Bab 18. a

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Seperti ada tsunami manusia di Petra malam ini. Neo dan Pakin baru masuk ke sana, dan lautan manusia yang tengah berjoget heboh, menyambut kehadiran mereka. Dentuman musik Temperature dari Sean Paul menggema di seluruh ruang, bercampur baur dengan suara pekik dan tawa orang-orang di sana. Lampu-lampu berkedap-kedip heboh, membuat dance floor sebentar gelap, sebentar terang. Dengan keriuhan luar biasa ini, Fourth sampai tidak terlihat di balik meja bar.

Neo menyampirkan tangan di pinggang Pakin, membuat tubuh yang lebih kecil merapat ke badannya. "Anak-anak ada di lantai dua. Deket-deket sama gue supaya lo nggak kesenggol-senggol orang!" Suara Neo sedikit kencang di telinga Pakin. Ia menghela Pakin untuk masuk membelah kerumunan. Cengkeraman tangannya kian kuat, sehingga Pakin kian melekat.

Di antara campuran aroma alkohol, parfum orang-orang, bau citrus yang segar dari Calvin Klein yang sangat khas menguar ketika posisi Pakin seintim ini dengan Neo. Ditambah dengan wangi keringatnya akibat seharian beraktifitas, membuat Pakin bersumpah, ia bisa menukarkan dunianya agar bisa bersembahyang di atas tubuh Neo. Mendapati pemikiran cabul itu, Pakin tertawa kecil, menggeleng-geleng tidak habis pikir. Bisa-bisanya di saat berada di ruang seramai ini ia bisa mikir kegiatan olah pertempuran kelamin dengan sang kawan dekat.

Mereka naik tangga ke lantai dua, dan teman-teman Neo bersorak ketika kedua pemuda itu terlihat.

"Zupp, Khao, met ultah ya. Sorry nggak bawa kado, temen lo ngeculik gue mendadak soalnya." Pakin memberi salam kepada sang teruna ulang tahun.

Yang disalami tertawa lebar. "Aman, Kin. Gue nggak butuh kado, cukup kita minum-minum sampai mampus."

"Lo mengundang orang yang tepat berarti."

Mereka tertawa. Pakin mengempaskan bokong di sofa, di sampingnya Neo melakukan hal serupa. Mahasiswa manajemen tersebut langsung memberikan sebotol vodka kepada Pakin, kemudian kembali menyimpan tangan besarnya di pinggang Pakin secara posesif.

"Lo udah makan ayam goreng, jadi nggak apa-apa kalau mau kobam. Sebanyak apa pun gue izinin, nanti gue yang akan urus. Lo tenang saja," kata Neo di dekat telinga Pakin. Tangannya meremas pinggul sang kawan dengan lembut. Pakin mengangguk senang.

Pakin tidak terlalu mengenal baik teman-teman Neo. Di antara sepuluh orang yang berkumpul di sana, mungkin yang biasa nongkrong dengannya hanya Khao, First, sama AJ. Itu pun sekadar teman hang out tanpa benar-benar tahu kepribadian mereka.

"Kin, soal kejadian di lapangan basket waktu itu, gue atas nama fakultas bener-bener minta maaf sama lo. Kekalahan ini murni kesalahan kami yang nggak memaksimalkan persiapan POM, tapi mereka justru menjadikan lo kambing hitam. Gue bahkan udah mencoba menyelesaikan masalah ini menggunakan otoritas gue sebagai ketua BEM fakultas, tapi tai, bullying itu nggak bisa banget dibendung." Itu First, yang selalu baik pada Pakin kalau ia diajak Neo gabung dengan kawan-kawannya. Anak ambis yang menjadikan BEM sebagai rumah kedua setelah lelah menghadapi perkuliahan. "Gue heran dan bertanya-tanya, kenapa seolah-olah materi perisakan lo nggak habis-habis walaupun dari BEM fakultas maupun kampus turun tangan. Ini antara buzzer itu terlalu banyak, atau ada orang berkuasa di belakang mereka, sih. Gue mikirnya gitu."

"Aman, First. Nggak usah lo risaukan. Udah lalu juga. Jangan dipikirin. Udah biasa gue. Hal kayak gini pernah menimpa gue saat teater, dan saat itu pun gelombang kebencian yang menimpa gue nggak bisa dibendung sekalipun Senat dan BEM turun tangan. Ini murni kebencian mereka kepada gue aja, asli. Nggak usah pusing-pusing."

"Neo sampai ngehajar habis-habisan beberapa orang yang ngebully lo tanpa ampun." AJ menimpali. "Gila serem banget liat Neo kesetanan kayak gitu. Dia selama ini terkenal petakilan, tapi waktu marah, rasa-rasanya raja iblis bisa sungkem di kakinya."

"Sialan lo, Je!"

Tawa kembali pecah.

"Tapi benar, sih. Itu juga kali pertama buat gue melihat Neo kayak iblis. Mungkin kalau nggak ada anak-anak, mereka bisa mati di tangan Neo. Untungnya dia ngehajar nggak di aerah kampus, jadi aman tuh anak pantek dari hukuman kampus. Dan gue juga nggak tahu apa yang dia lakukan pada dua anak yang udah ngebully lo kayak orang kesurupan, mereka dianiaya separah itu, tapi sampai sekarang gue nggak melihat mereka menggugat Neo." Setelah merampungkan dua tegukan besar birnya, Khao menimbrung. Pipinya yang sedikit bulat sudah mulai merah. Kewarasannya bisa jadi tinggal menunggu waktu untuk tumbang. Pakin geleng-geleng melihatnya. Malam masih terlalu muda, bahkan lampu-lampu kota baru dinyalakan, tapi laki-laki itu sudah mau tumbang saja rasa-rasanya.

"Lo ngegunain kekuasan orang tua lo untuk membungkam mereka, ya, Neo?" tanya AJ frontal.

Neo memutar bola mata. "Tai lo," umpatnya gemas, melemparkan dua potong kentang goreng ke arahnya.

"Lo bahkan nggak seperti itu waktu Luna dilecehin sama kating tahun lalu," First turut berkomentar. "Saat Luna baru menyelesaikan syuting iklannya, dan dia dicolek tanpa konsen sama kating, lo biasa aja. Marah ya marah sewajarnya, nggak sampai segila ini."

"Apa yang ada di dalam diri Pakin yang membuat lo kayak gitu?" AJ kembali mengajukan tanya.

Khao bersiul mendapati pertanyaan AJ. Matanya tajam mengamati, walaupun seperti Pakin, ia disibukkan dengan botol alkoholnya.

Pakin menelan ludah, mencoba untuk mengabaikan apa yang mereka obrolkan, kendati usapan tangan Neo di pinggangnya membuat kewarasannya nyaris minggat. Sialan! Kenapa dia mudah banget membuat hatinya dangdut, sih? Kalau kayak gini ceritanya, kan, dia bisa menyerahkan dirinya bahkan tanpa Neo minta. Dia rela, lah, kalau harus telanjang dan nungging setiap hari setiap malam—walaupun gagasan ini jelas hanya muncul di kepala Pakin, dan ia bersumpah demi nama seluruh penghuni alam, Neo tidak pernah memikirkannya.

"Ya, karena dia Pakin, makanya gue kayak gitu. Bahkan kalau lo-lo yang ada di sini ngelukai Pakin, entah fisik maupun psikis, gue yang akan kalian hadapi. Gue udah mati-matian ngejaga anak setan ini dari dulu sampai sekarang, nggak bakal gue biarin dia kenapa-kenapa walaupun gue benci banget kalau dia lagi dalam mode keras kepala. Lo nggak tahu aja, gue bahkan hampir tiap hari berantem karena anak setan ini ngotot banget nggak mau gue lindungi. Tapi kalau nggak kayak gini, orang-orang akan semakin gila menyerang Pakin."

Suara siulan Khao kembali terdengar.

"BTW, First, yang lo omongkan tadi, apa maksudnya?" Neo menarik tangannya dari pinggang Pakin saat waitress datang membawakan pesanannya. Ia menarik roti bakar, dan mulai menyantap. Kegiatan perkuliahannya yang padat hari ini tak cukup memberi waktu Neo untuk makan. Lagian malam ini ia tidak berniat mabuk sebab harus menjaga kawannya. Neo menyodorkan roti bakar ke arah Pakin yang menggila dengan vodka di tangan. Awalnya Pakin menolak, tapi Neo terus mengangsurkan potongan roti selai nanas itu ke mulut Pakin, membuat si keriting pada akhirnya melahap juga.

"Yang mana?"

"Tentang orang di balik animo kebencian pada Pakin."

Mendengar namanya disebut, kuping Pakin menegak. Bullying yang ia terima memang turut menyumbang hadirnya hantu-hantu dalam hidup Pakin. Hanya saja selama ini ia selalu menyembunyikan dampak yang ia alami dari ujaran kebencian itu dari teman-temannya. Selain Pakin tidak ingin membuat khawatir mereka, rasa welas asih yang diberikan teman-temannya selalu memberikan perasaan tidak enak di tubuhnya. Ia tidak suka dikasihani. Sebab apabila mereka menatapnya dengan iba, rasa rendah diri itu bakal kembali datang untuk semakin memperbanyak eksistensi hantu-hantu di hadapannya.

"Itu hanya asumsi gue, sih, Neo. Gue pakai kacamata apa yang terjadi padanya tahun lalu. Kasusnya memang beda, tapi reaksi buzzer memiliki kemiripan. Di sana yang baku hantam nggak hanya Pakin, tapi lo sama Drake. Tapi lihat dampaknya? Ujaran kebencian itu datang berbondong-bondong dalam sekali tempo, membanjiri seluruh menfess dan TL mahasiswa, hanya untuk menuding Pakin. Mereka nggak pusing-pusing nyebut nama lo dan Drake. Bahkan setelah lo menghajar dua dari mereka, dan beritanya di-up di base kampus, tetap nggak menutupi hate comment. Dan itu berlangsung berminggu-minggu. Kalau bukan ada yang menggerakkan, pasti ada kekuasaan yang menjadi penopangnya."

Serius, ini agak ngeri. Pakin tidak pernah memiliki asumsi seperti itu. Bahkan teman-temannya pun sama. Dan kalau apa yang diucapkan First adalah kebenaran, pertanyaan utamanya, siapa dalang di balik itu semua? Pakin sedikit GR, sih, sekarang, karena yeah... baru kali ini ada orang yang menaruh atensi padanya secara diam-diam, tapi memiliki effort untuk mendapatkan perhatiannya tak tanggung-tanggung.

"Lo punya gambaran siapa di balik penyerangan ini?" Di balik kewarasan Khao yang ia paksa hadir di pesta ulang tahunnya, pemuda itu menimpali. Ia menegakkan tubuh, lantas mencomot beberapa potong kentang goreng untuk mendistrak pengar di kepala. "Gue kemarin udah ngerahin anak-anak hima gue untuk memblokade hate comments itu, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Yang ada beberapa anggota hima kena mental saking sakit jiwanya mereka nyerang Pakin."

"Gue sama anak-anak BEM masih nyelidikin ini, sih. Kami pernah mencoba mencari tahu IP address mereka, tapi karena kami kekurangan pendukung berkuasa, yang kami dapatkan hanya informasi basic. Kecuali kalau Pakin membuat laporan ke kepolisian tentang cyber bullying, kasus ini bakal bisa ditangani sama pihak profesional."

"Anjing, First!" Pakin mengumpat. "Lo berlebihan banget, astaga. Gue udah biasa diginiin, jadi udahlah jangan memperpanjang perkara. Kasian lo dan temen-temen lo. Tenaga kalian lebih bermanfaat untuk melakukan hal-hal lain."

"Tapi apa yang diomongkan First ada benarnya, Kin." AJ menimpali setelah menghabiskan sesloki sojunya. "Lo nggak lihat apa yang dilakukan Neo sama dua orang keparat itu? Ngeri banget, man. Dia bisa ditahan dengan pasal penganiayaan, tapi gelombang kebencian itu nggak kunjung padam. Yang ada justru semakin menggila. Gue takut lo kena dampaknya lebih serius dari yang temen-temen lo tahu. Kami hanya ingin lo aman."

"Gue aman?"

"Tapi gue rasa nggak ada salahnya memperkarakan kasus ini. Selain untuk efek jera bagi mereka, juga untuk menghentikan tabiat-tabiat pembunuh di kampus keparat itu," Khao berseru gemas, menggigit kuat roti bakar milik Neo. "Gue fans fanatik lo di pentas teater tahun lalu."

Pakin mendengus, memutar bola mata, lantas kembali menenggak vodka.

"Gue setuju sama temen-temen gue, Kin. Mungkin ini sudah saatnya bagi kita untuk mengambil langkah tegas atas bullying itu. Gue takut apa yang dipikirkan AJ benar. Masalah ini memiliki dampak lebih serius untuk lo tanpa gue dan yang lain tahu."

"Gue aman, Nyo. Oke, gue akan pikirkan ini lebih jauh. Tapi jelas nggak sekarang. Gue nggak ada tenaga sebanyak itu saat ini."

"Lo tenang aja, Kin." First mulai meminum alkoholnya setelah sejak tadi disibukkann dengan makan malam. Dia hanya memesan tequila, sebab seperti Neo, First kelihatannya tidak begitu memiliki niat mabuk malam ini. "Gue sama anak-anak BEM udah nge-SS semua hate comment itu. Ada ribuan SS yang perlu lo tahu dan sudah kami amankan. Kalau lo pada akhirnya setuju untuk membuat delik perkara, lo bilang ke gue saja. Kami bakal bantu semaksimal mungkin."

Pakin mengangguk berterima kasih, lantas kembali menenggak botol vodkanya dengan beringas. Tubuhnya terasa membara. Akal pikirannya menggeliat.Setelah tadi sore dihantam badai oleh berita dari Oma, dan First datang dengan cerita mengejutkan lainnya, Pakin pikir tanpa dukungan dari alkohol, saat ini hantu-hantu itu pasti datang mengeroyok sampai mampus. Dan ia tidak ingin hal itu terjadi. Dari moncong botol, Pakin kembali menggelontorkan cairan tersebut. Semangat itu mengentak dari tumit kaki, yang kemudian membanjiri tulang-tulangnya. Kembali ia menggasak cairan pahit tersebut, dan kepalanya semakin dipukul pengar. Ia cegukan, kemudian tertawa kecil.

Dari sini, Pakin jadi bisa melihat Fourth yang tampak sibuk meladeni orang-orang, serta entah berapa ratus orang yang masih menggila di lantai dansa. Lagu yang dimainkan DJ berganti, kali ini beatLean On yang cepat dari DJ Snake berdentum-dentum. Gelombang pekik para pengunjung Petra rasa-rasanya bisa meledakkan tempat itu. Gerakan tarian mereka semakin liar, berjumbul-jumbul mirip ombak.

"Kin, lo kenal Force, nggak? Mahasiwa pascasarjana yang jadi asdos di fakultas lo kalau nggak salah?" Suara Khao kembali terdengar. Pakin pikir pemuda itu sudah tumbang, rupanya masih terjaga. Tinggi juga kemampuan tubuhnya menerima alkohol.

Mendengar nama yang tidak asing, Pakin kembali memasuki obrolan Neo dengan kawan-kawannya.

"Force?"

"Iya. Lo kenal?"

Pakin mengangguk. "Kenapa? Lo kenal dia?"

Khao tertawa sambil menggeleng. "Gue pernah ketemu beberapa kali sama dia. Gue pikir dia mahasiswa baik-baik yang cupu yang nggak tahu perkembangan dunia liar. Tapi rupanya gue salah, anjir. Dia benar-benar di luar dugaan gue. Sama sekali."

Oke, ini menarik. Bahkan Neo mencondongkan tubuh untuk mendengar informasi yang dibawa tiba-tiba oleh kawannya.

"Di luar dugaan lo bagaimana? Dia kebetulan mentor gue, sih."

"Serius?"

"Apa gue terlihat sedang bercanda?"

Alkohol sepertinya telah menginisiasi cara berpikir Khao, membuat pemuda itu tertawa untuk hal-hal yang Pakin tidak ketahui.

"Apa yang lo ketahui tentang dia?" Kini Neo meluaskan tanya.

"Kalian pasti nggak percaya." Tawa Khao semakin lebar. "Di kalangan papan atas—atau lo bisa menyebutnya kalangan eksekutif—ada satu acara yang diadakan setahun sekali. Acara itu hanya mengundang orang-orang penting yang memiliki pengaruh hebat untuk kemajuan Indonesia. Dari segala aspek. Ada dari ranah artis, dunia pendidikan, sineas perfilman, seniman-seniman sinting, budayawan yang nggak pernah ada dalam pikiran lo, bisnisman, sampai anggota parlemen maupun kalangan pemerintah. Semuanya ada di sana. Selain sebagai tempat berkumpul, para tamu yang diundang juga untuk menunjukkan keberpihakan. Dan jika mereka telah menentukan keberpihakan, untuk apa pun yang sedang diperkarakan, suara mereka pasti merebut kemenangan. Bahkan untuk sebuah putusan hukum atas kasus berat yang jelas-jelas nggak bisa dimenangkan oleh tersangka."

"Dan... apa yang salah dengan acara seperti itu? Terlihat biasa-biasa saja yang bisa dijangkau akal sehat." First kelihatan tertarik dengan pembahasan Khao. "Minus bagian hukumnya, sih. Ngeri kata gue."

"Mereka melakukan pengultusan."

"What the hell!" pekik AJ. "Semacam penyembahan berhala?"

Khao mengangguk.

"Organisasi persekutuan kepada Tuhan seperti itu?"

Mendengar pertanyaan First, entah di mana letak komedinya, tawa Khao kian lantang. "Iya dan enggak."

"Bagaimananya?"

"Iya, mereka melakukan persekutuan, tapi enggak atas nama penentangan kepada Tuhan. Bisa jadi lebih ngeri, tapi bisa jadi lo memandangnya biasa saja."

"Gue nggak paham." Pakin sampai meletakkan botol vodkanya di atas meja.

"Mereka melakukan sex party."

"Anjing!"

"Tepat, mirip kumpulan anjing ketika musim kawin. Siapa saja yang masuk ke dalam pesta itu, setelah melewati pengecekan dari petugas, mereka diwajibkan telanjang. Kaderisasi terjadi di sini, ketika mereka masih disibukkan berbasa-basi dengan segelas wine dan potongan-potongan steik di atas meja. Tapi ketika basa-basi itu selesai, dan tujuan sudah didapat, acara puncaknya kemudian digelar, yang seolah-olah menjadi sumpah atas keberpihakan mereka. Pesta seks. Perempuan, laki-laki, semua profesi, akan tumpah memenuhi aula. Semua kemewahan acara itu hilang, digantikan oleh desah dan pekik orang-orang ngentot. Bisa lo bayangkan hall segede ruang pertemuan di fakultas kita, dibanjiri oleh kegiatan seks tanpa batas, tanpa kenal waktu, tanpa pandang bulu? Menjadikan naluriah kebinatangan manusia seperti dikembalikan ke alam."

"Anjir gue merinding, anjir! Merinding banget, bangsat!" AJ berceloteh ngeri.

Bulu kuduk Pakin meremang. Bahkan tangan Neo yang ada di pinggangnya terasa kaku.

"Dan hubungan Force dengan acara itu?" tuntut Pakin. "Dia anggota mereka?"Khao menawarkan senyum miring menyusul rentengan pertanyaan Pakin. Seketika Pakin mengumpat, nyaris berteriak. "Dia... pemimpinnya?"

"Exactly."

"Bagai... mana bisa?"

"Lo tahu dari mana?" First pun tak bisa menyembunyikan riak kengerian di wajahnya. Ia bahkan melongo besar. "Lo pernah ke acara itu? Orgy sex?"

Botol-botol bir di atas meja kehilangan pesona. Mereka dianggurkan cukup lama demi mendengar berita luar biasa sulit untuk diterima akal sehat.

"Orang tua gue dapat undangannya tahun ini. Gue pikir ini undangan apa waktu gue lihat kertas itu tergeletak di meja kerja orang tua gue. Saat gue lihat ada ketikan Memory to Heaven, gue langsung teringat obrolan gue dengan temen gue tahun lalu tentang pesta seks ini. Selama ini gue penasaran mampus, siapa dalang dari pengultusan sesat tersebut. Tapi kemudian di dalam undangan itu ada nama Force, dan gue langsung membidik Force yang dimaksud pastinya anak FIB secara nama keluarga mereka sama. Ini acara memang anjing banget kata gue. Tapi dalam pemilu lima tahun lalu, banyak kader yang memenangkan suara setelah melakukan kadersisasi di sana. Kalau lo bisa membuat keberpihakan mereka kepada lo, Neo, orang tua lo bakal bisa mendulang kejayaan dalam pemilu tahun depan. Catat omongan gue."

"Anjing! Anjing gue sampai bingung harus ngomong apa, njing!"

Bulu kuduk Pakin masih meremang. Ia membeku beberapa saat, sebab semua informasi yang diterimanya ini benar-benar sulit dicerna. Ia memang tidak pernah menaruh curiga apa-apa kepada tutornya tersebut, dan kendati baik Neo maupun Ohm mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah dari Force, Pakin tidak pernah menyangka hal tidak masuk akal tersebutlah yang menjadi kesalahan itu. Ataukah... justru bukan? Melainkan sesuatu yang lain yang lebih mengerikan dari ini? Tapi apa?

Pakin menjatuhkan hormat setinggi langit kepada Mas Force.Cara dia menutori Pakin, cara dia yang datang ketika Pakin mendapatkan masalah, pandangannya yang luas dan lebar, keramahannya yang bisa mendatangkan ribuan cinta, tidak pernah ada dalam pikiran Pakin bahwa ia bisa melakukan hal semengerikan memimpin kegiatan pesta seks. Bukankah ia memiliki kekasih yang menjadi guru di Surabaya? Apakah kekasihnya tahu tentang sepak terjang asdosnya ini? Pakin tidak tahu lagi harus memandang Mas Force seperti apa sejak malam ini.

"Kin, dansa sama gue, yuk." Ketika malam mulai jatuh, dan obrolan di atas meja bergulir entah ke mana, Neo berbisik di telinga Pakin. Kawan berambut ikalnya tersebut merespons dengan cegukan. Kesadarannya timbul tenggelam seiring hampir empat botol vodka ia tenggak seorang diri. Di hadapannya Khao sudah tidak sadarkan diri di pundak First. Sementara AJ masih terlihat sibuk ngobrol dengan yang lain tentang pertandingan Liga Inggris.

"Kuy."

Neo memegangi pinggang Pakin lebih kuat sebab sahabatnya itu berjalan sempoyongan. Mereka turun ke lantai dansa ketika lagu Venom-nya Eminem mengudara. Aduh, ini, sih, gacor parah. Apalagi diremix dengan EDM yang tidak kaleng-kaleng. Orang-orang bersorak lantang, tawa bahagia membumbung. Geliat kehidupan seolah-olah barusan menetas dari perut bumi.

Kedua tangan Pakin terkalung di leher Neo, sementara kedua tangan sahabatnya tersimpan di atas pantatnya. Pakin merapatkan tubuh, membuat selangkangannya dengan sang kawan melekat rapat. Sensasinya tidak bisa Pakin jabarkan. Panas dari alkohol seolah berkelindan dengan panasnya hawa nafsu, maka yang lahir bukan hanya suara cegukan, tapi ada rintihan enak yang tidak kuasa Pakin tahan.

Neo meremas bokong Pakin, dan tertawa kecil saat sahabatnya mendesah di telinganya. Dari pandangan sedekat ini, diterangi lampu club yang timbul tenggelam, ditambah wajah bersimbah keringat, membuat air muka Pakin berkilau indah. Bibirnya yang penuh itu seperti bermandikan cahaya matahari saat air liurnya meleleh. Mata cokelat jenang grendul-nya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kelopak matanya yang kelihatan berat. Bulu-bulu mata atas dan bawahnya bertemu, saling bertubrukan, membuatnya semakin tampak lebat, mengingatkan Neo padadaun-daun ketapang.

Tidak kuasa melihat penampakan di hadapan, Neo menjilat air liur Pakin yang lumer ke dagu. Pakin merintih kecil tatkala jilatan Neo turun, dan menginvasi leher jenjangnya yang berpendar merah akibat panasnya alkhol. Neo membubuhkan kecupan-kecupan, lidahnya menyapu liur Pakin, kemudian dengan gemas dia menggigit kuat dan mengisap permukaan daging Pakin.

"Nyooo...." Aduh gawat, suara manja Pakin yang sensual ketika berahi terdengar. Neo menarik diri dari leher Pakin, kemudian tertawa kecil melihat Pakin yang nyaris sekarat.

"Apa, Sayang?" tanyanya lembut.

Pakin tidak menjawab, sebab detik berikutnya ia benar-benar tidak sadarkan diri. Neo menggeleng-geleng melihat kondisi kawannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro