Bab 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara gamelan terdengar, diiringi bunyi gemerincing dari lonceng-lonceng di pergelangan kaki kanan Pakin. Kaki Pakinmelakukan tanjak, tangannya terbuka lebar. Yang kiri mengepal, satunyamenyepit, dadanya membusung, condong ke belakang. Bonang dan saron bertalu-talu, gerakan tarian Pakin pun turut berubah. Ia menapakkan kaki lebar, kedua tangannya memegang sampur—kiri dan kanan, lantas dia berbalik, melakukan iket empat ketukan dengan kaki yang terus mengentak kuat dan mantap, menghadap kembali ke audiens, dan melempar sampurnya dengan gemulai. Suara gambang meliuk, disertai gender, bersahut-sahutan dengan kenong, kempul, dan gong. Dan suara gemirincing lonceng itu kian heboh tatkala ketukan tembang kian meningkat. Kepala Pakin mengikuti setiap patah ketukan dimainkan.Tangannya lentur, bergerak-gerak dengan luwes, sementara kakinya terbuka gagah dan kuat. Sampurnya ia mainkan, sebentar seblak, sebentar kebyok, yang selanjutnya ia berputar, dan lagi-lagi sampur ia lempar lepas disertai olehgerakan leher yang angkuh dan menyeramkan, seperti kepakan ekor burung merak di Gunung Argopuro, seolah tengah menunjukkan bahwa ia adalah sebenar-benarnya pangeran sedang berlaga di medan peperangan.

Gemerincing lonceng itu terdengar lagi, mengiris keheningan gedung teater. Riuh dan pecah, kawin seirama dengan gamelan yang berkenong-kenong, hanya untuk mempersembahkan mistisnya tarian Pakin. Di atas panggung yang lebar itu, ia lincah menari seorang diri. Tidak ada keraguan dalam setiap gerakan tariannya, bahkan setelah setahun ia vakum, ia masih menyimpan setiap ketukan itu rapat-rapat, yang kemudian ia pertontonkan dengan keindahan tanpa cela. Para pemain teater seperti terhipnotis oleh tarian remo yang dibawakan Pakin. Tubuhnya yang tangkas, ditambah mimik wajahnya yang tegas, dilengkapi oleh tatapan matanya yang tajam, seperti tengah mempersempahkan secangkir keajaiban siang itu. Selain kemampuannya bermonolog, hal yang diam-diam dirindukan anggota teater dari Pakin apabila dia berlatih adalah ini. Tarian-tariannya yang magis.

Di samping berlatih vokal dan olahraga, Pakin selalu melatih kemampuan teaternya dengan olah tubuh seperti menari. Tidak begitu banyak tarian yang Pakin kuasai, hanya saja dari beberapa yang ia ampu, bisa dibilang Pakin akan mempertunjukkan keajaiban. Bagi Pakin menari adalah seni bercerita melalui kidung dan gerak. Kadang ia bisa sangat marah sewaktu memainkan Topeng Klana, atau akan malu-malu kucing mendapati cinta pertamanya ketika membawakan Tari Doger, bisa jadi seperti apa yang ia persembahkan sekarang. Gagah laksana pangeran dengan sehunus pedang di Tari Remo.

"Lo mau jadi cowok gue, nggak?" Tembak Nanon ketika Pakin turun dari panggung.

Si rambut keriting memutar bola mata. "Tiba-tiba banget?"

"Lo seksi parah, sih, kalau lagi nari. Gue suka. Gue bakal bangga banget memamerkan lo sebagai cowok gue di depan banyak orang. Mark Pakin, cerpenis edan dengan kemampuan menari sakit jiwa, yang ketika bermonolog lebih-lebih nggak waras."

"Jadi lo mau jadiin pacar gue hanya untuk bisa dipamerin? Mengangkat branding lo gitu?"

"Lo maunya gimana?"

"Gue, sih, oke-oke aja asal lo bisa melayani semua libido gue. Walaupun lo tepos, kayaknya lo asik banget kalau main di ranjang bareng gue. Kalau perlu pas kita ngewe lo cosplay jadi Sengkuni, enggak tahu kenapa rasanya kontol gue bisa ngaceng parah kalau lagi dikasarin, apalagi dilicikin samak kayak Sengkungi."

"Emang nggak ada bagus-bagusnya ngomong sama lo. Edan! Ogah banget harus ngewe sama lo, mana pake cosplay jadi Sengkuni lagi. Najis!"

Pakin terkakak. Ia melepas lonceng di kaki kanannya ketika sutradara lakon yang dimainkan Nanon datang mendekat.

"Lo jadi bermonolog, kan, Kin, di acara nanti?" tanyanya memastikan. Sebab, ia sudah senang banget, nih, akhirnya artis kabupaten ini datang lagi. Para penonton yang terpecah menjadi dua antara pendukungnya Pakin dan haters, pasti datang berduyun-duyun untuk menontonnya. Masalah ujaran kebencian atau kekaguman yang bakal diakibatkannya nanti, tidak begitu penting asal pentas teaternya banyak mendapat perhatian dan kemampuannya mendalang semakin dikenal.

"Gue nggak mungkin nari kembali kalau gue nggak serius sama omongan gue."

"Takut aja, sih, gue, Kin. Apalagi sejak kejadian bullying heboh bulan lalu, siapa tahu aja lo berubah pikiran dan ninggalin kami pas lagi sayang-sayangan." Namanya Captain, pemuda asal Buton satu tingkat di bawah Pakin dan Nanon yang akrab betul sama mereka. Dia orangnya lumayan asyik, sih, hanya kadang kalau lagi fokus serius mengerjakan sesuatu suka nyebelin. Pakin pernah berantem dengannya sebelum pentas tahun lalu hanya karena Pakin menolak gagasannya tentang setting panggung.

"Lo kayaknya mau banget gue sayang-sayang?"

"Najis lo ngentot!" Ia memukul bahu Pakin menggunakan gelundungan naskahnya. Pakin dan Nanonmenghadiahinya dengan tawa. "Jadi lo udah memutuskan mau nampilin apa? Kalau butuh bantuan brainstorming bilang aja, gue sama anak-anak bakal bantu lo. Atau lo bisa ngomongin ini ke Ohm untuk masalah naskah. Dia nanti bakal ke sini. Ayo kita bikin pentas yang bisa bikin orang-orang keringetan saking malunya ditampar kenyataan. Kalau perlu pihak manajemen kampus keparat ini nggak punya ruang lagi untuk mengelak selain mengakui semua dosanya."

"Pelan-pelan, Pak Sutradara." Pakin menggeleng gemas. "Ini hari pertama gue latihan dah lo kasih pe-er berat aja gue. Elah. Gue juga belum tahu mau menampilkan apa. Lo atau siapa pun kalau ada ide, kasih tahu gue, dong. Biar bank ide gue ngumpul, jadi referensi gue banyak."

"Aman. Nanti gue hubungin lo. Gue naik dulu. Kalau butuh apa-apa lo jangan sungkan-sungkan untuk ngomong, Kin."

Pemuda berambut keriwil itu mengangguk mantap sambil mengacungkan jempolnya. Ia berjalan ke luar gedung. Rasanya kecut banget nih mulut kalau lama-lama di sana. Dia butuh merokok dan pemuda pemersatu bangsa yang pastinya bakal menjadi idola Menteri Kesehatan atas program no smoking-nya si Nanon Korapat atau barangkali kau bisa memanggilnya Nanon Keparat kalau mode menyabalkannya on, bakal menentang Pakin merokok di dalam gedung sampai titik darah penghabisan. Pakin mengempaskan diri di selasar, menyulut sebatang rokok.

Nanon duduk di sampingnya dengan naskah terbuka di pangkuan. Ia sudah menghabiskan empat jam latihan terhitung dari pukul delapan pagi tadi. Dan sekarang ia ingin beristirahat sejenak sebelum mengikuti kelas sore pukul tiga nanti.

"Lo ada masalah sama Neo?" tanya Nanon tiba-tiba setelah dalam sepuluh menit utuh mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Dia ada ngehubungin lo?"

"Nggak hubungin lagi, sih. Dia semalam gedor-gedor kos-kosan gue sampai ditegur masyarakat kos saking berisiknya, anjing. Dia masuk kamar gue sambil mencak-mencak nyari keberadaan lo seolah-olah gue nyimpen gundik saja. Bangsat!"

Pakin tertawa kecil, mengembuskan asap rokok.

"Heran gue. Lo sama dia bukan pasangan kekasih, tapi kisah kalian kompleks banget, anjing. Ngalah-ngalahin pasutri aja. Mana pakai adegan merajuk dan cemburu segala. Kayak yang ada status aja."

"Kata gue mending lo diem, sih, kalau ngomong cuma bisa bikin kuping gatel." Si Keriwil memutar bola mata. Nanon terkikik. "Ya, lo tahu lah dinamika hubungan gue sama dia. Mungkin kalau sehari nggak berantem kami bakal bisulan."

"Yang berita dia mau lamaran itu benar?"

Pakin mengangguk mengiakan. "Seperti yang lo dengar. Nggak tahu kapan. Tapi katanya dalam waktu dekat."

"Sayang banget, sih, kata gue."

"Kenapa?"

"Yeah... pernikahan. Hidup single aja banyak konflik yang berdatangan, apalagi mengikat diri ke dalam sebuah hubungan. Terlalu banyak tenaga untuk berkompromi, menurunkan ego, mengerti pasangan, dan menjadi pribadi sehat agar nggak menyakiti hubungan itu sendiri. Sementara masih ada masalah lingkungan, adaptasi, budaya, dan politik yang bakal bisa memengaruhi alur hubungan. Belum ikatan dengan keluarga besar, mertua, ipar, sanak famili. Gila, sih, hanya orang yang tahan banting yang bisa melewati itu semua."

"Trust issue lo tentang hubungan lumayan gede juga."

"Gue hanya berpikir realistis?"

"Tapi kalau lo melewatinya dengan orang yang lo cintai, kemungkinan energi yang lu punya juga nggak akan sama ketika lo sendirian, sih. Jadinya terlihat berat karena lo sekarang nggak ada di titik itu, padahal bisa saja hal tersebut justru menyenangkan bagi sebagian orang. Nggak ada yang tahu. Tapi buktinya catatan pernikahan nggak pernah menunjukkan penurunan berarti. Kayaknya makin tinggi aja per tahunnya."

Nanon mendecih. "Dan seperti apa batasan cinta itu sendiri? Gue bahkan lebih percaya Timun Mas bener-bener based on true story dari salah satu orang di Tulungagung daripada tentang kidung cinta-cintaan. Sementara kemungkinan adalah variabel yang membawa kita ke dalam jurang penyiksaan walaupun ia memiliki kemungkinan sama besarnya dengan keberhasilan. Perbandingannya fifty-fifty. Dan kalau lo bisa menjadikan kemungkinan tersebut dalam sebuah kenyataan dengan nggak memilih nikah yang menyelamatkan lo dari rasa sakit hati, kenapa harus merepotkan diri menerima kemungkinan sebagian lain yang belum tahu ujung pangkalnya?"

"Lo benar-benar trust issue banget, sih, asli ini."

"Keluarga gue fine-fine aja. Orang tua gue bahagia. Dan walaupun gue belum pernah memiliki hubungan, I'm a happy person. Gue hanya mencoba melihat dari kemungkinan lain tentang sebuah hubungan. Dan Neo terlalu menaruh gambling segede itu ke dalam sebuah pernikahan hanya untuk orang seperti Luna."

"Wow, wow, calm down, Babe. Lo ada kemusuhan sama Neo apa bagaimana ini ceritanya?"

"Mungkin kalau lo bilang gue trust issue itu bisa jadi karena Neo, sih. Cara dia memperlakukan lo bikin pusing kepala. Dia nggak pernah gue persilakan dalam batasan apa pun. Dia memiliki banyak pilihan hidup di dunia sebab, yah, hidup adalah rangkaian dari pilihan-pilihan itu sendiri. Tapi dari banyaknya pillihan itu dia justru memutuskan untuk menyakiti lo, itu nggak masuk di akal gue. Timpang aja rasanya. Mencederai hubungan sebab akibat yang ada."

Pakin sepertinya mendapat koordinat dari racauan Nanon siang itu. Ia hanya mampu mengangguk sambil mengembuskan asap rokok. Dari semua temannya yang tidak menyukai perlakukan Neo padanya dan sefrontal itu menyuarakan ketidaksukaannya mungkin memang hanya Nanon. Dalam pesan-pesan teks yang selalu ia kirimkan setiap hari, rasa-rasanya tidak ada satu hari yang terlewatkan dari menyumpahi Neo.

"Gue bukannya membela Neo atau Luna, hanya saja kita adalah pihak luar dari hubungan mereka berdua. Pasal Neo memperlakukan gue kayak gini nggak ada hubungannya dengan hubungan dia dan Luna. Asal mereka berdua bahagia gue pikir itu sudah cukup. Dan rasa-rasanya melabeli Luna dengan statement hanya untuk orang sepertiLuna terlalu kasar sementara lo nggak benar-benar mengenalnya."

"Bagaimana kalau gue mengenalnya?"

Pakin menoleh ke arah Nanon, tatapan matanya mengindisikan agar Nanon melanjutkan cerita.

"Kenal sampai kenapa Neo rasa-rasanya nggak punya ruang untuk bernapas di hubungan mereka selain menuruti keinginannya melakukan hal seedan trisam dengan bergonta-ganti cowok."

Seperti ada yang menembak tempurung kepala Pakin dan rasanya nyeri sekali. Batang rokok di jepitan tangannya meretih, dan ia terlalu sibuk menguasai keterkejutan yang dilempar Nanon sehingga mengabaikan retihan tersebut. Nanon tahu? Masalahnya mereka bukan selebritis kendati Luna adalah mantan Putri Indonesia sementara Neo atlet basket kampus. Mereka memang terkenal, tapi sampai urusan perselangkangan, agak ngeri juga jika diketahui oleh khayalayak. Ada riak tidak enak yang menari-nari di dasar perut Pakin—riak ingin melindungi Neo dari berita entah apa yang tersebar tentangnya.

"Kalau Luna melakukan ini demi kebaikan mereka berdua, selama ini yang sibuk mereka cari bukan hanya laki-laki, tapi cewek pun masuk hitungan. Tapi sekarang buktinya apa? Neo jelas biseks. Perkara seks nggak memiliki gender di matanya. Semua masuk. Tapi lo pernah dengar mereka melibatkan perempuan? Nggak, kan? Itu karena yang Neo lakukan untuk memuaskan egonya semata."

Jujur Pakin tidak pernah menyadari tentang hal tersebut. Selama ini dia terlalu dibekap nafsu. Segala rupa emosi mendominasinya, sehingga ia lupa bagaimana cara menggunakan kepala untuk berpikir. Hal-hal yang berkaitan dengan Luna selalu ia interpretasikan dengan perasaan, maka cemburu tidak berdasarlah yang selama ini ia angkat. Luna memang telah menceritakan kenapa ia sampai bisa seperti ini, tapi akal Pakin sekali lagi tidak bekerja selain mengadangnya dengan cemburu kesekian.

"Atau bisa saja ini semua bukan tentang siapa jatuh cinta pada siapa. Tapi siapa yang berkuasa kepada siapa, sehingga ketimpaan itu terjadi, dan hal-hal yang direferensikan sebagai kepatuhan dianggapnya cinta yang sebenar-benarnya nggak pernah ada."

"Gue nggak tahu maksud lo apa."

"Gue tahu. Gue selama ini diem karena itu bukan ranah gue untuk ngasih tahu lo. Tapi kejadian semalam di mana dia membabi buta mencari keberadan lo membuat gue gatal ingin membeberkan apa yang sebenarnya terjadi, walaupun sekali lagi gue nggak memiliki hak untuk menceritakannya. Lo pasti akan menyangkal semua kalimat gue sebab seperti kata lo, gue hanya orang luar yang nggak tahu apa-apa tentang mereka."

Mata hitam Nanon, Pakin adu dalam sebuah pandangan tajam, dan ia benar-benar bersumpah kehilangan semua arah dari tujuan ucapan Nanon.

"Dari mana lo tahu itu semua?"

"Bukankah seharusnya lo mempertanyakan hal krusial lainnya daripada pertanyaan sesampah itu?"

Nanon kembali memutuskan membaca naskah. Jujur saja Pakin benar-benar tersesat dari pernyataan mengejutkan Nanon. Bisa jadi pemuda itu mendapatkan semua berita dari Drake mengingat mereka datang dari kampung halaman yang sama. Namun seperti apa yang diucapkan Nanon, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang berkuasa kepada siapa?Dan maksudnya apa? Kekuasaan apakah yang terlibat? Kenapa harus ada kekuasaan di sana jika Neo dan Luna mengisahkan gita mereka tentang kebutuhan atas masing-masing pihak? Ataukah ini hanya bualan mereka untuk mendatangkan empatinya yang emang ia berikan cuma-cuma kepada semua kawan? Bangsat! Jika memang itu terjadi, demi Tuhan Pakin tidak akan pernah menjatuhkan maaf. Bahkan jika mereka menjilati punggung kakinya, ia tidak akan memberi maaf.

Pakin tidak peduli sekalipun mereka adalah kawan, tapi kebohongan tidak pernah bisa ia persilakan kendati ia sendiri mengandung segarba kelancungan. Terlebih jika Luna turut mempersembahkan kebohongan padanya, Pakin sampai bingung harus ke mana lagikah ia memungut kepercayaan yang kelihatannya merupakan barang langka dewasa ini. Pakin memang tidak pernah menyukai Luna di luar konteks ketelanjangannya yang benar-benar membuat pusing. Sekalipun Luna mengangsurkan kisah hidupnya yang pelik, segala sesuatu tentang Luna adalah tidak-nya Pakin. Tiga tahun berkenalan dengannya, mati-matian Pakin menyimpan ketidaksukaannya. Dan baru bulan lalu ia sedikit luruh, menurunkan ego yang ia dempul kukuh, untuk memberikan sedikit kepercayaan kepada Luna. Dan ia tidak sampai hati jika kepada perempuan indah itulah kepercayaannya kembali dihancurkan.

Ia memantik macis lagi sebab api di rokoknya padam. Lantas mulai mengembuskannya ketika Ohm datang menghampiri mereka dengan sedikit luka di wajahnya entah karena apa. Ia mengempaskan bokong di hadapan kedua kawannya lalu tersenyum lebar.

"Senang banget akhirnya kamu kembali ke gedung teater," katanya, "aku nggak sabar melihat naskah yang kamu tulis. Kamu nggak nulis lagi sejak Perempuan Pukul Empat Pagi mendapatkan halaman. Dan rasanya sedikit kosong saja nggak membaca tulisanmu yang nakal itu."

"Terima kasih?"

"Jadi apa yang akan kamu bawakan nanti untuk acara Hari Teater? Sudah ada gambaran?"

"Jujur belum. Captain sama Nanon menyarankan kembali menggeber GMM dengan naskah yang berani, tapi gue belum punya gambaran ke sana, dan nggak punya hasrat kembali menggali sumur itu. Apa yang gue bawakan tahun lalu bersama Mahasiswa di Dalam Rahim Kampus rasanya sudah cukup untuk membuat mereka kacau balau dan akhirnya menghentikan semua pergerakan gue. Jadi, gue rasa tema itu udah usang."

"Lo nggak lagi beralasan takut diamuk haters, kan?" Nanon berkomentar di atas naskahnya.

"Wajar-wajar saja kalau gue takut apalagi sejak insiden sesialan di stadion kemarin. Kalau boleh jujur dampaknya buat mental gue seedan itu. Lo nggak lagi mendegradasi perasaan gue, kan?"

"Please, lah, Kin."

"Tapi jelas bukan itu alasannya. Hanya... oke memang sampai sekarang nggak ada regulasi yang berubah sejak gue bersuara, dan mahasiswa tetap mendapatkan ketidakadilan di sini, lebih-lebih tentang tanggungan UKT yang nggak masuk akal. Tapi, itu nggak lagi menjadi keresahan gue. Pena gue bakal mati saat menuliskannya jika yang gue lahirkan adalah kamuflase rasa gue saja."

"Aku bisa mendapat point yang kamu bicarakan. Sekarang pertayaannya, apa keresahanmu yang paling membuatmu merasa nggak nyaman? Ataukah kamu nggak lagi merasakan gundah? Kamu bisa mulai menulis keresahan orang lain yang nggak mampu mereka suarakan dalam naskahmu. Tujuannya sama, bukan? Menyalurkan keheningan."

Pakin berpikir sejenak tentang omongan Ohm, matanya menerawang titik entah di mana. Batang rokok ia isap pelan, lantas asapnya ia embuskan perlahan-lahan pula. Kegundahan dalam hidup Pakin? Bukankah itu sudah sangat jelas? Pertama, keresahan itu bernama perasaannya kepada Neo yang begitu kompleks, yang ia tidak tahu kenapa Drake bisa masuk dalam persanggamaan anal, sementara dirinya tidak, yang ia tidak tahu pula jika memang Neo adalah biseks, kenapa Pakin tidak pernah masuk dalam hitungannya selama ini? Ataukah yang diucapkan Neo ketika mereka berseteru hebat beberapa hari lalu memang bukanlah isapan jempol yang melambung akibat dongkrakan emosi? Melainkan sebenar-benarnya perasaan ia pada Pakin? Bahwa Pakin semenyedihkan itu sehingga membuatnya iba dan memperlakukannya seperti sampah kayak sekarang?

Dan kegelisahan kedua jelas kehadiran hantu-hantu keparat yang keberadaannya semakin hari semakin terlihat nyata. Mereka bahkan terang-terangan mendekap Pakin ketika tidur, dan Pakin sanggup merasakan getaran kehangatannya. Ia memang satu kamar kos dengan Neo, tapi tak pernah Pakin merasakan pulang kembali dengan nyaman tanpa adanya ketakutan sebagaimana yang para hantu itu tawarkan. Kadang Pakin berpikir bahwa mereka bukan hantu, melainkan kawan yang memang benar-benar ada sebab walaupun mereka menyebalkan, ternyata hanya merekalah yang tidak meninggalkannya. Pakin mengajak mereka berbicara, dan terkejut ketika mereka adalah semua amin yang Pakin cari selama ini; kehidupan yang berantakan, mimpi-mimpi semu, kebahagiaan yang musykil, cinta yang fana. Memang ia bukan penganut prinsip tidak mengenal cinta dan pernikahan adalah lembaga paling sulit dilakukan sebagaimana Nanon, tapi dengan Neo, Pakin mengenal cinta kendati yang terlihat selama ini hanyalah ketololan-ketololannya semata. Hantu-hantu itu teman menggibah yang asyik rupanya. Mereka seia sekata dengan Pakin untuk berhenti mengejar cinta sebab dirinya memang tidak sepantas itu mendapatkan cinta.

Jadi, jika memang harus menuliskan keresahan, apakah ia akan menuliskan dua ketakutan itu dan mementaskannya di atas panggung? Ya, Tuhan, bahkan untuk memikirkannya Pakin merinding. Ia jelas tidak akan sanggup memberedeli hatinya seperti itu. Kemampuannya belum sampai ke tahap sana.

"Nanti gue pikirin lagi," kata Pakin pada akhirnya. "Tapi nanti gue bakal ngerusuhin lo, sih, kalau gue pada akhirnya punya tema."

"Dengan senang hati, sih, kataku. Aku nggak sabar melihatmu bermonolog. Jujur, pentas teatermu tahun lalu benar-benar gila. Waktu kamu menampar-nampar wajah sebagai alegori para mahasiswa yang bunuh diri di atas regulasi GMM itu benar-benar pecah banget. Klimaksnya nendang, mampu membekap napas penonton sehingga bernapas pun takut kedengaran."

Pakin berdecih kecil. Memang aksi penampilan panggungnya tahun lalu banyak mendulang pujian, bahkan ia menerima tawaran Indonesia Bertutur. Tapi dampak yang Pakin dapatkan melebihi pujian-pujian tersebut. Pihak kampus merespons cepat. Mereka sampai mengeluarkan surat teguran kepada Pakin secara resmi, dan memaksa Pakin meminta maaf. Berikutnya, simpatisan manajemen yang entah datang dari mana, membanjiri base kampus dengan segala macam rundungan sampai berbulan-bulan lamanya. Foto-foto Pakin disebar, bahkan dijadikan banner yang menyebutnya makar. Ke mana pun Pakin melenggang di area kampus, di situ pula tatapan menghakimi serta bisik-bisik tentang keangkuhannya yang menyerang kampus sendiri terdengar menyuruk kuping. Pakin sampai harus mendekam di kos-kosan di luar kegiatan kuliah untuk menenangkan diri. Rasanya seperti di neraka, yang pada akhirnya melahirkan satu hantu dari insiden tersebut, dan membuahkan trauma yang kadang bermunculan tanpa sebab.

"Dengan lo bilang begitu artinya lo membebani gue, sih, Ohm. Seolah-olah gue harus tampil sebaik atau lebih baik dari drama tahun lalu. Sampai sekarang aja gue nggak tahu harus menampilkan apa, tapi tuntutan orang-orang seakan-akan memaksa gue untuk memberikan penampilan yang nggak mengecewakan."

"Hei, nggak kayak gitu maksudku. Aku hanya ingin memberimu pujian atas sesuatu yang memang pantas dipuji, bukan untuk menuntutmu memberikan yang terbaik. Kamu jangan merasa terbebani, dan kalau itu mengganggumu, aku nggak akan mengungkit-ungkit lagi pementasan tahun lalu. Aku minta maaf kalau ternyata pujian dariku membuatmu tertekan."

"Lo kayak nggak kenal Pakin aja, njir," Ohm mengangkat wajah dari naskahnya. "Dia nggak pernah terbiasa dengan pujian apa pun bentuknya. Dan, Kin, yang harus lo tahu, lo nggak perlu menampilkan yang terbaik di panggung. Lo menampilkan hal yang mengecewakan aja nggak masalah. Lo mau gagal sebagaimana pun, bakal gue persilakan asal itu membuat lo merasa nyaman. Tujuan gue mengajak lo untuk ikut merayakan pekan teater bukan untuk membebani lo dengan penampilan sempurna, tapi untuk melihat lo kembali ke atas panggung sebagai jawaban atas para keparat itu bahwa mereka nggak pernah benar-benar membunuh lo."

Pakin mengangguk-angguk, mengetuk ujung rokoknya, lantas mengisapnya lagi. "Sorry, gue bukannya sensitif atau apa, hanya saja ini hari pertama gue latihan setelah setahun gue nggak ke sini. Jadi agak kaku di atas panggung. Gue cuma ingin melenturkan tubuh sebelum gue ajak untuk bermonolog. Tapi orang-orang seakan melihat gue artis pro yang nggak perlu penyesuaian, dan seolah-olah mendemosi ketakutan gue tahun lalu."

"Kami minta maaf sungguh-sungguh, Kin." Ohm menatapnya dalam, yang Pakin hadiahi kedikan mata. "Oke, kita bahas hal di luar pentas teater. Kamu ada masalah apalagi sama Neo?"

Kali ini Pakin bersumpah ia akan menghitung berapa kali memutar bola mata malas saking seringnya ia melakukan hal tersebut. "Dia ngehubungi lo?"

"Lihat?" Dia menunjuk pipinya yang benjut. "Hasil tangan Neo sewaktu aku bilang dengan tegas kalau kamu nggak di kosku dan dia memaksa masuk sambil mengobrak-abrik kosku. Aku nggak apa-apa dia giniin, tapi kamu aman, kan? Kamu tidur di mana? Kalau lihat dari tweetnya Winny, Satang, dan Fourth yang kayaknya juga kena dampak amukan Neo, kamu nggak lagi sama mereka."

"Sebenarnya apa, sih, permasalahan kalian kali ini?" Nanon benar-benar menutup naskah dramanya. "Oke gue akui kalau gue benci banget sama dia, tapi dia nggak pernah segila ini sebelumnya. Dia emang edan, tapi kali ini dia melebihi apa pun yang pernah dia lakukan ke lo."

Pakin menatap Ohm dan Nanon kemudian berdecih. Bingung juga mau menjawab apa? Bahwa ia melonte untuk membayar UKT? Memang sekarang uang UKT-nya sudah aman, dan ia bisa melanjutkan kuliah dengan lancar. Tapi Pakin tidak bisa menjamin masa depannya nanti. Dan jika Pakin mengudarakan alasan tersebut, mungkin mereka akan memberikan respons sebagaimana Neo. Apalagi kalau mereka tahu dia digangbang dalam praktik BDSM? Kini Pakin tertawa kecil.

"Dan sekarang lo ketawa. Oh aja sih gue." Ohm menyenggol bahunya gemas.

"Kalian santai saja. Gue aman banget. Emang agak keji juga perlakuan gue kali ini jadi gue rasa apa yang Neo lakukan bisa gue maklumi. Cuma gue belum punya tenaga aja untuk ketemu dan meluruskan segala permasalahan dengannya. Nanti kalau gue udah bisa menguasai emosi, bakal balik lagi ke kos. Kayak kalian tahu gue bisa lepas darinya aja."

"Dan kamu tinggal di mana? Aku khawatir jujur saja."

"Nanti lo juga tahu, kok, Ohm. Yang perlu lo tahu gue aman, dan berada di tempat yang aman pula. Untuk sementara gue jamin Neo nggak bakal bisa nemuin gue. Bukan berarti gue kabur, gue hanya ingin sedikit menenangkan diri aja sebelum kembali berdialog dengan Neo. Tapi, thanks atas perhatian kalian. Gue aman, kok."

Walaupun pada kenyataannya Pakin tidak pernah benar-benar paham aman yang bagaimana yang ia dan kawan-kawannya maksud. Apakah dialog-dialognya dengan para hantu? Ataukah malam-malam panjangnya yang kadang kala ia habiskan dengan menghukum diri sendiri? Ataukah kemampuan tidurnya yang tidak kunjung membaik selain semakin hari semakin mereduksi? Ataukah kemampuannya menenggak alkohol yang semakin mencengangkan?

Jika memang kebahagiaan adalah kita sendiri yang memutuskan, Pakin tidak pernah benar-benar tahu harus mengambil langkah yang mana, harus membuka pintu yang mana, atau harus memutuskan pilihan yang mana. Karena baginya kemampuan manusia mengambil keputusan selinier dengan adanya ragam pilihan itu sendiri. Dan sampai detik ini, Pakin tidak paham pilihan dalam hidupnya berupa apa saja. Mereka seolah kabur di tempurung kepalanya. Saling berbenturan dan menjadi kabut. Membuat kemampuan Pakin untuk memutuskan melempem, meninggalkan gading yang tumpul di rongga mulutnya.

"Ohm, apakah Fourth yang lo maksud itu Fourth yang sama dengan Fourth yang membereskan semua kasus bullying Pakin? Gimana kabar dia? Setahun nggak pernah ketemu sejak insiden saat itu, njir. Dan gue hanya melihat cuitannya di Twitter doang. Agak kangen juga sama wajahnya yang sengak." Kalimat tiba-tiba Nanon memukul kesadaran Pakin. Pria berambut keriting itu menatapnya dalam.

"Apa maksud lo?" Ia menatap Ohm dan Nanon bergantian, kemudian sebutir kecewa meluncur menghantam kantung jantung sewaktu mata Ohm berpijar ragu sambil menggeleng pelan. "Ohm?" Lama tidak mendapat jawaban, Pakin tertawa keras. Ia mematikan rokoknya yang telah habis, lantas menyulut sebatang dan berdiri, lalu berjalan mondar-mandir. "Can you just stop standing around and start explaining anything to me? Fourth yang membereskan semua kasus bullying gue? Bagaimana bisa kalau yang dia lakukan selama ini nggak lebih dari membalas twit-twitan orang yang ngehate gue? Lo dan semua teman gue melakukan hal serupa!" nyalaknya mirip anjing.

"Oh...." Tiba-tiba Nanon membekap mulut, seolah sadar bahwa ia seharusnya tidak membicarakan apa yang tetap menjadi rahasia.

Dan Pakin benar-benar bersumpah ia membenci semua kebohongan yang melata mirip ular di atas tanah. "Kalau kalian masih memandang gue seorang kawan, gue pikir ini kesempatan terakhir kalian jujur sama gue. Gue nggak maksa, hanya gue akan mencari semua kebenaran itu seorang diri. Dan jika ternyata kalian terbukti menyimpan kebenaran kepada gue atas tubuh gue sendiri, jangan pernah berharap kalian akan mengenal Pakin lagi. Dia benar-benar akan minggat dari sisi kalian. Posisi kalian hanyalah kawan, yang nggak perlu buang waktu dan tenaga untuk gue buang serupa sampah." Pakin benar-benar serius dengan semua kalimatnya. Mata cokelat serupa matahari pukul setengah lima sorenya bergetar saking hebatnya ia menahan amarah. Jantungnya bertalu-talu kuat. Bahkan jemarinya bergetar sewaktu menjepit batang rokok. Demi Tuhan, kepalanya terasa ingin pecah. Suara hantu-hantu keparat itu riuh bukan kepalang, gundah bukan main.

"Jangan marah dulu, Pakin. Ini semua nggak seperti apa yang ada dalam sangkaanmu. Nggak ada yang dirahasiakan di sini. Kami murni melakukannya untuk keselamatanmu seorang."

"Gue minta maaf atas omongan gue, Kin. Anggap aja gue nggak membualkan apa-apa di sini. Lo tenang dulu, okay?"

"What the fuck are you guys doing? Meminta gue untuk nggak menanggapi omongan lo sementara gue udah denger? Gue emang setolol itu mencintai Neo, Non, tapi gue bukan manusia goblok. Oh... atau selama ini pandangan lo tentang gue memang seperti itu? Manusia goblok yang bisa dibohongin orang-orang? Manusia goblok yang nggak bakal sakit hati karena dikibuli mirip anjing?" Tawa Pakin keras sekali, membuat mahasiswa yang kebetulan melintas di sana menoleh terganggu. "Jika itu keputusan lo, gue pergi. Dan jangan berharap gue kembali, Non. Gue serius!" Ia sudah akan beranjak dari sana ketika lengannya ditahan oleh Ohm.

Pemuda yang lebih tinggi darinya itu menggeleng, matanya terlihat sendu. Jelas ada jejak kesedihan di sana, dan Pakin tidak akan sudi menawarkan sebentuk kepedulian kepadanya. Bahkan jika pijar kedua mata itu mati pun, Pakin tidak akan merepotkan diri untuk datang melawat. Baginya semuanya sudah rampung. Sudah tuntas sampai di sini. Ia benar-benar akan pergi. Pergi sampai semua kegilaan ini minggat dari kepalanya.

"Awal mulanya ide ini tercetus dari Neo."

Perasaan tidak enak itu tercebur di dasar hati Pakin. Ia menarik napas panjang, yang kemudian ia embuskan perlahan-lahan. Rasanya sesak sekali, membuat dadanya ampek.

"Hate comments tentang pertunjukan teater lo udah nggak bisa dibendung lagi walaupun sudah terlewati tiga bulan. Lo mengurung diri di kamar kos dan dia dan kami semua benar-benar kebingungan harus bagaimana lagi supaya masalah ini kelar. Dia bertanya pada Drake, yang kebetulan mengenal Fourth sebab orang tua mereka pernah beberapa kali terlibat kerja sama. Ayah Fourth seorang mantan jaksa agung, sementara ibunya diplomat yang masih aktif menjabat. Drake, Neo, aku, dan Nanon mendiskusikan ini di Petra bersama Fourth untuk meminta pertolongan kepadanya. Dia awalnya enggan karena ternyata hubungannya dengan orang tuanya nggak begitu bagus, tapi akhirnya dia mau turun tangan karena kondisimu yang begitu memprihatinkan. Dia meminta bantuan orang tuanya untuk menyelesaikan kasus ini. Kamu pasti tahu dengan riwayatnya dengan jabatan tertinggi di kejaksaan RI, pasti beliau memiliki banyak channel, jadinya kasus pembullyan kamu bisa ditangani saat itu juga. Pun untuk kasus di lapangan basket kemarin, itu campur tangan orang tua Fourth yang saat ini masih di Austria sebab ibunya sedang bertugas di sana. Yang tahu latar belakang keluarga Fourth hanya kami berempat. Winny dan Satang pun tak tahu-menahu."

Pakin terbahak-bahak, kencang sekali tawanya, ia sampai memegangi perut dan air matanya berembun di pelupuk. Oh, Tuhan, bahkan rasanya jika ini adalah panggung sandiwara, Pakin benar-benar akan mengutuk siapa pun penulis dari sajak sialan ini. Maksudnya, ayolah, dia bukan manusia jahat, serius. Selama ini kejahatan yang ia ciptakan hanyalah urusan perselangkangan seorang. Ia tidak tahu apa itu memusuhi orang, ia tidak paham bagaimana mengabaikan kehadiran orang di saat dia butuh. Bahkan jika boleh sesumbar, Pakin lebih putih dari kesucian yang dibualkan manusia. Tapi kenapa rasanya ganjaran yang menimpanya semencekik ini, coba? Dia bukan Bunda yang memaksanya bangun dengan pukulan setiap pukul empat pagi, dia juga bukan Oma yang menendang anaknya sendiri ketika sedang hamil, tapi kenapa rasa-rasanya ia berdosa banget sampai harus menanggung semua keedanan ini? Ayolah, ayolah, ayolah, Pakin hanya ingin memiliki satu orang yang bisa dipercaya. Itu saja!

Anjing!

Anjing!

Rasanya sakit banget, anjing!

Fourth adalah adik sekaligus saudara. Kepadanya ia telah benar-benar menjatuhkan kepercayaan paling tulus, paling kalis. Ia tidak keberatan menderita kelaparan setelah sisa uang tabungannya ia berikan kepada Fourth untuk membeli peralatan praktik. Ia tidak pernah menghitung berapa banyaknya duit yang ia berikan hanya supaya sang saudara tetap terus bisa melukis, karena baginya duit jelas putusan kesekian setelah ia menempatkan para orang tersayangnya di urutan satu dan dua. Kalimat penuh sendu Fourth di rumah sakit yang mengisahkan betapa orang tuanya hanya pensiunan PNS yang jauh membutuhkan duit daripadanya sehingga ia bekerja paruh waktu di bar milik Perth, seperti melempar tai di wajahnya yang polos, seperti meludahi wajahnya yang lugu, seperti mengencingi wajahnya yang goblok.

Tai sekali, Saudara. Sakitnya sampai membuat gigi susunya ngilu.

Dan Neo dan Drake dan Ohm dan Nanon tahu semua itu dan mereka diam dan membiarkannya berdiri seperti seorang pandir yang bingung membedakan mana bayam kocok mana air gula sebab di tubuhnya, mereka hanya mampu membuat sebah.

Pakin menatap kedua orang di hadapannya dengan perasaan kecewa. Ia mengembuskan asap rokoknya dengan perasaan hampa, lalu berujar, "Gue pergi. Terima kasih atas semuanya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro