Bab 15 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Lo ngehindarin gue?"

Pakin yang tengah menggulung kabel charger ponsel Neo sampai menoleh ke empu suara. "Hah?"

"Kenapa lo ngehindarin gue?"

"Ini lo lagi ngomong sama gue?"

"Kin, please."

Kernyitan di kening Pakin kian dalam, lantas kembali ia merapikan kabel charger Neo dan menyimpannya di koper. Pakin berjalan menuju keranjang baju-baju kotor Neo dan mulai melipatnya.

"Kalau gue ada salah sama lo, gue minta maaf. Tapi, please, jangan hindarin gue. Sebelum ke pertandingan kita baik-baik saja, kenapa sekarang lo kembali ngejauhin gue, sih, Kin?"

"Ini gue nggak salah dengar apa gimana, sih?"

"Maksud lo?"

"Yang ngehindarin lo, tuh, siapa, sih, Nyo? Kalau gue ngehindarin lo, gue nggak di sini sekarang."

"Lo nggak bisa ngebohongin gue, Kin. Walaupun lo ada di sini, gue bisa ngebedain antara lo yang lagi ngambek sama gue dengan enggak."

"Gue enggak?"

"Ayolah, Kin, kenapa? Gue salah, ya? Gue benar-benar minta maaf ke lo atas apa pun kesalahan yang telah gue perbuat. Jangan giniin gue."

"Lo sendiri ngerasa punya salah sama gue, nggak?"

"Gue nggak tahu, makanya itu gue minta maaf. Ini gue mau pulang, lho, nggak enak rasanya kalau harus perang dingin sama lo. Seriusan."

"Kalau lo nggak merasa salah, simpan permintaan maaf lo, Nyo, atau mereka akan menjadi nggak berarti lagi di kemudian hari."

"Kan... lo marah sama gue?"

Pakin memutar bola mata. Baju-baju kotor Neo terus dia lipat, lantas ia masukkan ke dalam kantung untuk menyimpan peralatan kotor. Baju yang masih bersih ia susun rapi di koper, sementara peralatan mandi Neo, Pakin masukkan ke pouchtoiletries.

"Jika ini ada hubungannya dengan Drake, gue benar-benar minta maaf. Gue sama sek—"

"Gue sudah bilang sama lo, Nyo. Simpan maaf lo kalau lo merasa nggak bersalah atau mereka nggak ada harganya lagi bagi gue."

"Karena gue merasa bersalah kali ini."

Oke. Pakin meletakkan kegiatannya yang tengah merapikan peralatan Neo. Hari ini sang kawan sudah diizinkan pulang oleh dokter. Jadi setelah dokter visite, Pakin langsung mengurus administrasi pemulangan Neo, mengambil obat di apotek baru balik ke kamar Neo. Dia langsung merapikan barang-barang bawaan Neo selama dirawat tiga hari ketika akhirnya sang sahabat menjatuhkan pertanyaan tadi.

"Bagian mananya yang membuat lo merasa berasalah?"

"Karena Drake membawa nama lo dalam pertandingan kami sehingga nama lo lagi-lagi tereksplor? Lo kembali mendapat bullying seisi kampus dan bahkan disalah-salahkan sama fakultas gue karena mereka menuduh lo biang dari kekalahan kami?"

"Ayolah, Nyo." Pakin benar-benar memutar bola matanya kesal. Integral kekecewaan itu menggumpal dalam dadanya, tapi ia tidak tahu harus meluaskan mereka dengan cara apa.

"Gue salah?"

Pakin menyerah. Ia berlalu ke nakas, mengambil kantung plastik untuk ia pakai sebagai tempat sampah makanan Neo yang tidak habis. Nasi yang bulirannya mulai mengering dengan lauk opor ayam dan tahu yang sisa separuh, ia masukkan ke dalam kantung plastik tersebut. Ia mengambil gelas berisi teh dingin yang belum disentuh Neo, dan turut ia cemplungkan ke dalam pembuangan.

"Tolonglah, Kin, salah gue di mana lagi? Maafin kelakuan teman-teman gue yang asal menuduh lo. Gue sama sekali nggak mengira bahwa pertandingan kemarin adalah bencana buat lo. Kalau bisa, gue ingin menggantikan semua kesakitan yang lo derita akibat rundungan itu."

"Karena apa yang mereka lakukan nggak pernah benar-benar menyakiti gue, Nyo."

"Kin...."

"Gue pernah merasakan sakit hati paling edan tahun lalu ketika pentas teater gue dikritik habis-habisan sama manajemen kampus, dan para simpatisan kampus menggiring semua opini busuk mereka untuk mendegradasi eksistensi gue. Gue pernah digerebek temen gue sendiri ketika lagi ngewe di Petra dan berita itu kembali mengudara yang terus membubuhi rapor gue dengan nilai merah. Jadi apa yang orang-orang keparat itu katakan tentang gue dalam pertandigan lo sama sekali nggak menyakiti gue."

"Gue benar-benar minta maaf."

"Demi Tuhan, Nyo, berhenti minta maaf, lebih-lebih atas nama temen-temen lo. Lo bukan nabi yang harus menanggung dosa umat-umatnya."

"Lalu gue harus gimana, Kin, supaya lo nggak kayak gini? Gue bingung, jujur. Gue bingung banget. Gue nggak tahu di mana letak koordinat yang membuat lo uring-uringan ke gue."

"Gue nggak uring-uringan. Bisa, nggak, sih, lo nggak menghakimi semua tingkah laku gue? Capek banget, tahu."

"Kin...." Neo sampai turun dari ranjang kendati selang infusnya belum dilepas. Melihat itu, spontan Pakin mendekat dan membawa kembali tubuh Neo ke atas ranjang.

"Bisa berhenti membuat gue khawatir, nggak, sih, seenggaknya sampai perawat ngelepas jarum infus lo?"

"Bisa, tapi bisa juga lo jujur tentang apa yang sedang saat ini lo rasakan?"

Pakin menatap mata Neo dalam. Denyar putus asa itu tergambar di dasar retinanya.

"Gue serius, Kin. Atau Luna ngomong sesuatu yang ngebuat lo merasa seperti ini?"

Pakin mendengus, mengadang tatapan Neo dengan perasaan paling tidak bisa Pakin definisikan. Ia memang tidak menghindari Neo, hanya saja rasa takut apabila ia menggugat kebenaran kepada Neo akan merebak kencang jika Neo justru memberi jawaban yang tidak sanggup Pakin terima.

"Sudah sejak kapan, Nyo?"

"Kapan apanya?"

"Gue tahu lo tahu, Nyo. Sejak kapan? Bisa lo jawab dengan jujur? Sejak kapan lo berhubungan dengan Drake? Lo tahu gue paling nggak suka dibohongi. Lebih baik gue dilempar tai atau diludahi sekalian daripada gue harus menanggung rasa dari kebohongan orang lain pada gue. Rasanya sakit, Nyo. Sakit yang nggak mampu gue ampu sampai kapan pun."

"Kin... gue minta maaf."

"Stop, Nyo! Stop gue bilang! Berhenti minta maaf dan mulai jelaskan apa yang sebenarnya terjadi!"

"Gue sayang sama lo, Kin."

"Kenapa rasa sayang yang lo miliki buat gue selalu menyakiti gue, Nyo? Kenapa, hah? Lalu amarah lo ketika menggerebek gue sama Drake di Petra kala itu, untuk Drake atau untuk gue?"

Pakin berjalan mondar-mandir. Ia sangat ingin berteriak, memukul entah apa pun untuk melepaskan emosinya. Tapi di tempat seperti ini? Yang ada Pakin kembali dipaksa menelan ribuan paku yang menusuk kepala dan hatinya. Bajingan! Pakin menendang udara. Kesal itu benar-benar menenggelamkan sabar yang sejak malam Luna menceritakan segalanya, mati-matian Pakin paksa datang. Ia merogoh saku celana, mengambil bungkus rokok sebelum sadar bahwa ia masih di bangsal rumah sakit. Pakin menatap Neo lalu membanting bungkus keretek tersebut.

"Sakit banget anjing gue, Nyo. Sakit banget."

"Semua yang ada di dalam pikiran lo itu nggak benar, Kin. Apa yang diceritakan Luna itu bukan yang sesungguhnya terjadi."

"Lalu apa? Lalu kenyataan yang sebenarnya itu apa, Njing? Gue bukan dukun, fuck, lah, bagaimana gue bisa tahu isi pikiran lo? Lo memaksa gue untuk memaafkan lo dan kembali seperti semula, tapi lo memperlakukan gue layaknya orang goblok yang bisa banget lo bohongi."

"Gue nggak pernah membohongi lo, Kin. Sedikit pun."

"Maka buktikan, Neo Trai Nimtawat." Pakin menatap Neo gusar. Dan diam yang dipilih kawannya itu benar-benar sudah memuakkan. "Gue benar-benar nggak peduli mau lo ngentot siapa pun, termasuk Drake, termasuk laki-laki yang selalu lo hadirkan dalam hubungan lo dengan Luna, termasuk bisa saja teman-teman kos kita. Gue nggak peduli. Gue hanya kecewa karena keberadaan gue nggak pernah cukup buat lo. Jangankan enam tahun, rasa-rasanya kalau gue nemenin lo seratus tahun sekalipun itu juga nggak akan cukup untuk memuaskan lo. Sakit banget, anjing, rasanya ketika Luna bilang bahwa lo nyaman sama Drake karena dia menawarkan persahabatan dengan lo. Persahabatan yang nggak pernah lo dapatkan dari kecil. Lalu lo anggap gue apa, anjing? Gue nggak bisa menjadi kekasih lo, dan untuk menjadi teman lo pun gue nggak mencukupi syarat itu?"

"Demi Tuhan apa yang Luna bilang itu berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kenyataan. Gue merasakan perkawanan gue sama Drake bisa terhubung karena kami memiliki keuntungan masing-masing. Gue nggak bisa ngomongin ini ke lo sekarang, Kin, tapi yang harus lo tahu nggak ada yang benar-benar bisa menyubtitusi lo dari hidup gue."

"Nggak. Gue nggak pernah benar-benar tahu isi hati lo, Nyo. Seharusnya jika memang nggak ada yang menyubtitusi kehadiran gue, nggak pernah ada Luna di antara kita. Gue hanya pergi enam bulan, Nyo, enam bulan dari tiga tahun sialan gue ada di samping lo, tapi lo membutuhkan lebih dan lebih. Membutuhkan hal yang nggak pernah benar-benar bisa gue lakukan. Gue manusia, anjing. Gue manusia. Kenapa lo nggak pernah benar-benar memanusiakan gue? Kenapa lo nggak pernah melihat sebagaimana lo melihat Luna dan Drake?"

"Karena lo nggak pernah bisa disamakan dengan mereka. Sedikit pun. Lo gue letakkan di sini, Kin." Neo menunjuk dahinya. "Tempat di mana semua kendali itu berada. Di otak gue, makanya gue nggak pernah menyeret lo dalam hubungan sialan ini. Gue akui gue salah, gue akui gue telah berbohong pada lo. Malam itu di Petra gue benar-benar marah pada Drake karena dia telah melanggar janji yang dia berikan ke gue. Gue tau lo bukan orang suci yang nggak pernah melakukan seks, tapi seenggaknya nggak dengan gue. Nggak dengan Drake. Lo bisa mencari siapa pun orang yang telah terbukti sehat baik fisik dan psikis, asal bukan dengan kami."

"Lalu apa yang membedakan antara lo, Drake, dengan cowok lain? Kenapa lo mempersilakan Drake masuk dalam zona erotis lo tapi gue nggak?"

"Karena gue sama Drake sudah rusak, dan gue nggak ingin merusak lo lalu menjadikannya seperti kami."

"Maka rusak gue supaya gue bisa duduk satu bangku sama lo, Nyo. Lo sadar, nggak, sih, ada begitu hebatnya kesenjangan yang terjadi di dalam hubungan kita? Kesenjangan yang membuat gue nggak mengenal lo sama sekali, lalu pada akhirnya menciptakan kekecewaan hebat karena gue harus mengenal lo dari orang lain."

"Gue nggak ingin lo rusak benar-benar, Kin."

"Gue udah rusak, Nyo. Dari dulu! Kenapa lo selalu menganggap gue rapuh dan suci dan terlalu baik kayak dewa dan nggak layak bisa menyentuh lo sebagaimana yang dilakukan Drake, sih?"

"Karena lo nggak pernah mempermainkan hubungan, Kin. Lo selalu memandang manusia sama tinggi dengan lo sehingga lo nggak pernah mempermainkan hubungan. Gue rusak, Kin. Gue nggak pernah bisa lagi memandang manusia sama tingginya dengan gue. Ada gap yang gue ciptakan, ada jarak yang gue buat, dan mungkin itulah yang membuat lo merasa seperti itu. Berhubungan dengan Luna mengharuskan gue untuk berkorban, dan ini yang gue korbankan. Setiap cowok yang gue ajak trisam nggak pernah bisa gue pandang rata. Gue selalu merasa di atas mereka, yang bisa memungut mereka untuk masuk dalam hubungan kami, lalu gue buang ketika baik gue sama Luna merasa bosan dengan kehadirannya. Drake adalah korban pertama gue. Dan kalau lo pun masuk dalam lingkaran ini, lo akan gue perlakukan sama dengan mereka,seperti Drake dan cowok-cowok setelahnya, yang gue pungut dan buang sesuka hati."

Anjing!

Pakin terdiam, merasa ditampar kenyataan yang membuat hatinya ngilu. Kemarau sepertinya masih panjang, tapi angin panasnya seakan-akan mengeroyok Pakin dan membuat dadanya terpanggang. Kewarasan itu benar-benar hanya tersisa sebuah definisi, karena Pakin tidak yakin, tubuh yang berdiri tegak di depan Neo sekarang tersusun atas dasar apa. Ia mencoba menarik napas panjang, yang ketika ia embuskan, tusukan jarum merambah sekujur tubuh. Sakit, Tuhan. Sakit banget.

Tembang lara ini memang tidak sesakral Kidung Wahyu Kalaseba, tapi puja-puji sakit hati yang tubuhnya lantunkan terlalu mengiba kepada Sang Makrifat, terlalu memohon ampun atas kuasa-Nya. Ia tidak berdaya. Sungguh. Bahkan kematian yang pernah menimpanya tidak sampai menimbulkan biang kecewa yang begitu agung. Jika cinta adalah rumpun dari kasih dan sayang, dan Tuhan adalah sebenar-benarnya periuk welas asih, lantas kepada Iblis mana Pakin mendapatkan hunjaman memutihkan mata ini? Bersekutu dengan siapa sampai ia menderita pelik yang begitu mengherankan ini?

Pakin berjalan mendekat, menatap Neo atas sampai bawah. Ia berdecih, kemudian mendesis lirih, "Maka jadikan gue iblis dan biarkan gue hancur di tangan lo."

Meminta izin untuk mencium Luna malam itu memang hanyalah keinginan impulsif, tapi konsen yang diberikan Luna cukup mengejutkan Pakin. Ia mendekat dan menikmati aroma melati, davana, raspberry, dan osmanthus yang dikuarkan oleh jaringan kulit Luna dan membuatnya kian pening. Permukaan pipi Luna yang ternyata selembut tepung menggesek pipi Pakin yang kasar, dan itu menciptakan huru-hara ingin semakin mempertemukan daging bibirnya dengan mulut Luna. Tapi tatkala dua bibir itu bertemu, Pakin menyadari bahwa kegilaannya harus dihentikan. Bukan karena ia takut kelepasan, melainkan munculnya perasaan aneh, cenderung jijik, dan kilasan masa lalu yang mengerikan meliuk-liuk seumpama penampakan usus-ususnya. Ada yang tidak beres, yang seharusnya Pakin cegah agar tidak mendekat. Ada pernyataan bahwa itu tidak benar, yang sewajarnya Pakin gunakan sebagai rambu-rambu supaya tidak tersungkur. Tapi kenyataan berkata lain. Ketika Pakin memasuki apartemen Luna untuk kali kedua, Pakin sadar ia telah menyembah berhala itu dan berkomunikasi dengan iblis.

Ego dan hasrat ingin menyetubuhi Neo benar-benar merontokkan kesempurnaan akalnya.

"Gue nggak nyangka lo mau ikut ke sini, Kin," sambut Luna ketika membukakan pintu.

Pakin hanya mengangguk, mengedarkan tatapan untuk menyelisik kondisi. Apartemen Luna lumayan besar. Ada dua ruang tidur, di sebelah kiri dan kanan dari pintu masuk. Tepat setelah pintu,terdapatpantri. Setelahnya sofa panjang dipajang menempel dinding menghadap teve besar yang kini menyiarkan berita di salah satu stasiun TV swasta. Di samping sofa terdapat rak susun berwarna cokelat yang memuat pot-pot bunga tulip warna putih. Di hadapannya rak susun lagi dengan kelir kayu-kayuan untuk menyimpan bingkai-bingkai foto Luna dan Neo. Di samping rak tadi terdapat pintu kaca besar yang menghubungkan dengan balkon. Gorden tipis bercorak putih berkibar ketika Luna menyingkap pintu balkon. Angin segar terembus seketika mengirimkan bebauan melati ke indra penciuman Pakin.

Waktu pertama kali ke sini, Pakin tidak terlalu memerhatikan sekitar. Fokusnya saat itu hanya Luna yang meringkuk tidak berdaya di atas sofa. Kini setelah Pakin sambang untuk kedua kali, baru ia benar-benar menyebar penglihatan.

"Ini antara lo suka aroma melati, warna putih, sama design minimalis yang membuat lo memutuskan mendekor ruangan?"

Luna menatap Neo, lantas mengangguk. "Daya amat lo benar-benar patut gue acungi jempol, sih, Kin. Tahu dari mana lo kalau gue suka sama warna putih?"

"Polkadot di pita-pita lo, kembang tulip, bau melati, gorden, mungkin?"

"Wah, jangan bilang kalau lo dukun."

Pakin tertawa. Siaran berita tadi menyiarkan lonjakan impor sapi menjelang ramadan ketika Luna menghela Pakin dan Neo ke dalam kamarnya—kamar sebelah kanan dari pintu masuk, ternyata. Kamar lumayan besar dengan dekor warna pastel menyambut kedatangan Pakin. Aroma melati sekonyong-konyong memberikan salam pembuka—lama-lama Pakin merasa dirinya tengah berada di kebun bunga. Ranjang ukuran sedang ditata di tengah ruang. Di atasnya, foto profil Luna ketika sedang mengikuti pentas Putri Indonesia berukuran besar tergantung gagah, seperti memberi validasi kepada siapa pun yang melihat, bahwa perempuan di sana benar-benar setangguh yang kameramen tangkap dengan layar kamera. Ada single sofa yang diletakkan tidak jauh dari kasur yang Pakin duduki ketika Luna mengajaknya berbaring.

"Kenapa?"

"Jujur ini pertama kalinya bagi gue, jadi gue lihat dulu, deh, permainan kalian biar gue bisa mengikuti alurnya."

"I see, kamu gabung saja kalau pengin gabung."

Aku-kamu banget ini?

Pakin mengempaskan bokong di kursi lalu membiarkan Neo dan Luna naik ke ranjang. Sebenarnya ini bukan kali pertama Pakin menemani Neo kawin dengan Luna, tapi ikut serta dalam pergumulan dengan adanya vagina turut serta, Pakin rasa sudah saatnya ia menolol-nololkan diri sendiri. Jika selama ini aksi percobaan bunuh dirinya selalu berujung kegagalan, maka Pakin pastikan malam ini mayatnya benar-benar diangkut ke liang lahat.

Sewaktu Neo mulai pillow talk dan tangannya mengelus-elus paha Luna, keroyokan bisik jahat yang mendiami kepala itu mengepung kesadarannya seketika, membuatnya nyaris kliyengan dan asam lambungnya naik. Ia memang mampu memperkirakan kematiannya kali ini, tapi mati ketika melihat laki-laki tengah menyetubuhi betina benar-benar hal memalukan. Ia mencoba mengambil napas besar, lantas mengembuskannya perlahan-lahan untuk kembali mendapatkan kewarasan.

Tangan Neo membelai paha kencang Luna, sementara tangan lain mengusap wajah sang kekasih. Luna terkikik-kikik sewaktu Neo membicarakan perilaku perawat tempat kemarin ia dirawat inap—yang Pakin tidak tahu di mana letak komedinya. Bunyi desahan Luna terdengar sewaktu Neo merogoh selangkangannya. Luna melebarkan kedua paha, dan Neo mulai menciumi gadisnya dengan semangat. Suara kecipak belitan lidah Luna dan Neo menyuruk kuping, membuat Pakin semakin pusing. Gambaran masa lalu yang teramat sangat menakutkan itu tampil di hadapan Pakin begitu saja, berganti-ganti seperti slide PowerPoint. Ia ingin segera minggat dari sana untuk memuntahkan seluruh isi perut dan meninggalkan percumbuan binatang itu tanpa pikir panjang. Tapi sewaktu suara besar Neo yang merintih terdengar saat Luna mengelus selangkangannya, darah Pakin mendidih.

Tidak mengindahkan Luna, Pakin menatap Neo lebih intens. Sewaktu sang kawan melepas kaus yang ia kenakan, dan memamerkan punggung lebarnya yang kukuh, kewarasan Pakin hilang sudah. Ini adalah waktu yang ia tunggu-tunggu. Melihat gatra tubuh Neo yang tersiksa dalam jamuan percabulan adalah hakikat ledakan hasratnya setiap bersetubuh dengan siapa pun. Pakin memang bisa ons tanpa pandang bulu, tapi sewaktu kelamin laki-laki yang entah ia kenal atau tidak menghantam titik tubuhnya, hanya bayang wajah Neo yang terekam. Pun ketika ia bermasturbasi, desah suara pemanggilan kepada Neo yang akan mengisi ruangan.

Sewaktu Neo telanjang, mempertontonkan seluruh lekuk tubuhnya yang selalu diidam-idamkan Pakin, kesabaran Pakin runtuh seketika. Ia melepas baju, celana jins, lalu mulai mengurut batang penisnya sambil menikmati bongkahan pantat Neo yang sekal. Ouh... Pakin sangat ingin membaui selangkangan Neo. Ia ingin merasakan penis itu dalam genggamannya. Dia ingin bibir yang selalu mengeluarkan kalimat jahat itu lumer dalam kuluman ciumannya. Dipermainkan oleh pikirannya, Pakin belingsatan. Darah seolah mendidih, menjadikan usikan AC di ruangan itu tidak memiliki fungsi. Kelaminnya memberikan reaksi. Ia menegang dan membutuhkan pelepasan.

Pakin berdiri, berjalan mendekati Neo, dan melabuhkan ciuman di pundak sang kawan dengan perasaan pesta pora membabi buta, juga rasa iba yang berkeluh-kelah. Pakin meraba tubuh Neo, merasakan daging telanjang kawannya itu dengan sentuhan paling nelangsa, penuh permohonan, penuh pemujaan, penuh ketersiksaan. Ia ingin menangis, sebab rasa-rasanya dunia terlalu baik padanya. Mengabulkan keinginan cabulnya ketika ia sadar bahwa hasrat itu sendiri adalah kultus paling hina, seperti menyekutukan Tuhan dengan pengkhianat, tapi sialnya, ia terlalu dimabukkan oleh kemaksiatan ini.

"No!" Neo berpaling ketika Pakin ingin mencium bibirnya. "Puaskan cewek gue dulu sebelum lo bisa mendapatkan apa yang ingin lo dapatkan."

Serius?

Neo menjauh dari tubuh telanjang Luna, lalu duduk di kursi tadi Pakin menonton pergumulan badan dengan badan itu.

Pakin tertegun, menelan ludah lamat-lamat. Ia memandangi ketelanjangan Luna, dan tidak bisa Pakin pungkiri bahwa keindahan adalah salah satu bentuk welas kasih Tuhan yang terjatuh di tanah. Ia seharusnya bersemayam di surga, menikmati sesloki rum yang terasa lebih manis dari madu, tapi lebih memabukkan dari sebotol anggur merah, bertemankan selepek roti sisir yang didapat dari lamaran anak tetangg sebelah. Luna tanpa busana yang memeluk badannya adalah pendewaan terhadap kesimpangsiuran. Menuhankan kekufuran sebagaimana para aristokrat ketika ingin menduduki sebuah negara. Ini adalah definisi paling berantakan, paling kacau, paling tidak rapi, tapi terasa begitu dekat dengan Dewi Srikandi yang sekarang merasa malu ditelanjangi oleh mata penghambaan Pakin.

Pakin mencintai keindahan, dan Luna mengimplemantasikan kecintaannya. Tulang selangka Luna menyembul, kecil tapi terlihat kuat, membentuk cekung yang tidak terlalu dalam. Bahunya sempit, tampak simetris, sewarna dengan kulitnya, putih, dan ada tahi lalat di sebelah kiri. Payudara Luna adalah keniscayaan; bulat, tidak begitu besar maupun kecil, pejal dengan putting sewarna sakura yang tengah merekah menantang. Selain untuk kepentingan seni, Pakin tidak pernah melihat payudara perempuan dalam mimbar persetubuhan. Dan ini adalah kegilaan yang manusia ciptakan hanya untuk menghelanya dalam proses perkawinan antarkelamin.

Perut Luna sedikit tercetak kotak-kotak, mungkin hasil ia melakukan olah kardio secara rutin, dengan udel yang tidak melebar, menguncup membentuk liang, terlihat kontras dengan pendar keseluruhan badannya yang terang. Sementara pinggangnya serupa lengkungan kayu di tangan pengrajin, yang mampu melekuk sedemikian rupa setelah diketam beberapa kali lamanya. Panggulnya adalah keniscayaan kesekian, ia besar dan kukuh, padat dan terlihat sangat segar, berwarna putih yang tidak pucat, dan ada gurat-gurat peregangan yang mungkin tercipta ketika Luna mengalami kenaikan bobot tubuh.

Dan baru sekarang Pakin melihat daging vagina dalam naungan percabulan. Ia terlihat semampang piramida terbalik, yang berbelah tengah, dengan rambut-rambut tipis yang sepertinya sengaja Luna biarkan, sebab kehadiran jembut tersebut seolah memperindah ciptaan Tuhan atas nama kenikmatan. Ketika Luna membuka kedua pahanya lebar, biji klitoris berwarna merah segar terlihat mengintip di balik lipatan vaginanya.

Kembali Pakin menelan ludah. Tubuhnya berdiri gelisah.

"Kamu bisa menikmatinya, Kin. Sentuh aku seingin apa pun kamu menyentuhnya. Kalau perlu lecehkan sekalian, aku ingin melihatmu menjadi gila karenanya."

Menindih rekaman jahat masa lalu yang membuat Pakin merinding dan mual, mengabaikan serangan bisik jahat yang kini mendengking-dengking liar di kepala, Pakin mengangguk takzim, sebab keinginannya menggauli Neo dalam pesta perkawinan yang paling hina sudah tidak mampu lagi ia sangkal. Luna semakin mengangkang ketika kepala Pakin merunduk. Pakin menutup mata, mengusir segala ketakutan itu, lantas mencium daging lunak tersebut. Tidak ada aroma wangi atau kembang-kembangan seperti yang selalu diiklankan di teve-teve. Ia sedikit manis seperti aroma tebu atau air jahe yang pernah Pakin konsumsi. Terasa hangat dan basah, lembab dan empuk, tembam dan lembut. Pakin menjulurkan lidah, menjilat klitoris Luna, dan takjub ketika Luna memekikkan namanya secara sensual. Rasanya tidak bisa Pakin definisikan.Ia kenyal, yang ketika masuk ke mulut Pakin terasa lebih gembur. Pakin memainkan lidahnya di klitoris Luna untuk lebih mengenal teksturnya. Ia menyerupai ampela ayam, tapi aromanya membikin Pakin sekarat. Lidahnya menyental labia dalam Luna dari bawah hingga struktur terdalam, sampai ke lubang sanggama. Ketika lidah kasapnya sampai di titik kelentit, Pakin kembali memorandakannya. Ia kenyot, lantas ia sikat-sikat, kemudian ia emut. Benturan antara kasap lidahnya dan lembut itil Luna membuat Pakin kehilangan kendali. Apalagi ketika memainkannya, erangan manja Luna terdengar tidak manusiawi, Pakin semakin semangat menyetubuhi. Ia mengemut biji kelentit tersebut sehingga terdengar bunyi pop-pop pelan, cairan lubrikan Luna yang meleleh ia seruput, dan ia kembali mengendus-endus seperti sapi perah.

Penisnya kian menggemuk. Precum mulai melumuri puncak kepalanya. Pakin menggosok-gosokkan kelamin di seprai Luna yang halus, dan denyutan yang diakibatkannya membuat Pakin semakin terangsang. Pakin menjauhkan kepala, dan melihat hasil permainannya dengan bangga. Dada Luna terbusung, warna merah seolah-olah melelehi kulit Luna yang seputih pualam. Matanya adalah berhala yang sanggup Pakin sembah dalam kesintingan yang tidak bisa ditakar. Mata itu kini penuh permohonan, penuh pemujaan. Maka, berbekal keimpulsifan yang timbul secara alami, Pakin mencoba kembali mencium bibir Luna. Secara kurang ajar ia memasukkan dua jarinya langsung ke liang farji. Tangannya seketika disambut dengan pelukan basah dan hangat dari dinding vagina Luna yang rapat. Enak sekali. Sensasi dari gesekan jari dan daging yang basah itu membuat Pakin kehilangan akal.

Bibir Luna dalam pagutannya ia gigit, lantas lidahnya menerobos liang mulut Luna, membelit sang perempuan, mengeja deretan giginya yang rapi, sementara sebelah tangan lagi mulai memainkan putting Luna; memuntir, menjepit, lantas menariknya kuat.

"Pakiiin...." Luna semakin berantakan. Tatanan itu telah Pakin porak-porandakan, dan kesemrawutan yang dihasilkannya adalah seni yang tidak bisa dinilai. Ia terlalu adiluhung, menempati puncak keserakahan manusia dan menjadikannya sehina-hina binatang ketika musim kawin.

Pakin menghentikan ciuman, lantas ia mulai menyusu. Ya, Tuhan. Apa-apaan ini? Putting Luna yang berkerut-kerut memberikan efek lain buat tubuhnya ketika Pakin lesakkan ke dalam mulut. Kenyalnya meningatkan Pakian akan marshmallow. Daging itu benar-benar sintal, yang menguarkan aroma melati—ingatkan Pakin untuk mulai mengganti aroma parfumnya dengan melati. Pakin semakin giat dengan aktivitasnya. Ia benar-benar melecehkan payudara empuk Luna; menjilat, melumat, mengulum, menggigit, lantas menariknya. Kali ini ia memasukkan tiga jari sekaligus, dan terus merudal liang persanggamaan Luna tidak manusiawi.

"Enghh.... Pakin," desahan Luna benar-benar ibarat bayi yang terlahirkan dari gesekan harpa. Indah dan merdu didengar. Pakin semakin tidak waras. Ia semakin gila.

Sewaktu Luna hampir mencapai puncak orgasmenya, dan cengkeraman vagina di jari-jarinya mengetat, Neo datang mendekat. Ia membenamkan wajahnya di leher Pakin. Menghidu tubuh telanjang itu yang beraroma melon. Ia menjulurkan lidah, lantas mulai mencecap daging Pakin.

Pakin melenguh, hampir menangis. Ini yang ia tunggu-tunggu dari tadi. Ini yang ia nanti-nanti di sepanjang malam mengenaskannya selama berkawan dengan Neo—Neo mencumbu tubuhnya, Neo menyentuh badannya, dan ketelanjangan mereka terhidang di atas kasur dalam proses perkawinan paling tidak senonoh. Tangan Neo menggenggam penis Pakin sewaktu ia masih sibuk dengan vagina dan payudara Luna, dan memberikan ledakan nikmat yang tidak pernah Pakin takar dahsyatnya. Tangan Neo lebar dan kasar, menggesek lantas memijat batang kelaminnya yang berkedut-kedut, dan bermain-main di puncak kepala penisnya. Ia membelai lubang kencing itu secara melingkar kemudian mengupamnya naik turun seirama tukang kayu mengampelas permukaan mahoni. Batang silindris itu tampak mengilap dan licin akibat precumnya sendiri. Ia ngaceng seumpama penampakan tiang sutet. Pakin benar-benar tidak kuasa dalam perdayaan ini.

"Enghhh... Nyo." Pakin bangkit, lalu Neo memberikan apa yang ia dambakan. Ciuman itu labuh di bibir Pakin, secara sensual dan brutal. Air liurnya meleleh, melumuri dagu Pakin. Pakin benar-benar ingin meledak sekarang. Walaupun ia ingin disentuh secara lebih lembut, tapi mendapati bibir yang selalu menginvasi pikirannya itu kini berada dalam pagutan, dan lidah yang senantiasa menjadi bintang utama ketika ia onani, masuk dalam lumatannya, Pakin merasakan cukup. Tidak apa jika ia diperlakukan seperti ini. Sebab apa yang diberi Neo sudah melebihi apa yang selama ini ia dengungkan.

Berahi itu kian terasa melepuh hebat tatkala Luna memasukkan batang penisnya dan penis Neo ke liang mulutnya bersama-sama. Demi Tuhan, Pakin tidak pernah merasakan kegilaan ini. Darahnya kontan rontok dan berkumpul di pusat kelaminnya—menjadikan kedutannya semakin kuat dan precumnya meleleh-leleh, bergabung dengan cairan praejakulasi Neo juga ludah Luna. Pertumbukan tekstur kontolnya dan kontol Neo yang berlekuk-lekuk, di dalam mulut Luna yang serupa lumpang, adalah pengalaman baru. Mulut kecil Luna memberikan sedotan kuat, membuat kedua kontol di dalamnya terisap urat-uratnya. Kedua tangannya juga turut mempermainkan skrotum Neo dan Pakin. Memijat-mijat biji zakar itu diiringi gerak mulut mengeluar-masukkan dua kelamin dengan cepat. Perut Pakin terasa tidak enak, bukan akibat mulas, melainkan batasan nikmat yang ia terima seolah-olah melebihi ambang. Liang mulut Luna yang penuh liur bersama belitan lidahnya yang kasap, ditambah gesekan penis besar Neo yang berurat tapi teksturnya mirip kulit ayam, sanggup menghilangkan akal sehat. Apalagi secara terampil Luna memainkan terus buah zakarnya, Pakin seolah-olah tidak diberi kesempatan untuk beristirahat.

Neo masih menghunjaninya dengan ciuman sekarat. Lidahnya merebut kekuasaan di mulut Pakin. Ia mengurut lidah Pakin yang lentur dan mirip permen karet, sementara kedua tangannya memilin dan mengurut kedua putting Pakin yang menegang. Dipeluntirnya dua biji imut tersebut, yang dalam beberapa waktu, ia tarik kuat sebelum kembali dia jepit, dan itu cukup membuat Pakin kehilangan semua fokus selain menerima tembakan-tembakan nikmat.

Sayup-sayup suara berita menyiarkan kunjungan turis asing ke Hongkong yang melonjak musim ini, dan kucuran keringatnya membanjiri tubuh ketika Neo memberi instruksi yang mengejutkan.

"Coba kamu rebahan."

Pakin menurut, lalu hampir berteriak ketika Neo membenamkan wajahnya di selangkangan Pakin, dan lenguhannya terdengar kian sensual tatkala penisnya tenggelam dalam mulut Neo. Ini gila!Tidak waras! Bahkan sepertinya para kiai tersebut tidak mampu menakar adanya persanggamaan paling sinting dan liar yang mampu membuat manusia berkelakuan serupa hewan ketika menarasikan Serat Centini. Buku-buku kamasutra bahkan tidak akan paham bahwa manusia adalah makhluk paling rakus yang menjadikan persetubuhan menjadi ajang menciptakan seni perkawinan paling tidak bermoral, mulai dari yang paling kiri sampai ke pelataran para keraton.

Apalagi sewaktu Luna tiba-tiba duduk di wajah Pakin yang membuat vaginya tepat di atas muka, Pakin benar-benar mirip orang edan, dan prosa-prosa tidak senonoh itu merosot dari jilidnya. Suara desah napas mereka terdengar bersahut-sahutan, timbul tenggelam dengan berita kunjungan turis ke Hongkong. AC benar-benar kehilangan fungsi, sebab panas seolah membara, mendidihkan kegiatan kawin ketiga pemuda ini. Aroma melati dari tubuh Luna kian kental tercium seiring pengharum ruangan yang juga menguarkan bebauan serupa, yang kemudian berkelindan dengan wangi manis tebu dan air jahe dari vagina Luna yang masih ia cerucup menggunakan lidah.

"Ou... Tuhan." Pakin menggerung nelangsa ketika Neo mulai menusukkan jari ke analnya. Dinding rektum Pakin yang singset itu seketika mencekik ruas jari Neo, menjadikannya tidak memiliki celah untuk bergerak.

Neo mengeluarkan jarinya, dan meminta Luna mengemut dua jarinya sekaligus. Melihat sang kekasih dan sahabatnya bisa bekerja sama dan menjadi murid yang baik, tak ayal keinginan Neo untuk menguasai keduanya semakin membabi buta. Dalam proses persetubuhan ini—bahkan di setiap prosesi perkawinannya dengan siapa pun itu, Neo ingin menjadi jenderal, sebab kekuasaan yang diberikan oleh orang-orang yang sudi ia tunggangi, seperti memecut hasrat persanggamaan itu ke puncak tertinggi,dan membuatnya mampu memberikan pelayanan terbaik yang pernah tubuhnya olah.

Kedua jari itu sudah basah oleh air liur Luna, dan dengan bersemangat Neo runjamkan ke lubang pembuangan Pakin. Sang sahabat memekik, lantas nyaris menggigit vulva gembur di atas mukanya. Ia mengerang hebat ketika Neo melakukan gerakan menggunting untuk melebarkan jalan lubang itu. Demi Tuhan, napas Pakin seolah-olah menggantung di langit-langit, meninggalkan badannya yang seakan-akan ingin terbelah akibat pergerakan Neo. Rasanya ada yang mengganjal di anus Pakin, panas bukan main, pedih luar biasa. Air mata itu menetes di pelupuk, dan ia sudah akan menjeritkan ampun ketika Neo kembali mengurut batang penisnya—kali ini lebih lembut, dan Luna mulai menggesekkan lengkung vaginanya di puncak hidung Pakin hingga ke lipatan bibirnya yang bengkak.

"Maafkan aku, Kin, tapi aku benar-benar nggak sabar melihatmu seerotis ini. Apakah kamu pernah mendengar bahwa tubuhmu seindah ini ketika bersanggama? Aku nggak kuasa menahan nafsuku, Kin. Kamu terlalu indah."

Ya, Tuhan, bisakah Neo berhenti mengoceh dan mulai melecehkan dirinya seperti yang ia lakukan dalam beberapa waktu terakhir? Pakin tidak tahu apa yang ada di pikiran Neo, tapi kenikmatan tiba-tiba datang membanjiri tulangnya, bergelombang-gelombang laksana ombak Pantai Klayar di musim panas yang pecah menghantam karang ketika Neo menemukan titik prostat Pakin.

"Nyooo...." Di situ, di situ, di situ.

"Panggil namaku, Kin, panggil namaku dengan lantang."

Persanggamaan itu kian menjumpai titik anomali. Mereka bahkan lebih hewan dibanding para binatang itu sendiri. Secara takzim Pakin dan Luna benar-benar menjadi prajurit yang mampu menyenangkan jenderal. Apalagi ketika Neo memerintahkan Pakin melakukan penetrasi di vagina Luna, sementara ia menyodomi anus Pakin, dan sang sahabat tidak memberikan peralawanan, kasih sayang itu melunak, keangkuhan itu terguling dari singgasananya, dan berkumpul tidak berdaya di lubang sepatunya. Pakin tidak pernah merasakan malam sepanjang ini, dengan kenikmatan semembabi buta ini, tapi sekaligus jerit ketidakberdayaan memekik semenderita ini. Ini seperti mempertemukan kontradiksi dalam jamuan makan malam untuk mencapai kata mufakat—mufakat untuk menerima kekalahannya entah yang keberapa kali.

Mereka melakukan tiga kali ronde sinting persetubuhan, sebelum Neo dan Luna ambruk dalam pelukan. Pakin menyeret tubuh telanjangnya keluar kamar. Berita di teve berganti dengan iklan-iklan rokok yang tidak Pakin indahkan. Ia membuka pintu, lantas bersandar di terali balkon. Batang rokok ia nyalakan, dan suara bisikan di kepala itu mempertajam bunyi seiring matanya menyisir lautan lampu pukul dua dini hari kota Jakarta.

Bajingan! Kenapa kamu baru pulang, huh? Mau jadi anak berandal? Kamu itu sampah, Kin, tidak berguna seperti oma dan bapak keparatmu!

Bangsat! Kenapa kamu masuk kamar tanpa ngetuk pintu? Kamu nggak lihat Bunda lagi ada tamu?

Pakin, Nak, kamu tahu, kan, Bunda sayang banget sama kamu. Pakin jangan ninggalin Bunda, ya, Bunda nggak bisa hidup tanpa Pakin.

Pakin, Nak, Sayang, bukankah kamu sudah pernah Bunda ajari perkalian kenapa nilai kamu masih jelek-jelek, hah? Dasar goblok! Otak kamu isinya apa, sih, sampai bebal gini? Bunda orang cerdas, dan sekalipun bapakmu tidak berguna, tapi dia orang terpandang dan terpelajar, nggak pernah ada sejarah keluarga kita goblok seperti kamu! Kamu harus Bunda hukum agar kamu bisa lebih giat belajar! Nggak malu-maluin kayak gini.     

Pakin, Nak, inget kata Bunda, Oma adalah perempuan jahat. Ia menendang Bunda ketika hamil dan membiarkan Bunda melahirkan Pakin seorang diri. Pakin jangan dekat-dekat sama dia, ya, nanti Pakin dijahatin sama Oma. Oma itu monster, Pakin. Monster!

Aduh, Sayang,ciuman bibir kamu enak sekali! Aku suka sekali!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro