Bab 29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pakin menatap ke luar jendela. Taman air terlihat di pandangan mata. Terdapat teratai, papirus, dan rumput air yang terapung-apung di permukaannya yang tenang. Mengepung taman air, berbagai macam bunga seperti mawar, lavender, dan begonia tumbuh bermekaran dengan warna-warna cerah yang ketika embusan angin datang, mereka berayun-ayun dalam gerakan lembut. Di sisi kiri dan kanannya ditumbuhi pohon ek, dan tumbuhan semak seperti azalea dan rhododendron berwarna hijau, yang terlihat begitu kontras dengan lautan bunga warna-warni. Dan tak jauh dari kebun bunga tersebut, ada pula taman dinding dengan tanaman merambat dan lumut yang tumbuh secara vertikal.

Pakin menghela napas panjang. Ia mampu melihat wajahnya yang masih pucat di pantulan kaca di hadapannya. Ini sudah sebulan sejak ia bangun dari koma dan menjalani operasi transplantasi kornea akibat ia menghunus matanya sendiri dalam drama penuh tragedi hari itu.

Tiga bulan tertidur dalam koma panjang, Pakin tidak merasakan apa-apa selain hampa yang begitu mampu menonjok kepala. Ketika membuka mata untuk pertama kali, memang sekujur tubuh Pakin kaku dan luka-luka tusuk itu memberikan efek pedih sampai tulang. Tapi tidak ada yang mampu menakar kekosongan yang sangat mencekik ulu hati. Kekosongan yang tidak sanggup ia ejawantahkan dalam kalimat maupun perbuatan selain berujung pada penyesalan panjang. Siapa yang menyangka bahwa ketika ia koma, memori masa-masa silam datang berduyun-duyun mengeroyok pertahanan. Kenangan yang menghilang selama enam bulan, sosok Pangeran yang sebenarnya, bahkan ingatan masa-masa kecil ketika ia masih tinggal di daerah Tangerang. Ia mampu merekam jelas kehidupan itu semua — setiap inchinya, bahkan jika itu sedetail butiran debu. Kenapa Bunda pada akhirnya tidak lagi pergi bekerja ke pabrik, kenapa anak-anak kecil sebayanya tidak lagi merundung ia tidak memiliki ayah, kenapa ia begitu mencintai ayam goreng KFC, dari mana dia mendapatkan semua kemampuan berbahasanya, apa tujuan utamanya mencoba menulis cerpen, buku pertama apa yang membuatnya jatuh cinta pada bacaan, dari mana ia mendapatkan sifat berani menentang kekejaman kampusnya sendiri, semuanya. Pakin mampu mengenang itu semua dan menjabarkannya dalam sebuah cerita paling pedih yang sanggup menjatuhkan air mata Pakin dalam kubang penderitaan. Bahkan kalimat terakhir yang ia bisikkan sebelum menemukan jasad Bunda tergantung di bangsal esok harinya, terasa bergetar di kuping Pakin dan itu sungguh membuatnya menggigil. Setelah karut marut dalam hidupnya, ia telah melupakan seberapa besar cintanya pada Bunda, seberapa besar sayang itu untuk perempuan kesayangan. Namun ketika cinta dan sayang itu kembali dalam bentuk paling azali, ia justru harus kehilangan Bunda. Dan dengan lidah itu pulalah, ia telah mengantarkan Bunda ke keranda kematian. Dengan ucapannya yang keji itulah, ia yang mendatangkan kematian buat Bunda. Seharusnya Pakin tidak usah selamat, sebab dosa yang ia lakukan kepada Bunda teramat kuat.

"It's been a month since you woke up, and we haven't had a chance to catch up." Andrew datang menghampiri Pakin yang termenung di atas kursi rodanya di ruang baca, seperti yang selalu ia lakukan sejak ayah biologisnya mengajak ia dan Oma tinggal di Kastil Laeken. "I just want to know, Son. How are things going? How are you feeling right now?"

Pakin masih terdiam. Matanya menerawang jauh. Ia tidak tahu harus memosisikan dirinya bagaimana di hadapan sang pangeran Brussels ini, yang kebetulan dari dialah ia bisa dilahirkan di muka bumi. Ada amarah yang tidak mampu diampu, ada luka yang tidak bisa ditebus bahkan setelah ia datang dan menyelamatkannya, ada keengganan dan ketidaksudian menerimanya dalam sebuah pengakuan. Kendati Oma telah menjelaskan seluruh duduk perkara dan betapa giatnya laki-laki ini mencoba mencari tahu keberadaan dia dan Bunda, Pakin tetap tidak bisa menjatuhkan maaf maupun penerimaan.

Andrew mendesah berat, mengusap muka, lantas menggeret kursi terdekat untuk ia sandingkan dengan Pakin. Ia mengikuti arah pandang Pakin, dan berharap bahwa ia mampu menatap apa yang anaknya lihat.

"I know I messed up, Kin. I've put you and Annelies through a lot. No amount of sorrys will ever make it right." Pakin mendengar suara tarikan napas yang dilepas dengan begitu dalam. "But you should know, Son, I really, really love your mom. Loving her has been the best part of my life, and I've never regretted it." Andrew mengusap cambang di rahang persaginya. Mata cokelat itu meleleh pada duka berkepanjangan. Ia membongkar tiga kancing teratas kemeja yang dikenakan supaya gencetan dalam dadanya terasa sedikit longgar. "Annelies was not only beautiful, but she had a real passion for life, and I've learned a lot from her along the way. Annelies's perspective on the world revealed her brilliance. When she delved into a book, she transformed into an extraordinary woman. She's beautiful and remarkable, Pakin. I can't describe her abilities in a single sentence because she surpasses them all."

Sengatan matahari menimpa kulit Pakin yang pucat. Itu membuatnya merasakan hangat walaupun isi kepalanya riuh bukan kepalang. Ia terus membiarkan laki-laki itu bercerita, kendati seluruh hatinya enggan memberikan telinga. Cara Andew mengisahkan Annelies telah mampu menunjukkan bahwa memang pernah ada cinta di sana, tapi Pakin sama sekali tidak menyukai gagasan tersebut. Di dalam kepalanya sudah tertanam bahwa sosok ayah itu telah mati, baik secara fungsi maupun fisik. Pakin bukannya kejam, hanya saja penderitaan yang menimpa selama ini menuntunnya pada konklusi ini.

"Annelies loves to read, and she can always find the silver lining in any book, even if the author paints a bleak picture in the story. Despite her brief time in Brussels, Annelies managed to read a stack of books that could fill a small library."

Itu cukup memberi tahu Pakin bagaimana bisa Bunda bersikap kritis kepada semua hal, dan begitu galak jika mengenai bacaan. Bunda setiap hari selalu membawa pulang koran untuk ia baca. Dan setelah ia merampungkan koran-koran itu, Bunda akan mengajaknya berdiskusi yang semuanya akan berujung dengan mendebatkan apa pun di sekitar mereka. Tapi Pakin tidak pernah mengira bahwa kecerdasan Bunda ternyata memiliki latar belakang seperti ini. Dalam diam, Pakin justru menginginkan orang ini semakin banyak menceritakan kisah ibunya, sehingga ia bisa lebih dekat mengenal Bunda. Bunda di matanya selama ini tak lebih dari seorang perempuan menyedihkan yang hidup sekarat di barak kemiskinan. Baru sekarang Pakin menjumpai sisi lain dari seorang Annelies Kartika Paraningrat. Itu membuat dada Pakin terasa hangat, dan seolah-olah sedang berada di rumah kerabat dekat.

"Believe it or not, this LSE student, brilliant and beautiful, doesn't mind farm work. She takes care of the stables, handles animal waste, and gathers eggs from the chickens without a hitch."

"LSE?"

"Didn't your mom ever tell you she went to LSE?"

Yang ia tahu dari Oma hanya bahwa ibunya pernah kuliah tapi tidak tamat. Dia tidak pernah mengira bahwa itu adalah LSE, salah satu kampus terbaik dunia, yang letaknya ada di London — demi Tuhan. Dan ibunya merupakan mahasiswa brilian? Luna jelas tidak akan bisa menerima fakta ini. Yang ia tahu dari sosok Annelies hanyalah gambaran Pakin yang dituangkan dalam Perempuan Pukul Empat Pagi bernama Marta yang tidak tamat sekolah. Jangankan Luna, Pakin hampir-hampir tidak mampu menguasai kejutan yang begitu mencengangkan ini.

"If Mom was an LSE student, how did she wind up working on a farm?"

"Pakin, do you know how Annelies and I met before all this chaos?"

Diam yang Pakin berikan cukup mengejutkan Andrew. Ia tidak tahu apakah ia harus berbahagia karena pada akhirnya ia mampu mengajak Pakin mengobrol dalam suasana hangat tanpa permusuhan, atau merasa miris sebab anaknya tidak mengetahui sama sekali latar belakang orang tuanya.

"Do you seriously think I'm a know-it-all?"

Andrew sedikit membeku ketika, pada akhirnya setelah ia menjumpai anak ini tidak berdaya empat bulan lalu di salah satu rumah sakit di Jakarta sebelum ia pindahkan ke Belgia, Pakin mempertemukan secara langsung garis pandang mata mereka. Andrew bisa melihat sosoknya ketika muda ada di diri Pakin. Dan matanya, demi Tuhan, mata cokelat itu murni mata dia. Dunia tidak perlu meragukan kebenaran untuk memaksanya dalam sebuah tes DNA guna memastikan Mark Pakin adalah darah dagingnya. Segala hasil penciptaan yang ada di diri Pakin adalah ia ketika menjumpai cinta pertama dalam hidupnya; adalah ia ketika berdeham dan duduk di hadapan perempuan muda yang sedang menafakuri sebuah novel di pangkuan dalam kereta yang mengantarkannya dari London ke Brussels.

Ketika ia mendapatkan telepon malam hari dari nomor yang sudah ia kenal di luar kepala, Andrew tidak memikirkan hal buruk sama sekali. Tapi sewaktu suara Elia terisak-isak di dalam telepon dan mengabarkan bahwa Pakinnya mencoba melakukan percobaan bunuh diri di hadapan para mahasiswa di kampusnya, Andrew sadar bahwa ketakutan itu kembali meremat jantungnya kuat-kuat. Hari di mana Gemini memberi warta bahwa Annelies bunuh diri di bangsal rumah sakit jiwa, adalah hari di mana Andrew benar-benar kehilangan tempat berpihak. Dunianya runtuh, dan segala impiannya agar bisa kembali dengan keluarga hancur detik itu juga. Jadi tragedi Pakin bunuh diri dalam sandiwara yang ia lakonkan tak pelak mampu melorotkan seluruh kesadaran, dan menciptakan rasa takut yang membekap perasaan.

Malam itu juga ia terbang dari Brussels ke Jakarta, dan langsung berlari seperti kijang ke rumah sakit tempat Pakin mendapatkan perawatan. Elia menyongsongnya dengan mata bersimbah tangis, dan tubuh ringkihnya yang bergetar hebat. Ia mencoba memeluk perempuan ayu tersebut guna memberikan keamanan walaupun di dalam hatinya Andrew remuk redam.

"I don't want to lose my son again, Dru. That illness already took Annelies's life, and I hope Pakin won't go through the same thing. I couldn't bear it if Pakin had to go through what his mother did. Please, Dru, lend me a hand in keeping Pakin safe. I feel like I've let down my child and grandchild. I'm begging you, save Pakin. I'm pouring my heart out."

Andrew menepuk-nepuk pelan bahu Elia. Ia mengedarkan pandangan. Ia pernah ke rumah sakit ini sewaktu pertama kali Elia memintanya datang untuk menolong perekonomian mereka sebab perkebunan tehnya gulung tikar, yang mana hal tersebut tidak seharusnya Elia lakukan jika dia menerima semua kewajibannya membesarkan Pakin dari pertama kali ia menginjakkan kaki ke Indonesia. Andrew dapat melihat sosok Gemini dan beberapa orang yang mungkin merupakan kawan dari Pakin.

"Where's Pakin being looked after, Elia?"

Elia menunjuk ke ruang ICU. Gemini yang melihat sosoknya, langsung datang menghampiri, memberinya pelukan, dan mengajak Andrew mendekati ruang perawatan intesive supaya bisa melihat Pakin lebih dekat. Dan, demi Tuhan, Andrew bersumpah itu adalah hari panjang paling mencekam yang pernah ia lalui semasa hidup. Andrew memiliki foto-foto Pakin, bahkan di beberapa kesempatan ia bisa menemukan akun sosial media anaknya dan melihat kegiatan anaknya yang dia share di sana. Tapi sama sekali tidak pernah Andrew bayangkan ia akan menjumpai jagoannya dalam kondisi semengenaskan itu. Seluruh tubuhnya mendapatkan luka jahit, bahkan mata dan kepalanya. Ia menekap mulut, tidak mampu menakar kesakitan seperti apa yang sanggup membuat pemudanya menderita seperti ini.

"The knife that went into Pakin's head damaged the part that controls his consciousness, and now he's in a coma."

Suara yang dikeluarkan Gemini seperti batu yang melompat-lompat di permukaan air di dalam calung sebelum tenggelam ke dasarnya, membuat kewarasannya seperti turut tertelan batu tersebut. Bibirnya bergetar hebat sewaktu berkata — untuk meyakinkan bahwa ia salah menangkap penuturan Gemini, "A knife?"

"Pakin tried ended his own life by repeatedly stabbing himself from head to toe with a knife."

Ya, Tuhan. Tubuhnya hampir ambruk yang seketika disokong oleh Gemini dan teman-teman. Matanya melotot, jantungnya seperti dipelorot. Ia melihat Elia, dan sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana kengerian itu memeluk tubuh kurus mertuanya. Perasaan bersalah sekonyong-konyong menghantam dirinya dalam luka tak terperi. Ia telah gagal menjadi laki-laki yang menjaga kekasihnya, ia pun telah gagal memberi perlindungan kepada anaknya — Pakinnya. Maka malam itu juga setelah seluruh proses rujuk rampung dilakukan, Andrew merujuk Pakin menggunakan jet emergency ke Belgia. Dan demi seluruh nama Tuhan yang mampu ia sebut dalam malam-malam bakti kudus, Andrew sungguh mensyukuri keputusannya tersebut sebab Pakin akhirnya selamat melewati masa-masa koma panjang selama tiga bulan. Tiga bulan paling mencekam dalam hidupnya.

"During her college breaks, Annelies is always on the move, participating in volunteer programs that take her to different countries. She assumes various roles, including social work, teaching, pet care, farming, and gardening. Her most recent experience was working on a farm."

Goddamn it! Ibunya melakukan volunteer di berbagai negara ketika dia masihlah menjabat mahasiswa ternama di LSE? Pakin sepertinya paham dari mana ia mendapatkan darah petualang dalam tubuhnya. Memang tidak bekerja sebagai relawan, tapi mendaki dari satu gunung ke gunung lainnya jelas memotret masa lalu Bunda yang pergi ke negara satu ke negara lainnya. Samar, senyum itu terkembang. Senyum yang berada di garis persinggungan antara kebanggaan memiliki ibu sehebat Bunda, dan kepedihan mengingat perempuan sehebat itu harus merasakan kejinya dunia dan dicerabut paksa dari masa-masa muda indahnya ketika hamil. Pakin mendesah berat.

"I bumped into her on a train from London to Brussels. She was reading 'Broken Wings' while I sat across from her. We struck up a long conversation during the trip."

Pakin bisa merasakan kehangatan dari cerita itu, bahkan ia bisa membayangkan kejadiannya detail demi detail. Bertemu cinta pertamamu di sebuah kereta dalam perjalanan menuju negara untuk melakukan pekerjaan amal, sementara ada Sayap-Sayap Patah-nya Khalil Gibran di pangkuan ibunya yang memang segila itu dengan membaca, Bunda jelas tahu bagaimana caranya memiliki hidup romantis sebelum berakhir tragis.

"You know, I don't typically enjoy reading romance novels, except for non-fiction, but Annelies truly intrigued me with her perspective on 'Broken Wings'. Throughout the journey, we became so engrossed in discussing the book she was reading."

Ibunya jelas tinggal di dunia fiksi di mana penulis yang menciptakannya tengah jatuh cinta. Pakin tidak pernah mendengar kisah cinta sehangat wedang jahe dalam hidupnya selama ini. Walaupun kenyataan yang diceritakan Andrew membuatnya merasa tidak mengenal Bunda sama sekali, tidak dimungkiri ada cinta yang membelai lembut dasar perutnya seperti selembar kain sutra. Bukankah akan jauh lebih indah jika saat ini ia bisa bercengkerama dengan kedua orang tuanya, menikmati beberapa keping kue lemon, sambil menceritakan kehidupan kampusnya yang membosankan? Ngobrol dengan ayah dalam prosesi mengenang mendiang Bunda tidak pernah Pakin pikirkan akan berujung semenyedihkan ini. Kehilangan itu terasa semakin menyakitkan justru setelah ia bangun dari koma dan seluruh ingatannya kembali untuk menjadi cerita utuh.

"At first, Annelies was reluctant to get to know me because, as you might guess, even though we had some great conversations about books, I was still a stranger. And in a cultured place like Indonesia, getting to know a stranger isn't always easy. But in the end, we ran into each other on a rather unexpected evening. I spent a whole month searching for Annelies in Brussels, and who would've thought she was actually working on a farm owned by the royal family? Our paths converged there, and love has been flowing ever since."

"Jelas ibuku orang yang cerdas dan semua anggapan orang-orang tentangnya terpatahkan sudah."

"Anggapan yang bagaimana maksudmu, Pakin?"

"Semua fitnah yang mengatakan bahwa Bunda adalah perempuan gampangan yang bebas membuka selangkangan kepada setiap laki-laki yang ia kenal. Sebelum menjadikan rumah keparat itu sebagai tempat pelacuran, ibuku bahkan menolak berkenalan dengan orang asing yang jika dilihat dari sisi mana pun, kecerdasanmu dalam berdiskusi dengannya jelas hal sulit ditolak. Ibuku gila membaca, dan menemukan teman diskusi berbobot dengannya jelas seperti menemukan harta karun. Tapi ibuku memilih pergi dan baru menjalin perkenalan ketika dia baru tahu dan mengenal lebih jauh siapa sebenarnya dirimu."

Andrew terdiam. Senyumnya terulas kecil. Jelas ia paham dari mana Pakin mendapatkan kemampuan mengamati detail-detail kehidupan setajam itu. Dalam hati, rasa bangga itu mengular begitu saja. Di surga sana pasti Annelies telah mampu melihat kecerdasan dari anak semata wayang mereka.

"Loving Annelies has been the most thrilling and splendid journey of my life. I've never regretted choosing her as my first and only love."

"You might be onto something! Maybe Mom's regretting loving you."

Pakin mendecih, melemparkan pandangan ke arah kebun bunga kerajaan. Dari tempatnya sini, dia melihat pangeran — cucu dari ratu dan raja — tengah terlihat berjalan-jalan di sana. Pakin pernah bertemu beberapa kali dengannya, dan ia tidak bisa memberikan ekspektasi apa-apa selain mendapatkan tatapan penuh curiga dari pangeran tersebut. Pakin sangat paham bahwa sekalipun Pangeran Andrew dan ibunya yang merupakan istri kedua raja, menerima dengan tangan terbuka kehadirannya dan Oma, keluarga inti kerajaan tidaklah mudah mempersilakan kehadiran mereka. Ia belum pernah bertemu raja dan ratu sesungguhnya, tapi cucu-cucu mereka yang sepantaran Pakin memberikan tanda bahaya acap kali Pakin berada dalam radius dekat mereka. Seperti laki-laki dengan dukungan kursi roda ini bisa meledakkan kastil saja. Pakin selalu tidak mampu menghentikan putaran matanya jika pangeran yang namanya telah Pakin lupakan itu menatapnya seperti menatap para maling.

"My mom's been through hell because of you, and you don't even know it. What's downright comical is you're eating like a king, while my Mom's been doing her best to put something on my plate. Kamu tinggal di istana megah sementara ibuku mati-matian menjaga agar aku tidak kepanasan ketika matahari menyengat, dan tidak kedinginan ketika hujan jatuh. Such an amazingly delightful distinction, wouldn't you agree?"

"Aku tahu, Pakin, dan aku tidak tahu harus bagaimana selama ini untuk menemukan kalian. Saat aku mengetahui bahwa Annelies hamil, kamu tahu bahwa aku merasakan kebahagiaan yang membanjiri hidupku. Aku memberitahukan hal tersebut pada ibuku, nenekmu, dan tahukah kamu bahkan dialah yang jauh lebih gigih untuk datang ke Lembang dan menemui Elia dan Sutan agar mereka melunak untuk memberitahu informasi di mana keberadaan kalian."

"Dan kenapa kamu tidak pernah datang di pintu rumah? Kenapa kamu membiarkan perempuan itu mencicipi neraka yang tidak seharusnya dia rasakan? Dia dibesarkan di lingkungan presiden, tidakkah kamu mengerti kenyamanan seperti apa yang dia tinggali selama ini dan itu harus hancur dalam satu malam panjang ketika ibuku hamil darimu?"

"Aku tahu aku salah, Pakin. Aku hanya tidak tahu bagaimana melembutkan hati orang tua Annelies."

"What you're feeling is the epitome of love, no doubt." Pakin mendengus. "If you consider this love, you shouldn't be causing Mom so much pain. Aku sangat paham bahwa cinta datang bergenggaman tangan dengan rasa sakit, tapi jika itu cinta, ia tidak pernah bisa disebut tanpa perjuangan yang menyertainya. Sakit itu adalah kepastian yang didapat dari semua pilihan hidup, tapi dengan perjuangan rasa sakit yang diterima tidak akan berujung pada penyesalan. Sementara penyesalan adalah sesungguh-sungguhnya dosa yang diciptakan sendiri oleh manusia. Lantas perjuangan apa yang kamu lakukan untuk menunjukkan cinta itu?"

Andrew terdiam, mengunyah semua kalimat tajam dan sarkas yang dikeluarkan Pakin — anaknya. Ia sudah menantikan hal ini semenjak cerita Annelies hamil anaknya mumbul ke permukaan. Mati-matian ia mencari Annelies di Indonesia, bahkan sudah tidak terhitung ratusan kali ia melakukan penerbangan Belgia — Indonesia hanya untuk mendapatkan restu dari keluarga Paraningrat. Walaupun semua itu berujung kegagalan, entah kenapa Andrew sedikit merasa bersyukur dengan berita perkebunan teh Elia mengalami kebangkrutan. Setelah hampir 25 tahun ia bersikeras mendapatkan izinnya memiliki andil tanggung jawab membesarkan Pakin, perempuan keras kepala itu pada akhirnya meruntuhkan ego dan menelepon. Ia memohon untuk memberikan hidup layak pada Pakin, yang demi Tuhan, Andrew bersumpah, bahkan tanpa permintaan Elia pun, Andrew telah sanggup memberikan seluruh hartanya pada anak semata wayang. Lebih-lebih ia sudah mempersiapkan semua warisan itu jatuh ke tangan Mark Pakin seorang. Jagoannya yang begitu ia puja.

"Kamu benar, Nak. Mungkin perjuanganku belum sebesar itu untuk menunjukkan cintaku pada ibumu. Tapi aku tidak pernah benar-benar berhenti mengupayakan dari sini. Aku menolak menikah, bahkan aku menentang ayahku sewaktu ia hendak menjodohkanku. Sementara budaya tua yang sudah berumur berabad-bada lamanya masihlah berakar kuat di dalam kastil ini. Pernikahan antar-kerajaan sangat dibutuhkan karena bisa memperkuat perekonomian negara, meningkatkan kepercayaan politik, menyetabilkan pertahanan hukum, dan menekan adanya agresi militer dari kedua belah negara. Aku memang tidak pernah ada di sisi Annelies, tapi dia tidak pernah pergi meninggalkan hidupku. Aku melewati semua hukuman itu dengan mengupayakan kehidupan jauh lebih baik daripada pangeran utama agar ayahku tidak memiliki pilihan lain selain membiarkanku melajang sampai usiaku hampir mendekati setengah abad. Aku sudah ratusan kali berkunjung ke Indonesia untuk mencari kalian. Bahkan aku meminta pertolongan Keraton agar mampu mempertemukan aku dengan kalian. Aku tahu keluarga keraton tidak menerima baik kehadiran Elia dan Annelies, tapi anak mereka — saudara tiri Annelies — adalah pribadi lain. Mereka membantuku sampai rasa-rasanya — jika bisa berlebihan — kami telah mengangkat aspal-aspal pulau Jawa demi berjumpa dengan kalian."

"Kenapa kamu tidak pernah mencari kami di kerak-kerak kemiskinan?" Pakin mendecih. Ia butuh rokok dan beberapa botol bir saat ini juga. Serius, segala sesuatu yang dia terima akhir-akhir ini harus didistrak supaya ia bisa melanjutkan hidup. Masalahnya, sialnya, sejak ia keluar dari rumah sakit, ia dilarang keras merokok dan minum. Dan itu cukup membuatnya menderita. "Kami tidak pernah ke mana-mana selain di lubang kemiskinan paling menyedihkan yang pernah ada. Ibuku harus bertarung dengan para miksin lainnya setiap hari Jumat supaya mendapatkan jatah makan gratis dari musala terdekat dengan lauk yang lebih manusiawi daripada nasi garam yang selalu Bunda berikan padaku. Aku dipaksa minum bayam kocok — maksudku — jus bayam hanya karena itu sehat dan Bunda menginginkan aku tumbuh menjadi anak kuat. Bunda mengais-ngais koran bekas di tumpukan sampah agar aku memiliki bahan bacaan setiap harinya. Kami tidak pergi ke mana-mana selama ini. Kami hanya hidup dalam bungker kemelaratan sampai memutih semua rambut."

"Aku benar-benar telah gagal menjadi seorang kekasih maupun ayah yang baik buatmu. Berikan aku hukuman itu, Nak. Biarkan laki-laki tua ini menanggung semua dosa di sisa hidupnya yang sama sekali tidak berguna ini. Aku terlalu angkuh menyebut semua pengorbananku adalah layak untuk kupersembahkan buat Anneliesku yang hebat. Aku terlalu tinggi hati menolak perjodohan dan pernikahan itu sebagai suatu perjuangan sementara kekasihku berjibaku hanya untuk mendapatkan kehidupan yang layak."

"Cintamu terlalu banyak syarat, sementara jauh dari bangunan kerjaan mewah ini ada perempuan dan anak laki-lakinya yang berjuang melawan kelaparan setiap harinya." Pakin mendengus, menggigit bibir, merasakan dadanya sesak bukan kepalang. Matanya menyisir hamparan kebun kerajaan yang indah, tapi ia tidak mampu menangkap keindahan itu selain hampa dan kosong yang menggonggong-gonggong. "Dan bahkan ketika kamu membawa nama pengorbanan atas nama cinta, maka itu bukan cinta. Itu hanya hitung-hitungan semata. Ibuku tidak layak mendapatkan hitung-hitungan atas semua rasa sakitnya selama ini. Ia jauh lebih berharga dari semua deret angka itu."

Andrew benar-benar seperti ditampar oleh kenyataan yang tidak sanggup ia ganggu gugat. Ia melihat profil anak semata wayangnya. Rambut keritingnya terlihat lembut, matanya berpijar pilu, bibirnya tidak pernah melengkungkan senyum, rahangnya kukuh yang selalu ia ketatkan tatkala menahan geram entah kenapa, dan kulit yang pucat seperti tidak memiliki kehidupan. Betapa ia sangat ingin memeluk Mark Pakin untuk merasakan degup jantungnya, deru napasnya, juga keluh kesahnya. Ia begitu ingin melindungi sang jagoan dari kejamnya dunia. Jika mampu, ia berharap bisa menggusur semua riuh di kepala itu. Sebenarnya apa isi kepala Pakin yang membuatnya sampai hati melakukan percobaan bunuh diri dengan begitu brutal? Babagan apa saja yang ia lalui sampai berada di titik menyeramkan tersebut? Demi Tuhan, ia ingin mengganti semua sakit itu dengannya. Ia tidak akan sanggup lagi jika suatu hari nanti ia kembali mendapatkan kabar tentang kondisi Pakin yang memburuk. Dari tatapan mata Pakin yang sendu, ia seperti melihat Annelies tengah termenung dalam sebuah sore bersiramkan senja. Andrew menghela napas panjang, kembali melemparkan pandangan ke arah kebun.

"Aku memang tidak pernah berpemikiran ke sana sebab... aku tidak pernah menduga bahwa Annelies akan memiliki kehidupan semenderita itu."

Pakin membiarkan kalimat itu terurai di sekelilingnya tanpa sedikit pun niat untuk menjawab.

"Pakin, there's something on my mind that I'd like to discuss with you." Andrew yang sepertinya sudah paham bahwa hampir kebanyakan konversasinya dengan Pakin selalu direspons dengan diam, melanjutkan, "You know, kiddo, when we saw you during your suicide attempt, it was absolutely heartbreaking for both your grandmother and me. We absolutely don't want you to go through what happened to Annelies. Your grandmother and I both agree you should seek professional help. We're uncertain about the exact type of depression you may be dealing with, so we want to make sure you get the most suitable and effective treatment."

Pakin hanya mengangguk, tidak ingin meresepons apa-apa. Toh dia juga pernah masuk ke rumah sakit jiwa setelah melihat ibunya gantung diri selama enam bulan. Jadi pengobatan apa pun untuk menghilangkan semua berisik di kepalanya akan ia lakukan. Ia jelas tidak akan sanggup menahan mereka semua.

Andrew sepertinya mengerti bahwa anaknya telah mengakhiri obrolan sore mereka. Ia bangkit, menepuk pundak Pakin, dan beranjak dari sana. Namun baru beberapa langkah kakinya menjauh, suara Pakin yang parau meliuk gendang telinganya.

"That's me. I'm the one who caused Annelies's death.The night before Mom's suicide, I visited her. I was furious because she insulted me again–not for the first time. I pushed her and said the worst things."

"She did what?"

"She harassed, kissed, and even almost raped me."

Seperti ada yang menembak kepala Andrew. Ia menekap mulut, hampir-hampir terjatuh jika tidak ada meja baca di sampingnya. Laki-laki di atas kursi roda di hadapannya terlihat begitu tenang sewaktu mengatakan hal demikian — seolah-olah tidak lagi mengisahkan babagan mengerikan yang ia alami dalam hidupnya.

"Dan... kenapa dia melakukan hal itu?"

"I heard her calling me Andrew several times. I didn't score anything back then until I met you."

"Ya, Tuhan."

"That night, I was seething with anger. All the pain she had inflicted on me boiled over, and I said the harshest words I could find: Do you know, Mom, during those awful nights you put Pakin through, he silently wished for your death every second, with every breath. It feels incredibly unjust for me to endure all this pain. It's almost made me lose my sanity, while you've never shown any remorse, hiding here. Akulah yang membunuh ibuku. Seharusnya aku tidak mengatakan hal tersebut padanya sehingga dia masih hidup sampai sekarang. Lidahkulah yang menyebabkan kematiannya, dan hantu-hantu itu... hantu-hantu itu sangat berisik di kepalaku. Sangat berisik di sini. Mereka menuduhku pembunuh dan aku layak mati sebagai ganjaran dari apa yang telah aku lakukan pada ibuku!" Pakin memukul kepalanya. Satu, dua, tiga, berkali-kali dengan tubuh bergetar.

Andrew yang melihat itu langsung menyongsong tubuh anaknya. Ia berjongkok di hadapan Pakin, lalu memeluk tubuh kurus anak semata wayang, mendekapnya dengan perasaan yang sungguh hancur. Pakin terus memukuli kepalanya, dan Andrew berusaha sekuat tenaga menahan tangannya agar tidak melukai kepala.

"Aku seharusnya yang mati, bukan ibuku. Perempuan sebaik dia, perempuan segigih dia, tidak patut diganjar kematian. Aku yang seharusnya mati. Aku. Aku."

"Pakin... sshh... sshh... tenang. Ayah di sini. Kamu tidak sendirian lagi. Jangan dengarkan hantu-hantu itu. Mulai sekarang dengarkan hanya pada suara Ayah. Aku tidak akan membiarkanmu melalui ini sendirian lagi, Pakin. Ayah berjanji, Ayah tidak akan melepaskanmu lagi kendati seluruh dunia beserta isinya memiliki banyak tujuan memisahkan kita. Jangan dengarkan hantu-hantu itu. Dengarkan hanya suara Ayah. Ayah bersumpah akan menghapuskan semua suara-suara itu, Pakin. Ayah bersumpah."

Pakin tidak pernah tahu bagaimana rasanya didekap seorang ayah. Dulu memang ia begitu menginginkan sosok itu sebab kebanyakan teman sekolahnya memiliki keluarga lengkap. Tapi gagasan tersebut tidak pernah bisa masuk ke dalam kepalanya. Dari semua tamu Bunda yang menginap hampir setiap malam, tidak ada yang memiliki karakter menyenangkan hati selain suka memaki dan memukul Bunda. Hal itu membuat Pakin pada akhirnya memiliki potret bahwa laki-laki dewasa adalah monster termasuk barangkali ayahnya sendiri. Dua puluh dua tahun dia hidup dengan pengetahuan tersebut, berujung pembunuhan profil ayah baik fungsi maupun kehadiran di kepalanya. Tapi ketika Andrew memeluk, bidang dadanya yang kukuh, kuat kedua tangannya yang kekar, hangat tubuhnya yang menenangkan, aroma laut segar dan basil yang begitu melenakan, seperti mencairkan sebongkah hatinya yang membeku selama ini. Pakin menutup mata, membiarkan tubuhnya, untuk pertama kali selama 22 tahun hidup, dirangkum oleh dekapan pesam dan begitu kordial yang entah kenapa terasa tidak asing. Gumpalan salju itu seperti meleleh dan melebur, menjadikannya sehangat secangkir bandrek yang biasa ia jumpai di daerah sekitar Senayan.

Ia memang tidak serta merta menerima kehadiran Andrew yang dalam garis pohon keluarga menempati posisi ayah. Tapi Pakin tidak juga menolak semua perhatian yang dia berikan. Bersama Andrew dan Oma, Pakin melakukan terapi di seorang dokter spesialis — Pakin menolak ide mendatangkan dokter kerajaan sebab ia tidak ingin menarik begitu banyak perhatian. Selain itu, ia juga melakukan terapi untuk mengatasi ketergantungannya pada alkohol. Pakin mulanya menentang mentah-mentah saran ini, tapi mendebat Andrew seperti berdebat dengannya sendiri. Laki-laki itu sekeras kepala ia. Yang apabila Pakin memasang kuda-kuda tangguh, Andrew akan memberikan serangan memborbardir sama tangguhnya.

Mereka sedang berada di mobil jaguar yang ketika pertama kali melihat, Pakin tidak mampu menyembunyikan decak kagum. Ia sama sekali tidak mampu menebak jalan pikir orang kaya. Maksudnya, amalan apa yang dia perbuat di masa silam yang membuatnya seolah-olah memiliki kekayaan berlimpah yang tidak akan habis untuk menghidupi satu generasi manusia? Andrew berseloroh bahwa ia akan memberikan seluruh warisan kepada Pakin yang hanya mampu Pakin respons dengan putaran bola mata. Dasar orang kaya, umpatnya tidak habis pikir.

Ia meminta Andrew mematikan AC sebab ingin merokok lalu berujar, "Apakah kamu pangeran yang dilihat temanku di rumah sakit Gemini yang menarik seluruh atensi dan membuat pelayanan di rumah sakit itu sedikit berantakan?" tanyanya ketika gerutuan Satang di Petra kapan hari tahu-tahu melintas di kepala.

"Aku memang mengunjungi rumah sakit Gemini ketika Elia memintaku datang menemuimu. Tapi aku sama sekali tidak memerhatikan apakah pelayanan mereka menjadi kacau akibat kehadiranku."

Pakin tertawa kecil. Ia bahkan sanggup membayangkan bagaimana reaksi Satang apabila tahu bahwa laki-laki menggiurkan dalam balutan sosok pangeran yang membuat perawat sedikit ketus menangani ibunya dan ia puja sebab dia semenggiurkan itu adalah ayahnya. Maksudnya, ini, bukan, sih, yang sering dibualkan cuitan para netizen? Hidup dalam kemiskinan, lalu tiba-tiba suatu hari bangun dan seorang pangeran kerajaan datang sambil berkata bahwa dia selama ini adalah keturunan raja. Ini sungguh menggelikan. Pakin sendiri tidak paham kenapa lucu sekali jalan hidupnya. Ia pernah hidup dalam kerak kemiskinan, tapi sekarang ia berada dalam sebuah mobil sport mewah yang jangankan membayangkan, mengetahui ada mobil jenis ini saja dia tidak pernah tahu.

"Kamu seorang tamu negara, pangeran dari kerajaan Belgia. Istana saja bisa ribut menyambut kedatanganmu. Bagaimana dengan rumah sakit swasta milik Gemini?"

"Tapi aku datang sebagai ayahmu."

Pakin memutar bola mata, mengembuskan asap rokoknya, tidak memiliki gagasan ke manakah Andrew akan mengajaknya pergi sore ini setelah sesi terapinya dengan psikiater rampung satu jam lalu. Ia membenarkan kacamata hitam yang merupakan benda wajib ia kenakan pasca operasi kornea sampai seluruh proses penyembuhan itu rampung

"Dan kira-kira kapan kamu akan mengembalikanku ke Indonesia? Aku masih tercatat sebagai mahasiswa kalau-kalau kamu lupa."

"Sampai dokter mengatakan kondisimu membaik. Setelah koma, kemampuan berjalanmu belum pulih, penglihatanmu juga masih dalam kontrol, dan sekarang masih ada pengobatan psikis dan terapi untuk menghilangkan ketergantungan alkohol. Kenapa kau tidak meneruskan pendidikan di sini saja?"

"Terima kasih."

"Kenapa? Kau dan Oma tidak akan berpisah jika kau kuliah di sini."

"Dan hidup berdampingan dengan pangeran-pangeran manja seperti Luke dan Christian?"

Andrew terpingkal, memukul batang setir mobil. "Kau, tahu, Nak, aku sama tidak sukanya dengan mereka berdua. Mentang-mentang akan mewarisi tahta kerajaan, kelakuan mereka benar-benar membut pusing. Dalam diam, aku suka memasukkan garam untuk sajian sarapan mereka. Mereka sering membuat pusing pengurus kerajaan dengan ide-ide mereka yang aku tidak tahu mereka dapatkan dari mana."

"Maka menjauh dari mereka jelas hal yang harus aku lakukan supaya hidupku selamat."

Kali ini Andrew sampai menggusak rambut keriting Pakin gemas. Ia tidak mengira bahwa pemuda keras kepala ini akhirnya mau membuka lebar kedua tangan, kendati sampai sekarang ia belum memanggilnya ayah. Itu bukan perkara. Asal dia bisa dekat seperti ini dengan Pakin, semuanya dirasa cukup buat Andrew.

"Aku jelas akan sering-sering melakukan penerbangan Brussels-Indonesia kalau kau menolak meneruskan pendidikan di sini. Bagaimana kalau seminggu sekali?"

"Terlalu lamu. Orang kaya raya sepertimu seharusnya melakukan penerbangan setiap hari."

"Bilang saja kalau kau tidak ingin berpisah lama-lama dengan ayahmu."

"Bukankah itu jelas? Bersamamu aku tidak hanya bisa membeli sebuket ayam goreng KFC setiap minggunya, aku bahkan bisa memiliki satu frainchase KFC untukku sendiri."

"Bukan perkara sulit. Kau mau stand KFC di daerah mana?" Andrew membuka ponsel, dan akan mengetikkan sesuatu di sana sebelum Pakin rebut dari tangannya. "Kenapa kau mengambil ponselku? Aku akan menghubungi Gemini untuk membelikanmu gerai KFC. Oh, bagaimana kalau kita membuka satu di fakultasmu dan satu di apartemenmu?"

"Dru, please."

"Kenapa?"

"I was just kidding, for God's sake. Quit trying to spoil me with money. I may not be well-off, but money's never been my thing. If you think this is the way to make me accept you as my dad, you might want to change your strategy. That won't win me over."

"Everything your dad owns, I've set it aside just for you and Annelies. Never doubt your worth. You're my child, and you're entitled to it all. I've put all this away for your education and your future. Annelies would be thrilled if you keep on learning."

Pakin mendecih. Ia sangat tidak terbiasa dengan semua kondisi yang mengadangnya saat ini. Mungkin dulu ibunya pernah hidup dalam lingkungan kekayaan sebagai anak seorang presiden. Tapi dirinya telah miskin sejak lahir. Dan walaupun Oma datang menjemput dan memberikan kehidupan lebih baik dengan perkebunan tehnya, itu pun tidak serta merta memenuhi semua kebutuhan dan keinginannya.

"Manfaatkan kekayaan ayahmu semaksimal mungkin, Pakin. Di sepanjang aku hidup, memenuhi kebutuhanmu sebagai anakku adalah satu-satunya impianku."

Goddamn it! Kenapa enak sekali jadi anak orang kaya?

"Nak, mind passing me my phone? I've got to cancel the meeting with my client for tonight."

"For the love of God, can you just fucking drive without your precious phone? I absolutely don't want to lose my parent for the goddamn second time."

Andrew terdiam seketika. Hatinya menghangat kendati kalimat Pakin terdengar begitu sarkas. Diam-diam ia tersenyum samar. Secara tidak langsung Pakin mengakuinya sebagai ayah, dan ketakutan kehilangan orang tua untuk kedua kalinya jelas merupakan bentuk cinta yang ia cari selama ini. Ou, Annelies, kalau mengetahui rasanya seperti ini dibutuhkan oleh bocah bernama anak sendiri, ia pasti akan lebih keras mencari keberadaan ibu dan anak itu. Dia memang seorang CEO dari beberapa perusahaan yang kehadirannya dibutuhkan banyak pihak, tapi ketika kehadiran itu dibutuhkan oleh anaknya sendiri, sensasinya benar-benar juara kelas, mampu merebakkan cinta sampai sekujur tubuh.

Mobil keluar dari jalan tol E411 di pintu Exit 3 di daerah Rixensart. Danau Genval berwarna biru terlihat tenang begitu mereka memasuki Kota Genval. Pohon fagus, betula, dan alnus tampak mengelilingi Danau Genval, menciptakan pemandangan hijau menyejukkan. Bangunan-bangunan restoran bergaya modern kontemporer yang abstrak dan futuristik terlihat si semenanjung pantai. Ada pula hotel mewah di tepi danau, Kastil Solvay yang megah berdesain klasik dengan tiang kolom dan kubahnya menjulang di sekitar danau, juga rumah-rumah penduduk kota beratap tegel dengan batu bata merah, jendela berbingkai kayu, dan dekorasi klasik tersebar di mana-mana.

Pakin mematikan rokok guna menikmati hamparan pemandangan indah di depan mata. Decak kagum itu lolos begitu saja. Senyumnya terkembang. Danau Genval jelas menjadi magnit perhatian. Ia seperti selembar permadani dengan buih-buih ombak putih, terlihat tengah bermandikan cahaya matahari pukul lima sore berwarna keemasan yang mengingatkan Pakin pada buah belimbing, dan kawin dengan daun-daun pepohonan yang mencuatkan hijau klorofil. Seperti setangkup pemandangan yang disepuh ke dalam sebuah lukisan. Danau tersebut terlihat begitu pegun dan jernih, membentangkan kenang akan Segara Anak. Anginnya yang lembut menerpa kulit pucatnya. Pakin menjulurkan tangan ke luar jendela, memainkan jemari, guna merasakan lebih jelas sentuhan udara danau. Hangat. Hangat banget. Kayak pelukan Bunda.

"Ini Kota Genval. Tempat di mana Annelies melakukan pekerjaan relawan dan kami pertama kali bertemu setelah perpisahan di stasiun."

Jadi di sinilah sejarah itu ditulis. Diawali dengan cinta romantis sebelum berakhir tragis. Pakin masih tersenyum, dalam hati mengagumi keindahan itu dan menguncinya dalam sebuah prosa tentang perempuan dan kecerdasannya. Keinginan untuk merombak cerpen berjudul Bunda yang pertama kali ia buat, menggelegak hebat di hatinya. Terekam jelas di kepala betapa menariknya membaca cerpen tentang Bunda di tempat paling indah di mana Bunda mendapatkan cinta pertamanya.

Mobil menepi di sebuah brasserie. Andrew mengeluarkan kursi roda, lantas membantu Pakin untuk turun dan duduk di kursi tersebut. "Kita makan dulu sebelum ke peternakan tempat Annelies bekerja dan kami bertemu. Kau pasti suka."

Pakin merespons dengan anggukan semangat. Penduduk maupun para turis tampak menempati kursi-kursi yang ada di teras yang langsung berhadapan dengan pemandangan danau. Andrew mengajak Pakin untuk masuk ke dalam. Aroma manis dari wafle dan cokelat langsung menyambut kehadiran Pakin. Ia mengedarkan pandangan. Perabotan brasserie ini didominasi dengan kayu pine termasuk kursi dan meja yang divernis cokelat sehingga terlihat mengilap. Terdapat cermin besar, lukisan, dan foto-foto yang menggambarkan sejarah dan budaya Belgia di tembok-temboknya. Dinding itu dicat dengan warna hijau zamrud lembut. Lentera dengan ukiran-ukiran unik terlihat menggantung di langit-langit. Terdapat bar pula di dalam kafe ini. Botol-botol bir yang tidak pernah Pakin lihat dan terkesan menggiurkan dipajang di rak-raknya.

Andrew mengajak Pakin duduk di tempat yang dekat dengan jendela dengan Danau Genval sebagai pemandangan di balik jendela tersebut sebelum ia pergi memesan makanan. Suasananya tidak begitu ramai. Beberapa pasang turis mengisi kursi tidak jauh dari tempat Pakin berdiam diri. Tiga orang laki-laki terlihat memenuhi meja bar dengan seorang bartender. Mereka terlibat obrolan ringan dan diselingi oleh tawa. Sepasang orang tua terpandang tengah menikmati makan sore mereka sambil bercengkerama. Andrew datang tidak lama setelah itu, sibuk dengan ponselnya. Ketika makanan datang, laki-laki itu justru pergi untuk menerima telepon penting.

Pakin tidak ambil pusing. Ia memerhatikan menu yang tersaji di atas meja. Ada moules-frites, hidangan khas Belgia yang ibunya Andrew sering masak sejak ia datang ke sini. Olahan kerang biru yang diuleni dengan saus bawang dan disajikan bersama kentang goreng. Andrew juga memesan carbonnade flamande, gulai daging sapi yang diolah menggunakan saus dari bir Belgia dan disajikan dengan roti — ini adalah satu-satunya makanan yang bisa Pakin makan sejak ia bangun dari koma. Dan Andrew yang mengira hal itu sebagai favorit Pakin, selalu memesankan carbonnade flamande jika mereka makan di luar. Pakin benar-benar memutar bola mata. Kemampuan orang itu untuk menarik hatinya sungguh payah. Masih ada sup ikan dalam kuah susu kental dan berisi sayuran, lalu terakhir ada stoemp; hidangan klasik Belgia yang terdiri dari kentang dihancurkan dan dicampur dengan wortel, disajikan bersama daging panggang. Ia kembali menggeleng tidak habis pikir. Apakah dirinya sekurus itu, sampai di mana pun mereka makan, Andrew selalu memesan dalam porsi besar? Ini lebih-lebih malahan. Ada empat menu utama, belum dessert, dan berbagai macam olahan minuman. Serius! Mereka hanya makan berdua, kenapa rasa-rasanya ia memesan untuk satu kampung?

Pakin mengambil sendok, dan sudah akan menyendok daging panggang ketika seseorang mendekat. Pakin menggerutu sebal, dan melempar omelan, "Can you please not fucking over-order food? Who's gonna finish it when your portions are always small?" Ia mendengak, kemudian mematung. Suara sendok dan garpunya berdenting sewaktu terjatuh di piring.

Laki-laki itu tersenyum, menarik kursi di depan Pakin menjauh dari meja, melesakkan bokong di atasnya, kemudian mendekatkan ke arah Pakin lagi. Ia menumpukan kedua tangan, mata hitamnya yang hangat berpijar secerah matahari sore ini.

"Gimana kabar lo, Kin?" Neo Trai Nimtawat dalam balutan sweater cokelat tidak pernah terlihat senyata ini menawarkan sebuah kehangatan sejak malam ia meninju Pakin berkali-kali.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro