, aku nggak?"

"Baguslah," celetuk Alan dengan ringannya. Dengan cekatan dia mengambil cermin kecil yang tadinya dia bawa sebagai pengganti alat praktikum kalau-kalau ada bagian cermin yang rusak. "Jadi, mau uji coba kayak apa?"

Gadis itu bertopang dagu sejenak. Bergumam-gumam tiada henti hingga suara dengungannya mirip dengungan nyamuk. "Uhm, kalau mata biru laut kelabu, aku nggak mungkin bisa lihat lagi, karena aku sendiri lagi nggak niat sedih-sedihan. Kalau mata biru lidah api, gimana? Bisa, kan?" tanyanya.

Alan mengedikkan kedua bahunya. "Berarti harus bikin kamu marah, ya?"

"Lah, nggak tahu. Kan, kamu yang tahu."

"Pass." Alan membentuk tanda silang dengan kedua tangannya. Dia menyerah sebelum berperang. "Aku nggak tahu caranya bikin seorang loli marah-marah. Eh, kalau susah marah, bukannya itu berarti kamu belum puber, ya?"

"...?!"

"Wah, sampai kicep dibilang begitu," seloroh Alan dengan gelinya. "Jadi, kamu belum puber?" tanyanya sambil tertawa-tawa.

"A-apaan, sih?! Ganti topik, dong! Jangan yang bikin ngeri kayak gitu!" Gadis loli itu berseru kalap. Ketika Alan semakin terpingkal, ketakutannya semakin menjadi. "Alan! Aku serius!"

"Heee, nggak heran di umur segini kamu masih kayak bocah. Azure aja tinggi, yah, paling nggak tingginya sampai sebahuku. Lah, kamu? Sampai dadaku aja nggak."

Si loli mengerutkan kening dengan pipi menggembung menahan kekesalan. "Alan ...."

"Jadi, mau puber kapan? Kasihan, lho, nanti suamimu di masa depan dapat istri pendek," seloroh laki-laki itu tanpa pikir panjang lagi. Dia tersentak, lantas tangannya bergerak mengeluarkan ponsel. "Ah, iya. Lapor ke grup seangkatan, ah."

"ALAN!" Gadis itu meraung marah. Tangannya bergerak-gerak hendak mencapai kerah seragam Alan dan mencekiknya kuat-kuat. Namun dengan cepat Alan menahan gerakannya itu. "APAAN, SIH? NGOMONGIN PUBER SEGALA! YANG LAIN, DONG! DASAR NGGAK GENTLE!"

"Nah, lihat."

"APA?" seru si gadis loli dengan kekesalan tingkat akut.

Alan mengangkat cermin itu ke depan wajah si loli yang mengamuk. "Sebiru lidah api, kan?"

Masih kesal dengan perbuatan Alan yang semena-mena, gadis itu merebut cermin yang Alan keluarkan dari tasnya. Dua detik setelah mematung di depan cermin, barulah gadis itu tertegun melihat bayangan wajahnya.

"Setahuku, mataku nggak senyentrik ini," akunya pelan.

"Oke. Satu misi terselesaikan."

"Kalau aku girang? Mataku gimana?" tanya si loli penasaran. "Benar-benar kayak biru langit?"

Alan mengedikkan kedua bahunya. Nggak tahu.

"Coba, dong!"

"Hah?" Mata Alan mengerjap dengan cepat. "Caranya?"

"Gelitiki aku," jawab gadis bermata biru itu cepat-cepat, "tapi, aku nggak mau kasih tahu kelemahanku di mana. Kalau kamu tahu, bisa-bisa aku dihabisi suatu saat nanti. Eh, tapi, kalau aku sampai kegelian, berarti kamu tahu tanpa kukasih tahu, ya?"

Alan menghiraukan celotehan tidak berguna milik si loli. Tangannya langsung bergerak menusuk leher samping si gadis. "Tuh. Geli, nggak?"

"Nggak sama sekali!" Gadis itu menggelengkan kepala dengan bangga. "Asal kamu tahu, Alan, sebenarnya aku itu anti ge--WAAA! JANGAN PINGGANG!"

"...."

"... eh? Keceplosan."

"Berarti kelemahanmu di pinggang, Buodoh!" Alan melancarkan serangan tusukannya ke pinggang gadis loli itu tanpa ampun. Sebagaimana ibunya selalu menggelitikinya setiap dia sulit bangun di pagi hari. Mendengar suara jerit tawa itu meledak membuat Alan mau tak mau ikut tertawa geli mendengarnya.

Si gadis loli berguling ke samping. Dia berusaha menghindari serangan sebisanya. "Udah! Stop! Aku kegelian!" serunya sembari menjauh.

Alan kembali menyodorkan cerminnya, membiarkan si gadis kembali mematung ketika melihat pantulan wajahnya di atas permukaan cermin. "Gimana?"

Senyum lebar itu merekah terlalu lebar sampai-sampai Alan bisa melihat rona kemerahan menjalar di pipi gadis loli itu. "HEBAAAT! BETUL-BETUL BIRU LANGIT!"

"Maha Loli."

"Ya?"

Alan tersenyum-senyum sendiri melihat gadis itu masih bersemangat melihat pantulan wajahnya di cermin. "Sekarang ... kamu mau kasih tahu namamu, kan?"

"Biar kutebak"--gadis itu kembali berpindah tempat duduk, kini berhadapan dengan Alan--"nama asli Lia itu ... nama bunga, kan?"

Alan tertegun. "Kenapa kamu ta--"

"Rivale juga bilang kalau lamunanmu makin parah setiap lihat bunga dari kaca kantin," potong gadis itu tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Setelah meletakkan cermin kecil di atas lantai, dia berlagak berpikir. "Hm ..., bunga di kantin yang berakhiran 'Lia'"--jemari mungilnya mengetuk ujung dagu berkali-kali--"melati? Bukan. Flambo--makin jauh aja. Apa, ya? Aku nggak terlalu hafal bunga-bunga di sekolah ini ... oh, aku tahu!"

Tanpa sadar, laki-laki itu menahan napas.

"Bunga kaca piring?" Gadis itu memiringkan kepala. "Nama ilmiahnya ... camelia?"

Bingo.

Alan diam kaku di tempat. Entah kenapa kesulitan untuk menganggukkan kepala.

"Nah, nggak menjawab berarti 'iya'. Berarti aku benar!" Gadis itu berseru senang. Tanpa menunggu jawaban dari Alan, dia bangkit dari duduknya kemudian kembali mendekati jendela. "Lia dari kata Camelia. Wah, aku nggak pernah sadar tentang itu," gumamnya dengan nada senang.

"Kamu sendiri?"

Gadis itu berbalik. "Hm?"

Alan turut berdiri karenanya, kakinya sulit bergerak sehingga dia hanya diam di tempat. "Namamu sendiri?"

"Lea."

Mata Alan membulat sempurna. "Lea ...?" ulangnya. Haruskah nama kalian juga hampir sama? Pikirnya.

Senyum lebar itu kembali terpasang. Mata birunya berubah secemerlang langit biru di luar sana. Reaksi Alan tidak jauh dari ekspetasinya. "Kamu kaget?" tanyanya dengan nada geli. "Padahal namaku juga nama bunga, lho."

"Lea? Nama bunga?" Alan terpaksa membuat tawanya segeli mungkin. "Kamu serius namamu Lea? Itu bukan nama bunga."

"Sama kayak 'Lia', itu juga bukan nama bunga, tahu." Gadis itu menganggukkan kepalanya, mati-matian dia menahan tawa karena laki-laki di hadapannya mirip orang yang kesulitan menerima kenyataan. "Toh, 'Lea' itu juga kupenggal dari nama asli bunganya."

Entah karena alasan apa, Alan kesulitan mengendalikan pikirannya untuk tetap jernih. "Kalau begitu, kita kenalan ulang aja, deh." Alan melangkah mendekati gadis loli itu, tangannya terangkat hanya untuk sekedar jabat tangan. "Namaku Alan, Alan Andraltair. Salam kenal, Lea."

Gadis itu membalas jabat tangannya. "Namaku Lea, Azalea Nigawa. Salam kenal juga, Alan."

.

Pelajaran bahasa kali ini rasanya berkali lipat lebih mengerikan daripada biasanya. Padahal Alan tahu bahwa kelas IPS bisa lebih mengerikannya untuk anak IPA. Terbukti secara klinis lewat mata sayu milik si loli--ralat, mata biru kelam Azalea dua hari yang lalu akibat pernah mencoba untuk membaca buku sejarah di tengah-tengah buku penuh angka dan nama ilmiah.

Pintu kelas menjeblak terbuka. Menimbulkan bunyi bising tidak terkira yang mana pada akhirnya membuat semua aktivitas di dalam kelas langsung terhenti.

Namun Azure, si pelaku, tidak peduli dengan semua tatapan itu. Dia langsung melangkah cepat ke meja Alan, menghampiri laki-laki yang sedang sibuk sendiri dengan buku coret-coretan dan musik yang mengalir lewat earphone-nya. Lalu tanpa belas kasihan, Azure menarik kabel earphone itu hingga terlepas.

Akibat terkejut, Alan nyaris melempar pensil yang dipegangnya ke arah si pelaku.

"Oke. Al, aku bakal bersikap seakan-akan kita nggak pernah bertengkar sebelumnya. Karena ini keadaan gawat darurat," cerocos Azure, bahkan sebelum Alan memerhatikan.

"Gawat darurat?" Alan mengulang dua kata terakhirnya dengan nada kebingungan. Keningnya berkerut dalam. "Segawat apa sampai-sampai kamu bilang bakal bersikap begitu? Kukira kamu masih marah," tanyanya. "Mana Rivale? Masih marah?"

Azure menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Dia menggigit bibir bawahnya dengan gemas.

Kecurigaan Alan mulai muncul ke permukaan. "Dia kena masalah?"

"Dan itu ada hubungannya dengan praktek kelas musik nanti!"

.

Keramaian itu semakin meluas di satu titik. Membuat siapapun yang melewati keramaian itu langsung ikut meramaikan kerumunan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setiap ada murid yang menjauhi kerumunan, pastilah ada dari mereka yang berdecih kesal, bergumam-gumam tidak jelas, serta membisikkan semua kata-kata negatif lainnya. Tidak memikirkan kondisi si pusat keramaian--padahal belum tentu si pusat keramaian itu tidak mendengar semua cekcok di sekitarnya.

"Siapapun, cepat panggil guru!"

Rivale bersandar pada badan piano, mati-matian menahan semua umpatan yang nyaris keluar dari mulutnya. Sebagai gantinya, dia meringis keras-keras hanya untuk menulikan diri dari orang-orang di sekitarnya.

"Gawat, kalau begini, dia nggak bisa main pianonya, kan?"

"Yah, untungnya, sih, aku nggak sekelompok sama dia."

"Hush! Orangnya masih di sini, lho!"

"Kasihan banget, sih."

Rivale menundukkan kepalanya, diam-diam melirik gadis yang tengah meringkuk ketakutan di bawah piano--yang untungnya tidak ada yang sadar dengan keberadaannya. Sudah berkali-kali Rivale memberi kode tanpa suara untuk menyuruhnya tenang, tapi sepertinya gadis itu masih tidak bisa menerima ucapannya.

Sekali lagi, terdengar bantingan dari satu titik. Membuat kepala-kepala yang sedang berkerumun langsung menoleh ke asal suara.

"Siapa yang suruh kalian berkumpul di sini, hah? Nggak ada kelas musik hari ini!" Pak Yon segera membentak tanpa aba-aba. "Kembali ke kelas kalian, sekarang!"

Para murid melengos kecewa, lantas pergi dari TKP dengan tampang lemas, serta melas.

Di belakang Pak Yon, Alan dan Azure akhirnya muncul. Diam membatu di tempat ketika melihat pemandangan di hadapannya. Seolah mereka tengah menyaksikan sahabatnya tidak bisa menghitung penjumlahan satu tambah satu.

Azure melangkah mendekat, berjongkok menjaga jarak dari Rivale. Dia mulai mengutarakan semua isi kepalanya tanpa disaring lagi. Entah itu membuat kepala Rivale panas atau tidak, yang pasti semua pertanyaan dari mulut Azure meluncur begitu saja. Namun gadis itu kembali tutup mulut ketika Rivale mulai menunjukkan wajah enggan. Lantas kembali menghadap Pak Yon dan Alan yang masih memerhatikan mereka. Menuntut Alan lewat tatapan mata agar dia menyudahi agenda bertengkarnya dengan Rivale.

Alan mengelus tengkuk leher. Dia tahu bahwa tuntutan seorang gadis adalah hal yang paling mengerikan dibandingkan apapun. "Erm, kamu oke, Vale?"

Rivale melirik ke arah lain. "Yah, lihat aja sendiri."

Pak Yon mengangkat kedua alisnya. "Ada apa ini? Kalian berantem?" tanya beliau langsung pada inti. "Lho, masih ada, toh, anak jagoan berantem kayak anak perempuan." Pak Yon manggut-manggut kepala.

"Uhm, sebenernya nggak gitu, sih, Pak," sahut Azure. "Cuma kesalahpahaman aja."

"Ya udah. Bawa dulu teman kamu ini ke UKS. Tanganmu cedera, kan? Pulang sekolah nanti temui Bapak di ruang guru, ya?" Pak Yon menatap mereka satu per satu. "Ahmad, denger saya, nggak? Nanti kamu temui Bapak, ya?"

Tertohok dengan panggilan nama depan, Rivale mengangguk lemas. "Iya, Pak."

Pak Yon keluar ruangan. Meninggalkan ketiga remaja itu di dalam sana.

Hening.

"Sori," ucap Rivale tiba-tiba, "ngungkit-ngungkit tentang Camelia lagi."

Alan terbungkam. Kemudian dia mendengus, berjongkok di depan sohibnya lalu mengangkat tinjunya. Menunjukkan gestur yang bersahabat. "Kalem, sih. Sori juga udah mencak-mencak kayak cewek dateng bulan," balasnya.

Rivale membalas tinju itu. "Harus kuakui, mencak-mencaknya kamu tuh mirip meledaknya Azure waktu pertama kali PMS."

Telinga Azure menegak naik. "Apa?"

Kedua laki-laki itu membuang wajah dengan seringai nakal. "Nggak apa-apa."

Alan menilik telapak tangan kiri Rivale yang terkulai lemas di atas pangkuan. "Kenapa, tuh? Kejepit?"

"Nnnggh ...," Rivale melirik ke arah piano selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab pelan, "tadi nggak sengaja penyangganya lepas, dan ... ya, kebanting sekaligus kejepit."

Baik itu Alan maupun Azure sama-sama menghela napas kecewa, prihatin.

"Berarti nggak bisa main piano, dong?"

"Yeah, kayaknya, sih, gitu." Rivale tersenyum kecut.

"Uhh ...."

Rivale tersentak, menyadari sesuatu lewat suara lirih itu. "Oh, iya," Rivale membalikkan setengah tubuhnya ke arah bagian piano yang dia punggungi, "kamu udah boleh keluar, kok. Cuma ada Alan dan Azure di sini."

Alan mengerjapkan matanya. Begitu menoleh ke ara Azure, yang dia dapat hanyalah angkatan kedua bahu dari gadis itu.

Tak lama, seorang gadis keluar dari kolong piano. Kepalanya terus-terusan menunduk tanpa ada keinginan untuk melihat tiga remaja di depannya saat ini. Ketika dia berdiri sambil memilin-milin ujung tali pita seragamnya, yang bisa diekspresikan oleh Alan dan Azure hanyalah kebingungan sesaat.

"... Lea?" panggil Alan ragu.

Gadis itu terlonjak, spontan mengangkat kepalanya dan memerlihatkan ekspresi terkejut dan panik yang tercampur menjadi satu. Ada satu hal yang jelas terlihat berbeda darinya.

Matanya.

Alan mengerjap. "Lea--"

"Ma-maaf!" Kemudian gadis itu berlari keluar ruang musik begitu saja.

Ketiga remaja itu terdiam. Menatap heran ke arah gadis kecil yang telah melesat keluar dari ambang pintu ruang musik. Beberapa detik kemudian, akhirnya mereka melepas kontak mata pada daun pintu.

"Apa cuma aku ... atau kalian juga merasa kalau gadis itu kelihatan aneh dan ketakutan?" Azure mengutarakan pendapatnya.

Rivale mengedikkan kedua bahu. Sesekali meringis mengusir rasa sakit di tangannya. "Kayaknya cuma kamu. Soalnya, kamu doang yang belum pernah face to face sama dia sebelumnya, kan?" Lalu dengan mudahnya dia beralih ke Alan. "Mungkin teman kita yang satu ini yang juga merasa aneh sama sikapnya--siapa tadi? Lea?"

"Rivale," panggil Alan lirih. "Sejak kapan matanya berubah?"

"Maksudmu? Matanya berubah?" Yang ditanya berwajah bingung. "Tolong, ya, matanya si Loli itu emang cokelat dari sananya. Emang sejak kapan matanya bisa berubah warna? Masa' iya pakai lensa kontak? Jadi warna biru, gitu?"

Alan tercekat. Selama ini ...?

.

"Tolong, jangan!" Gadis itu meringkuk di sudut ruangan. Air matanya berjatuhan seiring ketakutannya semakin menjadi. "Tolong, jangan lagi! Aku takut!"

Gadis putih di hadapannya hanya menatapnya dengan tatapan kosong.

"Mau sampai kapan, hah? Mau sampai kapan lagi?" Tangisnya meledak. "Aku nggak mau menyakiti mereka lagi! Mereka sama sekali nggak bersalah! Nggak ada yang harus kamu rebut lagi dari mereka!"

"Ada."

Gadis yang menangis itu terlonjak. "Apa maksudmu? Kamu mau aku buat mereka celaka lagi kayak Rivale tadi?" tanyanya serak. Kepalanya tergeleng berkali-kali. "Nggak! Pokoknya nggak! Jangan sakiti mereka lagi! Memangnya apa yang mau kamu rebut, hah?"

"Teman."

Tercekat. "Teman? Tapi ... kenapa?"

Gadis putih itu masih setia menunjukkan ekspresi datar dan mata kosongnya. "Karena dia membuatku kehilangan segalanya," katanya lirih.

"S-siapa ...?"

"... Alan Andraltair."

* * *

Kalian tahu? Ini adalah salah satu efek kelamaan nggak update, yakni ....

... PLOT TWIST!!!

AKU GA TAU INI KENAPA JADI MISTERI DAN JUGA GA TAU ENTAR BAKAL JADI KAYAK GIMANA LAGI.

TAPI INI PERTAMA KALINYA AKU MELAKUKAN SEBUAH PLOT TWIST! #BAHAGIA

Okok.


Stay tune!

- MeChox -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro