Bab 2: Give Up

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Renata sudah siap dengan polesan make up  di wajahnya. Dia terlihat begitu cantik, ditambah lagi dengan toga yang digunakanya. Semuanya terasa lengkap, akhirnya tiba hari dia akan diwisuda.

"Akhirnya hari ini datang juga, sob," ujarnya pada seseorang. 

Dia tengah menelpon sahabatnya, Margaretha Viola. Memang kurang lengkap karena tidak bertemu langsung dengan teman-teman satu angkatannya. Padahal dia sudah berharap akan masuk ke gedung yang baru selesai dibangun tahun lalu. Coba saja pandemi sudah berakhir, pasti dia sudah ada di sana dan berswafoto dengan teman-teman yang lain.

"Akhirnya penantian kita datang juga, Ren."

"Bener, gila juga dramanya. Aku masih membayangkan kalau kita tuh baru masuk semester 1, loh."

"Gendeng, kamu aja. Aku ogah."

Renata tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu, yah seandainya waktu bisa diputar pasti dia akan menghabiskan waktu lebih lama dengan Margaretha. Sekarang dia sudah berada di rumahnya yang berada di kota Bekasi. Tentu saja, sebab semua kegiatan dialihkan menjadi online. Pandemi ini sudah terjadi sejak tahun 2020, semuanya karena virus corona (COVID-19) sudah masuk ke negara ini.

"Ah, aku bosan tahu tiap hari natap tembok doang."

"Ya mau gimana lagi? Di luar terlalu berbahaya. Liat deh berita hari ini, kasus positif naik lagi. Serem, deh."

"Oh iya, kamu ada kepikiran nggak sih buat jadi relawan?"

"Belum ada sih. Lagian aku mau fokus jadi apoteker dulu baru mikir hal lainnya."

Gadis itu tampak merenung sambil menengok ke luar jendela, hujan kembali turun. Semoga saja tidak mati listrik, bisa habis riwayatnya. Ini hari yang ditunggu-tunggu oleh gadis itu sejak dulu.

"Aku kepikiran, sih. Pengen aja mendaftar jadi relawan. Soalnya aku ngelihat ada banner relawan di Instagram. Pengen gitu bantuin tenaga kesehatan di sana."

"Mungkin bisa aja, sih. Lihat aja apakah sarjana farmasi sudah boleh mendaftar jadi relawan? Lagian, Ayahmu menyetujui puterti satu-satunya mendaftar jadi relawan?"

"Belum tahu, aku baru ngasih tahu ke kamu aja. Kemungkinan besar Ayah nggak setuju, sih. Boro-boro diijinin keluar kota untuk jadi relawan, untuk keluar jalan sama teman saja dilarang keras."

Terdengar suara tawa dari seberang, sementara Renata menggerutu.

"Seneng banget denger temannya menderita."

"Lah, lagian kamunya aneh-aneh. Udah tahu kondisi lagi kayak gini, masih aja bandel mau keluar. Ya kalau mau cari mati silahkan, tapi kamu harus ingat kalau orang tua itu rentan terkena COVID-19. Pertanyaanya setiap kamu mau keluar tuh, apa kamu tega bawa oleh-oleh virus ke orang tuamu? Kalau aku sih nggak tega, jadi mending aku bosan di rumah dibanding menyesal."

"Iya aku ngerti. Lagian masih bisa nonton film yang belum pernah kutonton. Jadi, mengurangi kebosanan."

"Nah itu pinter, Oh iya, Johan gimana kabarnya? Dia nggak kirim hadiah gitu, kek?"

Mendengar itu membuat ekspresi Renata jadi muram, mengingat pacarnya yang hilang-hilangan membuatnya menjadi ragu akan hubungan mereka.

"Aku nggak tahu, dia susah banget dihubungin. Padahal katanya akan berusaha meluangkan waktu meskipun sibuk sama skripsi, udah dari semester tujuh ini dia mulai kayak gitu. Aku udah berusaha mengerti, berusaha memberikan dia waktu. Mungkin aku yang terlalu egois, sepertinya dia butuh waktu lebih lama lagi. Gitu deh, Vi."

"Gila sih, kuharap dia nggak selingkuh deh dari kamu."

"Semoga aja, dia cowok terbaik yang pernah aku temui. Dia pasti akan jaga komitmen dengan baik."

"Padahal aku pengen banget pergi ke Malang, udah kanget berat sama dia," lanjut Renata dengan nada pelan.

"Ya Lord, gila aja. Nggak usah jadi budak cinta, deh. Mikir dong itu resikonya apaan?  Lihat lagi deh berita yang sering, biar ngerti betapa berbahayanya di luar. Kalau bisa di rumah mending di rumah aja, sob."

Renata menghela napas panjang, dia tahu karena tadi sempat melihat berita yang ditayangkan di televisi.

"Iya, tadi aku nonton berita. Kapan ya berakhir? Gila sih, kita nyari pekerjaan gimana dong?"

"Aku sih mau lanjut program profesi apoteker dulu. Emang kamu nggak mau?"

Gadis itu tampak berpikir sejenak, sepertinya ada yang mengganggunya.

"Nggak tahu, sih. Aku, kan, iseng ya ngirim surat ke beberapa perusahaan yang lagi membuka lowongan pekerjaan. Iseng aja, niatnya biar aku bisa bekerja. Abisnya aku lihat ada lowongan sebagai content creator, yah kamu tahu kan aku sedang berusaha jadi content creator sejak semester tujuh. Puji Tuhan juga akhirnya setelah sekian purnama, videoku banyak juga yang lihat. Siapa tahu aja diterima gitu, kan. Ternyata--"

"Ternyata apaan?" 

"Ternyata ada yang nerima. Mampus nggak sih? Akhirnya aku mulai mikir ulang, apa aku cukup menjadi sarjana Farmasi aja ya? Mungkin habis bekerja beberapa lama baru lanjut program apoteker."

"Gila sih. Sayang loh."

Renata menghela napas lagi, sebenarnya ini bukan keputusan yang mudah.

"Yah, kamu tahu, kan, kalau aku terpaksa masuk ke jurusan ini. Rasanya capek aja mau kuliah lagi."

"Dikit lagi cuy, abis itu udah jadi apoteker. Paling berapa tahun, sih? Setahun atau dua tahun doang."

"Entahlah, Vi. Perusahaan Ayah lagi kena masalah, belum lagi keadaan kayak gini bikin perekonomian jadi menurun. Aku mau coba bekerja, biar bisa meringankan beban Ayah."

"Terserah, sih. Apapun yang kamu lakuin akan aku dukung."

Gadis itu tersenyum, sepertinya memang ini yang sebaiknya dilakukan. Mencoba peruntungannya menjadi seorang content creator, perjalanannya akan dimulai. Tidak lama kemudian mereka mulai fokus dengan acara wisuda yang sudah dimulai.

"Halo dunia, perkenalkan Sedu Renata Xeon S.Farm," gumamnya  pelan.

***

Renata tersenyum lebar begitu namanya dipanggil, melihat wajah teman-teman seperjuangannya yang ditemui dari OSPEK membuat suasana mengharu biru. Dia tidak pernah berpikir bisa melalui ini semua, sejujurnya berulang kali ia berpikir apakah dia sanggup mengerjakan skripsi dan menjawab pertanyaan yang diberikan sewaktu sidang. Terlebih lagi pengujinya adalah dekannya sendiri dan dosen wali akademiknya. 

Renata mengenal mereka dengan sangat baik, itu juga yang membuat gadis itu telihat lebih santai. Banyak yang sudah dilalui bersama mereka, waktu semester satu gadis itu pernah datang ke ruangan dosen wali akademik dan menangis. Gadis itu tersenyum begitu mengingat hari itu. Dengan wajah sembab dan mata yang memerah, ia datang dan mengetuk pintu ruangan dosennya.

"Bu? Boleh saya masuk?"

"Oh, Ren. Boleh, masuk aja. Ada apa?" ujar Bu Sari santai.

"Bu, saya nggak kuat kuliah di jurusan ini. Berat banget, bu. Saya nggak ngerti sama yang diajarin, tapi teman-teman dari SMK Farmasi lihai banget jawab pertanyaan dan mereka jago-jago. Saya nggak kuat," ujar Renata sambil berurai air mata.

"Sebentar, maksudnya Renata gimana?"

Dengan sesenggukan, gadis itu menatap wanita di depannya dengan tatapan sendu.

"Bu, saya pengen mengundurkan diri saja, saya nggak bisa bu. Saya nggak mampu."

Suasana dalam ruangan semakin menegang, begitu juga dengan raut wajah Bu Sari. Jika kalian dalam posisi Bu Sari, apa yang akan kalian katakan?

-Bersambung-


Malang, 23 Juni 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro