Bab 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Kin, lo punya teman bernama Pangeran?" Luna masuk ke bangsal tempat Neo dirawat inap. Pakin tengah memainkan game di ponselnya. Neo sedang menyibukkan diri dengan menonton video pertandingannya melawan anak FISIP yang harus menelan kekalahan pertama semenjak ia gabung.

Pakin menggumam sebagai jawaban. Matanya sibuk mengotak-atik permaian Tetris yang jujur benar-benar membuat pusing. Tapi tidak dengan Neo. Mendengar nama Pangeran disebut, pasien satu itu langsung mengangkat kepala, dan mendapati Luna berjalan sambil menenteng sekantung makanan dari KFC. Neo tidak pernah tahu siapa Pangeran yang selalu Pakin sebut. Enam tahun berkawan, dan sosok itu menjelma udara di tengah perkawanan mereka. Ia tidak terlihat, tapi dibutuhkan Pakin di saat-saat Neo berharap bahwa dirinyalah yang Pakin butuhkan. Pangeran selalu ada, dan sepertinya ia terlalu mengenal Pakin. Ia paham Pakin lebih memuja ayam goreng KFC dibanding MCD, dia tahu kesukaan random Pakin akan NDX a.k.a, dia tahu bahwa Pakin ketergantungan akan tembakau dan alkohol, dia sampai paham cerpen-cerpen Pakin belum pernah ada yang tembus di koran.

Dan Neo tidak menyukai gagasan itu. Terlebih Pakin yang tidak pernah membicarakan tentang sosok Pangeran langsung di hadapannya, cemburu itu benar-benar menguasai. Pangeran seperti hanya hidup dalam ruang diam Pakin, yang sialnya tidak pernah Neo ketahui. Pangeran seperti bernapas di balik gorden tempat di mana Pakin bersembunyi di balik kejamnya dunia, yang—lagi-lagi—sialnya, tidak pernah Pakin tunjukkan kepadanya.

"Ini ada kiriman Gofood dari Pangeran."

Pakin menghentikan permainan. Matanya melebar melihat tentengan yang dibawa Luna. "Oit. Cakep juga tuh cowok. Baru bilang lima belas menit lalu kalau mau ngirimin gue makanan, dah dateng aja sekarang." Ia membuka bungkusan tersebut dan mulai menyantap ayam gorengnya. "Enak banget astaga. Pengin gue sembah."

Neo menggeleng melihatnya mendramatisasi.

"Lo kalau mau ambil saja, Lun. Tadi Pangeran juga mesenin buat lo sama Neo. Tolong kasih ini ke cowok lo. Pasti bm banget dia sama ayam goreng seenak ini, secara dia dipaksa makan makanan rumah sakit yang nggak enak itu." Pakin terkikik dengan pemikirannya sendiri. "Atau lo mau makanan lain, Nyo? Gue pesenin. Maksudnya minta Pangeran beliin. Lagi bokek gue."

"Siapa dia?" Tidak mengindahkan ajakan Pakin, Luna mengempaskan bokong di samping Pakin. Neo mengamati dengan saksama. Siapa tahu kali ini dari korekan Luna, Pakin bisa memperkenalkan laki-laki itu lebih detail.

"Temen gue, Lun. Lo bener-bener nggak mau ni ayam? Gue habisin, ya. Lo juga nggak mau, Nyo?"

Please, deh. Jikapun ayam yang Pakin peluk merupakan satu-satunya makanan tersisa di bumi, Neo lebih memilih mati daripada memakannya. Cara Pakin membawa nama Pangeran dalam obrolan mereka malam itu seolah-olah menunjukkan bahwa tidak ada tubir kesenjangan antara dia dengan Pangeran. Yang itu berarti bahwa Pangeran sialan ini telah menempati posisi yang bisa dipersilakan Pakin di semua aspek hidupnya. Anjing! Siapa, sih, dia? Dia pangeran benerankah? Maksudnya, yang benar-benar keturunan raja?Fuck! Jika memang beneran seperti itu? Rasa-rasanya Neo kalah bertarung sebelum mengangkat bedil.

"Anak GMM juga? Angkatan tahun berapa? Jurusan apa?"

Pakin memutar bola mata. "Seriously, Lun, you're asking me this shit?"

"Bukan masalah besar, kan, kalau itu bukan sesuatu yang bisa membahayakan keselamatan lo kalau lo memberi tahu kami? Apa susahnya tinggal ngomong? Dia anak mana, fakultas mana, kalian kenalan di mana? Dan sudah berapa lama lo temenan sama dia? Kalau lo yakin dia anak baik-baik seharusnya lo nggak perlu menutup-nutupinya, kan? Apakah Neo tahu tentang teman lo yang satu ini?"

Neo yang ditanya menggeleng.

"See?Why do you have to hide it kalau dia orang benar? Fourth, Winny, Satang, Ohm, Nanon, we know all of your friends even we don't know their lives well. Kenapa yang satu ini harus repot-repot lo tutupi? Dia nggak melakukan kejahatan, kan, di hidup lo yang membuat lo memutuskan hides all his identity?"

"Sebenarnya gue nggak masalah lo mau dekat sama siapa saja, sih, Kin, asal orang yang ngedeketin lo bisa melindungi lo dengan baik. Tapi paling nggak, ya gue tahu lah sosoknya seperti apa. Gue hanya nggak ingin lo kenapa-kenapa." Neo membuka suara.

"Jadi bisa, kan, Kin, lo menjawab pertanyaan gue? Siapa Pangeran?"

Kenikmatan ayam goreng itu habis sudah. Ia meletakkan buket di atas nakas, lantas menatap Neo dan Luna bergantian, kemudian tertawa. Pakin mengeluarkan bungkus rokok dan berjalan meninggalkan kamar.

"Kita belum selesai, Kin."

"Sejak lo berdua nggak menghargai privasi gue, semua sudah gue anggap kelar, Lun. Mulut gue kalau lagi marah bisa nyakitin banget. Dia bahkan bisa mendatangkan kematian asal lo tahu. Gue hanya nggak ingin lo maupun Neo harus sakit hati mendengar omongan gue. Gue mau ngerokok dulu." Dia mendekati pintu, sudah memegang engselnya, lalu berbalik lagi. "Itu kalau kalian berdua nggak mau ayam gorengnya jangan dibuang. Nanti gue makan lagi kalau balik. Gue nggak punya duit untuk membeli makanan lain." Saat ia membuka daun pintu, Fourth, Winny, dan Satang terlihat mematung di sana. Pakin hanya menaikkan alis sebagai salam sapa, sebelum benar-benar meninggalkan tempat keparat ini.

Pakin melesakkan bokong di bangku taman sambil menikmati sebatang rokok lintingan. Tidak berselang lama setelah itu, Fourth datang menyusul. Menemani sang kakak tingkat bersama keretek di jepitan ruas jarinya.

"Sorry, tadi niat gue sama anak-anak nggak untuk nguping pertengkaran kalian, Bang. Kami udah akan masuk tapi kami denger suara Kak Luna teriak-teriak."

Pakin mendengus. "Nguping pun nggak masalah, Fourth. Bukan perkara besar juga."

Mereka terdiam cukup lama. Menikmati malam yang dingin dengan batang rokok di tangan.

"Sebenarnya gue juga cukup penasaran dengan Pangeran, Bang. Jauh dari apa yang gue lihat, dia kayaknya menjaga lo banget dari tempat yang nggak bisa dilihat orang."

"Bagaimananya?"

"Seenggaknya dia menjaga lo dengan memberikan ruang buat lo untuk menjadi diri lo sendiri. Ketika kasus di Petra meledak dan menyeret nama lo, Bang Neo, dan Bang Drake di permukaan, dia nggak sibuk menghakimi lo seperti kebanyakan orang. Dia memberi lo waktu untuk berdamai diri."

Pakin kembali berdecih. Berbeda dengan Neo, Pakin seolah-olah menemukan tempat untuk meluaskan pikirannya kepada Fourth. Bocah itu tidak memiliki tendensi apa pun di setiap ceritanya. Dia tidak memiliki kepentingan untuk menjaga Pakin yang membuat Fourth harus mengoreksi cerita Pakin sebagaimana yang dilakukan Neo selama ini. Sebenarnya Pakin tidak keberatan wilayah pertahanannya diendus oleh sang sahabat, tapi dalam beberapa waktu dia terlalu memaksakan kehendak dan memberedel kedua tangannya untuk pergi. Jika Neo sudah berada dalam mode seperti itu, Pakin enggan untuk berurusan dengannya.

"Atau bisa jadi dialah the real villain itu sendiri."

"Maksud lo, Bang?"

"Gue nggak bisa melihat dia, tapi dia tiba-tiba datang dan tahu peristiwa yang menimpa gue. Bukankah itu hal yang jauh lebih mengerikan daripada yang dilakukan Neo pada gue? Gue ibarat tikus di dalam kandang. Dan Pangeran mengintai gue di luar kandang sambil entah melakukan apa."

"Tapi dari cerita-cerita yang lo katakan, dia nggak seperti itu, Bang."

"Itu karena gue yang ingin membentuk citra Pangeran di kepala lo seperti apa yang saat ini ada dalam sangkaan lo. Gue nggak ingin lo sampai hati memberinya rapor merah atas apa yang nggak gue tahu kebenarannya. Dan walaupun ternyata dia memang semerah itu, cukup biarkan itu menjadi tanggung jawab gue."

"Lo kelihatannya berbaik sangka banget padanya, Bang."

Pakin kembali mengangguk, mengetuk batang rokoknya supaya abu di sana jatuh. "Gue nggak punya alasan buat membencinya. Selama dia nggak ngebohongin gue, semua perilaku dia bakal gue persilakan dalam hidup gue."

"Dan lo tahu dari mana kalau selama ini Pangeran nggak membohongi lo, Bang?"

"Nggak ada, sih, Fourth. Gue hanya memutuskan untuk memercayainya. Sebagaimana gue memercayai lo pada setiap cerita gue. Selama nggak ada yang mencederai kepercayaan gue, gue pikir gue fine-fine aja."

Mereka terdiam lagi. Batang rokok mereka meretih, menemani kegiatan mereka menikmati geliat kehidupan rumah sakit. Rumah sakit tidak pernah bisa dilepaskan dari penderitaan. Setulus-tulusnya doa yang mungkin dimunajatkan kepada Tuhan adalah di sini. Air mata-air mata paling tidak memiliki tendensi apa-apa selain pengharapan paling larat hanyalah di sini. Hubungan Pakin dengan rumah sakit tidak pernah memiliki ujung yang baik. Sejak ia berkunjung ke Dokter Semeru, rasa-rasanya rumah sakit telah menciptakan riwayat gelap dalam hidupnya.

"Bagimana kuliah lo, Fourth?"

"Aman, Bang. Gue mau ngadain pameran lukisan sebagai tugas akhir gue nanti. Lo datang ya, Bang?"

"Wuih, seniman besar. Banyak ternyata lukisan lo sampai bisa ngadain pameran."

"Sebenarnya belum banyak, sih, Bang. Hanya ada beberapa dan sekarang gue masih sibuk untuk menyelesaikannya. Gue pengin mengeksplor semua kemampuan gue dengan semua bahan baku yang sudah disediakan alam. Lo mau, nggak, Bang, jadi mimesis, gue?"

"Apaan?"

"Orang yang gue jadikan inspirasi buat melukis?"

"Ngawur. Alam memang ngasih lo banyak sumber, tapi nggak gue juga." Pakin menggeleng gemas. "Keren juga lo, Fourth. Lo udah punya duit untuk memprovide kebutuhan lo selama pameran? Gue sebenarnya pengin bantu lo banget, sih. Nggak tega kalau gue harus ngelihat lo pagi kuliah, malamnya masih kerja di Petra hanya untuk menyambung hidup dan nggak berhenti kuliah."

Sang adik tingkat tertawa. "Santai aja, sih, Bang, kata gue. Untungnya ada balapan yang bisa ngasih gue duit lebih banyak, jadi gue bisa ngadain pameran. Lo nggak perlu khawatir, Bang."

"Orang tua lo masih belum ngirimin lo duit? Mereka nggak tahu kalau lo struggle di sini?"

Fourth terdiam cukup lama, sampai Pakin harus menoleh ke arahnya untuk memastikan juniornya baik-baik saja.

"Seperti yang lo tahu, Bang. Mereka hanya pensiunan PNS yang memiliki banyak kebutuhan untuk dicukupi. Apalagi sekarang mereka tengah ke luar negeri, jadi gue pikir mereka lebih membutuhkan duit itu dari gue. Lagian gue juga bisa menghasilkan duit sendiri, jadi it's not a big deal juga, sih."

"Soal malam itu di Petra...."

"Gue minta maaf sebesar-sebesarnya, Bang, kalau temen gue mukul lo sampai lo nggak sadarkan diri. Tapi gue udah marahin dia, kok, Bang. Dan gue pastikan dia nggak akan pernah nyakitin lo lagi atau gue yang akan datang untuk membawakan keranda buatnya."

"Dia cowok lo?"

Fourth terkikik tidak habis pikir sama kerandoman kakak tingkatnya ini. "Gila kali, Bang, gue pacaran sama controller freak kayak dia. Gue hanya numpang di rumah dia karena orang tua gue nitipin gue ke orang tuanya selama mereka pergi ke luar negeri. Orang tua kami kebetulan saling kenal—gue juga nggak paham bagaimana mereka bisa kenal. Cuma karena itu saja tapi dia seolah-olah telah memiliki dunia gue dan menyuruh gue melakukan semua keinginan dia. Anjing lah. Gue benci banget sama orang-orang kayak dia."

"Sama kayak lo membenci Neo gitu?"

Tawa Fourth pecah. "Kalau bukan karena lo, udah habis sih itu, Bang, temen lo. Cara dia memperlakukan lo benar-benar bikin gue emosi. Gue nggak menyalahkan lo yang mau diperlakukan seperti itu olehnya karena gue yakin lo pasti memiliki alasan kuat, tapi gue tetep nggak bisa mempersilakan kelakuan cowok lo, Bang. Ada banyak pilihan di dunia ini untuk menjaga lo, tapi dia justru mengobrak-abrik privasi lo. Kejadian di Petra yang paling sinting, sih. Gue udah bawa tongkat baseball itu untuk mengusirnya dari sana, tapi Bang Perth mencegah gue."

"Seriusan segitunya?" kini giliran tawa Pakin mengudara.

"Gue nggak pernah segila itu melihat keadaan lo malam itu, sih, Bang. Lo udah gue anggap abang gue sendiri, jadi segala sesuatu yang menyangkut keselamatan lo nggak pernah bisa gue bercandain. Kalau bisa, gue kasih nyawa gue asal lo aman di tempat lo."

"Kenapa orang-orang memperlakukan gue seolah-olah gue lumpuh, ya? Lo, Neo, Ohm. Anjing, lah, gue mantan atlet. Gue bisa berantem."

"Mungkin bukan karena lo bisa berantem atau enggak, sih, tapi lebih ke... kalau lo bisa selamat nggak kenapa-kenapa kenapa harus kami biarkan lo sampai cidera dan luka-luka? Lo orangnya gampangan, sih, Bang. Gampang banget ngebuat orang sayang sama lo. Kebaikan lo dah kayak nggak ada otak. Bahkan di saat lo nggak punya duit pun, kalau temen lo kesusahan, lo pasti menolong mereka tanpa pikir panjang. Gue masih nggak bisa ngelupain lo harus ngasih duit terakhir di dompet lo saat gue harus membeli peralatan buat nugas. Peralatan gue habis jutaan, dan lo gampang aja ngasih ke gue. Besoknya gue denger lo nebeng makan di kos-kosan Bang Nanon karena Bang Neo harus kembali ke rumah."

"Buset, Fourth, masih lo inget-inget juga, astaga." Pakin menepuk pundak Fourth gemas. "Kalau lo masih menyimpan rasa bersalah karena gue harus nebeng makan berhari-hari di tempat Nanon, lo benar-benar gue habisin, sih. Yang kayak gitu hal biasa, kali, Fourth. Bukan perkara besar."

Sang adik tingkat tersenyum kecil. "Kebaikan lo menyelamatkan nilai gue dan IP gue soalnya, Bang. Menyelamatkan hidup gue. Lo boleh menyangkalnya atau apa, terserah, tapi siapa, sih, yang bakal lupa akan kebaikan orang ketika hidup lo berada di titik terendah? Nggak bisa apa-apa dengan kondisi keuangan yang buruk itu nggak enak banget, Bang. Rasa rendah diri gede banget, rasa nggak layak hidup hampir tiap hari tiap saat mampir di kepala."

"Lo bisa melupakan hal-hal buruk di masa lalu, nggak, sih, Fourth, biar lo nggak terus-terusan nanggung rasa bersalah? Semua rasa bersalah yang lo tanggung di dunia ini kayaknya gede banget. Pantes Winny dan Satang keras banget mengenai hal ini ke lo."

"Emang lo bisa, Bang?"

"Bisa menghilangkan perasaan bersalah?"

"Melupakan hal-hal buruk di masa lalu lo?"

Kini giliran Pakin yang tertawa kecil. Bingung mau menjawab apa. Dia menyulut batang rokok keduanya.

"Apa yang lo lalui di masa lalu lo sampai lo merasa setiap kebaikan yang lo terima itu nggak layak lo dapatkan, Fourth?" tanyanya asal, sekadar untuk menghangatkan obrolan supaya tidak usang di meja makan. Ia tidak pernah tahu-menahu soal kehidupan sang adik tingkat. Tidak memiliki niat untuk mengorek atau apa, sebab Pakin sangat paham bagaimana rasanya ketika kehidupanmu diendus oleh orang yang kehadirannya tidak pernah kamu persilakan dalam hidup.

"Maksud lo, Bang?"

"Gue jadi ingat sama perkataan Winny. Lo seolah-olah terlalu terbebani sama rasa bersalah lo entah kenapa. Dan mendengar bagaimana lo masih mengungkit hari ketika gue nebeng sama Nanon membuat gue pada akhirnya meyakini kalimat dia."

"Ya elah, Bang, segala omongan orang edan lo dengerin. Dia suka ngaco, seriusan."

Pakin manggut-manggut, menerima keputusan juniornya yang memilih menutup rumah ketika ia mencoba datang berkunjung.

"Apa pun yang pernah lo lalui yang nggak gue tahu itu, lo harus perlu tahu bahwa lo layak mendapatkan semua kebaikan, Fourth. Nggak peduli bagaimana lo mendapatkan pengabaian-pengabaian di masa lalu yang membuat lo merasa nggak dimanusiakan atau dimatikan atau dilumpuhkan, yang lagi-lagi harus lo tahu, lo sama seperti gue, Winny, Satang. Manusia. Gue nggak tahu segila apa lo diperlakukan sampai lo tumbuh dengan ketakutan itu, tapi lo aman di sini, Fourth. Lo berada di tempat yang tepat. Lo nggak perlu merasa takut lagi. Ketakutan dan mimpi buruk itu sudah terlewati."

Fourth mematung, bergelut dengan pikirannya sendiri, sementara Pakin mencoba menyisir pemandangan rumah sakit. Ia penasaran dengan orang yang pernah menatapnya diam-diam ketika dia tengah ngobrol dengan Luna. Pakin ingin memastikan bahwa dia tidak salah lihat dan orang itu ada di sekitar sini. Sudah dua hari terhitung sejak malam itu, tapi Pakin sama sekali tidak bisa membuktikan anggapannya sendiri. Keraguan itu jadi mumbul-mumbul di tempurung kepalanya. Apakah ia memang benar-benar salah lihat? Pakin bisa saja tidak merisaukan orang itu. Selama ini memang ia kerap mendapati banyak orang yang diam-diam memerhatikannya. Tapi sial, ia seperti pernah melihat orang yang satu itu. Ia seperti mengenal postur tubuhnya. Tapi di mana dan kapan, Pakin tidak tahu. Memoar di dalam otaknya seakan lesap jika harus dipaksa untuk mencari kepingan kenang tetang ia.

"Winny bahkan nggak pernah menduga masa lalu gue, Bang."

"Nggak usah dipikirin, Fourth. Gue hanya asal ngomong supaya ada bahan obrolan. Gue masih males untuk balik ke kamar Neo, soalnya."

"Itu yang menjadi tema pameran lukisan gue, Bang."

Pakin menoleh ke arahnya. Cokelat pinus mata Fourth menatap Pakin bergetar.

"Rasa takut."

Kehampaan yang menyusul dari ucapan si kecil merangkak di udara. Pakin terpegun. Ada yang seperti merenyutkan dadanya. Ia memang sering menampung cerita-cerita sedih dari teman-temannya, tapi Pakin selalu berdoa di antara mereka tidak ada Fourth ikut serta. Kendati berperangai galak, Fourth adalah kawan yang baik, yang akan memberimu seribu jika kamu memberinya hanya sepuluh. Kebaikan yang kamu berikan kepadanya akan ia lipatkan ganda tak terkira. Jadi mengimajinasikan pria imut itu memiliki luka sangat sukar untuk Pakin terima.

Bingung merespons apa, Pakin berdeham, mengisap lebih dalam batang rokoknya,lalu mengangguk kecil, dan menanti apakah ada yang ingin dilanjutkan oleh sang kawan. Selama ini Fourth adalah individu yang hidup di dalam kotak pandora terkunci. Tidak ada satu pun yang mampu membuka kotak itu, jadi tidak ada yang benar-benar tahu sejatinya wajah Fourth seperti apa. Rupa-rupa yang si Kecil tampakkan selama ini bisa jadi hanyalah kamuflase, untuk mengelabui; tapi Pakin pun tidak tahu, ia tengah mengelabui siapa—orang yang dia hadapi, ataukah dirinya sendiri?

"Fuck! Gue nggak pernah bisa cerita masalah ini ke orang-orang."

"Nggak usah, Fourth. Gue sama sekali nggak berniat ingin mencari tahu kehidupan lo. Omongan gue tadi hanya asal lalu, kok, seriusan. Kalau pada akhirnya secara nggak sengaja gue membuka luka lo, gue minta maaf. Gue sama sekali nggak bermaksud. Anggap gue nggak pernah ngomongin hal itu."

"Karena selama ini ketakutan itu menyerap semua tenaga gue, Bang, membuat gue nggak berdaya dan nggak bisa menghadapi orang lain selain diri gue. Gue menutup rapat diri gue bukan karena gue nggak memercayai orang terdekat gue. Gue sangat percaya pada mereka, pada lo. Hanya saja gue nggak pernah benar-benar memiliki kekuatan itu, Bang. Gue lemah banget."

"Ya, sudah. Gunakan kelemahan lo itu untuk menghadapi gue sekarang. Kalau lo selama ini bisa berdiam, lalu kenapa lo tiba-tiba mau membuka diri ke gue? Gue hanya nggak ingin lo terluka di sini, Fourth."

"Karena setelah dua puluh taun gue hidup di dalam ketakutan itu, lo orang pertama yang bilang bahwa gue aman, bahwa gue telah melewati semua mimpi buruk itu, bahwa mereka letaknya ada di belakang gue. Gue nggak pernah digituin, Bang. Rasanya kayak lo udah ngulurin tangan dan membiarkan gue merasakan kehidupan yang takut gue jalani."

Pakin menatapnya dalam. Fourth yang selalu terlihat adalah pribadi cuek dan keras. Ia jarang tersenyum, jarang berbaur, begitu keras kepala, dan susah ditebak. Tapi malam ini ia seperti melihat Fourth dalam profil yang tidak pernah ia jumpai sebelumnya. Cangkang yang membungkusnya rengat, dan memperlihatkan kelemahan yang tidak pernah Pakin kenal. Apakah kotak pandora itu pada akhirnya terkuak, dan mempertontonkan sebagaimana banalnya jasad seorang Fourth Nattawat?

"Apa yang terjadi, Fourth?"

"Para monster itu telah membunuh gue, Bang. Dari gue masih kecil.Sampai sekarang. Gue selama ini berusaha untuk keluar dari lingkaran monster itu, tapi gue nggak memiliki keberanian dan kekuasaan sebab mereka adalah sebutan dari keberanian dan kekuasaan itu sendiri. Mereka adidaya, Bang, dan menjadikan gue manusia nggak layak yang harus menanggung semua rasa sakit mereka. Rasanya nggak adil buat gue. Gue sama sekali nggak tahu apa-apa tapi monster-monster itu mengganjar gue untuk melampiaskan nafsu dan luka mereka."

"Mereka memukul lo?"

Air mata menciprati diding mata Fourth. Pakin mematikan rokok, lantas membawa pemuda itu dalam pelukannya. Ia usap punggungnya yang terasa semakin sempit dari terakhir kali ia mampu mengingatnya. Bahu Fourth sedikit bergetar, saat Pakin merasakan pundaknya basah.

"Lebih dari yang pernah lo kira."

Ya, Tuhan.

"Sampai sekarang?"

Pemuda itu mengangguk.

"Tapi bukankah mereka tengah ke luar negeri seperti kata lo?"

Dan diam menyusul adalah rasa sesak yang merambat ke ulu hati. Fourth melepas pelukan, mengusap mata, lantas menyulut sebatang rokok lagi. Pakin pun melakukan hal serupa. Tembakau itu kembali berkecimpung di otak dan paru-parunya. Jika memang tagline tembakau mampu membunuh manusia, Pakin benar-benar akan memenuhi paru-parunya dengan tar-tar keparat itu. Selain Oma, tidak ada lagi yang Pakin khawatirkan dalam hidup ini. Pakin tidak akan menghiraukan keberadaan Bunda, sebab perempuan itu sendirilah yang memutuskan untuk meninggalkan Pakin di saat ia membutuhkan keberadaannya lebih dari apa pun. Perseteruan hebatnya dengan Bunda tidak pernah bisa Pakin hilangkan dari kepalanya.

Tapi ketika melihat Fourth dan mendengar penuturan mengejutkannya, Pakin ingin sekali memeluk tubuh teruna tersebut dan membiarkan punggungnya yang menjadi tameng dari pemukulan-pemukulan yang si kecil dapatkan.

"Itu hanya cara bagi mereka untuk mendapatkan gaya baru menghajar gue."

"Lo nggak ingin meminta perlindungan dari hukum?"

"Bagaimana bisa gue meminta perlindungan hukum jika mereka memiliki hukum di dunia ini, Bang? Gue nggak bisa dan nggak mampu. Gue nggak bisa berlindung ke mana-mana selain ke diri gue sendiri. Rasanya sangat sakit, tapi keparat-keparat itu nggak akan meninggalkan gue dalam limpahan rasa aman. Muak banget rasanya, Bang. Muak banget gue harus menjalani hari-hari yang penuh dengan ketakutan. Gue pengin ngilangin rasa ini, Bang. Please, bagaimana caranya?"

Pakin menghirup napas besar, lantas mengembuskannya perlahan-lahan. Pertanyaan dari Fourth adalah kumpulan pertanyaan yang setiap hari mendekam di kepalanya. Dia pun ingin tahu dengan jawabannya, agar hidupnya bisa dia jalani walaupun tak lagi memiliki arti sama. Kembali ia mengembuskan asap rokoknya.

"Gue juga nggak tahu, Fourth. Karena jawaban dari pertanyaan lo-lah yang juga sedang ingin gue dengar."Diam itu kembali hadir, sampai pertanyaan Pakin terpelanting begitu saja. "Kalau lo ingin membuat pameran tentang rasa takut, kenapa lo membutuhkan gue untuk menjadi mimesis lo, Fourth? Apa yang ada di dalam diri gue yang membuat lo sampai ketakutan?"

Batang rokok yang lebih muda sampai terjatuh demi mendengar pertanyaan dari sang kakak tingkat. Kepalanya seperti dipecahkan saat itu juga. Matanya menjegil dengan napas merengap. Rasa sakit yang selama ini ia pelihara, menggeliat dan menampakkan wujud paling mengerikan.

Pakin mendengus, menyandarkan punggung ke kursi. "Apa pun itu, gue harap itu bukan suatu kebohongan. Lo tahu gue, kan, Fourth? Gue mempersilakan semua rasa sakit yang orang lain lakukan kepada gue, tapi bukan kebohongan. Itu batas toleransi gue. Dan gue nggak ingin lo menerima diamnya gue, Fourth. Karena ketika gue diam, maka semua sudah berakhir, sudah nggak ada lagi harapan yang bisa gue semogakan. Amarah gue emang nyakitin banget, omongan gue ketika emosi sama sekali nggak manusiawi. Orang bisa terluka dan tersinggung. Tapi itu lebih baik dibandingkan dengan gue diam. Gue benar-benar berharap lo bukan orang yang harus gue kasih silent treatment. Lo terlalu berharga buat gue. Gue sepercaya itu pada lo."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro