Bab 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku sebagai Miaa bisa dibilang bukan kehidupan yang menyenangkan. Orang tua ku meninggal saat kecil karena kecelakaan. Setelah itu, aku dan adikku tinggal di rumah saudara. Di sana kami ada, tapi seperti tidak ada. Kami hanya menempatkan satu kamar untuk berdua. Dan terkadang menahan lapar karena pulang telat.

"Miaa lalu apa yang kau inginkan?" Tanya gadis berambut pendek itu, Arin.

"Hmmm, setelah lulus aku ingin membuat rumah singgah untuk anak-anak. Sepertinya menyenangkan membuat anak-anak malang bisa merasa bahagia," jawabku.

Arin tersenyum lebar. "Kalau begitu aku juga akan bersamamu. Kamu nanti yang asuh mereka, aku yang cari dana sumbangan."

"Semoga tidak kamu gelapin semua dana itu."

"Iiih mana mungkin. Setelah lulus aku akan menikah dan hidup bahagia dengan dia," setiap berbicara seperti itu wajah Arin tampak sangat bersinar.

"Ciee udah ada plan. Aku tidak sabar."

"Tentu saja, ahahaha!"

Saat itu seakan masa depan cerah sedang menanti kami. Tapi semua tetap saja berakhir dengan cepat. Suara klakson dan pandangan samar-samar cairan kental berwarna merah. Wajah Arin yang pucat dan matanya yang tertutup, seperti sedang tertidur nyenyak namun bersimbah darah. Mimpi Miaa dan Arin pada akhirnya tidak pernah terwujudkan. Namun sekarang, Milica dan Laya mendapatkannya.

#

"Kau sedang apa?" Tanya Eren yang menatapku. Tanpa sadar aku terhanyut dalam fikiranku dan terdiam di tempat yang sama.

Aku menatap Eren, dia memakai jubah yang menutupi rambutnya, begitupun aku. Mana mungkin Raja bisa berjalan santai di kota yang ramai tanpa sorot mata melihat. Walaupun aku tidak terlalu dikenal penduduk kota, tapi Eren bilang waspada lebih baik.

"Maaf saya hanya memikirkan apa yang harus dibeli." Eren menatapku dengan tidak suka, apa perkataanku salah?

Dia mendekatiku, dan menjitak keningku. Aku merintih kesakitan dengan sedikit emosi. "Jangan pakai bahasa formal sekarang, ini bukan istana."

"Tapi kenapa kau harus menjitakku!" Bentakku.

Dia terkekeh, "Kau sangat menggemaskan."

Wajahku kembali memanas, pasti nampak merah saat kulihat di cermin. "Menggemaskan dalam arti baik kan?" Aku memajukan mulutku.

"Kau seperti minta dicium saja." Dia mendekatkan wajahnya padaku.

"Apa kau sadar, wajahmu tidak baik untuk kesehatan jantungku," ceplosku. Tolong, aku lemah dengan ketampanan seseorang.

Dia malah tersenyum dan semakin menggodaku dengan semakin mendekatkan wajaunya. "Bukankah aku tampan?"

Ternyata dia bisa berfikir narsis juga, aku memalingkan wajahku. "Jangan terlalu percaya diri."

Aku mendengar suara tawa dari arah Eren. Dia benar-benar menikmati menggodaku. Itu sangat mengesalkan. Eren menggandeng tanganku tanpa mendapatkan izin dariku, lalu menarikku.

"Kau semakin lama suka bertindak seenaknya," sinisku.

"Tentu saja, aku Raja kerajaan ini. Lagipula kau sudah beberapa kali menjatuhiku."

Sekilas memori tidak mengenakan lewat. Aku langsung bungkam sesaat. Membela diri sama saja membuat dia membongkar aibku. Mana ada putri yang suka naik ke atap istana dan menjatuhi Raja berkali-kali. Walaupun sekarang aku tunanganya. Untung dia tidak mengusirku, dan tidak membunuhku seperti yang lain. Ngomong-ngomong, tangannya hangat. Kalau diingat, cuma tangan Eren dan adikku dulu laki-laki yang pernah memegang tanganku.

Aku melihat sekitar, ramai walau tidak seramai tempatku tinggal dulu. Pasar yang di kanan kiri terdapat beragam toko, tenda, dan gerobak. Walau aku sudah lama di sini, tapi aku belum pernah keluar langsung ke kota. Melihat keramaian di sini membuatku merasa ingin berbaur dan hidup seperti mereka. Namun aku sadar, beberapa saat yang lalu aku baru saja mengatakan akan menjadi Ratu tempat ini.

"Ngomong-ngomong apa yang akan kau beli?" Tanya Eren.

"Rencana aku ingin membeli barang-barang untuk Niran dan Norin di akademi. Tapi karena aku mau mengurus anak-anak tadi, aku ingin membelikan mereka baju, buku, dan beberapa mainan."

"Mereka ada banyak, kau bisa memborong satu toko untuk mereka."

Aku menyengir dan merangkul tangannya. "Memang aku berniat menghabiskan uang seperti air mengalir."

Sekilas aku melihat wajah Eren memerah ketika tangannya ku rangkul. Dia buru-buru memalingkan wajah. Ternyata Raja juga memiliki sisi imut. Aku tertawa kecil melihatnya.

"Kalau begitu aku harus menaikkan anggaran untukmu," ujarnya.

"Dengan senang hati kuterima."

"Kau lebih suka membeli untuk seseorang daripada untukmu sendiri ya."

Aku tersenyum, dari dulu aku memang suka memberikan sesuatu pada orang lain. "Tentu saja, mendengar mereka berterima kasih sambil tersenyum itu sangat menyenangkan."

Eren tersenyum. "Ngomong-ngomong kau harus memikirkan tempat untuk anak-anak itu," Eren mengganti topik pembicaraan.

Padahal belum sejam kami keluar dari tempat tadi, tapi dia sudah membahas hal ini. Segitu tidak suka ya istana jadi ramai. Aku melihat bangunan sekililing. Arsitektur bangunan di sini cantik, seperti rumah di Eropa. Tapi satu rumah dengan rumah yang lain berdekatan. Depan rumah langsung mengarah ke jalanan, dan hanya ada taman kecil di beberapa rumah. Bukan tempat yang tepat untuk membangun rumah singgah.

"Aku ingin mereka tinggal di tempat dengan taman yang luas. Mungkin sebuah rumah di atas bukit yang ditutupi Padang rumput luas. Sepertinya menyengakan melihat mereka berlarian di sana." Aku bisa membayangkan bagaimana senyum mereka nanti.

"Di sekitar istana tidak ada bukit kosong. Tapi jika keluar kota ada perbukitan di sekitar desa kecil."

"Sepertinya itu cocok, aku ingin melihat tempatnya," ujarku riang.

Eren mendengus kencang. "Akan kusuruh Luv untuk melihatnya."

"Ehhh kenapa Luv yang ke sana?" Gerutu ku.

Dia kembali menjitak keningku. Aku langsung melepas rangkulanku.

"Sekarang ada hal yang lebih penting, bukankah kita sedang berkencan," ujarnya dengan tatapan malu-malu. "Lagipula Luv akan memastikan tempat itu aman untukmu ke sana."

Kalau seperti ini dia sangat lucu. Dia sedang mengkhawatirkanku ternyata. Dia benar-benar berbeda dari Eren yang ku tahu dari novel. Aku tersenyum dan kembali menggenggam tangannya.

"Baiklah, pertama ke butik!" Aku berlari kecil sambil menariknya.

Entah mengapa aku ingin bertingkah egois. Aku ingin melupakan fakta bahwa aku adalah seorang putri dan dia adalah Raja. Putri yang dari kecil hanya melihat dunia luar dari jendela dan tidak bisa merasa bebas. Atau Raja berdarah dingin yang membunuh keluarganya saat usia 13 tahun. Putri Milica yang berkahir tragis demi menyelamatkan Raja, aku ingin melupakan semua hal itu.

Kali ini aku ingin menganggap kami hanya rakyat biasa di sebuah kota besar. Bergandengan tangan dan berlarian di tengah keramaian kota. Selayaknya pasangan biasa para umumnya yang sedang kasmaran. Menganggap dunia milik berdua, dan saling memaparkan senyum. Tangan bergandengan dan suata tawa berpadu. Kadang bertindak mengesalkan dan membuat salah seorang kesal. Aku ingin merasakan hal itu, dan melupakan hal lain. Jadi tidak masalah bukan jika hari ini aku bertingkah egois? Dan tak masalahkan aku menahannya sampai matahari terbenam nanti?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro