VIII: All Eyes on Us (pt.2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Day 8
Buat cerita yang mengandung tiga kata ini: Gantungan Kunci, Mimpi Buruk, Pulau.

Telat dalam latihan berjamaah, dipelototi ratusan pasang mata, dan dimarahi sang konduktor bagai mimpi buruk—mimpi terburuknya malah—di sebuah hari yang tadinya normal-normal saja. Sang konduktor memarahinya dan sobatnya di depan teman-temannya selama sekitar sepuluh menit penuh, waktu yang cukup untuk menyelesaikan movement kedua bila mereka melanjutkan sesi latihan dan tidak diinterupsi dua anak cewek yang tiba-tiba membuka pintu dengan penampilan yang sudah berantakan seperti habis terjebak dalam sebuah tornado—hal itu benar-benar dikatakan oleh sang konduktor. Sang konduktor baru mau menyelesaikan marah-marahnya ketika ia melihat jam tangan dan sadar bahwa semua ini hanya menghabiskan waktunya. Dan selanjutnya? Ia mengulang seluruh orkestra dari awal.

Seisi ruang latihan hanya bisa mendecak kesal sambil mengarahkan tatapan gusar kepada kedua remaja itu, satu sang piano prodigy yang taat aturan dan rajin menabung serta temannya, sang principal flute yang menjadi tauladan bagi seluruh pemain flute di orkestra, hancurlah reputasi mereka di orkestra. Tak disangka-sangka keduanya yang menjadi penyebab molornya waktu latihan.

Selepas latihan, Emily hanya diam di tempatnya, di atas kursi piano, menatapi tuts-tuts itu. Ibunya berpesan jika ia hendak pulang ke rumah, belilah makanan dulu untuk adik-adiknya sekalian untuknya, ibu dan ayahnya sedang tak ada di rumah. Apakah keempat saudara itu hanya akan makan mi instan?

Violet memberi tahu bahwa ia akan pulang duluan bersama Damian.

Ugh, si bucin itu jadi tidak setia kawan, batinnya.

Sedang meratap, pundaknya tiba-tiba disentuh oleh seseorang. Refleks, ia mengangkat kepalanya dari posisi menunduk, lantas ia menyibak poninya yang ternyata sudah cukup panjang untuk menutupi mata, lalu ia menoleh ke belakang untuk mendapati seorang remaja lelaki seusianya yang menggenggam tas biola.

"Terima kasih sudah mengiringiku," ucapnya dengan nada ramah.

Emily berdiri dan bangkit dari kursi pianonya, lantas tersenyum, membuat matanya menghilang ditelan segumpal lemak di pipi. "Oh, tidak masalah, permainanmu keren," pujinya jujur. Tadi ia sampai terkesiap dan hampir tak fokus dengan permainannya sendiri karena penampilan sang solois.

"Oh, tunggu sebentar." Lelaki bermanik biru dan bersurai cokelat gelap itu menaruh tas biolanya perlahan, kemudian merogoh sesuatu dari tas ranselnya.

Ia mengeluarkan sebuah gantungan kunci dan gelang.

"Ini untukmu, oleh-oleh liburan, gantungan kunci ini dari Singapura, gelangnya dari Pulau Bali, sesungguhnya tadi aku punya cokelat juga, tapi sudah dihabiskan yang lain," jelasnya sembari menggenggam kedua benda kecil tersebut.

Emily menerimanya, kemudian ia tilik lekat-lekat keduanya. Gantungan kunci logam itu berukiran lanskap Kota Singapura dengan Patung Merlion yang ikonik di tengah-tengahnya.

Ya ampun, rasanya sudah lama sekali semenjak ia tak pulang ke kampung halamannya. Ia rindu akan banyak hal di sana, terutama durian, meskipun banyak teman-temannya di sini yang bilang buah itu bau tapi baginya itu adalah buah dari surga, ia masih ingat betul bagaimana bau, rasa, dan tekstur durian yang ia makan di Singapura saat ia kecil.

Sementara itu, gelang itu mirip seperti kepangan tali-tali yang berwarna-warni. Pulau Bali? Sudah menjadi impiannya untuk pergi ke sana. Ayah dan ibunya pernah ke sana, katanya di sana banyak anjing liar dan pantai-pantai yang indah.

Melihat Emily menatap pemberiannya lebih dari semenit, lelaki itu bertanya, "Ada apa, Em?"

Emily yang sadar diajak berbicara oleh orang di depannya langsung kembali mengarahkan kepalanya ke depan, menatap sang lawan bicara. "Tidak apa-apa, aku ... hanya rindu rumah, terima kasih, Felix," ujarnya tulus.

"Hm?" Cowok di depannya mengangkat kedua alis seraya bergumam, mempertanyakan "rumah" apa yang ia maksud.

"Aku dari Singapura, aku pindah ke sini saat kecil, aku belum pernah pulang lagi setelahnya," jelasnya.

Felix mengangguk-angguk pelan. "Aku baru tahu itu." Ia tersenyum. "Aku menikmati waktuku di sana. Orang-orangnya ramah, makanannya enak dan murah." Ia mengingat-ingat waktu liburannya di Singapura.

"Sudah coba durian?" tanya Emily.

"Aku ... mencobanya, tapi aku tak suka, buah itu baunya menyengat," jawabnya. Dari tampangnya, ia mengalami memori yang kurang baik soal durian.

Kenapa semua orang yang ia tahu kecuali keluarganya tak suka durian. Ayolah, itu buah terenak di dunia! Siapapun yang berani bilang buah itu, bau, benyek, dan rasanya tidak enak diharap untuk menghadap Emily sekarang juga!

Gimana? Gimana? Masuk?

Aku nggak cuma tebar janji manis soal akan ngelanjutin cerita hari kelima yang gantung gak jelas.

Kayaknya udah tamat ya, jadi janjiku lunas dong.

Tuesday, February 8th 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro