XX: Marked for Revenge

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Day 20
Buka https://blog.reedsy.com/book-title-generator/ dan klik All. Klik "I'm just starting to write!". Lalu, klik generate title satu kali. Buat cerita dengan judul yang didapat

Again, aku ngga bisa masukin ss, tapi judulnya udah kutaro di atas '-')/

Sebuah tanda silang kembali dibubuhi pada salah satu foto yang ditancapkan ke papan tulis. Satu, dua, tiga, empat, sudah empat foto yang telah ditandai. Kini hanya dirinya dan satu orang lagi yang kuat bertahan.

Ia mengembuskan napas, lalu berjalan dengan langkah berat, ke luar dari ruangan kecil itu dan kemudian langkah kakinya mengarah ke pintu keluar. Dibukanya pintu  rumah tua itu perlahan yang kemudian menimbulkan suara berdecit. Semilir angin berembus, dibiarkannya helai demi helai rambut itu berkibar ditiup angin.

Di depan pintu itu, kawannya masih termenung. Baru sekarang ini ia berhenti mengisak, tetapi wajahnya masih terlihat lesu.

"Lin, kamu betah tinggal di sini?" tanya temannya itu dengan suara lirih.

Gadis bersurai hitam kelam itu duduk di samping kawannya. Ia kemudian menatap langit, lantas mengembuskan napas berat.

"Yah, nggak lah, Ji, makin hari makin suram aja," jawabnya pelan.

"Lagian kenapa ya kita mau disuruh tinggal di rumah ini, udah lama nggak ditempatin, jauh lagi dari rumah-rumah yang lain," keluh Jihan. Kepalanya tertunduk, matanya fokus pada rerumputan.

Alinea mendesah. "Ya ..., mau gimana lagi, budget kita terbatas, Ji, lagian di deket-deket area sini nggak ada yang nyewain kontrakan."

Temannya itu hanya diam, matanya kelihatan kembali berkaca-kaca.

"Ji, we gonna survive, Ji, I promise!" Ia mencoba menguatkan kawannya. Dirangkulnya tubuh perempuan itu yang kini menutup wajahnya dengan tangan.

I lied, Ji, I'm sorry!

Dengan isakan yang tambah keras, Jihan mencoba sekuat dirinya untuk berbicara dengan suara serak. "Orang tuanya Ervina udah nelepon aku terus, Lin." Kini tangisnya makin pecah, isakannya makin kentara terdengar.

Alinea makin merapatkan badannya, lalu Jihan mengistirahatkan kepalanya pada pundak Alinea.

Pandangan Alinea mulai kabur, ia merasakan setitik air mata keluar membasahi pipinya. Hatinya sakit melihat temannya tumbang satu persatu, dan mungkin selanjutnya orang yang di sebelahnya.

"Gimana cara kita bilang ke orang tua ki— orang tua mereka ...," ujar Jihan lirih.

Air mata Alinea mengalir semakin deras. Isakan kecil perlahan keluar dari mulutnya. Ia menutup matanya, lalu menutup salah satu telinganya, mencoba menghentikan semua suara dalam kepalanya.

***

Pada dini hari, Jihan akhirnya berhasil terlelap pulas. Alinea tetap tak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamar yang dipenuhi sarang laba-laba. Hawa desa ini tetap membuatnya menggigil meski tanpa adanya AC ataupun kipas angin.

Tenggorokannya terasa kering dan sakit, maka dari itu dengan segenap keberanian dalam dirinya ia bangun dari kasurnya dan keluar dari ruang kamar.

Dinyalakannya lampu rumah, lalu ia pergi ke dapur. Ketika ia sedang berusaha meraih ceret, tiba-tiba tubuhnya seperti ditarik oleh seseorang. Sekuat tenaga ia berusaha bergerak mendekati ceret, tetapi seluruh tubuhnya seolah menolek untuk bergerak lebih jauh.

Kini tak hanya sekujur tubuhnya yang ditahan, tetapi lehernya seakan-akan dicekik dari belakang. Dadanya sesak, susah payah ia bernapas. Matanya melotot, tangannya bergerak seperti orang yang berusaha meraih sesuatu, tanpa ada yang diraih.

Ia ingin memanggil kawannya yang tengah tertidur untuk meminta bantuan. Walaupun tak mungkin Jihan sendiri bisa menolongnya, setidaknya ia punya waktu untuk membuat keributan di desa sehingga warga desa bisa membantunya. Namun, sia-sia juga. Tenggorokannya tercekat, tak ada suara yang bisa keluar, hanya sebuah cicitan seperti tikus.

Sekujur tubuhnya kaku di tempat, kakinya terlalu lemah untuk bergerak. Dan saat itu juga sesuatu tak kasat mata itu menariknya ke belakang, menghantamkan tubuhnya pada dinding dengan keras hingga menimbulkan suara berdebum. Kepalanya terbentur tanpa perantara hingga membuatnya nanar.

Kesadarannya mulai turun. Penglihatannya berpendar-pendar. Ia tak sanggup lagi untuk bangun, tubuhnya terlalu lemah, bahkan untuk membuka kelopak mata saja tak sanggup.

Alinea sudah tak sadarkan diri, hal itu tentu saja mempermudah dirinya untuk melancarkan aksi.

Dalam kondisi tubuh yang kehabisan oksigen hingga pingsan, ia kembali mencengkeram leher Alinea, lebih keras dari sebelumnya hingga meninggalkan bekas.

Ketika dilihatnya nyawa Alinea telah melayang, tentu saja ia gembira.

Ervina telah membalaskan dendamnya.

Kayaknya kalau sewaktu-waktu dibutuhkan aku bakal remake cerita ini versi lebih niat ;-;

Btw baru sadar minggu lalu persis hari Minggu ceritanya agak gloomy, yang ke-13 tulisanku ga seberapa gloomy sih, tapi temanya lumayan.

Sunday, February 20th 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro