Bab 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perempuan Pukul Empat Pagi itu dihidangkan di atas meja kerja Ohm. Ia telanjang, dan banyak luka yang mencongkeli tubuh ringkihnya. Pakin memalingkan wajah, mengembuskan asap rokok. Ia sudah muak dengan naskahnya itu. Bahkan sekarang ia mulai mengikuti saran Neo untuk menggarap cerita baru—yang sampai detik ini belum ia gerayangi sedikit pun. Rasa-rasanya membaca deret kalimat yang tersusun di tubuh Perempuan Pukul Empat Pagi membuat perutnya mual. Asam lambungnya seakan-akan jempalitan. Koreksi yang dibubuhkan dengan tinta merah dari Mas Force sejak laki-laki itu mengirimi revisian terakhir, belum Pakin indahkan sama sekali. Ia tidak memiliki tenaga, jujur saja. Dan rasa-rasanya isi perut Pakin bisa termuntahkan semua kalau ia memaksa untuk membenarkan perempuan sialan itu.

"Percaya nggak percaya, aku ngirim naskahmu yang belum kamu revisi ini ke Jawa Pos dengan nama pena yang benar-benar baru, jadi mereka nggak akan tahu kalau yang ngirim itu aku, dan judul yang kuubah isinya."

"Sinting!"

"Yeah, karena aku pun penasaran mampus kenapa dia nggak diterima padahal dari segi tema, penceritaan, diksi yang kamu pake masuk banget untuk kualifikasi Jawa Pos."

"Dan hasilnya?"

Ohm membuka ponselnya, mengutak-atik sesuatu di sana, lantas menyodorkan benda pipih tersebut kepada Pakin. Tak ayal Pakin membeliak, kemudian menggeleng tidak percaya. Diembuskannya lagi rokok di jepitan ruas jarinya, sambil mengembalikan ponsel Ohm.

"Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku yakin pasti ada yang nggak beres di sini."

"Jadi itu naskah mau diterbitkan?"

"Aku japri editornya untuk menarik naskah tersebut karena aku ingin mencari tahu kenapa ketika kamu yang mengirimkannya, kamu ditolak mentah-mentah."

"Apakah ini ada hubungannya dengan Mas Force? Dia yang menjadi pembimbingku selama aku terjun ke dunia seni cerpen."

"Aku nggak tahu, tapi jikapun itu benar, apa yang membuat Force sepertinya menahan kesuksesanmu?"

Pria berambut keriwil itu mendengus. "Sukses apaan, sih, Ohm? Kalau sukses kenapa nggak pernah ada satu pun naskah gue yang lolos untuk ditayangkan? Gue emang butuh duit, tapi persetan dengan honor yang didapat dari setiap terbitnya cerpen, gue hanya ingin nama gue mejeng di halaman koran."

"Kamu terlalu mengerdilkan dirimu sendiri."

"Karena kenyataannya seperti itu?"

"Para penadah itu memarodikan pelik menjadi asyik, menyendawakan larat menjadi pikat, menjahit tangis menjadi tiris, menyuratkan kelam menjadi tawan, mengaduhkan pekik menjadi apik, yang semuanya berhiliran seperti Jatayu menguntit Rahwana saat menculik Sita, lalu bermuara pada suatu gumpalan daging yang butuh diisi, yang kadang menjerit minta diludahi, yang kadang bernestapa di balik sekaratnya tangsi."

Pakin mengorek kuping, memutar bola mata malas. Kalimat tersebut sudah berkumpar di kepalanya sampai menjadi kusut. Mau dia dedah sebagaimana pun rasa-rasanya tetap saja berakhir sama; tong sampah. Ia udah mencoba membongkar pasang parafrasanya, mencari diksi yang sedekat mungkin mampu menggambarkan ironi, melucuti frasa, memberedel konjungsi, sampai menyelami makna yang ingin ia tampilkan, menelaah kembali latar belakang dan tujuan yang ingin ia suarakan, tapi tetap saja. Hasil itu semua adalah kosong. Nol besar. Sampahnya kali ini memang sudah sepatutnya ia ceburkan bersama sampah-sampah lain di Ciliwung—tidak bisa diselamatkan. Ia harus segara bangkit atau akan menjadi semakin sekarat ketika ujung-ujung penanya mengering.

"Kasih tunjuk padaku, kalau dia bukan orang sinting, bagaimana dia bisa menciptakan kalimat seedan ini? Apa yang dikatakan Nanon tentangmu itu benar, Kin. Kamu gila, nggak waras, kentir, dan kegilaan itu melahirkan jabang-jabang keberanian yang nggak satu dua orang mampu miliki. Batas tertinggi seniman adalah ketika ia dibungkam oleh kekuasaan, sebab itu berarti suaranya telah menggemparkan titik-titik anjing yang selama ini mereka genggam."

"Ini lo nggak sedang merayu gue supaya mengiakan ajakan Nanon untuk tampil di pentas teater, kan? Kita lagi ngomongin cerpen gue kalau lo lupa."

"Menyelam sambil ngentot apa salahnya?"

"Orang sinting."

Ohm terpingkal. "Aku nggak tahu apa yang salah, tapi jelas aku akan mencari tahunya. Aku akan menghubungi editor-editor dari koran-koran yang telah menolakmu. Siapa tahu mereka memberi alasan yang belum kita dengar selama ini. Kalau dugaanku benar, kamu benar-benar sudah berada di jalan yang seharusnya kamu teruskan."

"Dan dugaan itu?"

"Aku belum bisa ngasih tau, takut jatuhnya fitnah."

"Apakah ini ada hubungannya dengan Mas Force?"

"Bisa jadi iya, bisa jadi enggak. Dan kenapa kamu selalu menuduh ke sana? Apakah kamu memiliki indikasi yang nggak aku tahu?"

"Nggak juga, sih, Ohm. Hanya saja Neo yang bilang gitu. Lo tahu sendiri, kan, sebangsat-bangsatnya dia, tapi kalau untuk urusan feelings agak bisa dipercayai bacotnya?"

"Feelingnya bilang apa kali ini?"

"Bukan sesuatu yang pasti, sih. Di mata dia Mas Force seperti tengah menciptakan zona hitam yang nggak dia tunjukkan kepada siapa pun, dan zona itu nggak memberikannya keamanan walaupun dia sudah berkali-kali ngobrol dengannya. Gue nggak tahu maksudnya apa. Selama ini pertemuan gue sama dia nggak pernah ada keganjilan, dan gue nggak menangkap ada yang aneh. Menurut lo sendiri bagaimana? Lo kan lumayan dekat sama dia. Nggak ada yang ganjil gitu dari perangainya selama ini?"

"Ada, tapi aku perlu memastikan asumsiku. Sebelum itu terbukti, biarkan aku yang menyimpannya dulu."

"Apakah ini bisa berakibat dengan masa depan gue?"

"Jawabanku tetap sama, bisa iya, bisa enggak. Gue belum bisa memastikannya sekarang."

Pakin mengangguk sebagai respons. Asap-asap rokok itu meliuk dari bibirnya, dan terburai di kamar kos Ohm. Sudah hampir dua minggu Pakin engga bertemu dengan Neo. Jika pada akhirnya ia harus berbaku dialog dengan Neo pun, hal-hal dasar dan yang merupakan kepetingannyalah yang akan ia tanyakan, untuk konteks di luar hal-hal yang patut dibicarakan dengan Neo maupun Luna, sebisa mungkin Pakin hindari. Persetubuhan paling kentir di apartemen Luna kala itu memanglah seperti mengisi bejana-bejana yang melompong di selangkangannya. Tapi ternyata dampaknya sungguh luar biasa. Sejak malam itu sampai sekarang, mimpi-mimpinya selalu berujung pada petaka ketika ia masih berada di bangku sekolah dasar. Ketakutan-ketakutannya yang selama beberapa dasawarsa mati-matian ia kubur, berhamburan dan menggonggong mengerikan di kepala. Ia menjelma hantu-hantu kelaparan, yang kehadirannya hanya untuk menyedot jiwa dan kebahagiaan Pakin.

Jika neraka adalah sebenar-benarnya tempat untuk menyiksa para binatang yang selama hidup berkawin dengan dosa, maka masa muda Pakin ia habiskan mendekam dalam neraka itu. Hanya saja, dengan ataupun tanpa ia harus melumuri kedua tangannya dengan dosa, cambuk-cambuk itu saban hari terus memecut tubuh ringkihnya. Tiga tahun ini Pakin sudah mulai terlepas dari cengkeraman setan-setan itu. Tapi ia sama sekali tidak menduga, persanggamaannya dengan perempuan justru seolah menarik kedatangan para hantu dalam pesta mengundang jailangkung.

Hantu tersebut mulanya menemani Pakin yang sedang menikmati suguhan malam dengan tembakau, kemudian ia ada dalam lompatan nada-nada sumbang yang Pakin hasilkan ketika menggenjreng gitar dengan teman sekos, tapi setelah itu Pakin menjumpai banyak hantu ketika dia sedang membuat laprak, atau ketika kerkom dengan teman sekelas, bahkan ia hadir tatkala dosennya memberikan kuliah gramatikal-leksikal. Pakin sebenarnya sudah melakukan berbagaimacam terapi yang pernah ia dapatkan dari profesional, tapi mereka sepertinya benar-benar telah menerobos pertahanan Pakin. Mereka menampakkan diri di novel-novel yang Pakin baca, mempertemukan keberadaannya di secangkir kopi yang Pakin aduk, atau turut bersenda gurau sebagaimana Pakin dengan teman-teman mapala.

Ini ngeri, dan Pakin benar-benar kewalahan mengadang luapan hantu-hantu itu. Jadi ketika Neo pergi dari kos mereka, Pakin langsung masuk ke kamar mandi. Dalam keadaan telanjang ia mengambil pencukur jenggot, lalu di bawah timpaan shower ia menggurat daging pahanya dengan pisau cukur. Darah merembes seketika, bercampur dengan air dingin. Tapi hantu-hantu tersebut terus mengeluarkan bunyi-bunyi yang berdengungan mirip sekawanan lebah.

Buju buset, dah, Nyo. Gue nggak ninggalin lo dari tadi. Gue di samping lo terus. Memang lo-nya aja yang nggak melihat gue, tapi gue tetap bisa memantau lo. Gue biarkan lo tersandung supaya lo tahu medan yang sedang lo lalui, tapi gue nggak membiarkan orang-orang menyenggol badan lo karena mereka bisa membuat lo terjatuh dan luka. Paham nggak, sih, lo? Ah elah.

Tajam dari pisau cukur itu kembali mengiris daging Pakin. Darah semakin banyak meleleh, membuat lantai tempatnya berpijak berubah warna merah.

Gue nggak bisa ngomongin ini ke lo sekarang, Kin, tapi yang harus lo tahu nggak ada yang benar-benar bisa menyubtitusi lo dari hidup gue.

Tapi pada kenyatannya ada Luna ketika lo ninggalin dia selama enam bulan, ngentot!

Kalau lo nggak bisa mencari pengganti gue, lo akan tetap setia menunggu gue!

Gue juga nggak ingin ninggalin lo selama enam bulan!

Persetan dengan kebutuhan lo yang ingin ditemani dan didengar, pada kenyataannya emang lo nggak pernah benar-benar ada buat gue.

Sayatan itu makin dalam dan makin brutal, memperlihatkan daging segarnya yang merekah mirip daging-daging ayam yang dijual di pasar-pasar Pahing. Rasanya panas, dan kendati yang ia rajah hanyalah paha, tapi sengatannya pecah ke seluruh pembulu darah. Seperti membiarkan aspal mencair dan melepuh di jangat telanjangnya, yang kemudian berpagutan dengan tusukan dingin air yang menggigilkan tulang. Pertemuan dua wujud itu layaknya paradoks kacau balau. Semakin memperkuat rasa tidak nyaman yang merenggut separuh kesehatan Pakin.

Masih belum puas dengan lara yang ia terima, kini Pakin mengiris paha satunya. Darah segar merembes, menyebar ke mana-mana. Kulitnya yang seketika robek, mempertontonkan serat dagingnya yang berwarna merah muda. Rasanya luar biasa, perih bukan main, pedih sampai ubun-ubun, menggeranyam mirip letupan-letupan buih soda di tempurung kepalanya. Ia sampai menggigit bibir kuat supaya tidak berteriak kesakitan, tapi hantu-hantu bersuara di kepala itu tidak kunjung pergi. Ia terus berdatangan, membawa kenangan masa lalu hadir lebih banyak.Nadanya yang tipis tapi membisik tajam, seperti serangan ngengat yang merayap di balik kulit-kulitnya, menggerayangi badannya seperti kesemutan.

Baru kali ini, sih, anak FEB gagal memertahankan juara POM. Kalau bukan karena si homo keparat itu, kita nggak akan menjadi seperti ini.

Dia beneran nggak waras, sih. I mean, gue sama sekali nggak mempermasalahkan orientasinya, tapi ayolah, jadi manusia yang lebih bijak. Kalau kedatangannya hanya untuk membuat perkara di lapangan, kenapa dia nggak lenyap saja?

Malu banget rasa-rasanya karena untuk pertama kali dalam sejarah, FEB kehilangan trofi POM.

Di bawah timpaan air shower, pemuda berambut ikal itu meringkuk di atas lantai yang bersimbah darah, tubuhnya bergetar hebat. Hantu-hantu itu bersorak mengelilinginya, melakukan euforia sebab penderitaan Pakin adalah bahan bakar utama dari kehidupan mereka. Mereka berdendang, dengan suara bisik tipis yang keji yang terus meracuni kewarasan Pakin.Ia mulai memukul-mukul kepala, menampar-nampar kedua pipinya, menjambak-jambak rambut sekuat tenaga, lalu ia meninju dada sebab sesak tiba-tiba meremat paru-parunya, dan menyumpal batang tenggorokannya untuk menyirkulasi udara tatkala para hantu keparat itu menjulurkan tangan lantas memeluk Pakin erat-erat dari belakang. Pakin tersengal, terbatuk berkali-kali. Dan Pakin semakin tidak peduli. Ia benar-benar ingin mendatangkan kematian itu malam ini juga. Sekarang juga.

Keparat!

Berhenti!

Berhenti gue bilang!

"Pakin, tenang, ada aku di sini. Semua baik-baik saja."

Sebuah tangan menyentuh lembut lengan Pakin yang menegang. Anak gemini tersebut terkesiap, menjegil, lalu memalingkan wajah kepada Ohm yang tampak khawatir. Baru ketika Pakin sadar bahwa ia berada di kamar Ohm, Pakin mengembuskan napas besar lantas mengisap kembali batang rokok.

"Sorry, sorry, tadi gue ngelamun," katanya lemah, mencoba menyembunyikan tangannya yang tremor dari pandangan Ohm.

Ohm hanya mengangguk—mengamati gerak-gerik Pakin. Ia beranjak dari kursi, merangkum air ke dalam sebuah gelas, lantas balik ke samping Pakin dan mengulurkan mineral tersebut kepada kawannya. "Minum dulu," katanya.Ia sedikit ngeri melihat kondisi kawannya yang tampak terguncang entah oleh sebab apa. Hal ini mengingatkan Ohm di malam dingin Savana 2 Gunung Arjuno bulan lalu.

Pakin menerima uluran tangan dari Ohm, dan lega seketika memeluk raga tatkala cairan dingin tersebut menggelontori tubuhnya yang tegang. Hantu-hantu itu masih ada di sana saat ini, mengomentari Perempuan Pukul Empat Pagi Pakin lebih tidak manusiawi—bahkan mereka secara terang-terangan menyangkal gagasan Neo yang mengatakan bahwa Force-lah dalang dari kegagalan cerpen-cerpen Pakin tayang di koran. Hantu-hantu itu mendesis, tertawa meremehkan, dan menunjuk Pakin yang seharusnya menjadi dalang dari semua kegagalan dalam hidupnya. Sebisa mungkin Pakin mengabaikan keberadaan mereka walaupun rasa ngeri itu benar-benar melayang di kepalanya—kenapa suara bisik yang dulu abadi dalam suara kini menampilkan wujud terlihat sungguh nyata di mata? Pasti ada yang salah dengan kepala Pakin.

"Aku pikir GMM udah nggak sehat, sih."

"Bagaimananya?"

"Aku membaca menfess tentang kegagalan FEB dalam mempertahankan trofi juara tahun ini, tapi serangan mereka yang menuduhmu sebagai dalang dari kegagalan itu benar-benar sakit jiwa. Seharusnya pihak BEM ikut turun supaya lembaga ini nggak menjadi markas para pembully."

"Karena memang pada kenyataannya seperti itu?"

"Jika dan hanya jika POM cuma mempertandingkan basket dalam cabornya. Ada banyak pertandingan, dan FEB kalah di mana-mana. Dalam olahraga renang misal. Mereka kalah telak, bahkan dua pemain mereka didiskualifikasi. Dan seiyanya kamu menjadi dalang kekalahan mereka, mereka nggak memiliki hak sedikit pun untuk merisakmu."

"Bukankah itu hal yang memang sepatutnya mereka lakukan dalam kondisi seperti ini?"

"Patut dalam bidang apa?"

"Mengakui kekalahan jauh lebih mengerikan daripada mencari kambing hitam untuk dijadikan biang kekalahan. Apalagi kali ini lagi-lagi gue sang biang onar ikut terseret dalam pertengkaran konyol Neo dengan cowoknya. Dengan riwayat gue yang rendah ini, sangat mudah bagi mereka menyalahkan gue daripada introspeksi diri untuk memperbaiki performa. Mengakui kekalahan membutuhkan banyak effort, Ohm. Salah satunya termasuk mencoreng egomu dengan mengakui bahwa ada pihak lain yang lebih unggul. Apalagi jika ini kekalahan pertama, ego untuk menerima kenyataan itu benar-benar besar."

"Benar memang, tapi hanya orang-orang tolollah yang masih memiliki pimikiran sedangkal itu. Kamu memiliki hak untuk melawan. Bukan untuk menunjukkan kekuatanmu dalam membela diri, tapi untuk bertahan dari semua serangan itu. Manajemen kampus terlalu tuli dan buta, sehingga alih-alih menciptakan masyarakat yang cerdas, mereka justru membibit pembunuh di gedung luar biasa ini. Permintaan maaf memang nggak mengubah keadaan, tapi setidaknya ia mampu menurunkan tensi ketegangan. Kalau mereka benar-benar bijak, seharusnya mereka cepat menyelesaikan masalah itu dan meminta maaf padamu."

"Kalau mereka saja yang justru membuat gue menyerah dalam pentas seni teater, lo mengharapkan apa lagi pada mereka untuk kasus seremeh ini, hum?"

"Pembullyan nggak pernah bisa dimasukkan ke dalam golongan remeh, Pakin. Sebab apabila kita memandang sebelah mata, walaupun kita bukan pelaku langsung, ketiga jari yang teracung kepada kita tatkala telunjuk menunjuk sang pelaku, turut menghakimi kita bahwa kita adalah juga pembunuh. Kalau kamu nggak mau menuntut mereka karena merasa nggak berdaya, setidaknya adillah sedikit saja kepada dirimu sendiri. Kasihan, Kin. Kasihan kamunya."

Pakin mendengus, mematikan puntung rokok di asbak, lantas mulai menyulut sebatang lagi.

"Kami semua sudah mencoba sekuat mungkin membela kamu. Bahkan dalam postingan Twitternya, Neo tampak benar-benar murka, dan aku mendengar dia sampai bertengkar hebat dengan teman fakultasnya. Tapi kalau pihak kampus nggak turun tangan, kejadian seperti ini akan terulang lagi. Bisa jadi gelombang kedatangannya akan jauh lebih mengerikan dari sekarang."

"Gue berterima kasih sama kalian, tapi biarkan gue mengistirahatkan tubuh dan pikiran gue dengan cara gue sendiri. Gue tahu batas ambang kemampuan tubuh gue bertahan. Kalau gue memaksa kehendak, gue hanya takut nggak bisa mengendalikan hal yang lebih buruk lagi menimpa gue. Gue hanya ingin waras, Ohm. Tapi gue benar-benar bersyukur ada kalian yang membantu gue."

"Iya, Kin, aku mengerti. Kalau kamu sudah siap kembali ke kami, jangan lama-lama berdiam diri di tempat hanya ada kamu sendiri di sana. Aku takut sesuatu yang lebih buruk menimpamu."

Pakin tersenyum kecil. Sejak malam erotisnya dengan Ohm membagi suhu tubuh, sifat dingin Ohm mulai mencair kepadanya. Ia tidak lagi menjadi penulis yang tidak bisa disentuh kedua tangan. Tidak ada lagi Ohm yang sedingin Kalimati. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Ohm datang berkunjung hanya untuk mengajaknya berkeliling mencari semangkuk wedang ronde. Email-email Pakin yang sebelum itu selalu mendapat respons dari Ohm satu atau dua minggu dari hari dia mengirimkannya, kini mendapat respons lebih cepat—terlalu cepat malah. Ohm sampai rela menelepon Pakin sekadar untuk mendiskusikan naskah.

Apalagi ditambah kejadian malam di Savana 2, Ohm yang duduk di sampingnya kini benar-benar ibarat dua pribadi yang berbeda. Ia seperti bukan penulis bertangan dingin yang karyanya sudah banyak dibukukan, bukan tampak seniman yang dari novelnya film-film box office Indonesia ditayangkan. Ia hanyalah anak kampus biasa. Pemuda asal Solo, yang sifatnya hangat-hangat kuku, mengingatkan Pakin pada sore yang kebanjiran cahaya keemasan matahari dengan seduhan wedang uwuh.

"Bagaimana dengan Rengganis?" tanya Pakin sekonyong-konyong.

"Tiba-tiba banget?"

"Kalian baik-baik saja?"

"Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan perempuan sakit jiwa itu? Atau jangan-jangan kamu mulai tertarik dengan cewekku."

Pakin tertawa, mengembuskan asap rokok. "Please, lah, Ohm. Soalnya lo terlihat diam setelah pendakian dari Arjuno. Biasanya lo akan terobsesi dengan puncak-puncak lain."

"Kamu pastinya tahu puncak nggak pernah menjadi obsesiku."

"Tapi Rengganis tercipta dari sana."

"Itu karena aku yang terlalu memuja Rengganis. Bagiku Rengganis adalah kealpaan paling bisa dimaklumi. Ia benar-benar indah, eksotis, dan tubuhnya memberikan lautan sabana yang memanjakan mata. Aku menemukan diriku tersesat dalam keindahan Rengganis ketika sebagian orang memuja Mahameru. Nggak ada yang salah karena ini murni dari pandangan pendewaan saja. Hanya, yeah seperti yang kamu tahu, aku telah menambatkan diriku kepada perempuan itu, sehingga aku nggak bisa berpindah ke lain hati. Rengganis puncak pertama yang kukenal ketika aku mulai mendaki. Dan ia benar-benar membuatku sekarat."

"Kalau nggak ada Neo mungkin gue udah bisa jatuh hati pada lo, Ohm."

"Jangan, Kin, sekalipun aku mengklaim kamu milikku malam itu, aku benar-benar bukan pilihan yang baik di antara semua pilihan. Egoku untuk menakhlukkan diri sendiri dengan tersesat di dalam hutan, gunung, dan lautan terlalu tinggi saat ini. Aku nggak bisa memprioritaskan apa pun selain alam. Jika aku disuruh jatuh cinta, kamu jelas orang pertama yang tepat di mana semua cinta itu aku labuhkan. Tapi untuk saat ini, bahkan mencintai pekerjaanku pun aku nggak sanggup. Keakuanku terlalu nggak bisa kukendalikan. Ia liar dan berbahaya."

"Iri banget, anjing, gue sama lo. Memiliki orang tua yang mendukung dan adik yang sayang banget sama lo. Lo dibebaskan menjadi diri sendiri di saat orang seumuran kita masih bingung harus menjadi apa di kemudian hari."

"Ini mungkin buah dari apa yang telah aku korbankan selama ini, Kin. Hampir di seumur hidupku, aku membiarkan diriku dikekang oleh mereka. Disuruhnya aku belajar, aku belajar. Disuruhnya aku membaca, buku-buku yang mereka belikan kulahap sampai mampus. Aku nggak pernah ke mana-mana, bahkan teman saja nggak sampai hitungan lima. Tapi setelah aku mampu membuktikan secara finansial dengan menulis, baru mereka benar-benar melepaskanku. Prosesnya nggak hanya memakan waktu satu dua tahun, tapi di sepanjang hidupku."

"Dan bagaimana rasanya menjadi orang yang bisa berdiri di titik ini?"

"Sama saja kukira? Aku nggak pernah benar-benar tahu ketika pertanyaan serupa itu menghampiriku. Apa yang kukerjakan sekarang adalah profesiku, tapi diriku nggak ada bedanya dengan yang lain. Aku makan, main, berhenti, mengejar, putus asa, seperti yang lain. Mungkin karena sekarang ada Rengganis, pribadiku jadi lebih mencolok. Jika nggak ada dia, bahkan kamu pun nggak akan mengenalku."

Pakin manggut-manggut. Setelahnya mereka terdiam cukup lama, sampai tiba-tiba Ohm menepuk pahanya pelan. Pakin sedikit berjengit mendapati perlakuannya. Ohm mengelus-elus paha Pakin yang terbungkus celana jins, dan ringisan sakit itu ia tahan sebab perih dari luka sayatannya masih terasa kendati lukanya mulai mengering.

"Di sini, ya, kamu melakukannya?"

Bulu roma Pakin serempak menegak. Tubuhnya mematung. Mati-matian Pakin menerima gagasan yang mengatakan bahwa Ohm hanya bisa membaca mata orang, tapi usul yang mumbul tentang ia memiliki indra keenam tidak bisa ia gusur dari dasar otaknya.

"Sakit banget pasti."

Pakin menahan napas.

"Kamu hebat, Kin. Hebat banget teman aku bisa bertahan sampai sekarang. Pasti sakit banget, ya? Apalagi kamu melakukannya sendirian tanpa teman. Aku nggak bisa membayangkan betapa mengerikannya malam itu. Sakit, sendiri, dingin, dan panas. Bahkan rasa-rasanya neraka nggak terlihat sekeji ini."

"Lo bikin gue takut, Ohm. Lo cenayang, ya?"

"Seperti yang pernah kubilang padamu, Kin, aku sama sekali bukan apa-apa yang ada dalam sangkaan kamu. Aku hanya bisa membaca mata orang, dan karena sekarang kamu di sini, aku bisa menangkap jerit sakit hati itu di sana. Mungkin kamu memang benar memiliki rasa iri terhadap kehidupanku yang entah karena apa, tapi rasa sakit yang kamu derita sekarang melebihi iri kamu."

"Tapi bagaimana lo tahu kalau...."

"Siklusmu terbaca ketika aku menemukanmu di Savana 2 malam itu. Pasti kamu melakukannya lagi. Awalnya aku nggak yakin karena badanmu terlihat baik-baik saja. Tapi sedari tadi kamu terlihat berhati-hati untuk menggerakkan kaki dan tiba-tiba saja tubuhmu menegang entah karena apa, aku jadi berpendapat bahwa di sana kamu menyembunyikan luka itu."

"Gue bisa, nggak, sih, menggantikan Rengganis di hidup lo, Ohm?"

"Kalau aku mau serakah, asalkan kamu tahu, letakmu lebih tinggi dari ribuan Rengganis yang mungkin tercipta dan masih tersembunyi, Kin. Tapi aku tahu keserakahanku akan menyakitimu sebab ia datangnya dari nafsu. Nafsu memilikimu sangat gila. Terlebih setelah malam sinting itu, kamu kira aku baik-baik saja melihatmu diperlakukan semena-mena oleh Neo? Aku sakit banget, Kin. Ingin banget aku membawamu pergi dari Neo dan mengajakmu tinggal bareng. Hasil dari aku menulis sangat bisa kugunakan untuk mengambil tanggung jawabmu dari orang tuamu dan menafkahimu secara layak. Tapi itu semua terkalahkan oleh ego aku. Dan kamu akan terluka sekali kalau berhadapan dengannya."

Pakin mengembuskan asap rokok, mencoba mengerti keadaan yang dialami Ohm walaupun sebenarnya keinginan tersebut benar-benar impulsif. Jika Ohm menyeriusi omongannya, Pakin yang akan kewalahan.

Pemuda itu terus mengelus paha Pakin sambil menginjeksikan kalimat-kalimat bangganya kepada Pakin karena telah mampu bertahan sejauh ini, kalimat yang sama yang pernah ia dengar dari seseorang ketika ia menghilang enam bulan utuh. Seseorang yang datang ketika ia tertidur, lantas pergi ketika matanya mengantuknya terbuka, sehingga yang mampu ia tangkap hanyalah bayang-bayang punggungnya. Pakin tidak pernah benar-benar melihat secara langsung sosok itu. Oma mengatakan ia serupa dewa. Datang memberi obat dan penenang kendati Pakin tidak pernah tahu luka mana yang telah seseorang itu obati.

"Celananya dilepas, ya, Kin?"

"Untuk?"

"Aku mau lihat lukisan tanganmu."

Oke, ini agak aneh. Pakin mengernyit, tapi tak ayal mengangguk. Ohm seketika bersimpuh di hadapannya. Ia melepas kancing celana jins Pakin, menurunkan ritsleting, lantas meloloskan kain belel tersebut dari kaki Pakin. Pakin membuka kedua paha ketika Ohm mendekat, menundukkan kepala, dan menciumi garis-garis panjang nan dalam hasil dari buah karyanya malam minggu lalu. Ia menciuminya dengan sangat lembut, bahkan lebih berhati-hati, seolah paha putih Pakin yang kini terbatik terbuat dari tembikar yang merengat.

Ia menghadiahi luka-luka itu dengan ciuman kecil-kecil, seolah tengah memberikan persembahan yang layak Pakin dapatkan karena terlalu luar biasa menghadapi ketakutannya seorang diri. Mata Pakin tertutup, sementara bibirnya masih sibuk menyedot dan mengembuskan asap rokok. Tapi kemudian ia membeliak sewaktu ciuman Ohm berubah menjadi jilatan, gigitan, isapan, dan kecapan.

Sialan, Pakin tahu ke mana ujungnya pemujaan ini. Dan ia terlalu sinting jika harus melewatkannya. Malam ini ia akan benar-benar menjadi anak yang patuh buat Ohm seorang. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro