Bab 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku memandang bulan yang tampak terang walau hanya setengah. Aku menyelimuti diriku dengan selendang tipis berwarna putih. Rambut yang kugerai tertipu angin malam. Angin ini tidak terasa dingin, malah ini sangat menyegarkan. Laya melarangku keluar dari kamar malam hari. Dia juga berkata agar lebih baik bercerita padaku daripada berbicara sendiri di malam hari seperti orang lain. Dia juga berkata jujur selalu melihatku keluar malam dan pagi sejak awal datang ke istana. Dia itu benar-benar menyebalkan.

Malam ini aku merasa bosan, ada sesuatu yang terasa kosong. Arin yang selama ini kuharapkan sudah ada di dekatku. Tapi dia agak berbeda dari Arin yang dulu. Aku tidak bisa menyalahkannya, karena aku juga sangat berbeda. Aku dulu hanya gadis pendiam dan penyendiri, sekarang jadi seperti ini.

"Tidak ada salahnya aku keluar sekarang," gumamku yang langsung turun ke bawah.

Mataku melihat kunang-kunang yang tiba-tiba mengerumuniku. Dan  saat aku melihat ke bawah, seseorang sudah menangkapku sebelum kakiku menginjak tanah. Aku terbengong ketika melihat anting di salah satu telinga orang itu. Lagi-lagi aku jatuh menimpa Eren, kali ini juga dia berhasil menangkapku tanpa terjatuh.

"Kau memang suka menyelinap di malam hari ya," gumamnya. Dia masih menggendongku dengan satu tangannya seperti bayi.

"Tu, turunkan aku!" Gertakku.

"Enak saja, aku susah payah menangkap seorang peri untuk hiasan kamarku," jawabnya dengan nada datar.

Kata-kata terdengar ambigu. Fikiranku langsung traveling kemana-mana. Menjadikan aku hiasan kamarnya, seperti hmmm… Sudahlah aku tidak mau membahasnya. Wajahku langsung terasa panas.

"Apa Eren tidak keberatan?"

"Hmm, kau seringan bulu."

Aku baru sadar dia berjalan sambil menggendongku. Tau-tau aku sudah keluar dari istanaku. Tunggu, dia mau membawaku ke mana? Jangan bilang benar dia akan membawaku ke kamarnya. Ayolah Milica jaga fikiranmu, tetap positif. Daripada itu, padahal tubuhnya terlihat kecil. Walaupun dibandingkan aku, tentu berkali-kali lebih besar dia. Kalau dibandingkan dengan Luv, tubuh Luv lebih besar daripada Eren. Kenapa aku membandingkan tubuh pria.

"Jangan berfikir aneh-aneh sambil meraba-raba bahuku," ujar Eren.

Eh sejak kapan aku meraba-raba bahunya. Aku kenapa sih dari tadi, kenapa jadi salah tingkah seperti ini. "Aku hanya takut jatuh," gumamku.

"Aku tudak akan menjatuhkan tunanganku yang cantik ini," dia menatapku dengan tersenyum. Jantungku terasa berdenyut, sialan.

"Kita mau ke mana?"

"Padahal dari tadi, tapi kau baru bertanya sekarang."

"Memangnya tidak boleh, awas saja jika Eren macam-macam," sinisku.

Dia terkekeh, "Jangan khawatir, aku tidak akan mengigitmu. Kecuali aku bersedia."

"Haaa… Jangan berharap!"

Kami sudah berjalan jauh dari area istana. Semakin lama aku lebih banyak melihat pepohonan daripada bangunan. Ini masij wilayah istana, aku mengetahuinya dari susunan jalan berbatu ukir. Aku baru tahu ada tempat di istana serimbun ini. Hanya ada beberapa lampu di jalan. Tapi di sini tidak gelap sama sekali. Bulan di sini benar-benar bersinar terang. 

Dari kejauhan aku melihat reruntuhan bangunan dari batu. Apa itu istana yang sudah hancur? Tapi dibandingkan istana lain, bangunan itu terlihat lebih kecil. Pilar-pilar hancur berjatuhan, bersama sisa-sisa tembok. Tempat ini tampak bersih, hanya ada bongkahan besar, mungkin sengaja di biarkan, atau bagian lain sudah terurai. 

Eren menurutkanku ketika kami sampai ditengah reruntuhan itu. Di tengah-tengah terdapat anak tanggal yang masih ada walaupun hanya beberapa. Eren naik ke atas, hingga anak tangga terakhir, dan duduk di sana. Aku juga mengikutinya dan duduk di sana. Kalau dilihat, ini sama dengan tangga utama istana-istana lain di sini. Aku bisa menayangkan seklias bagaimana bentuk istana ini sebelum hancur.

"Tempat ini sudah lama hancur," gumamku.

"Tidak terlalu lama juga. Tempat ini hancur ketika aku berusia 11 tahun."

"Itu berarti setahun sebelum Eren jadi Raja kan?" Karena Eren menjadi Raja diusia 12 tahun. Aku juga tidak tahu kenapa anak usia 12 tahun langsung menjadi Raja dan membantai keluarga sendiri. 

"Kau tidak penasaran tentang itu?"

"Aku tidak pernah ingin tahu hal yang tidak orang beritahu padaku. Begitupun sebaliknya."

"Padahal orang-orang penasaran kenapa anak kecil tega membunuh semua keluarganya. Menurutmu kenapa?" Dia bertanya yang harusnya aku yang menanyakannya. Dia menatapku, menunggu memberi jawaban.

Aku mengingat sekilas isi Novel, kalau tidak salah ada alasan kenapa Milica itu tidak membenci masa lalu Eren. "Karena kau tidak punya pilihan. Lagipula itu bukan salahmu, karena yang kau lakukan adalah bertahan hidup," jawabku. 

Dia tertawa kecil, membuatku merasa kesal. Ketika aku merenguk sambil menatapnya, dia menghentakkan tawanya. Dia tersenyum lembut padaku. Dan mengelus rambutku. Lagi-lagi jantuku berdenyut, dan hawa disekitarku terasa panas.

"Kau masih sama seperti dulu ya," bisiknya pelan.

Apa yang ia maksud, perasaan aku belum pernah bertemu dengannya sebelum ke kerjaan Matahari. Sudahlah ingatanku memang buruk. Apa mungkin sebelum aku menjadi putri Raja Kerajaan Hujan. Aku menyengir ketika sebuah ide lewat di otakku. Aku mendekat ke Eren, lalu menyandarkan kepalaku ke bahunya. Aku terkekeh kecil, salahnya dia terus membuatku baper.

Benar saja, semakin lama aku merasa dia semakin tegang. Aku juga bisa mendengar suara jantungnya. Sekarang kau tahu kan bagaimana posisiku tadi. Tapi entah mengapa, aku merasa nyaman bersandar padanya. Suara detak jantung, dan udara malam yang menyegarkan membuatku mengantuk. Tidak ada salahnya aku menutup mata sebentar. Lagipula kapan lagi aku bisa menjadikan Raja sebagai sandaranku seperti ini. Yang terpenting aku tidak boleh tidur.

#

Reruntuhan Istana itu dulunya adalah tempat paling nyaman untuk Eren kecil. Di sana ia dibesarkan bersama ibunya. Tempatnya jauh dan lebih kecil dari istana lainnya. Namun banyak kenangan indah di sini, setidaknya sebelum tempat ini hancur. Mengubur semua kenangan indahnya, juga ibunya.

Eren menatap seorang wanita yang entah sejak kapan lelap tertidur di bahunya. Raut wajahnya seperti malaikat yang tidak punya beban hidup. Bisa-bisanya dia tidur di tempat seperti ini. Eren tersenyum, dan diam-diam mengangkatnya. Tidur Milica terlalu pulas, dia bahkan tidak juga bangun saat Eren menggendon tubuh mungilnya.

Kewaspadaan Eren aktif ketika ia mendengar suara langkah mendekat. Seorang wanita dengan rambut perak dan mata merah mendekatinya. Setengah wajahnya tertutup dengan cadar, sehingga Eren tidak tahu pasti bagaimana ekpersinya.

"Salam yang mulia," tunduknya.

Eren menatapnya dengan datar. "Kau benar, putri Milica keluar lagi malam ini."

"Nona sangat mudah ditebak. Tapi dia tidak terlalu peka."

Semua berawal saat Laya baru pertama kali ke istana. Ia melihat Laya diam-diam keluar kamar. Jadi dia mengikutinya. Yang ia lihat cukup menggelikan, Milica berbicara sendiri di tengah gelap seperti orang gila. Saat Laya ingin mengurnya, Eren datang menghalanginya. Dan dari sana Laya tahu bahwa Eren diam-diam mendengarkan Milica berbicara sendiri. Tidak perlu banyak penjelasan untuk mengetahui bahwa Eren tahu semuanya yang direncanakan, difikirkan, dan yang di alami Milica selama di istana. Saat itu Laya ingin tertawa keras, tapi ia tahan karena Laya memiliki tujuan datang ke sini. Hari itu Laya menyerahkan diri sebagai orang Raja, dan akan mengawasi Milica untuk Eren, juga menyimpan rahasia kecil diantara mereka saat itu.

"Ngomong-ngomong apa kau tahu bunga yang disukai Putri Milica?" 

Laya mendengung cukup lama sebelum menjawabnya. "Nona suka bunga edelweis." Laya ingat Milica yang dulu suka sekali mengoleksi bunga edelweis kering di kamarnya.

Eren tersenyum kecil sambil menatap Milica yang tertidur pulas. Eren membawa Milica kembali ke kamarnya. Laya tidak mengikutinya dan tetap berada di reruntuhan itu. Dia tersenyum lega melihat kedekatan mereka berdua. Laya benar-benar senang, dan berharap tidak ada hal menyedihkan di anatar mereka.

"Satu benang merah sudah terulur rapi, sekarang tinggal sisanya," bisiknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro