Bab 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Kenpa tiba-tiba Giana keluar dan pelayan-pelayan sialan itu juga," keluhku.

Sejak pulang dari pesta, aku tidak bisa tidur nyenyak selama 2 hari. Aku terus teringat Eren malam itu yang jelas salah minum obat. Bahkan aku meninggalkan Lilia  sendiri di pesta. Baru saja semalam aku bisa tidur sedikit nyenyak, tapi pagi ini masalah baru datang. Bukan masalah sih, karena semua mata-mata Zeron keluar dari Istanaku dengan alasan yang bermacam. Mereka keluar dalam satu malam, siapa yang tidak curiga coba. Dan tumben hewan satu ini, Laya mendadak jinak. Dia tidak banyak bertanya, dan setelah sekian lama mau berlagak seperti pelayanku.

"Ahh, apa ada yang lebih buruk lagi pagi ini," keluhku.

"Nona, yang Mulia Raja datang!" Ujar Norin yang berlari terburu-buru masuk ke kamarku.

Apakah ini yang dikatakan perkataan adalah doa? Aku melirik Laya dan Lilia yang berdiri sejajar. Mereka memasang ekpresi terkejut yang sama. Wajar saja dia datang, siapa yang tidak aneh pelayan dan dayang mengundurkan diri dalam selamalam. Tapi kenapa Eren sampai datang ke sini tanpa pemberitahuan.

"Mungkin yang Mulia khawatir pada Nona," ujar Niran dengan senyum malaikat. Andai Laya yang mengatakannya, aku pasti sudah melemparnya keluar jendela.

"Nona, anda harus ganti baju dulu!" Lilia mendekatiku.

Aku baru sadar masih menggunakan piyama. Lilia dan Laya buru-buru ke ruangan pakaian, di mana satu ruangan berisi gaun, sepatu, dan aksesorisku. Sangking banyaknya, sampai sekarang aku belum memakai semua barang di sana. Dan terus bertambah setiap minggunya.

Norin dan Niran keluar dari kamarku. Mereka sudah terbiasa berada disekitarku. Jadi tanpa di suruh, keduanya sudah paham posisi mereka. Pintu tertutup, dan tirai jendela tipis di turunkan. Aku menghela nafas, menggenakan satu gaun sangat memakan waktu lama. Aku membuka piayamaku lebih dulu, dan menggerai rambutku. Menunggu mereka memilih gaun akan sangat membuang waktu.

Kleeek ...

Mataku terbelangak ketika pintu kamarku terbuka. Nafas dan jantungku sekaan berhenti ketika melihat seorang pria masuk ke kamarku. Awalnya dia tampak biasa, tapi matanya melotot lebar saat melihat ke arahku. Aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Dia menatapku yang saat ini hanya memakai korset.

"Ah, maa..."

"Kyaaaaa! Keluaar sekarang!" Aku berteriak keras dan melempar gaun piyamaku ke arahnya.

Dia langsung berlari keluar kamar, sedangkan Laya dan Lilia keluar dari ruang pakaian membawa gaun yang akan kugunakan. Mereka menatapku bingung. Aku meringkup dengan menutupi wajahku yang sedang merah. Kejadian beberapa detik yang lalu tidak bisa hilang. Eren masuk ke kamarku dan melihatku yang hanya memakai Korset.

#

"Kukira apa, ternyata cuma itu," cibir Laya. Akhirnya dia kembali kurang aja seperti biasa.

Aku merengut padanya, mudag baginya bicara. Karena dia sudah biasa hanya memkaia BH dan menari di depan orang banyak. Aku ingin sekali mencacinya, tapi aku tidak bisa banyak bergerak ketika wajahku sedang dirias. Aku bersyukur tubuhku setidaknya bagus untuk dilihat.

"Tidak apa-apa Nona, yang Mulia kan tunangan anda," Lilia secara terang-terangan membela Laya.

Aku mengehela nafas dan berdiri ketika Lilia meletakkan alat makeup di meja. Perasaan gugup macam apa ini, padahal aku sudah sering bertemu Eren, tapi kenapa hari ini rasanya berbeda. Aku merasa ingin melompat dari jendela.

"Kalau begitu kami permisi tuan putri," ujar Laya dengan formal sebelum dia pergi keluar sambil menarik Lilia.

"Tunggu, jangan tinggalkan aku sendiri!"

Pintu terbuka, dan aku melihat Eren yang memalingkan wajahnya padaku. Pipinya memerah, dan malu-malu menatapku. Sekilas memang menggemaskan, sampai aku teringat kejadian sebelumnya.

Kami duduk berhadapan, tapi terasa canggung. Dia juga belum berkata apa-apa sejak masuk ke sini. Aku hanya menundukkan kepala karena rasa malu yang masih terasa. Hanya kami berdua yang ada di kamar ini. Aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri.

"Milica."

"Iya!" Jawabku spontan. Aku menatap, ini pertama kali dia memanggil namaku.

"Kau baik-baik saja?"

"Eh, iya!" Percakapan macam apa ini, canggung sekali.

Dia mendengus dan memutar kedua bola matanya. Eren berdiri, lalu melengkah menuju ke arahku. Padahal suasana di antara kami sedang tidak enak, tapi dia malah duduk di sampingku. Wajahnya juga masih malu-malu sambil sesekali melirik. Apa benar dia Eren yang berdarah dingin dan tanpa fikir panjang membunuh seseorang?

Dia menatapku dengan senyum yang dibuat-buat. "Karena sudah terlanjur, jadi, tidak apa jika seperti ini."

"Eh maksud Eren?"

Wajahnya semakin memerah, jika yang tidak tahu situasinya, pasti mereka mengira Eren sedang demam. Begitupun aku, wajahku benar-benar panas. Tidak, seluruh tubuhku, seluruh kamar ini tiba-tiba menjadi panas.

Eren menghela nafas panjang. Ia lalu menempelkan keningnya ke pundakku. Aku tidak bisa menghindarnya. Tangannya memegang tanganku, memasukkan jarinya ke celah jariku.

"Maaf soal tadi, aku tidak akan masuk seenaknya ke kamarmu," bisiknya pelan.

Aku terdiam cukup lama, memikirkan perkataan apa yang pas untuk menjawabnya. "Hmm, anda ada perlu apa ke sini?"

Dia mengangkat kepalanya, dan menatapku. "Kudengar banyak pelayan di istanamu yang keluar. Apa semua baik-baik saja?"

Aku mengangguk. "Aku juga tidak tahu, mereka keluar dengan beragam alasan."

Matanya menunjukkan suatu kecurigaan. Tapi dia berusaha menyembunyikannya dariku. "Kalau begitu apa kau pergi pelayan baru?"

Jelas aku perlu. Yang tersisa di sini hanya pelayan-pelayan yang sudah tua. Mereka memang cakap, tapi karena usia, aku kasihan mereka mendapatkan banyak pekerjaan. Norin dan Niran masih kecil, aku tidak tega membuat mereka bekerja. Lilia sudah terlalu sibuk mengurusku dan kadang mengajar Niran dan Norin. Laya, aku tidak mau berkomentar tentang dia. Jika ada pelayan baru, itu sama saja dengan memasukkan mata-mata baru ke istana ini. Masih ada beberapa mata-mata dari pelayan yang tersisa, jika di tambah, nyawaku benar-benar akan terancam. Kalau begitu...

"Hmmm, bisakah aku memilih pelayanku sendiri?" Hanya ini yang bisa kulakukan. Aku akan mencari orang-orangku sendiri.

Yang kumaksud adalah ingin memilih anak-anak seperti Norin dan Niran. Anak-anak yang dijual orang tua mereka karena utang. Tidak semua anak sekecil Niran dan Norin, beberapa malah ada yang seusiaku. Aku akan memilih sendiri daripada mereka sembarang membawa mata-mata masuk ke sini lagi. Tentu saja akan kuperlakukan mereka dengan baik, tidak seperti yang akan mereka dapatkan jika di pilih ke bangsawan lain.

Eren menatapku dengan tajam, lalu kembali menyandarkan kepalanya ke pundakku. "Baiklah."

Yang kumaksud

Hmmm, kapan-kapan aku ingin mencari info tentang Eren. Apa dia tidak salah minum obat. Karena sekarang dia bertingkah seperti puppy yang memohon kasih sayang. Aku mengelus rambutnya. Rambutnya lebih halus daripada yang kubayangkan, berwarna hitam pekat dan bersinar. Andai dia bukan seorang Raja, apakah hubungan kami bisa lebih dekat sejak awal?

Berbicara soal hubungan, dulu aku sebagai Miaa tidak pernah memiliki pacar sekalipun. Ada beberapa yang berusaha mendekatiku, namun aku tidak percaya hubungan yang hanya berdasarkan cinta semu. Sebaliknya, Laya yang saat itu Arin memiliki seorang pacar. Hubungan mereka dimulai sejak kami masih SMP. Awlanya mereka hanya sebatas teman dekat, namun seiring waktu mereka menjadi sepasang kekasih yang sangat serasi. Aku sempat iri melihat hubungan mereka, dan bertanya apa aku bisa merasakannya juga? Tapi seperti yang kutahu, Arin sudah tiada. Pada akhirnya hubungan mereka berakhir dengan tragis seperti itu.

Ngomong-ngomong aneh, aku tidak ingat bagaimana kecelakaan itu terjadi. Aku hanya tahu sebuah mobil menabrak kami. Tapi tidak ingat bagaimana, dan seperti apa, atau bahkan sebelum itu kami berdua sedang apa. Dan yang lebih anehnya, aku tidak ingat saat itu aku berumur berapa. Kenapa semua itu terasa ganjil, apalagi aku masuk ke dunia ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro