Bab 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oma barusan ngirim ayam ungkep buatmu, Kin. Dimakan sama Neo, ya? Nanti kamu tinggal goreng saja, jadi kamu nggak boros-boros uang hanya untuk membeli KFC."

Mendengar hal tersebut, mata Pakin membulat sempurna. Ia tertawa girang. Selama ini harga dirinya memang tidak pernah lebih mahal dari sekadar makanan-makanan saja. Memang murahan si keriwil ini.

"Oma memang the best. Nanti kalau paketannya sudah sampai, Pakin hubungin Oma."

"Kamu jangan lupa istirahat, Pakin. Tubuhmu itu jangan terlalu diforsir. Kalau kamu jatuh sakit, bisa habis pikiran Oma. Kamu hari ini sudah sarapan, kan? Jangan karena Oma menyunat anggaranmu kuliah kamu jadi alfa memberi hak-hak tubuhmu dengan makanan."

"Aman, Oma. Tadi Pakin sudah sarapan bubur ayam dekat kampus. Oma nggak usah khawatir sama kesehatan Pakin. Kuliah Pakin lancar, mungkin Pakin disibukkan sama tugas-tugas kampus, tapi sejauh ini bisa Pakin handle, Oma. Dan karena Pakin bukan anak organisasi, jadi waktu luang Pakin lebih banyak dari yang lain. Oma tenang saja. Yang harusnya khawatir di sini Pakin, bukan, sih? Oma nggak lupa minum obat, kan? Jangan banyak bergadang lho, Oma, nanti darah tinggi Oma kambuh."

Perempuan sepuh di seberang telepon itu tertawa. Dan itu menghangatkan perut Pakin. Ia yang baru saja menyelesaikan mata kuliahnya hari ini, memutuskan untuk berisitrahat di taman kampus ketika perempuan kesayangannya telepon.

"Kamu kalau khawatir sama Oma, ya sering-sering telepon Oma, dong, Sayang. Masa harus Oma yang selalu telepon, sih. Katanya kamu nggak punya kesibukan, tapi buktinya mana, Kin? Jangankan pulang, telepon saja hampir-hampir nggak pernah."

"Ya ampun Oma merajuk banget kayak remaja."

"Oh, jadi Oma harus jadi remaja dulu, nih, ceritanya biar bisa protes ke cucunya sendiri yang nggak mau pulang ke Bogor? Ini kamu kayak melupakan dan menelantarkan Oma, lho. Kalau fisik Oma kuat, mah, Oma bakal kunjungi kamu setiap hari di Jakarta. Kalau bisa masakin kamu."

"Ih, nggak gitu Oma maksud Pakin. Okay, iya, Pakin salah karena kelihatannya lupa sama Oma, tapi jujur enggak Oma. Cucu sinting mana, sih, yang bisa melupakan omanya sendiri? Apalagi kalau Omanya cantik banget. Pakin sih lebih takut kalau kelamaan Pakin di Jakarta, ada duda berondong yang ngelirik Oma."

"Dasar kamu, Kin. Suka banget ngegodain eyangnya sendiri."

Pakin tergelak. "Gimana kabar Oma?"

"Akan selalu baik-baik saja, Nak. Dan setiap mendengar suaramu, kebaikan itu lebih-lebih rasanya." Suara embusan napas besar terdengar. "Sampai sekarang rasanya bahkan untuk jutaan ampunan dan permintaan maaf Oma nggak—"

Tahu ke mana arah pembicaraan dari eyang utinya, Pakin langsung menyela omongan Oma, "Oma, kita sudah membicarkan ini dari dulu-dulu, dari sebelum kita bermigrasi ke tempat sekarang. Jadi biarin itu menjadi cerita lama. Tutup semua di situ. Pakin nggak lagi ingin mendengar Oma jatuh sakit karena kepikiran masa lalu. Namanya saja masa lalu, Oma. Letaknya nggak pernah ada di depan. Benar memang saat itu Oma salah, tapi sekarang Oma sudah menebus kesalahan itu semua, bahkan melebihi apa yang pernah Pakin harapkan. Pakin sayang banget sama Oma, jangan biarkan Oma menderita dengan menanggung rasa bersalah seumur hidup. Kehadiran Oma sekarang sudah cukup menghapus dosa-dosa di masa lalu."

"Apakah itu artinya sama dengan kamu, Kin? Apakah itu artinya kamu telah menghapus dosa-dosa yang nggak seharusnya kamu tanggung selama ini, Nak?"

Pakin terdiam, menggigit bibir.

Desahan napas payah Oma terdengar lagi. "Kalau bisa Oma memutar waktu, Oma benar-benar ingin membunuh masa muda Oma sehingga kamu nggak perlu menanggung beban sedemikian ini, Kin. Terserah Pakin mau ngomong bagaimana, tapi ada kewajiban di diri Oma yang mengharuskan Oma meminta maaf kepadamu setiap hari, di sisa umur Oma. Mungkin jatuhnya terdengar sedikit egois, karena permintaan maaf Oma nggak luput dari keinginan Oma menghapus rasa bersalah itu. Tapi apa pun yang telah Oma berikan dan korbankan padamu rasa-rasanya nggak pernah sepadan dengan neraka yang kamu jalani, Kin."

"Neraka ini biar aku yang urus, Oma. Dosa ini biar aku yang mengampunya seorang diri. Oma jangan menghukum diri Oma lebih jauh. Kita memang nggak pernah bisa memprediksi masa depan. Itulah kenapa menurut Pakin, selain menjatuhkan otak, Tuhan memberi kita perasaan untuk menjadikannya rambu-rambu ketika logika kita sudah nggak bisa berjalan dengan benar. Memang Oma salah, tapi salah dan benar memiliki persepsinya sendiri-sendiri. Dan Pakin pun rasa Oma berkelakuan seperti dulu juga memiliki alasan."

"Atau alasan hanya untuk dijadikan ada supaya membenarkan tindakan Oma?"

Pakin tidak tahu harus menjawab apa.

"Apalagi ketika kebun teh keluarga kita mengalami masa pailit dan Oma harus menyeretmu ke lubang ini, Kin, bagaimana caranya Oma keluar dari genggaman perasaan berasah, Nak? Sekalipun kamu memaksa Oma untuk berhenti menghukum diri, pada kenyataannya alam bawah sadar Oma-lah yang akhirnya menjadi algojo buat kewarasan Oma."

"Pakin bisa bertahan, Oma. Pakin akan mencari kerja untuk mencukupi kebutuhan kita."

"Apalagi kamu harus membayar UKT."

"Oma nggak perlu khawatir. Pakin bisa menanganinya seorang diri. Pakin memiliki banyak teman, jadi Pakin bisa mencari pekerjaan pada mereka."

"Oma tahu, Nak. Oma sangat Paham. Pakinnya Oma adalah pria hebat, lelaki kuat dan tangguh. Tapi Oma hanyalah perempuan nggak berdaya yang memiliki banyak keterbatasan, Pakin. Keterbatasan Oma saat ini adalah rasa bersalah Oma yang membabi buta. Jujur, Pakin, bukannya Oma ingin membuatmu merasakan apa yang ada dalam pikiran Oma, tapi sejak kita mengalami kesusahan, Oma sulit untuk beristirahat. Oma ingin terus sehat supaya bisa menjagamu lebih lama di dunia ini."

"Oma mau Pakin seperti apa? Oma ingin Pakin pulang sekarang? Kalau iya, Pakin pesen tiket kereta sekarang."

"Oma hanya ingin minta tolong Pakin satu hal supaya rasa bersalah ini nggak semakin mencekik dan membunuh Oma perlahan-lahan."

"Apa yang bisa Pakin bantu, Oma?"

"Oma tahu Pakin bisa bertahan, Oma tahu Pakin bisa melewati semua cobaan ketika Pakin kuliah.Hanya saja, ada beberapa hal yang nggak seharusnya Pakin tanggung, dan Oma harap Pakin bersedia melepaskannya kepada yang sebenar-benarnya pengampu tanggung jawab itu. Kalau Pakin nggak bisa melakukannya demi kebaikan Pakin, Oma memohon dengan sangat, lakukan ini demi Oma, setidaknya untuk melonggarkan simpul-simpul perasaan bersalah yang mengikat kedua kaki Oma selama ini."

"Ke mana Oma membawa arah obrolan kita?"

"Selama ini dia ada di sini, Kin. Hidup bersama kita.Hanya karena keegoisan dan ketololan Oma-lah yang membuat kalian harus menderita seperti sekarang."

Udara di sekitar Pakin tiba-tiba mengering, membawa angin kemarau yang panas menampar ubun-ubun. Lalu-lalang mahasiswa seolah menyingkir dan membiarkan Pakin mematung dalam hampa yang mencekam. Ia menelan ludah sukar, sebab tahu-tahu sesuatu yang tidak pernah Pakin yakini selama ini seolah-olah menampilkan bayangan. Perasaan asing yang tidak pernah Pakin jumpai membelendung, memenuhi kantung paru-parunya. Ia sampai berdeham supaya aliran oksigen dalam darahnya tercukupi.

"Bahkan sebelum kamu lahir, sebelum kamu Oma bawa ke tempat tinggal kita, dia selalu ada. Berkirim surat kepada Oma, memberikan banyak pertolongan, dan mengharap dengan sangat agar bisa dipertemukan dengan kamu—dengan ibumu, dengan kalian."

"Oma, stop! Aku nggak mau dengar!"

"Dia beberapa kali datang ke rumah Oma, tapi ibumu sudah lebih dulu Oma usir. Amarah Oma kala itu benar-benar menguasai semuanya, Pakin, sampai pada akhirnya Oma-lah yang memutus hubungan dengan laki-laki itu. Oma mengancam akan menyakiti satu di antara kalian jika dia terus memaksakan kehendak ingin bertemu."

"Oma dengarin Pakin sebentar saja! Dengerin Pakin!"

"Selama ini Oma memaksakan diri bahwa kita bisa hidup dan bertumbuh normal tanpa kehadirannya. Tapi kemudian kebun teh kita bangkrut, dan kamu belum menyelesaikan kuliahmu. Kamu memang bisa bekerja, Oma seratus persen percaya, Pakin. Tapi, untuk kali ini saja, biarkan tanggung jawab itu kembali ke tangan sesungguhnya. Oma memang hampir kehilangan sosoknya, tapi berkat bantuan Pangeran, Oma bisa berkomunikasi lagi dengannya."

"Bahkan Pangeran tahu?"

"Pangeran lebih tahu dari apa yang kamu sangka, Pakin."

Anjing! Pakin berdiri, lalu meninju meja semen di hadapannya dengan kuat. Buku-buku jarinya terluka. Mereka berdarah. Tapi Pakin sama sekali tidak mengindahkannya. Dua berita mengejutkan yang dibawa Oma terlalu membuat emosi dalam tubuhnya mengepal dan mengganduli jantungnya. Ia membuang napas kasar. Bangsat! Kenapa di saat dia bisa menggantungkan satu-satunya harapan kepada manusia di muka bumi ini, ia justru yang dikhianati?

"Oma tahu, nggak, kalau sekarang Pakin emosi banget? Dan Oma pasti tahu banget, omongan Pakin bisa sejahat apa kalau lagi marah. Aku nggak ingin menyakiti Oma, atau tragedi itu bisa terulang kembali. Lebih baik kita akhiri obrolan ini. Oma jaga diri di sana. Jangan keseringan makan makanan pedas dan asin-asin. Istirahat yang banyak supaya tensi Oma terkontrol. Pakin tutup dulu teleponnya."

"Beberapa hari lalu Pangeran mengajak orang itu ke rumah, Nak. Dia ingin menemui Pakin. Pakin terima, ya?"

"Selamat siang, Oma, Pakin pergi dulu."

Pakin kembali melayangkan tinjunya di meja semen. Luka robeknya kian lebar, darah menetes semakin banyak. Tapi Pakin tidak peduli. Ia mengecek jam di ponsel. Setengah jam lagi Neo datang menjemput. Ia harus segera ke klinik untuk mengobati lukanya. Pakin tidak ingin menambahi beban kepalanya dengan kekhawatiran Neo apabila melihat tangannya berdarah.

Barangkali apa yang disajakkan Chairil Anwar ada benarnya; hidup hanya menunda kekalahan. Meskipun menyebut nama Pakin tanpa mengikutsertakan kekalahan adalah kemustahilan, tapi kalah yang sekarang sepertinya sebenar-benarnya hakikat yang tidak pernah Pakin sangka akan mencumbu sisa-sisa hidupnya. Kekalahan pertama yang Pakin dapatkan adalah ketika Bunda tidak kunjung datang menjemput padahal sekolah sudah bubar tiga jam lalu. Ia menunggunya seperti orang bodoh di muka sekolah. Tapi sampai pukul delapan malam perempuan keparat itu tidak kunjung tiba, dan tubuh Pakin sudah basah akibat hantaman hujan, Pakin pun memutuskan pulang yang secara tidak langsung membawanya kepada penderitaan kekalahan nomor dua. Saat ia masuk kos-kosan, suara Bunda bersanggama dengan om yang tidak ia kenal terdengar sampai telinga.

Rasanya tidak mampu Pakin telaah sebab kemenangan tidak pernah benar-benar ia cicipi. Jadi ia seumpama air gula begitu saja, yang selalu Bunda sajikan sebagai menu sarapan setiap hari. Tidak ada perbedaan, sakit ataupun tidak, ia sama, sebab faktor pembeda itu sendiri tidak pernah terdefinisikan seiring kehadirannya yang tidak pernah ada. Bunda memang sesederhana itu. Jika cinta memiliki definisi beraneka corak di tangan para ahli suluk, maka di tangan Bunda, ia hanya berupa kepulan air gula pukul enam pagi, yang apabila Bunda gajian dari pabrik tekstil, air gula itu bisa digantikan oleh bayam kocok yang sungguh Pakin benci setengah mati—alasan kenapa ia membenci sayur dalam hidupnya. Beranjak siang, cinta yang Bunda suguhkan terinterpretasikan dengan semangkuk sup tahu dan tauge—yang rasanya adalah bencana sebab tauge jelas musibah di lidah Pakin. Lalu ketika malam hari, cinta di tangan Bunda bisa berupa aroma perkawinan dengan suami orang, aroma sperma dan bekas orgasme Bunda di atas seprai tempat tidurnya, aroma keringat dan parfum orang tidak dikenal yang datang silih berganti, aroma tembakau yang menyesakkan dada, aroma bir oplosan yang mematikan, aroma muntahan Bunda dan para pria tidak dikenal itu apabila kadar alkohol dalam darah mereka mengancam jiwa, suara makian Bunda akibat nilai matematikanya tidak pernah membaik, suara serapahan Bunda akibat sayur-sayur yang ia masak tidak dihabiskan Pakin, suara kutukan Bunda kepada induk semang yang menagih jatah uang kos tiga bulan belum terbayar, suara dengkingan Bunda teruntuk Oma yang membuatnya jatuh dalam kemiskinan, suara gugatan Bunda kepada laki-laki yang seharusnya menjadi bapaknya Pakin, tapi kemudian ia lari seperti anjing entah ke mana.

Cinta selama ini memanglah metamorfosis dari kekalahan-kekalahan dari hidup Pakin,yang seharusnya menjadikan ia kebal setiap berenang dalam lautannya tanpa batas. Tapi siang itu, Pakin seolah menjumpai kemasan baru dari terminologi kalah di sepanjang hidupnya. Ia hadir secara tiba-tiba, memang datangnya secara subtil melalui suara Oma yang penuh sayang, tapi memorandakan resistansi terhadap kalah itu sendiri. Jika selama ini mereka menyerang perasaan Pakin, kini mereka hadir mengeroyok pikiran Pakin.

Pertama jelas tersebab hadirnya sosok yang tidak pernah ada dalam sangkaannya, tiba-tiba muncul dan ada dan bernapas dan menanyakan kabarnya dengan Bunda dan bahkan telah mengunjungi rumahnya di Bogor. Sialan! Dua puluh dua tahun hidup dan sepanjang itu pula ia telah memerkosa dirinya untuk mengaborsi kehadiran bapak yang seharusnya menjadi pelengkap di lembaga kecil bernama keluarga. Hari-harinya selama ini bertumbuh dan berkembang tanpa sosok itu. Ia hidup berteman hinaan dari tetangga yang menyebutnya anak hasil pelacuran, sindiran teman sekolah yang menghakiminya sebagai anak haram, bahkan makian Bunda yang menuduhnya anak pembawa sial. Jadi jauh di dalam lubuk hatinya, tertanam bahwa memang ia adalah peranakan gundik, yang pernah sekali waktu diam-diam menyebut bapak kepada setiap tamu kawin Bunda. Tapi karena kekecewaan itu ia telan mentah-mentah ketika para teman kencan Bunda justru menghadiahinya ludah ketika Pakin memanggil bapak, Pakin tidak lagi menyetujui gagasan tersebut dan mulai berkawan dengan realitas bahwa memang ia adalah anak yatim yang setiap hari Jumat sering mendapat infak di masjid dekat tempat kosnya tinggal.

Laki-laki keparat itu telah mati dan mayatnya telah membusuk dikerubuti belatung adalah ide yang lebih masuk akal yang bisa dipersilakan oleh pikiran Pakin. Sebab mengimajinasikan sosok bapak yang justru adalah dalang dari semua penderitaannya ternyata tidak pernah bisa Pakin terima walaupun lusinan risakan ia dapat. Yang dewasa ini baru bisa Pakin jabarkan dalam penjelasan ilmiahnya. Jelas, jika semua petaka ini adalah muara, sosok bapak merupakan hulu paling kejam yang bertanggung jawab mengalirkan takdir hitam pekat kepadanya. Seiring berjalannya waktu, Pakin menemukan padanan katanya yang cocok untuk mendeskripsikan perangainya; pengecut, yang ketika pendewasaannya mengalami tingkat-tingkat kematangan, Pakin sepuh kata tersebut dalam kamusnya. Bahwa bapaknya adalah pengecut, dan pengecut tidak bisa didefinisikan jika bapaknya tidak diturutsertakan.

Persanggamaan itu jelas terjadi atas mufakat kedua belah pihak. Bunda mengandungnya ketika berusia dua puluh tahun. Memang masih muda, tapi dengan pendidikan yang bundanya miliki, dan pekerjaan di salah satu pabrik tekstil ternama, ditambah lingkungan sosial yang melingkupinya, bunda jelas merupakan sosok perempuan cerdas dan paham teknologi, yang mustahil baginya membiarkan laki-laki memasuki batas kelamin tanpa konsesi. Dan laki-laki yang telah memerawaninya pastilah bukan anak kemarin sore yang baru bisa melakukan olah tubuh bernama onani. Ia pastinya datang dari lingkungan Bunda, dengan kata lain, seburuk-buruknya, ia memiliki usia sepantaran, atau lebih tua. Secara biologis jelas ia sudah matang, dan walaupun Pakin paham konsep dewasa tidak linier dengan usia, tapi itu tidak serta merta membuatnya melepas tanggung jawab sebagai pria dewasa.

Dan semau kekacauan ini adalah akibat dari sifat pengecutnya. Sebab apabila ia lebih berani mengambil risiko dari tindakannya, Oma pasti memberikan restu, Bunda tidak akan diusir. Ia, Bunda, dan Bapak akan tinggal di suatu petak rumah kontrakan. Sistem sosial di dalam keluarganya tidak mengalami kelumpuhan karena alpanya sosok ayah. Dan meskipun mereka dicekik kemiskinan, penderitaan yang Bunda alami tidak membebaninya seorang diri, sehingga stres dan depresi itu tidak membuatnya gila untuk melakukan penganiayaan dan pelacuran, yang pada akhirnya Pakin bisa hidup dengan normal. Bisa membedakan mana sakit mana bahagia sebab ada pembanding yang datang menemani. Dan bisa jadi ungkapan cintanya sekoridor dengan para sufi; menerima dan memberi.

Memang semua kehancuran ini adalah bersumber dari ia. Bapak. Mungkin memang benar Oma yang menjadi penghalang pria itu datang menemui keluarga kecilnya, tapi bahkan sikap Oma itu sendiri adalah buah dari kepengecutannya seorang. Maka untuk menyelamatkan kantung kewarasannya, Pakin tidak akan pernah sudi mempersilakan siapa pun ia untuk masuk ke dalam hidupnya. Apalagi hanya untuk membiayai UKT, Pakin terlalu edan jika ia begitu saja menerima kehadiran sosok tersebut. Trauma itu benar-benar nyata, kehadirannya kini bahkan menjelma hantu-hantu yang wujudnya mempesiang diri, jadi Pakin tidak memiliki alasan untuk menghormati kedatangannya. Sampai kapan pun, ia akan tetap ada di sana, mati membusuk di pikiran Pakin.

Kekalahan kedua yang membuat pikiran Pakin pontang-panting wujudnya bernama Pangeran. Pakin sudah memercayainya tanpa syarat, tapi pria itu justru semakin sinting memasuki kawasan yang ia tutup rapat. Serekat apa pun persahabatannya dengan Oma, apabila ia memandang persahabatannya dengan Pakin tanpa cela, seharusnya ada mukadimah sebelum ia datang bersama laki-laki keparat tersebut. Ia tidak putus hubungan dengan Pangeran. Bahkan tadi pagi Pangeran mengiriminya pesan menanyakan kabar, tapi sampai sekarang tidak ada tanda-tanda pria itu memberikan informasi sepenting dan sepelik ini. Kecewa itu menghantam dadanya tak terkira, seperti memaksanya menelan segelas bayam kocok busuk buatan Bunda. Bangsat! Memang manusia tidak pernah bisa dipisahkan dari kebinatangan!

"Kenapa tangan lo?" tanya Neo ketika Pakin memasuki mobilnya. Pria keturunan Cina tersebut memberikan sebuket ayam goreng dengan segelas kola kepada sang kawan begitu Pakin rampung memakai sabuk pengaman.

"Ketatap tembok tadi waktu nyari buku di perpustakaan. Makasih, ya, kita mau ke mana?"

"Tapi nggak apa-apa, kan?"

"Tenang. Udah diperban, bukti kalau gue udah meminta pertolongan ke klinik."

Mobil Neo keluar dari halaman gedung FEB, dan membelah jalanan ibukota yang mulai macet sebab sekarang jam karyawan pulang kantor. Pakin menyantap ayam gorengnya dan baru sadar bahwa ia memang belum lagi makan sejak bubur ayamnya tadi pagi.

"Khao ulang tahun dan dia ngundang anak-anak ke Petra. Lo nggak apa-apa, kan, gabung kami?"

"Aman. Lama juga nggak ke Petra, sekalian ketemu Fourth."

"Ini gue matiin AC-nya nggak apa-apa? Pengin ngudud gue."

"Biasanya juga nggak tanya dulu."

"Hehehe... tadi kan lo udah nunggu gue lama, takutnya kepanasan dan mau ngedem." AC dimatikan, layar kaca diturunkan, dan Neo mulai menyulut sebatang rokok mentolnya. Berbeda dengan Pakin yang bisa mengembat rokok apa pun, bahkan jika itu berupa rokok polosan, Neo hanya bisa menikmati mentol. Ia memang tidak sekecanduan Pakin terhadap tembakau. Intensitas merokoknya pun jarang sekali ia lakukan.

"Ada masalah apa?"

"Sedikit stres. Biasa, lah."

"Habis berapa batang hari ini?"

"Hampir dua ini, sih."

"Dikit juga."

"Dua pak maksudnya."

"Anjing."

Neo terkekeh, lantas menarik lembar-lembar tisu di atas dasbor untuk Pakin ketika mulutnya belepotan minyak dari ayam goreng.

"Ini ada hubungannya dengan kepulangan terakhir lo ke rumah?"

Sang sahabat yang mengangguk, mengembuskan asap rokok yang langsung lunas diusik angin sore.

"Kenapa lagi sekarang? Mereka masih ngerecokin lo tentang keterlibatan lo di dunia politik?"

Neo mengangguk, tersenyum ke arah Pakin. "Kali ini lebih fantastis."

"Gue agak ngeri dengarnya."

"Mereka minta gue ikut dalam kampanye mereka untuk pemilu tahun depan. Gila, nggak, tuh. Gue udah sebisa mungkin menjauh dari dunia politik, yang membuat gue nggak memilih fisip atau hukum. Gue ingin melanjutkan bisnis keluarga saja, makanya gue ambil manajemen, tapi mereka tetap nge-push gue untuk turun di dunia yang lo tahu sendiri, gue nggak in banget ke sana."

"Kenapa merek segitu getolnya, sih, ngajak-ngajak lo untuk masuk ke dunia mereka?"

"Politik anak muda. Lo pasti dengar, kan? Simpatisan anak muda dalam politik sekarang-sekarang ini gede banget. Terlebih dengan meningkatnya pemakaian media sosial yang bisa dipakai alat buat kampanye, pikiran-pikiran kritis anak muda bisa meningkatkan kepercayaan parpol untuk memenangkan suara tahun depan. Orang tua gue membidik ke sana. Partai pengusungnya selama ini dikuasai golongan senior, jadi bisa dikatakan ini gebrakan baru yang mereka buat partai tua itu."

"Dan kenapa harus elo? Kalau memang orang tua lo ingin mendapatkan kepercayaan, bukankah lebih kuat jika itu datang dari anak muda yang memiliki pengaruh? Seperti influencer?"

"Dampak dengan adanya politik identitas, mungkin? Lo tahu sendiri, kami keturunan Cina, dari agama minoritas. Dengan kondisi seperti itu, akan sulit bagi orang tua gue untuk mendapatkan suara dari lingkungan mayoritas. Itu memang kebohongan politik yang bias yang bisa mencapur adukkan kepercayaan masyarakat, jadi kemungkinan dengan membranding memiliki keluarga yang hangat dengan anak yang mendukung, adalah salah satunya cara orang tua gue mendapatkan kursi di parlemen. Sebut Gibran, Kaesang, Bobinya Prabowo, dan baru-baru ini Alam Ganjar.Gebrakan politik familial, dengan anak yang cakep berpikir kritis sangat memiliki tempat di kalangan anak muda yang masih terombang-ambing dengan kepercayaannya terhadap parpol."

"Hmm... bisa gue terima dengan akal sehat. Tapi tetap aja gue takut kalau lo bisa terjerumus ke dalam lingkungan itu selamanya. I mean, they're too biased. Dan ideologi-ideologi lo nggak akan terus bisa sama dengan visi misi parpol selamanya.Ada kalanya pandang lo bertentangan dengan pandangan parpol. Dan jika itu terjadi, apa yang akan lo lakukan? Tetap mempertahankannya dengan hasil buruk dan lebih buruk yang berakibat lo di-PAW, atau mengikuti parpol lo dengan hasil baik—tapi lo tahu sendiri, baik mereka berada di ambang mana selama ini."

"Gue sangat tahu hal itu, Kin. Justru karena gue tahu itulah gue habis dua pak rokok hari ini. Ketika kita masuk ke politik, kita nggak dibiarkan berjalan sendiri. Di parlemen ada institusi fraksi-fraksi yang merupakan perpanjangan tangan dari pimpinan partai. Biasanya kalau ada kebijakan-kebijakan tertentu apalagi yang bersifat sensitif secara politik akan ada komando yang diturunkan kepada anggota untuk mengikutinya, dan yeah, lo tahu sendiri gimana hasil dari kebijakan-kebijakan hasil olahan mereka selama ini pada rakyat. Semua kontradiksi itu benar-benar berperang di kepala gue, dan sampai sekarang gue belum tahu harus mengambil keputusan apa."

"Kalau lo masuk ke dunia politik, itu sama artinya lo menyembunyikan semua identitas lo, dong?"

"Mau nggak mau, Kin. Artis saja berlomba-lomba menciptakan topeng tertebal yang pernah ada agar bisa diterima masyarakat, apalagi dengan anggota parlemen. Salah sedikit saja, yang kena imbasnya bisa satu lembaga itu sendiri."

Pakin manggut-manggut, terus memakan ayam gorengnya, menemani Neo mengisap dan mengembuskan asap rokok, sementara di balik tempurung kepalanya, rasa rendah diri kepada sang sahabat itu menggeliat hebat. Jurang yang Neo ciptakan dalam perkawanan mereka terlalu terjal, terlalu curam sampai rasa-rasanya tidak mampu ia daki dan telurusi.

"Termasuk menyembunyikan memiliki teman seperti gue? Apalagi gue rekam jejak digital gue tersebar luas di Twitter. Berita tentang pentas teater gue tahun lalu lebih-lebih mengerikan. Itu bisa berakibat untuk lo."

"Lo membuatnya jadi terdengar semakin mengerikan dan gue seolah menjadi penjahat di sini."

"Nggak. Gue nggak pernah bermaksud demikian. Lo tahu, kan, lo selalu mendapat dukungan dari gue di mana pun lo berada. Gue hanya nggak ingin menghambat karier lo dengan riwayat kehidupan gue, Nyo."

"Kin, lo terlalu jauh mikirnya. Gue memang akan menyembunyikan jati diri gue ketika gue berkecimpung di dunia politik, tapi itu bukan lo, melainkan kepribadian gue yang lo tahu sebusuk apa. Trisam di mana-mana, dengan siapa saja. Buat apa gue menyembunyikan lo? Yang ada, gue akan memamerkan lo sebagai teman seperjuangan gue. Jangan membuatnya terlalu mendramatisasi."

"Gue enggak?"

"Kalimat lo memiliki tendensi ke sana."

"Gue nggak bermaksud padahal. Gue hanya ingin membeberkan fakta pada lo. Gue bukan orang yang lo pilih untuk menjadi kekasih lo, bisa saja, kan, pada suatu hari nanti karena suatu keuntungan lo pun nggak sudi memungut gue menjadi teman lo lagi?"

"Ini jelas-jelas lo sedang mendramatisasi."

"Kalau kenyataannya seperti itu, gimana? Jika lo dihadapkan dengan pilihan untuk menjaga reputasi lo yang mengharuskan lo menyembunyikan fakta bahwa lo adalah teman gue, apakah yang akan lo lakukan? Apakah lagi-lagi gue menjadi orang yang disubtitusi kehadirannya? Jika dulu ada Luna, kali ini dengan dunia politik. Apakah gue—Damn it!" Pakin terdiam tiba-tiba, meminum kolanya, meletakkan bungkus ayam goreng dan minumamnnya ke jok belakang, kemudian turut menyulut sebatang rokok. Perseteruannya dengan Oma dan fakta bahwa dua laki-laki sialan itu hadir dalam hidupnya, benar-benar membuat Pakin kelepasan. Ia tidak ingin bertengkar dengan Neo lagi setelah mereka baru saja berbaikan beberapa waktu lalu. "Oke, gue akui, gue terdengar emosional banget sore ini. Gue minta maaf kalau justru menambah beban pikiran lo. Anggap saja gue nggak pernah ngomong seperti itu."

"Gue yang seharusnyan minta maaf, Kin, karena membuat lo menjadi seperti ini. Asal lo tahu, lo nggak pernah bisa gue subtitusi dengan siapa pun, dengan apa pun. Nanti, Kin, nanti kalau saatnya tiba, gue akan menceritakan pada lo semuanya, setuntasnya. Gue ingin lo tahu betapa berharganya lo dalam hidup gue. Gue ingin lo tahu, bahwa dengan adanya seratus Luna di dunia ini, mereka tetap nggak bisa menggantikan lo. Maafkan gue kalau pada akhirnya semua perilaku gue pada lo selama ini membuat lo merasakan rendah diri."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro