Bab 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kejadiannya berlalu begitu cepat, bahkan secepat Pakin berkedip. Peluit tanda berlangsungnya pertandingan kedua baru saja berbunyi sepuluh menit lalu saat dari pinggir lapangan, sebuah perkelahian pecah. Pakin tidak tahu siapa memukul siapa sampai rambatan bunyi dari tribun depan meresonansikan nama Neo dan Drake dengan nada mencekam. Tanpa pikir panjang, mengabaikan keberadaan Luna, Pakin melompat, nyaris terbang untuk memasuki lapangan.

Jantungnya bertalu hebat. Ketakutan itu seperti mendidihkan darah Pakin. Berkali-kali ia menyenggol orang-orang, yang mendapat hadiah maki-makian, tapi Pakin tidak peduli. Kondisi Neo saat ini adalah tujuannya. Ia memasuki lorong yang menghubungkan ruang loker dengan lapangan. Cahaya dari lampu stadion tidak pernah membuat Pakin sepanik ini. Kegaduhan suporter tidak pernah membuat Pakin setakut ini. Dan ketika ia telah sampai di bibir lapangan, pemandangan yang tersuguh adalah kiamat yang tidak pernah Pakin harapkan akan datang di pekan olahraga mahasiswa, di minggu-minggu di mana sportifitas seharusnya dibumbungkan tinggi memenuhi udara GMM.

Neo terlihat tertatih-tatih berjalan dirangkul kawan setimnya mendekati pintu masuk. Darah meleleh bercampur keringat di pelipis dan ujung bibirnya. Tulang hidungnya seperti bengkok. Memar menghiasi pipinya. Ia sedikit pincang. Kondisinya benar-benar tidak bisa Pakin deskripsikan. Rambut Neo yang biasa sehat itu lepek akibat keringat, dan helaiannya mencuat di sana-sini—jelas Drake pasti keras menghantam kepalanya. Jerseynya terpantau robek di bagian pundak kiri. Bercak merah darah mengotori sepatu olahraganya. Suara maki-makian dari penonton membuat keadaan semakin simpang siur. Ketidaktahuan mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi kian mericuhkan kondisi.

Neo mengangkat kepala ketika ia diajak ngobrol sama salah satu kawan, lantas menatap mata Pakin yang berdiri di ambang pintu masuk. Dan tidak bisa dimungkiri, hati Pakin sakit melihat sang sahabat dalam kodisi demikian.Tanpa pikir panjang, ia berjalan mendekat untuk menyongsong tubuhnya. Pakin menggantikan satu teman Neo memapah sang kawan, sampai suara Drake yang tidak pernah bisa ia gusur dari kepala sejak malam mengerikan itu, terdengar melengking.

"Kalau lo nggak pernah bisa memperlakukan Pakin secara layak sebagaimana lo memperlakukam Luna, beri dia ke gue! Gue sangat bisa menjaganya lebih dari apa yang telah lo lakukan selama ini! Gue tahu Pakin sahabat lo, tapi memosisikan Pakin sebagaimana lo memosisikan gue dalam hubungan lo dan Luna, itu sebuah kejahatan! Pakin nggak layak diperlakukan seanjing itu!"

Jujur, Pakin sama sekali tidak paham ke mana koordinat dengkingan-dengkingan Drake. Pakin terdiam, begitupun Neo dan kawan-kawannya. Menggeleng untuk tidak menghiraukan jeritan itu, Pakin menghela Neo keluar dari lapangan. Di hadapannya terlihat Luna berdiri dengan bibir bergetar. Air mata tampak mengambang di kelopak matanya.

"Lo boleh menjadi manusia bangsat, Neo! Tapi lo nggak tahu apa-apa tentang Pakin! Nggak tahu siapa Bunda sebenarnya! Nggak tahu latar belakangnya! Pakin terlalu baik untuk perlakukan seanjing itu!"

Ini sudah keterlaluan. Pakin menatap tajam mata Luna yang menggeleng sebagai isyarat agar Pakin tidak termakan emosi. Langkah kakinya pun ia hentikan. Neo memanggil namanya pelan, yang Pakin abaikan. Fokusnya hancur seketika. Apalagi ditambah senyap yang tiba-tiba membebat seisi stadion, bahkan Pakin seolah mampu mendengar genderang jantungnya yang bertalu-talu kencang, rasa muak itu benar-benar menggelapkan mata. Ia sudah memeringati Drake. Ia sudah memberinya batasan! Dan kenapa laki-laki sialan itu justru melontarkannya di depan puluhan orang?

"Kin."

Tidak mengacuhkan eksistensi Neo, Pakin melepas rangkulan tangannya di tubuh sang kawan, berbalik ke belakang, lalu berjalan serampangan menyenggol beberapa pemain basket dari FEB. Matanya mendelik menakutkan. Emosi itu secara integral berkumpul di kedua kepalan tangan. Tidak pernah ia memiliki angkara sekeji ini. Tidak pernah ia memiliki niat menghancurkan orang segendeng ini. Bahkan rasa-rasanya jika perbuatannya berujung penjara, lebih baik Pakin mendekam puluhan tahun daripada membiarkan hidupnya diludahi serupa sampah.

Laki-laki itu tertawa meremehkan melihat kehadiran Pakin. Ia merentangkan kedua tangan untuk menyambut teman kecil ini, sebelum sebuah tinjuan kuat menghantam kepalanya. Drake ambruk. Suara pekik para penonton kembali menetas. Orang-orang mendekat untuk memisahkan Pakin. Tapi laki-laki itu secara membabi buta menyerang Drake yang justru menerima bogeman-bogeman tersebut dengan senyum lebar. Melihat siapa pun terusulut emosi dari api yang ia kobarkan adalah candu bagi Drake. Dari dulu sampai sekarang. Amarah orang sepertinya daun ganja yang membuat otaknya merasakan kebahagiaan paling singkat, tapi paling membuat mabuk kepayang.

"Lo telah kalah, Pakin. Lo telah kalah. Ayo kita sama-sama melihat kehancuran lo. Karena demi Tuhan, kehancuran lo adalah kehancuran Neo, sementara kehancuran Neo adalah tujuan gue. Gue akan membuat lo semakin menderita, Kin. Dengar itu."

Pakin tidak pernah mengira bahwa pertemuannya dengan Drake di malam erotis kala itu akan berujung semengerikan ini. Berbicara tentang keselamatan, jujur Pakin sama sekali tidak memedulikannya. Bahkan seandainya perseteruan tidak masuk akal ini menyeret Pakin ke liang lahat secara harfiah, ia yang seharusnya bersyukur. Kematian adalah sebenar-benarnya keinginan terpendam Pakin. Ia berkali-kali mencoba berbagai cara guna mengakhiri kehidupan keparat ini, tapi sepertinya Tuhan masih enggan menerimanya yang seakan-akan bau belacan.

Hanya saja, Drake tahu rahasianya. Drake turut memegang kunci yang keberadaannya telah ia ceburkan ke pelimbahan—ke tempat semua keburukan bermuara. Dan itu mematikan seluruh akal sehat Pakin. Dan itu memenjarakan Pakin secara lebih tidak manusiawi dari seluruh tahanan yang ada di muka bumi. Kehadiran Drake membangkitkan malam-malam kejam itu, menghidupkan kandil-kandil yang sepayah mungkin ia padamkan, mengarut-marut tatanan yang seluruh keluarganya susun, memorandakan memoar rongsok yang telah ia buang ke jamban. Yang lebih mematikan, ia turut menghidupkan Pakin kecil yang riwayatnya telah Pakin tenggelamkan. Pakin kecil menyedihkan yang hanya bisa menangis di balik pelukan Bunda. Pakin kecil yang tidak berdaya selain menangis dan menangis, menangis dan menangis, sampai rasa-rasanya semua air mata itu telah habis, dan menjadikan Pakin sekarang yang kehilangan kemampuan menangis.

Batang rokok yang meretih itu kembali Pakin sedot. Pakin sengaja langsung keluar IGD setelah mengantarkan Neo. Ia melipir ke taman rumah sakit, membakar lintingan tembakau kendati larangan merokok terbaca jelas di rambu-rambu.

"Lo nggak ingin melihat kondisi Neo, Kin?" Luna datang dan mengempaskan bokong di samping Pakin.

"Kenapa lo ada di sini? Neo di dalam sendirian, dong."

"Orang tuanya datang begitu mendengar kejadian tadi."

"Oh."

"Lo nggak mau menemui Neo?"

"Nanti saja. Gue mau menghabiskan rokok dulu."

Mereka berdua terdiam. Suara gelindingan roda-roda brankar yang mengangkut pasien terdengar ketika beberapa transporter melintasi koridor di depan mereka. Keluarga-keluarga pasien berlalu lalang. Dokter maupun residen terlihat berjalan tergesa-gesa—jas sneli mereka sampai tersibak akibat kecepatan kaki mereka. Para mahasiswa perawat maupun bidan dengan almamater kampus terlihat juga di selasar tersebut. Aroma desinfektan tercium samar, membuat perasaan Pakin tidak enak.

"Gue minta maaf, ya, Kin?" Suara Luna terdengar lemah.

Asap rokok kembali Pakin embuskan. "Untuk apa?"

"Atas apa yang terjadi sore tadi. Ucapan Drake nggak bisa gue sangkal, sebab memang itulah kenyataannya."

"Apakah lo merasa bersalah kepada gue?"

"Gue nggak tahu, Kin."

"Maka, simpan permintaan maaf lo sebelum ia menjadi nggak memiliki arti lagi, Lun."

Mata Pakin menerawang. Tidak pernah ia sangka, jalinan kasih tai kambing yang sahabatnya miliki dengan perempuan akan membuatnya turut serta, justru membuatnya kelimpungan. Rasanya sungguh tidak adil. Ia telah berkorban sebanyak ini, sampai memaksa Pakin kecil keparat itu kembali hidup, tapi ia tidak mendapatkan apa-apa selain hampa dan hampa. Selain kosong dan kosong. Selain pedih dan pedih. Sementara sang sahabat masih terbaring di atas brangkar, ditemani kedua orang tuanya yang sayang, dan didampingi dua manusia goblok yang memujanya seumpama pemujaan Rahwana kepada Sita. Tolol memang. Kalau sampai Oma tahu, Pakin tidak bisa menakar kesusahan bagaimana lagi yang bakal diderita mata cokelat itu. Tapi jika perempuan sundal bernama Bunda yang tahu, Pakin bahkan bisa mendengar lengking tawanya yang menggigilkan tulang belakang. Bajingan!

"Kami pernah berkali-kali melakukan threesome, Kin."

"What?" Kontan Pakin menoleh guna memastikan apa yang ia dengar bukanlah gumaman penunggu rumah sakit. Tapi hitam mata Luna yang indah itu menegaskan keraguan Pakin. Tidak dimungkiri, rasa nyeri itu merebak ke seluruh tubuh dalam hitungan detik. Menari dan melompat-lompat di atas kewarasannya yang tinggal segantar.

"Lo pasti sudah mendengar semuanya dari Neo."

"Tapi cowok keparat itu nggak menyebutkan adanya seks trisam di antara kalian."

"Dengan gaya percintaan kami, mustahil trisam kami biarkan begitu saja jika ada orang lain yang sudi masuk dalam hubungan kami. Drake adalah orang pertama yang masuk dalam lingkar itu. Lo boleh menyebut hubungan kami nggak sehat, Kin. Lo boleh menghina akal pikiran kami. Lo boleh mengecap kami sinting. Tapi kami nggak pernah benar-benar menemukan hakikat sebuah hubungan sampai Drake datang dan mengenalkan kami dalam percumbuan paling brutal."

"Neo melakukan seks... anal?"

"Lebih dari yang pernah lo pikirkan, Kin."

Anjing!

Pakin tertawa keras sambil menggeleng berkali-kali. Asap rokoknya bahkan kali ini tidak sanggup menindih isi kepalanya yang seketika bising bukan main.

"Walaupun terdengar biadap, tapi kehadiran Drake menyadarkan kami bahwa kami membutuhkan orang ketiga dalam hubungan kami untuk memandang lebih jauh dan lebih luas permasalahan yang kami hadapi. Terdengar picik memang, tapi gue sama Neo adalah manusia paling keras kepala yang pernah ada. Drake masuk ketika ketegangan pikiran antara gue dan Neo berada di puncak-puncaknya. Dia memang bajingan. Tuntutannya dalam hubungan gue dan Neo sangat tinggi, tapi kehadirannya melumerkan tensi di antara kami. Kami rela mengabulkan apa saja keinginan dia, asal dia setia dalam hubungan kami."

Seharusnya Pakin tidak terlalu terkejut dengan penuturan Luna. Dia sudah mendengar babagan perselangkangan paling rumit itu dari tiga sumber, dan baru kali ini cerita itu terdengar lengkap. Pakin bilang juga apa, perempuan adalah musibah. Kehadirannya tak lebih hanya untuk menambah kesintingan dunia. Ia kembali tertawa. Neo sepertinya tidak bisa dipisahkan dari diksi keparat. Bahkan di saat ia terkapar tidak berdaya seperti sekarang, ia masih mampu membuat kepala Pakin berisik tidak keruan.

"Lalu apa yang membuat Drake keluar dari lingkungan kalian?"

"Karena gue ternyata yang nggak bisa dengan pola hubungan yang dia tawarkan. Dia terlalu hitam putih. Terlalu naif. Gue nggak nyaman ketika pandangannya terhadap hidup mulai mengancam keamanan gue. Gue tahu gue terdengar kejam, tapi gue nggak akan sanggup hidup dengan orang yang kehadirannya justru membuat gue terpenjara."

"Neo setuju-setuju begitu saja dengan keputusan lo?"

"Dia awalnya menentang gue karena ternyata Neo menemukan kenyamanan bersama Drake. Laki-laki itu teman nongkrong yang asyik ketika kami ngewe. Dia bisa menjadi teman kecil Neo yang nggak pernah meninggalkannya. Selain persetubuhan, ternyata Drake diam-diam juga menawarkan persahabatan yang Neo butuhkan. Tapi, yeah, nggak ada kapal yang berjalan dengan dua nahkoda, kan, Kin? Gue meminta Neo memilih antara gue atau Drake, dan lo pasti tahu jawabannya."

Pakin hanya mengangguk-angguk. Ia bahkan tidak tahu lagi harus menamai rasa cemburu di kepalanya ini dengan sebutan apa. Fakta bahwa Neo melakukan seks anal, atau fakta bahwa kehadirannya sebagai kawan selam enam tahun belakangan ini tidak cukup untuk memuaskan nafsu anak manajemen tersebut.

"Yang terjadi selanjutnya bisa lo tebak. Neo yang merasa sakit hati sebab sahabatnya pergi, dan gue yang ternyata kecanduan dengan pola persetubuhan yang mengejutkan itu, membuat kami pada akhirnya mencari pengganti Drake. Siklus itu berputar dan kami menikmatinya sampai sekarang. Gue pikir Drake nggak menjadi duri dalam hubungan kami. Tapi ketika dia tahu bahwa gue menginginkan lo masuk, dia mulai mencari cara untuk menghancurkan hubungan ini. Gue nggak tahu kenapa dia responsif sekali saat gue menginkan lo. Karena kalau dia cemburu pun, dia juga bakal merecoki hubungan kami dari jauh hari. Tapi nyatanya enggak. Dia seperti ini karena ada lo. Gue nggak tahu kenapa."

"Lun...." Pakin menginjak batang rokok di rerumputan, lalu memungutnya dan membuang ke tempat sampah terdekat. Ia memandangi Luna dalam setelah kembali melesakkan pantat di kursi taman, sebelum sebuah kalimat dari mulutnya membuat perempuan itu membeku. "Jangan bilang lo pernah dilecehkan seseorang di masa lalu lo?"

Bibir Luna bergetar, dan air matanya seketika rompal dari tanggul. "Apa yang membuat lo... berpemikiran seperti itu?"

"Gue asal ngomong. Hanya saja, setelah mendengar cerita tentang hubungan rumit kalian dari tiga sumber sekaligus, gue selalu berpikir kalau lo nggak hanya segila itu tentang seks. Lo memang terdengar kejam di cerita orang lain, bahkan di cerita lo sendiri. Tapi gue yakin nggak ada kekejaman sehina itu di dunia. Tuhan memang terlihat seperti anomali, tapi gue sangat percaya Dia sekompleks itu ketika menciptakan manusia. Dan menjadikan manusia sempurna tanpa cacat, atau busuk tanpa kebaikan, adalah ketololan yang menghina Tuhan itu sendiri."

Air mata Luna luruh sejadi-jadinya. Pakin miris melihat itu. Ia menepuk-nepuk pundak Luna dengan lembut.

"Apa yang menjadikan lo seperti ini, Lun? Siapa yang bertanggung jawab telah menciptakan lo seperti ini? Lo memang terlihat sangat sempurna. Lo pintar, anak kedokteran, cowok lo hebat, lo bahkan bisa menikmati persanggamaan dengan cara paling nggak bisa diterima akal sehat, tapi sadar, nggak, sih, lo, kelakuan lo itu seolah-olah tengah mempertontonkan bagaimana hancurnya lo selama ini? Drake memberi tahu gue bahwa lo nggak pernah membutuhkan cinta sebab lo bisa memiliki dunia beserta isinya dengan mudah, tapi bagaimana jika lo merasa nggak membutuhkan cinta karena lo nggak pernah benar-benar merasakannya selama ini?"

Dan perempuan itu hancur berantakan dalam pelukan Pakin. Ia tersedu sedan. Seseorang entah bagaimana caranya telah menyentuh titik itu, titik yang keberadaannya ia sembunyikan rapat-rapat. Bahkan setelah tiga tahun bercinta dengan Neo, ia tetap tidak berani keluar dari sentong tempatnya berdiam diri.

Lama ia melunaskan tangis di dada Pakin, sampai akhirnya ia menarik diri. Pakin mengulurkan tangan, mencoba mengusap air mata yang meleleh di permukaan pipinya. Perempuan ayu itu mencoba menghirup dan menghela napas besar, supaya jiwanya bisa ia tarik kembali ke badan.

"Gue anak bungsu, Kin," katanya setelah itu, menumpukan punggung ke sandaran kursi, lantas senyum tipisnya terurai. "Orang bilang menjadi anak bungsu itu hal paling membahagiakan. Lo dimanja orang tua lo, lo dibanjiri cinta dan kasih, lo ditimang saudara-saudara lo. Pada kenyataannya semua itu omong kosong. Menjadi anak bungsu adalah takdir paling keparat yang Tuhan ciptakan buat gue."

Pakin kembali menyulut sebatang rokok. Ia melempar pandangan dan mengernyit sewaktu matanya menatap sosok yang turut menatapnya di ujung selasar. Ia terlihat tidak begitu jelas, tapi Pakin merasa bahwa orang itu terlihat familier buatnya. Pakin mencoba mempertajam penglihatan, tapi nihil. Orang itu sepertinya paham bahwa Pakin sadar dirinya tengah diperhatikan dari jauh—ia lantas pergi.

"Selama ini gue adalah bayang-bayang. Semua prestasi yang gue dapatkan adalah semua prestasi yang telah dicapai oleh kakak gue. Bahkan nilai capaian kakak gue melampaui seluruh kegigihan gue."

"Kakak lo yang udah menikah itu?"

Luna mengangguk. "Ia menjadi dokter spesialis termuda di Indonesia kala itu, yang membuat Papa dan Mama membanjirinya dengan puja-pujian. Jadi ketika gue bisa masuk kedokteran, capaian gue nggak ada arti lagi bagi mereka. Mereka hanya tersenyum dan berkata bahwa memang seharusnya gue bisa masuk ke kedokteran sebab sejarah keluarga kami dari dunia medis. Akan sangat memalukan sekali jika gue justru nggak becus masuk ke FK.

"Ketika gue mengikuti kontes Putri Indonesia, kakak gue sudah mencatatkan sejarah menjadi Runner Up Putri Indonesia dari Lampung. Kehebatannya itu nggak hanya membuat orang tua gue bangga, tapi juga daerah gue. Jadi ketika gue bisa bertahan sampai di sepuluh besar, mereka malah bertanya, sejak kapan gue mulai mengikuti kontes itu?"

Asap rokok Pakin kembali membumbung. Malam terus merangkak, menjatuhkan dingin yang menggigit daging. Penuturan Luna tidak bisa dibilang tidak mengejutkannya. Ia bahkan tidak pernah mengira perempuan seutuh Dewi Kunthi ini memiliki luka-luka yang ia kubur hidup-hidup.

"Dari kecil sampai sekarang, gue nggak pernah mendapatkan pujian dari orang tua gue. Sebut gue kekanakan, tapi sebagai anak, gue pikir alamiah sekali kalau gue ingin orang tua gue bangga memiliki gue."

"Setidaknya lo ingin mereka melihat bahwa lo hidup, dan keberadaan lo bukan hanya pelengkap."

Luna memandang Pakin lama, sebelum meresponsnya dengan anggukan.

"Perasaan lo valid, kok, Lun. Umur hanyalah terminologi yang kebetulan memiliki deret angka. Nggak peduli berapa pun usia di kepala kita, alam bawah sadar kita pasti menginginkan perhatian, lebih-lebih dari orang tua kita. Lumrah karena mereka sendiri yang menciptakan lingkungan seperti itu. Mereka yang memutuskan memiliki kita, mengandung dalam badan dan melahirkan kita, lalu membesarkan kita. Cinta yang mereka beri bahkan sebelum kita benar-benar ada di dunia ini adalah lingkungan yang mereka ciptakan untuk kehidupan kita. Dan kita yang sedari rahim sudah mendapat limpahan sayang itu, pasti akan menuntut kembali apa yang mereka tawarkan ketika mereka menyerah memberikannya tanpa alasan. Lebih-lebih karena kita nggak pernah bisa memuaskan ekpektasi mereka."

Luna tidak pernah merasakan dirinya bisa dimengerti seluas dan setuntas ini. Cara Pakin menjabarkan isi pikirannya seperti menemani seluruh kekosongan yang selama ini membekap mulutnya rapat-rapat. Luna tidak perlu harus merobek lebih dalam luka itu untuk bisa diterima, sebab Pakin bahkan sudah mampu menyelaminyan seorang diri.

"Mereka yang telah menciptakan gue seperti ini, Kin. Kasih sayang yang nggak pernah gue dapatkan itu membuat gue mencari dan terus mencari. Ketidakadilan yang gue dapatkan di rumah itu, membuat gue harus mendapatkan apa pun untuk memuaskan nafsu gue. Seenggaknya gue nggak mau menderita dua kali. Gue biarkan diri gue diinjak-injak oleh mereka, tapi nggak gue biarkan diri gue gagal dalam hidup ini. Kalau mereka nggak sudi menimang gue, gue yang akan memaksa orang-orang memberikannyan kepada gue. Gue menyulap diri gue menjadi perempuan yang kehadirannya nggak bisa ditolak oleh siapa pun. Gue tajamkan ilmu pengetahuan gue, gue luaskan perilaku sosial gue, gue ayomi semua orang, sampai mereka nggak memiliki alasan untuk meninggalkan dan menyakiti gue.

"Gue perlakukan semua orang yang dekat dengan gue adalah lawan. Karena bagi gue itulah sebenar-benarnya kesetaraan. Bahkan Neo pun gue perlakukan sama. Gue menciptakan cinta kepada mereka dengan cara menjadikan mereka musuh yang harus gue waspadai setiap harinya. Karena hanya dengan seperti ini, mereka nggak meremehkan gue. Hanya dengan seperti ini mereka melihat kedudukan gue."

"Lo terdengar sangat desperate, Lun."

"Kenyataannya memang seperti itu, Kin. Dan gue nggak peduli. Sudah cukup gue menderita, gue nggak ingin di sisa hidup gue, gue harus menangisinya dengan penyesalan."

"Lo nggak takut dengan karma yang bakal hadir di kemudian hari?"

Luna mendengus, lantas mendesis, "Jangan picik, Kin. Karma hanyalah ciptaan manusia tolol untuk membenarkan perilaku keji mereka sudah mendapatkan ampunan dari Tuhan. Eksistensinya nggak memiliki variabel pasti. Ia bermakna sebagaimana sudut pandang setiap orang. Dan bagaimana lo bisa menetapkan itu karma jika lo nggak memiliki faktor pasti untuk mengukur kehadirannya? Ketika orang bersabda ini adalah karma yang gue dapat dari perbuatan gue, itu sama arti dia memaksakan keyakinan bahwa ia telah mendapatkan ganjaran setimpal. Padahal nggak pernah ada ganjaran yang setimpal dari kekejian orang selain rasa bersalah yang mencekiknya seumur hidup. Kehadiran karma ini bias."

"Bagaimana lo tahu bahkan setelah mereka merasa telah mendapat karma, rasa bersalah itu telah pergi? Sebagaimana karma, perasaan adalah fluktuasi yang nggak ada nilai pengukurnya. Lihat diri lo sendiri, lo indah, Lun. Lo mandiri. Lo terlalu hebat untuk ukuran gue yang bukan apa-apa, tapi siapa yang menyangkan lo membibit luka yang nggak pernah lo tunjukkan? Jika gue saja bisa terkecoh dengan sempurnanya lo menciptakan topeng, bagaimana orang yang nggak mengenali lo? Orang yang beranggapan dirinya telah kena karma adalah orang yang telah menyadari kesalahannya. Mereka adalah dua entitas yang berbeda, Lun. Menyadari kesalahan adalah jujur dengan perbuatan, sementara rasa bersalah itu sendiri adalah dosa dari perbuatan yang dia lakukan. Jujur dengan perbuatan adalah ranah manusia bekerja dan berpikir, sedangkan kehadiran dosa itu hanya milik Tuhan. Itu adalah hak prerogatif Tuhan yang nggak bisa dicapai oleh manusia."

"Lalu lo mengharapkan gue seperti apa, Kin? Gue memang yang menciptakan kesempurnaan itu untuk diri gue sendiri, tapi gue sama seperti lo. Gue hanyalah manusia. Apa yang gue lakukan selama ini nggak lebih dari cara gue bertahan hidup. Pengabaian-pengabaian yang orang tua gue lakukan membuat diri gue merasa rendah dan nggak berdaya. Kalau gue terus menyimpan perasaan itu, gue nggak pernah bisa bertahan hidup sampai sekarang. Lo nggak berharap gue mengampuni semua yang telah mereka lakukan ke gue, kan? Gue bukan nabi, Kin, yang apabila diludahi, Nabi hadiahi cinta. Gue cuma Luna, perempuan gampangan yang apabila ada orang mencuri sepatu gue, gue akan mendengking seperti anjing."

"Tapi hidup seperti apa yang lo bangun kalau lo terus-terusan seperti ini, Lun?"

"Gue sudah mendapatkan apa pun selama ini. Gue yang menciptakan takdir gue. Gue nggak membutuhkan Tuhan untuk bangkit dan berdiri. Lo nggak perlu merisaukan masa depan gue, Kin."

"Itu karena selama ini lo belum mencapai batas tolerasi tubuh lo, Lun. Proses penciptaan lo terhadap Isyaluna Saarawitry yang sekarang bagi gue terlalu menguras tenaga dan pikiran. Merusak fisik dan psikis. Lo memberi dan memberi. Terus memberi bahkan ketika lo merasa lo dipuaskan oleh pasangan-pasangan lo. Terus memberi bahkan ketika lo dimanja seperti bayi lima tahun. Terus memberi bahkan ketika inner child lo mendapatkan keingingannya. Dan lo yakin lo masih bisa terus memberi sampai sisa hidup lo? Lo yakin terus mencipta dan menciptakan kesempuranaan agar lo bisa diterima? Capek banget, sih, pasti, Lun. Capek banget. Terima nggak terima, lo bukan Tuhan yang nggak memiliki batas."

Luna terdiam—kalimat Pakin seperti merontokkan seluruh pertahanannya selama ini. Egonya terluka. Prinsip yang ia pegang erat-erat itu goyah dalam cekalan tangan.

"Memang benar orang tua dan lingkungan lo telah menciptakan Luna yang begitu menderita dan membutuhkan validasi orang lain untuk bertahan hidup. Tapi lo pun turut andil menciptakan sosok Luna yang semakin kehilangan jati dirinya. Lalu hakiat hidup yang bagaimana yang ingin lo jalani kalau lo justru kehilangan diri lo sendiri selama masa proses penciptaan lo ini? Lo memang sempurna, Lun. Tapi kesempurnaan lo hanyalah topeng. Sifatnya hanya temporer. Ia dibatasi oleh diri lo sendiri."

Luna menyibak rambut, memijat pelipis, lantas mengembuskan napas besar. Diliriknya Pakin yang terus memproduksi asap-asap rokok dari mulutnya. Selama mengenal Pakin sejak mereka menjadi maba, ia tidak pernah menjumpai sosok Pakin sesinting malam ini. Pakin yang selalu hadir di sisi Neo adalah titik nadir yang tidak pernah Luna perhatikan keberadaannya. Ia tidak pernah benar-benar berprestasi. Bahkan monolog yang ia lakukan di pentas teater tahun lalu berujung petaka. Nilai-nilai IP-nya di bawah rata-rata selama ini Luna tetapkan kepada orang-orang yang ingin dekat dengannya. Ia anak sastra, tapi sampai sekarang Luna belum pernah menjumpai cerpen Pakin mejeng di media koran Indonesia. Ia anak mapala, tapi bahkan dirinya hanyalah seorang medioker. Ohm yang selalu ada menemaninya seperti menyedot aura Pakin.

Tapi malam ini, justru laki-laki banal tersebutlah yang mampu menelanjanginya tanpa ampun. Semua prinsip Luna yang ia agung-agungkan terpatahkan hanya dalam sekali tempo. Keangkuhannya poranda sebagaimana daun randu di musim kemarau. Pakin tidak perlu menunjukkan keahliannya, sebab Luna telah bertekut lutut di hadapannya. Bertahun-tahun ia sanggup mengendalikan siapa saja, baru kali ini ia ditaklukkan seperti anjing tidak berdaya. Dan rasa malu sebab pernah mendegradasi sosok Pakin, tidak kuasa Luna singkirkan.

"Gue hanya ingin bahagia, Kin. Dosakah itu?"

"Manusia mana yang nggak ingin bahagia, Lun?"

"Selama ini nggak ada yang berkata apa yang telah gue lakukan salah. Gue bingung harus bagaimana lagi dengan hidup gue. Semuanya tampak buntu. Gue terlalu banyak memakan daun-daun ganja. Gue nggak tahu harus merehabilitasi kebiasaan gue seperti apa. Gue ingin menikah, tapi gue masihlah Luna yang gini-gini aja."

"Salah atau benar adalah relativitas, Lun. Tapi ia memiliki batas. Dan batas-batas dari relativitas itu sendiri adalah hak-hak asasi orang lain. Lo boleh menyebut gue naif, tapi sebagaimana lo yang nggak pernah merasa biasa-biasa saja diperlakukan nggak adil orang tua lo, ada orang lain yang merasa tersakiti apabila kita melanggar batas-batas itu. Lo nggak bisa menafikannya. Rasa sakit itu ada, dan orang itu juga ada."

"Setelah mendapatkan jaminan di kursi pemerintahan oleh orang tua Neo, orang tua gue memaksa gue untuk menikah. Gue bahkan selalu mencela lembaga pernikahan setelah apa yang orang tua gue lakukan kepada gue. Dan sekarang gue telah menjilati ludah gue sendiri. Sementara lo pun tahu, sebenci apa pun gue pada mereka, gue nggak pernah bisa membantah mereka."

"Apakah karena ini satu-satunya lo bisa mendapatkan pujian dari orang tua lo sebab—walaupun terdengar kasar, sepertinya ini kenyataan paling hakiki—pada akhirnya derajat mereka bisa naik, dan pride mereka di kalangan medis dipandang lebih tinggi? Kursi pemerintahan jelas bisa memberikan pelukan kebangaan pada lo. Dan itu pulalah satu-satunya hal yang belum pernah dilakukan oleh kakak lo. Kesempatan untuk mendapatkan pujian itu terbuka lebar."

Dang!

Pakin benar-benar pengamat yang perlu diwaspadai. Ia telah sukses merobohkan topeng Isayaluna Saarawitry dengan biadab. Dan apa yang sekarang tersisa darinya? Luna tidak tahu. Karena benar menurut penuturan Pakin, ia sepertinya telah kehilangan jati diri.

"Apa yang harus gue lakukan, Kin? Gue nggak bisa menghilangkan hasrat ingin diakui oleh orang tua gue. Hampir dua puluh dua tahun, Kin, dan akhirnya kesempatan itu datang. Gue nggak bisa, kan, melepaskannya begitu saja?"

"Semuanya ada di tangan lo, Lun. Semua keputusan ada di tangan lo."

"Tapi gue nggak ingin salah lagi mengambil keputusan."

"Seperti yang gue katakan, salah dan benar adalah relativitas yang memiliki batas. Kalau lo bisa menaati rambu-rambu itu, ambil saja keputusan itu. Selama lo nggak merugikan orang lain, jalani saja keyakinan lo."

"Tapi gue takut, Kin. Gue takut apabila gue mengambil keputusan yang salah, gue semakin tenggelam."

"Yang harus lo tahu, Lun, setiap keputusan membawa dua hal turut serta; konsekuensi dan tanggung jawab. Lo merasa takut karena lo nggak siap dengan semua konsekuensi itu. Lo merasa takut sebab lo nggak tahu tanggung jawab yang lo pikul seperti apa. Itu wajar. Lumrah banget kata gue. Perasaan lo sangat valid. Lo nggak perlu mendegradasinya hanya untuk mendapat pembenaran. Jika menikahi Neo mampu membuat lo merasakan hidup, ya sudah jalani saja, toh nggak ada orang lain yang dirugikan dari keputusan lo. Jika lo menginginkan hubungan trisam, selagi lo merasa mampu dan nggak ada yang dirugikan, kenapa enggak? Tapi yang harus lo tahu, batasan-batasan tubuh dan pikiran lo sendiri. Jangan sampai lo kelepasan dan mendapatkan kesakitan yang sama yang pernah orang tua lo berikan kepada lo."

Malam kian merangkak ke puncak. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Rumah sakit terasa lengang. Hawa dinginnya semakin kurang ajar. Kembali Pakin merogoh kantung celana untuk menyulut batang rokok kelimanya sejak obrolannya dengan Luna bergulir. Ia memantik macis, lantas mengisap dalam batang tembakau itu sebelum pertanyaan Luna seketika menjatuhkan rokoknya.

"Kalau gue ingin mengajak lo trisam sama Neo, lo keberatan, nggak, Kin? Jujur, cara lo memperlakukan gue barusan menyentuh titik nggak berdaya gue yang membuat gue mampu memberikan semua hidup gue buat lo. Dan gue ingin lo pun memperlakukan Neo secara sama. Gue ingin lo menyelami semua luka Neo, supaya ia bisa dipandang sedemikian tingginya oleh—paling tidak—satu orang saja dalam hidupnya. Kalau gue menikahi Neo nanti, lo satu-satunya orang yang gue persilakan dalam perkawinan kami. Lo memiliki tempat setinggi itu."

"Gue boleh nyium lo, nggak, Lun?"

"Sure."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro