Bab 28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Anne tidak pernah mengira bahwa perkosaan yang dilakukan para pria keparat di pabrik itu meninggalkan neraka yang tidak mampu ia takar. Ia yang sebelumnya serupa Gatotkaca dan suka melawan ketidakadilan yang menimpanya dan Pakin, kini menarik diri dari lingkungan. Segala sesuatu yang datang membuatnya kebingungan. Apalagi kunjungan hantu-hantu yang kini semakin gencar memberangus ketenangan, malam-malam Anne tidak lagi menjadi waktu berisitahat. Ia menjelma malam panjang terkutuk yang memaksa Anne memutar memori menyeramkan. Suara-suara mereka terdengar lebih jelas di kuping, napas mereka yang bau tai tercium lebih kuat di hidung sewaktu Pakin kecil itu terlelap di samping, kontol-kontol mereka yang mirip singkong terlihat lebih nyata untuk membuat kepala pening. Dan Anne tidak tahu lagi harus bagaimana menangani semua keedanan yang menimpa.

Rasa takut lahir sejak sore itu, yang eksistensinsya seiring bergantinya hari, semakin menggandakan volume — membuat Anne kewalahan. Seluruh kota tampak menyeramkan. Orang-orang seperti tengah mengawasi setiap pergerakan. Apa pun yang ia kerjakan — bahkan sekadar menyiangi bayam sebelum ia jadikan jus — akan dikoreksi oleh kehadiran mereka, akan ada bisik-bisik mengkritik, akan ada suara-suara Jamal dan para anjing yang merunjamkan batang sapu di kemaluan, akan ada suara Wira yang berikukuh telah melakukan pekerjaan sesuai SOP dan memberikan lembar absennya alfa sepuluh hari. Jujur, itu benar-benar menakutkan dan ia tidak tahu harus bagaimana menangani suara-suara dan sosok-sosok itu. Tapi sebisa mungkin ia membuang jauh-jauh rasa-rasa sinting yang tidak mampu ia jabarkan. Ia tidak ingin Pakin telantar. Ia tidak ingin Pakin tahu kejahatan apa yang datang mengadang hari di mana ia menerima gaji. Ia tidak ingin sampai kelepasan memukul dan menganiaya Pakin lagi sebab suara dan hantu-hantu itu benar-benar sanggup merusak fokus dan mengaburkan merdu vokal Pakin yang lembut. Maka yang bisa Anne lakukan saban harinya adalah menjadi ibu galak, yang akan mengoreksi setiap tindak tanduk Pakin, seperti yang ia sumpahkan kepada Ibu. Ia akan bangun pagi-pagi, menanak nasi, membuat jus bayam, dan memarahi Pakin apabila tidak menghabiskan menu sarapan. Ia akan bangun pagi-pagi, mengomel sebab Pakin terlalu lambat mempersiapkan sekolah sambil mengevaluasi hasil belajar Pakin di hari kemarin. Ia akan bangun pagi-pagi, dan marah-marah dengan suara lantang apabila ternyata dari hasil evaluasi tersebut Pakin tetaplah lemah dan bebal di pelajaran berhitung. Ia akan bangun pagi-pagi, mengantre di musala Pak Acong untuk mendapatkan nasi bungkus Jumat berkah yang akan mendengking dengan suara sedikit lemah jika Pak Acong memiliki gerak-gerik akan menilap jatah sarapan Pakin. Semuanya terlihat seperti tidak ada perubahan di balik kos-kosan reyot tersebut. Pakin tetap menghadapi Bunda galak yang akan gigih mendapatkan jatah nasi Jumat Berkah, dan hari-hari berjalan sebagaimana sebelum neraka itu tumpah dan melepuhkan lubang vaginanya yang seketika bernanah, yang pada akhirnya hanya ia obati dengan obat apotek sebab jelas dua ratus ribu gajinya tidak sanggup untuk membiayai berobat ke dokter kulit dan kelamin.

"Bunda jangan lupa menjemput Pakin hari ini," ucap Pakin sambil menalikan sepatunya. "Bunda sudah janji, lho, ya. Hari ini pulang lebih cepat dari pabrik buat menjemput Pakin karena hari ini Hari Pakin Dijemput Bunda."

Anne memutar bola mata. Sudah seminggu utuh bocah ini menceracaukan hal serupa. Dan Anne sama sekali tidak mampu harus membungkam mulut mungilnya supaya tidak mengulangi pernyataan tersebut dengan cara apa. Itu adalah kesepakatan kecil mereka berdua. Minggu terakhir sebelum ia menerima gaji, adalah hari Anne menjemput Pakin. Perjanjian itu ia kidungkan untuk mendorong Pakin supaya semangat berangkat sekolah, juga sebagai hari romantis yang akan ia habiskan dengan Pakin. Biasanya Anne akan mengajaknya berkunjung ke balaikota, atau jika ada pasar malam, mereka akan berkencan ke sana, atau akan mengajak Pakin menonton film di bioskop jika gajinya masih tersisa — yang terakhir ini jarang terjadi, sebab duit-duit itu bahkan telah meninggalkan rumah mereka di hari kedua ia menerima upah pekerja.

"Apakah kamu pernah melihat bundamu melanggar janji?"

"Tidak pernah. Pakin hanya berjaga-jaga. Tidak salah, kan?"

Anne tidak pernah mengira, koran-koran bekas yang ia pungut di timbunan sampah sepulang kerja untuk dijadikan bahan bacaan Pakin sebab ketidakmampuannya berlangganan Bobo, membuat bedebah keparat ini berpemikiran kritis. Tidak sekali dua kali bocah itu mengkritik dan mendebat pemikiran Anne. Anne memang akan semakin keras jika Pakin berbuat demikian, tapi hatinya tidak mampu berbohong bahwa ia bahagia bukan main melihat anaknya tumbuh menjadi pribadi cerdas. Ia boleh miskin, tapi jangan sampai membuat otaknya hanya terisi angin.

"Ya, ya, ya, apa kata kamu, lah. Kamu tunggu Bunda di depan sekolah seperti biasa. Jangan pulang dulu sebelum Bunda datang. Kamu paham?"

"Aku paham, Bunda. Pakin berangkat sekolah dulu." Ia berlari kencang, tapi tak berapa lama setelah itu, ketika Anne hendak mengunci rumah dan turut berangkat kerja, Pakin kembali dengan napas ngos-ngosan. Ia menatap Anne dengan mata cokelatnya yang berpijar bak bintang utara.

"Awas kalau sampai Bunda telat. Ini hari Pakin Dijemput Bunda." Dan ia melesat lagi setelah mengucapkan hal tersebut penuh semangat.

Anne mendengus, menggelengkan kepala. Ia tidak pernah mengira bahwa memiliki anak seperti ini rasanya. Sejahat apa pun ia pada Pakin, bahkan memukulinya seperti orang kesetanan awal bulan lalu, Pakin akan kembali padanya dengan sebentuk cinta lengkap, tidak berkurang sedikit pun. Kebutuhannya kepada Anne benar-benar mampu mengikis ruang kosong di hati Anne. Mungkin jika tidak ada Pakin, tidak akan pernah ada dirinya sampai di titik ini. Ia hanya akan terus berpura-pura jahat padanya sampai Ibu datang menjemput mereka.

Anne memang sangat posesif terhadap Pakin, tapi jika membesarkannya bersama Ibu (lebih-lebih Ayah menerima kehadiran mereka), Pakin akan mendapatkan pendidikan hebat sebagaimana yang pernah ia cicipi, sementara ia akan bekerja maksimal sebagai bekal menemani Pakin sampai ia datang membawa pengantin. Itu adalah rencana paling cemerlang di dalam pikiran Anne. Kembali ke Lembang untuk mendapatkan kehidupan lebih baik buat keduanya. Ia akan terus berjuang memberikan yang sempurna kepada Pakin sampai ia dewasa dan mengenalkan teman kencannya. Anne akan berpura-pura kesal dan menilai kekasih anaknya, tapi di belakang itu ia akan menggunjingkan perangainya bersama Ibu di dapur sambil membuatkan secangkir cokelat hangat. Pakin akan uring-uringan sebab ia masihlah menjadi ibu galak, tapi setelahnya ia akan membelikan kemeja hitam yang akan sangat kontras di kulitnya yang seputih marmer untuk pergi berpacaran pada hari Minggu.

Ide paling brillian itu bahkan rasa-rasanya tidak akan mampu digugat Tuhan karena Anne sudah mempersiapkan segala sesuatunya matang-matang. Pertama jelas, emosi dan amarah kepada orang tuanya harus dihilangkan sejak tangis pertama Pakin pecah setelah ia lahirkan ke bumi, sebab ia sangat sadar bahwa membesarkan Pakin bersama mereka akan memberikannya jaminan pendidikan setinggi langit. Dan kedua, untuk membuat Ibu datang membawa mereka kembali ke Lembang dan memiliki kehidupan layak dengan gizi tercukupi, lingkungan sehat, sanitasi lancar, MCK bersih, listrik normal, adalah dengan menunaikan sumpahnya — sumpah akan memberikan neraka buat Pakin sehingga membuatnya tidak merasakan cinta. Maka guna menuntaskan sumpah tersebut, Anne sudah menyulap dirinya untuk berpura-pura galak pada Pakin di sepanjang hidup. Nanti apabila Ibu datang dan iba melihat Pakin dan akhirnya mengajak mereka kembali ke Lembang, baru Anne akan jujur pada Pakin, lalu akan mulai menunjukkan cinta pertamanya secara terang-terangan. Di malam-malam panjangnya yang riuh oleh suara para hantu, di hari-hari ia mengalami kesulitan serta rasa sakit, Anne akan mengenang impian itu, ia akan mengingat-ingat gagasan-gagasan menenteramkan batin tersebut, maka secara ajaib ia akan merasa mendapat suntikan energi. Membayangkan Pakin tersenyum lebar memakai toga wisuda di salah satu universitas terbaik dunia adalah semua obat yang ia butuhkan. Bahkan setelah sakit hebat yang datang membebat, semua obat itu hanyalah Mark Pakin seorang, maka semuanya akan lunas, akan tuntas, akan bebas.

"Lo sudah dengar berita dari manajemen?" Salah seorang kawan Anne di pabrik mendatanginya kala mereka beristirahat di kantin.

Anne mengangkat wajah dari ransum jatah pabrik dengan menu nasi dan kerupuk. "Berita apa?"

"Menghadapi masa-masa krisis, manajemen akan melakukan penghentian massal. Hanya mereka yang bisa memberikan pelayanan terbaik selama bekerja di sini yang akan diperpanjang kontraknya. Peraturan ini berlaku untuk karyawan outsourcing."

Tubuh Anne menegak seketika. "Bukankah sebelum merekrut pegawai non-organik mereka sudah melakukan kerja sama dengan manajemen outsourcing? Seharusnya hal-hal seperti ini bisa dihindari, kan, dengan tanda tangan MOU kedua belah perusahaan?"

"Apakah lo nggak baca pasal karet yang dikeluarkan pabrik pada kita? Mereka akan mengeluarkan kita apabila kita kedapatan melakukan kesalahan, sementara kesalahan yang mereka jabarkan di kontrak itu terlihat bersayap dan bias. Ini bisa mereka gunakan sebagai senjata memecat kita. Sementara lo tahu sendiri, kan, manajemen outsourcing kita nggak pernah bisa tegas dengan mereka hanya karena seolah-olah mereka bosnya?"

"Bangsat!" Anne memukul meja. "Apakah sudah ada karyawan yang diberhentikan sama mereka?"

"Lima anak cutting tadi gue dengar menangis histeris sewaktu MOU mereka nggak diperpanjang. Berita ini langsung menjadi gunjingan warga, tapi kami nggak ada yang berani melawan — bahkan kami pun nggak tahu harus melawan dengan cara apa."

"Tapi gue nggak mau dipecat. Gue punya anak. Kalau gue nggak kerja, bagaimana nasib anak gue?"

"Nggak hanya lo aja, Ann, kita semua sama. Makanya pusing banget gue sekarang."

"Mau mencoba mengadu ke serikat buruh untuk melindungi kita?"

"Lo nggak inget apa yang terjadi pada lo awal bulan kemarin? Lo mengadukan pihak manajemen ke serikat buruh karena ketidaktransparan mereka memotong pph di gaji kita, dan hasilnya gaji lo mereka tilep 400 ribu. Kalau lo ngadu, nih, kemungkinan mereka nggak akan melakukan proses tebang pilih lagi untuk mencari siapa yang bekerja baik, tapi langsung mem-PHK semua karyawan outsourcing. Sementara lo tahu, kan, yang butuh pekerjaan kita di luar sana sudah antre jutaan orang. Jadi bukan hal sulit bagi mereka menendang kita."

"Demi apa gaji gue dipotong karena hal itu?"

"Ann, serius lo nggak mikir ke sana? Sejak awal tahun lo selalu vokal tentang kenaikan besaran PPH kita. Kita nggak tahu mereka memotongnya berapa persen dengan dasar apa. Pihak serikat yang menampung aduan lo akhirnya melakukan penyelidikan dari semua berkas dan itulah kenapa mereka beregu bekerja sama supaya — entah bagaimana pun caranya — mulai dari Jamal sampai IT akan menghilangkan ceklok absen lo. Oke, gue ngomong emang nggak ada bukti, tapi kejadian yang menimpa lo sudah menjadi rahasia umum, dan spekulasi-spekulasi itulah yang berkembang di anak-anak."

"Bajingan!" Anne menggeram kesal. Sesuatu seperti tengah memukul kepalanya.

Benar juga. Ia memang tidak pernah membuat masalah di pabrik. Selama ini ia menjadi karyawan paling teladan sehingga manajemen tidak memiliki alasan untuk menghentikannya — bekerja sebagai pegawai outsourcing memang serentan itu terhadap pemecatan sebelah pihak. Tapi sejak tahun lalu pemotongan PPH di gaji mereka naik dua kali lipat. Anne sebenarnya tidak ingin menjadi pahlawan untuk menolong pihak terdampak, ia hanya memikirkan nasib Pakin yang akan semakin terpuruk jika gaji yang ia dapat semakin rendah. Maka dari itulah, sejak awal tahun ia gencar melakukan protes yang selalu diabaikan pabrik, sampai akhirnya ia tidak tahan dan membawa masalah ini ke serikat buruh. Hanya saja ia tidak pernah mengira bahwa dampaknya semengerikan ini. Memotong 400 ribu gajinya jelas membuat hidup Anne sebulan kemarin mirip orang gila memutar alur duit agar bisa bertahan sampai sekarang.

"Tapi gue nggak mau dipecat."

"Apakah lo pikir ada pegawai yang mau dipecat?"

"Gue harus menghadapi pihak manajemen langsung untuk mempresentasikan kemampuan gue sebagai pegawai teladan supaya mereka nggak memiliki alasan memecat gue."

"Gue justru khawatir hal sebaliknya yang bakal terjadi menimpa lo. Mereka langsung membuang lo kalau lo menampakkan wajah lo di mana wajah lo lah yang selama setahun belakangan ini membuat huru-hara di pabrik."

Anne terdiam, mencerna kalimat kawannya, lantas membenarkan dalam hati. Jika isu yang mengatakan bahwa mereka bekerja sama agar absennya menghilang selama sepuluh hari utuh adalah kenyataan, dan kejadian perkosaan itu seperti ditelan bumi yang tidak ada desas-desusnya sama sekali, bukan tidak mungkin ia akan ditendang begitu saja. Sebenarnya Anne sungguh ingin melaporkan pemerkosaan yang menimpanya kepada pihak manajemen, tapi setiap hari Jamal dan tiga keparat itu mengawasinya lekat-lekat seperti seekor elang tengah mengintai tikus. Ia jelas ketakutan. Ia tidak ingin hal mengenaskan tersebut kembali menimpa. Vaginanya baru saja sembuh, jika ia dilecehkan lagi seperti kemarin, Anne bahkan bersangsi ia akan sekarat dan modar dalam detik itu juga. Orang pabrik tidak ada yang tahu kemalangan Anne, sebab selain ia tidak memiliki teman dekat, rasanya hal tersebut adalah aib. Dia bisa saja melawan mereka atau kabur sebelum nasib mengerikan itu datang, tapi yang ia lakukan justru pasrah dan memberi penolakan tiada arti.

"Tapi gue nggak mungkin berdiam diri kalau nilai gue dicoret merah tanpa gue tahu indikator mereka untuk mengganjar pekerjaan outsourching dengan baik dan enggak itu apa. Kalau gue emang benar-benar salah, gue terima nasib buruk gue. Gue anggap ini sebagai hari sial. Tapi gue nggak akan terima jika gue dikeluarkan tanpa tahu permasalahan gue."

"Lo pikir tindakan lo yang memprotes mereka dan membawa masalah pemotongan PPH ke serikat bisa dikategorikan ke hal baik?"

"Gue hanya menuntut penjelasan agar mereka transparan dalam pekerjaan mereka? Sekalipun mereka memegang kuasa, mereka nggak bisa menutup mata bahwa yang mereka pekerjakan di pabrik adalah manusia yang memiliki akal dan nasib untuk diperjuangkan. Gue nggak ingin menjadi pahlawan, Kai, gue hanya ingin gaji gue cukup membiayai anak gue semata. Walaupun gue harus edan untuk mendapatkan hak gue, asal itu demi anak gue, gue rela, Kai."

"Gue tahu kesulitan ekonomi yang menimpa lo, Ann, tapi asal lo juga tahu, kita nggak bisa memegang idealisme kita sewaktu kita sudah memutuskan bekerja dengan orang lain. Lo dengan segala prinsip lo gue akui nggak ada yang salah, bahkan mereka adalah sebenar-benarnya kebenaran. Tapi ketika lo menjadi jongos, Ann, semua prinsip lo nggak akan ada gunanya lagi. Suka atau enggak suka, pemilik kuasa itu nyata dan mereka bisa mendegradasi posisi lo semudah itu jika lo ngotot dengan idealisme lo yang bertentangan dengan kepentingan mereka."

"Ini bukan perkara prinsip ataupun idealisme, Kai, gue hanya ingin mengupayakan nasib anak gue. Gaji gue dipotong 30% sama pihak outsourcing gue nggak masalah. Gue nggak nyari-nyari undang-undang untuk mengorek dan menggugat kebenaran. Tapi ketika gaji gue udah dipotong 30% dan gue juga dijatuhi tanggungan PPH 25%, persetan dengan prinsip, gue hanya ingin dapur gue ngepul dari awal sampai akhir bulan. Itu aja. Gue tahu mereka memegang kuasa, gue tahu mereka bisa melakukan segala hal untuk mendapatkan keuntungan, tapi gue hanyalah seorang ibu, Kai. Seorang ibu yang akan mengiris dagingnya sendiri apabila anak gue kelaparan. Gue nggak bisa menerima kekalahan tanpa adanya perlawanan. Ini sudah menjadi sikap pertahanan gue semenjak Pakin gue lahirkan. Dan sekalipun mereka adidaya, pabrik tanpa karyawan hanyalah bangunan kosong yang nggak akan mampu menggerakkan roda perekonomian."

Kai terdiam. Sejak awal perkenalannya dengan Anne, ia memang merasa bahwa perempuan di hadapannya berbeda. Tidak ada yang bisa memungkiri bahwa kecerdasan Anne melesat sampai langit. Apalagi sewaktu di antara ribuan karyawan dan hanya Anne seorang yang berani mengkritik kebijakan manajemen, kekaguman kepada perempuan ayu berdarah Belanda itu kian beranak pinak. Banyak karyawan meremehkan aksinya, bahkan tak jarang dari mereka menghina tingkah laku Anne, tapi di antara risakan-risakan itu, Kai bahkan bersumpah mereka mengamini keputusan yang Anne ambil. Orang sinting mana yang rela-rela saja gajinya dipotong 25% tanpa adanya hukum transparan hanya dengan dalih kenaikan PPH, hum?

Annelies jelas bukan orang biasa. Dari pertemuan pertamanya saja, dia sudah menunjukkan tindak-tanduk seorang priayi. Memang sempat banyak keraguan dialamatkan padanya mengingat di antara ribuan pribumi hanya dialah orang percampuran. Kulitnya lebih putih dari susu, tapi secerah matahari, bibirnya mengingatkan Kai kepada jambu air segar yang mengilap, rambutnya sehalus beledu yang akan meluncur lembut di tangan, dan matanya adalah keniscayaan dari proses penciptaan Tuhan kepadanya. Ketika ia berkata bahwa ia memiliki darah Belanda dari garis keturunannya, banyak yang mendeskreditkan kemampuan bekerjanya. Pasti ia perempuan manja yang akan menjadi beban, tapi siapa mengira ia justru tak ubahnya Dewi Srikandi yang mengangkat meriam untuk menumpaskan kebatilan. Kai berkali-kali pernah bertanya siapa Anne sebenarnya, sebab mulai dari perangai, tutur kata, pandangan, sampai kecerdasannya sulit ditempa jika tidak memiliki orang tua atau — paling tidak — lingkungan yang sama sehatnya, tapi sampai sekarang perempuan itu hanya menjawab bahwa ia orang biasa yang kebetulan memiliki anak untuk diperjuangkan nasibnya setiap hari.

"Gue paham sama perasaan lo, Ann. Tapi sebagai teman yang takut banget sesuatu terjadi pada lo, lebih baik lo berhati-hati. Kita nggak tahu mafia apa yang berada di hadapan kita. Gue tahu lo berani, gue tahu lo punya kemampuan dan kecerdasan, tapi jika lo masih melakukan segala hal atas nama anak lo, lo ikutin benar-benar saran gue, jangan membantah, jangan mengkritik, jangan mengajak perang. Jika pihak manajemen bisa semudah itu menilapkan 400 ribu gaji lo, bukan tidak mungkin mereka semudah itu mengambil masa depan lo. Gue hanya nggak ingin lo gegabah. Pikirkan Pakin sebelum lo melangkah."

Jelas Kai tahu cara memegang kendali permainan. Apa saja perdebatannya, jika nama Mark Pakin diikutsertakan, maka Anne pasti akan memberikan seluruh keberpihakan kepada anaknya. Semua kawan pabriknya tahu akan hal ini. Satu-satunya yang mampu menghentikan aksi gila Anne hanyalah bocah itu. Anak tersebut memang sumber semua kekuatan Anne, hanya saja yang tidak pernah ia ketahui, menjadikannya poros dunia, sama arti membuat kehadiran Mark Pakin menjadi batas kelemahan itu sendiri.

Maka, mengikuti saran dari Kai, Anne pun tidak melakukan protes apa-apa hari itu. Sepuluh dari temannya di bagian produksi yang sudah dipanggil menghadap manajemen, keluar dengan mata bersimbah tangis karena kontrak kerja mereka tidak diperpanjang. Anne menunggu sambil harap-harap cemas. Kedua tangannya terampil menjalankan mesin jahit, sementara kedua kupingnya tajam menerima informasi dari para teman. Isak tangis mereka pecah, dan itu sungguh menggigilkan tulang. Suara-suara putus asa semacam ombak yang berayun-ayun dari satu lini ke lini berikutnya, diikuti oleh setulus-tulusnya doa paling nelangsa siang hari itu.

Ini sudah pukul dua, satu jam lagi Pakin pulang sekolah. Anne harus bergegas untuk menjemput teman kencannya tersebut, tapi bahkan ketika waktu menunjukkan pukul empat, nama Annelies tetap belum dipanggil. Empat puluh tujuh karyawan outsourcing dari bagian produksi dinyatakan tidak diperpanjang masa kontraknya, menjadikan lingkungan kerja Anne tak ubahnya tempat berkabung yang begitu menyesakkan. Jujur Anne ketakutan bukan kepalang. Jari-jarinya tertusuk jarum berkali-kali bahkan. Kain-kain yang seharusnya ia kelim beberapa diantaranya masuk ke barang rusak yang harus dia laporkan sebagai bentuk pertanggungjawaban saking buyarnya konsen bekerja.

Satu persatu dari teman-teman produksinya telah pulang, dan menyisakan dia seorang ketika — tepat pukul lima sore — nama Annelies akhirnya dipanggil ke ruang HRD untuk mendapatkan putusan. Yang di mana sewaktu ia melewati kantor manajemen, masih ada sekitar 30an karyawan yang berjaga di balik layar komputer mereka. Ini jelas suatu hal langka. Para pekerja kantor itu sering pulang pukul empat sore selama Anne bekerja di sini. Anehnya lagi, pegawai yang memanggil Anne tidak mempersilakannya untuk mengahap pihak HRD, melainkan menghela Anne ke ruang direktur. Tidak dimungkiri, degup jantungnya kian bertalu-talu lantang.

Anne kaget bukan kepalang ketika di ruang Direktur sudah berkumpul enam laki-laki; Wira, Jamal dan ketiga anjing, juga direktur itu sendiri — Pak Wongso. Alarm tanda bahaya itu menggerung-gerung tidak tenang di dasar perut Anne. Apalagi sewaktu melihat Jamal dan ketika anjing, keringat dingin langsung membanjiri tubuh Anne. Ingatan pemerkosaan mereka awal bulan kemarin seperti piringan hitam mengeluarkan suara nyanyian Doel Sumbang.

"Saya sebenarnya selalu menahan diri melihat aksimu seperti tikus yang mencoba menggerogoti pabrik tempatmu bekerja. Kau pikir kami menaikkan 25% PPH itu bukan tanpa alasan? Kami hanya mengikuti peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Ada undang-undanganya, dan ini sudah disahkan di rapat parlemen. Saya lihat CV kamu, dan ternyata kau hanyalah lulusan SMA biasa. Tapi tingkah lakumu sudah sok-sokan paling mengerti nasib buruh dan undang-undang. Sampai mendatangkan serikat buruh ke sini untuk melakukan penyelidikan. Kenapa tidak sekalian kaulempar tahi di pabrik ini?"

Anne bungkam. Bukan karena saran dari Kai, tapi sumpah demi Tuhan, satu ruangan dengan para pemerkosa benar-benar kutukan. Tubuh Anne bergetar hebat, keringat dingin menembus kaus kerjanya, napasnya putus-putus. Dari tempat Anne duduk, ia bisa merasakan keempat orang itu tengah menelanjanginya.

"Kau pikir kau siapa, hah? Kau hanya seorang perempuan yang masih menggantungkan nasib di pabrik saya." Wongso berjalan mondar-mandir di hadapan para karyawannya. "Jadi jangan pernah berlagak memiliki kuasa di sini. Kau tidak tahu apa-apa maka diamlah. Kamu pasti tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan sekarang ini, jadi syukuri saja berapa pun upah yang kamu terima dari sini. Kamu lihat apa yang sudah pabrik ini lakukan padamu? Bahkan menghilangkan sepuluh absenmu bukanlah perkara sulit. Itu seperti membuang kotoran ke tempat sampah. Seharusnya kamu paham eksistensimu."

Anne menelan ludah, memilin ujung rok. Matanya nanar menatap kedua lututnya yang bersinggungan. Ia tidak tahu ke mana muara dari keenam laki-laki di sini, tapi firasatnya mengatakan bahwa... entah apa pun yang akan terjadi, itu pasti jauh lebih buruk dari sekadar yang menimpanya awal bulan ini.

"Dan kamu sudah berkoar-koar mirip anjing kelaparan sewaktu kami menguntit 400 ribumu. Kenapa sebelum kamu membuat delik aduan, kamu pikirkan dulu jauh ke belakang dampak yang akan kamu derita akibat perbuatanmu sehingga kamu nggak mengotori pabrik ini dengan perilaku bejatmu?"

Anne mengangkat kepala seketika. Laki-laki dengan kacamata persegi itu ia adang penuh tanda tanya.

"Melihat kelakuanmu mirip lonte yang membuka lebar selangkangan kepada empat pria di belakang pabrik kaupikir itu perbuatan yang layak dilakukan, hah? Bahkan rasa-rasanya membunuhmu pun bukanlah perkara kejahatan setelah apa yang telah kauperbuat. Kau layak mendapatkan semua keburukan."

"Tapi saya diperkosa, Pak!" Muntahan itu pun akhirnya pecah setelah ia sibuk melipat lidah sebulan ini. Jika ini adalah perjuangan terakhir, maka ia akan memungut harga diri itu di hadapan enam pria di sana. Segala ketakutan yang bersemayam di kepala, segala kehadiran hantu yang membuat gelap mata, ia luapkan sore itu dengan lidah bergetar. Air mata Anne menciprati dinding matanya, yang ketika ia berkedip, mereka runtuh membasahi daging pipinya yang pucat.

"Jangan menyela omongan saya jika kamu berpikir bahwa kamu perempuan berpendidikan."

"Tapi saya diperkosa, Pak!" Anne menggeram penuh amarah. "Saya dipaksa melayani nafsu mereka! Bahkan mereka melakukan kekerasan di vagina saya!"

"Oh, ya, bukankah sore itu kamu yang meminta kami layani sebagai syarat agar kami bisa mengembalikan sepuluh hari kerjamu yang menghilang di mesin ceklok?"

Anne tidak pernah merasakan kebencian mendarah daging dalam hidupnya setelah ia mendengar Jamal, pria berambut kelimis itu, mengeluarkan kalimat penuh fitnah yang bahkan Anne bisa menertawakannya secara lantang.

"Kamu nangis-nangis keluar dari ruangan Pak Wira dan mengadu kepada saya bahwa absenmu menghilang sepuluh hari yang membuat gajimu pun dipotong 400 ribu. Saya tidak bisa bertindak apa-apa karena saya hanyalah petugas penjaga mesin ceklok yang tidak tahu menahu tentang sistem kerjanya mesin. Saya sudah mengarahkan kamu untuk ke divisi IT, tapi kamu menolak dan justru merayu saya dan tiga teman saya jika kami bisa membantumu, kamu akan bersedia melayani kami. Kami memang tidak bisa membantumu, tapi jelas sebagai pria jika dikasih makanan enak dan gratis, kami nggak bakal menolak. Kamu yang datang kepada kami, dan kami menerimamu karena nggak pernah ada kucing yang bisa menolak ikan asin."

Tawa Anne lantang sekali sore itu. Segala rasa takut berkelindan dengan amarah dan dendam. Ia bangkit dan mengadang enam pria di sana yang eksistensinya bahkan Anne hadiahi dengan ludahan — sebagaimana yang selalu ia lakukan jika merendahkan lawan.

"Berengsek!" Wongso mengumpat keji melihatnya diremehkan oleh perempuan itu. "Dasar perempuan nggak tahu diri, bukannya berterima kasih karena telah kami hidupi selama ini, tapi kamu justru berbuat kurang ajar pada kami. Kamu pikir kehadiranmu adalah visioner? Kau tak lebih dari perempuan mengenaskan yang nggak akan bisa apa-apa tanpa kehadiran pabrik ini dalam hidupmu. Perilakumu barusan sungguh tidak mencerminkan perempuan berpendidikan!"

"Saya memang bukan perempuan berpendidikan, Pak, tapi setidaknya saya perempuan berakal yang bisa berpikir." Anne menatap Jamal dan ketika anteknya, kemudian mendengus sebelum tertawa. "Sebelumnya saya benar-benar bertanya-tanya dalam hati, kenapa pegawai sedungu Jamal dan ketiga anjing ini bisa diterima di pabrik semegah ini, tapi setelah berkomunikasi langsung dengan Bapak, saya telan semua pertanyaan. Saya sudah menemukan jawabannya dari mana kepandiran mereka selama ini."

"Saya pikir kamu sudah keterlaluan, Annelies." Wira bangkit dan memintanya untuk duduk kembali. "Perlihatkan sopan santunmu kepada bosmu."

"Saya hanya akan sopan jika dia pun memandang saya dengan sopan! Dari tadi saya tidak membantah tentang pembangkangan saya terhadap pemotongan PPH, tapi ketika dia justru menuduh saya sebagai lonte yang memaksa anjing-anjing ini untuk memuaskan nafsunya, saya tidak terima. Saya sudah tahu nasib saya di pabrik ini ke depannya bagaimana. Dan biarkan saya memunguti harga diri saya yang terakhir."

"Kaupikir kau masih memiliki harga diri di sini?" Wongso menyalak tajam. "Bahkan dengan sampah yang bisa didaur ulang untuk didapatkan manfaatnya pun, kehadiranmu jauh lebih rendah dari meraka. Janda sepertimu mana bisa tahan jika dihadapkan dengan pesona laki-laki? Kenapa? Nafsumu pasti selama ini kaupendam, ya, sehingga kau menggerayangi anak buah saya dengan dalih meminta pertolongan untuk mengembalikan absen sepuluh harimu yang hilang? Sekeluar dari sini, dengan kemampuanmu di bidang selangkangan, kamu bisa membuka rumah pelacuran dan menjadikanmu sendiri sebagai lonte bayaran."

Anne mendecih lantang. Ia menatap laki-laki di hadapan atas sampai bawah, kemudian tertawa kecil sambil menatap kelima laki-laki yang mengelilinginya. "Setidaknya perempuan rendahan ini tidak membutuhkan kehadiran lima laki-laki hanya untuk menghadapi — yang katakanlah — seorang pelacur. Apa yang membuat Bapak seperti ketakutan bertemu saya seorang diri? Kenapa harus minta didampingi lima orang hanya untuk merendahkan saya? Apakah pada akhirnya Bapak mengakui kebenaran yang saya bawa sehingga Bapak membutuhkan anjing-anjing ini untuk menjilati pantat Bapak apabila saya mengalahkan argumen Bapak? Apakah Bapak akhirnya mengakui bahwa Bapak tak lebih dari seorang pengecut yang tidak bisa berdiskusi dengan yang Bapak sebut perempuan rendahan?" Ia tertawa keras sekali.

Anne seharusnya paham bahwa menyulut ego seorang laki-laki ketika berada di puncak kepemimpinannya bukanlah perkara mudah. Bisa saja hal itu berujung petaka yang akan membawa Anne kembali larung ke kuali neraka terdalam. Tapi Anne sama sekali tidak peduli. Bahkan jika mereka membunuhnya sore ini, ia sama sekali tidak peduli.

Wongso yang tidak terima diinjak-injak sama kaum yang menurutnya paling lemah di bumi, mendekati Anne, menjambak rambutnya, lantas menghantamkan kepala Anne di lengan kursi. Anne limbung seketika, lantas terjerembab ke lantai keramik. Wongso menindih perut Anne, membuat perempuan itu terbatuk, kembali mencengkeram rambutnya dan membentur-benturkan kepala Anne di lantai. Berkali-kali, kuat sekali, sampai rasanya kematian itu datang menari-nari. Setelahnya ketika ia merasa perempuan ini tidak berkutik, Wongso membuka gesper, menurunkan ritsleting, mengeluarkan batang kemaluan, lantas memerkosa Anne membabi buta. Ia menyingkap kaus Anne, dan memperlihatkan tubuh moleknya yang mulus. Senyum wongso merekah lebar, ia menangkup susu Anne yang sepejal bola kasti. Ia meremas-remas, menyedot-nyedot, menggigit-gigit dengan tawa senang bukang kepalang. Vagina Anne ia runjam sepenuh hati, dan susu-susu itu ia perah kuat-kuat.

Setelah melepaskan pejuh, Wongso bangkit, duduk di kursi kekuasaan di belakang meja kerja, dan menyuruh kelima orang itu menyetubuhi Anne ramai-ramai. Pada mulanya ide itu datangnya dari Jamal, ia mengajak Wira dan Anjing 1 untuk melakukan penetrasi tiga penis sekaligus di lubang kemaluan Anne dan duburnya. Sebab menurutnya, setelah ia rudal menggunakan batang sapu, lubang itu pasti longgar. Sementara kedua anjing memaksa Anne mengoral kontol-kontol mereka yang bersisik. Suara desahan terdengar, bercampur dengan tawa membabi buta. Tubuh Anne mereka gilir sampai beberapa kali pelepasan.

Anne pikir nerakanya tuntas setelah keenam pria itu kelelahan, tapi rupanya ia keliru. Wongso keluar dari ruangan, dan menyuruh tiga puluh karyawan laki-laki yang masih di sana untuk memerkosa Anne bareng-bareng. Ini jelas nirwana bagi laki-laki di sana. Tubuh Anne yang molek dengan kulit putih dan mulus sudah menjadi incaran sejak ia bergabung di pabrik ini. Keseksiannya bahkan dijadikan bahan imajinasi para lelaki ketika onani, dan disuguhi tubuh seputih pualam itu secara cuma-cuma, hanya orang edan yang akan menolak.

Beberapa ada yang menggendong Anne keluar dari kantor Bos, beberapa lainnya menyingkirkan komputer, mesin printer, dan tetek bengek ATK di meja, sementara yang tersisa, sibuk menggabung beberapa meja jadi satu. Tubuh Anne mereka letakkan di situ, dan pemerkosaan itu pun digelar di atas meja. Tiga puluh laki-laki dengan tiga puluh kontol ngaceng menembus lubang tempik dan anus Anne bergantian sampai Anne merasakan titik kematian dalam hidupnya.

Selagi kemaluannya disodok-sodok entah oleh siapa, ia mencoba membayangkan rencana indahnya tentang masa depan Pakin. Mula-mula Anne akan mengarahkan Pakin untuk mengikuti jejaknya kuliah bisnis sebab apabila Ayah sudah menerima kehadiran Pakin, ia pasti akan memberikan perusahaan tambang terbesar se-Indonesia itu kepada cucunya. Tapi apabila Pakin menolak gagasan tersebut dan lebih memilih kuliah di jurusan lain, Anne tidak akan keberatan dan akan terus memberi dukungan. Ia akan membantu Pakin untuk urusan pindah ke apartemen yang dekat dengan kampus — entah itu Indonesia atau luar Indonesia. Ia juga tidak akan absen meneleponnya untuk menanyakan kabar. Ibu dan Ayah akan mendebat keposesifannya kepada Pakin, dan akan mengkritik sebal kelakuan menjengkelkan Anne yang akan memproteksi Pakin dari orang yang dekat dengannya.

Tapi sebenarnya Anne tidak betul-betul melarang Pakin pacaran. Anne hanya suka menggodanya saja. Anne dan Ibu pasti akan disibukkan dengan segala tetek bengek jamuan ketika Pakin telepon di malam sebelumnya bahwa ia akan pulang kampung membawa pacar. Dan Anne yang belum pernah memasakkan sesuatu yang enak pada Pakin, akan memasak banyak menu hanya untuk menyenangkan pacarnya.

"Kamu hanya menjamu pacarnya Pakin, lho, Ann, tapi kenapa repot sekali masak ini itu? Ya ampun bahkan ada gudeg. Kebangetan banget kamu, Ann. Seumur-umur kamu nggak pernah masakin Ayah gudeg walaupun kamu tahu betapa sukanya Ayah sama gudeg. Sementara pacarnya Pakin yang nggak kita ketahui sosoknya sudah kamu buatkan gudeg seenak ini." Anne bahkan bisa mendengarkan suara gerundelan Ayah yang pastinya akan menjadi pihak oposisi dari semua yang ia lakukan.

"Sudahlah, Mas, kayak kamu nggak pernah muda saja. Pakin would be thrilled if we organized a fancy dinner for his girlfriend. Anne can ensure her child feels extremely happy. We know, Anne loves Pakin so much as a mother. She'll do anything to make sure he gets the best. She didn't make it easy for Pakin when he was young, so let Anne make up for it." Dan Ibu yang selalu menjadi pihak koalisi akan selalu membela dengan gigih.

Tanpa sadar Anne tersenyum kecil membayangkan betapa hangatnya obrolan itu, betapa cairnya suasana keluarga itu. Dari luar rumah terdengar suara mobil berhenti, dan Anne yang sudah tidak sabar, buru-buru keluar untuk menyambut kedatangan Pakin beserta sang kekasih. Pakin akan memberinya ciuman rasa rindu, yang ketika ia sudah melihat jamuan yang dibuat Anne sama neneknya, ciuman itu berubah menjadi kasih sayang tulus dari anak kepada ibu. Rasanya sangat indah, indah sekali sampai Anne meneteskan air mata kebahagiaan di puncak rasa sakitnya dirudal tiga puluh kontol tanpa henti. Bahagia sekali sampai rasanya ia mampu melihat senyum Pakin senyata-nyata di dalam tempurung kepala.

Entah pukul berapa, ketika Anne sadar bahwa ruangan yang semula riuh oleh gemuruh desah anjing-anjing laknat tersebut, kini menjadi sunyi senyap. Lampu-lampu masih menyala, membuat tubuh telanjangnya yang membekas benjut dan memar di sekujur badan terlihat tergeletak mengenaskan di atas meja. Baik dari lubang vagina maupun lubang duburnya mengeluarkan darah bercampur sperma. Luka-luka gigit di kedua payudaranya meninggalkan jejak kehitam-hitaman. Lehernya seperti ditato dengan gigitan yang berubah ungu. Pundak, tulang selangka, perut, paha, sampai ujung kaki semuanya bengep. Ada yang hampir menghitam, keunguan, biru, merah segar, merah tua, dan entah warna apa lagi. Jasadnya tak ubah kanvas yang dilukis secara brutal oleh manusia atas nafsunya yang kekal dan tak mengenal akal. Jangan tanyakan perasaan Anne sekarang, bahkan seluruh diksi sakit yang pernah ditemukan manusia di muka bumi, tidak mampu mengejawantahkan kehancurannya malam ini. Mungkin mati akan jauh lebih terasa bisa diterima akal sehat daripada membiarkannya hidup menanggung sengsara yang begitu menyedihkan.

Anne mengedarkan pandangan. Ia melihat ada tiga layar komputer yang terjatuh di lantai. Kertas-kertas kerja berhamburan di mana-mana. Cairan sperma meleleh di meja, kursi, ATK, sampai di kepala Anne. Empat bangku kerja terguling hingga patah lengannya. Mesin print bahkan tertangkap mata hancur di sisi ruang. Semuanya benar-benar serampangan hanya untuk proses memerkosa tubuhnya ramai-ramai. Cuih! Binatang! Sekadar urusan sekeping tempik saja manusia bisa seedan itu. Menggadaikan kewarasan yang bahkan iblis pun tidak akan sanggup menandingi kekentiran perilaku mereka. Mental-mental miskin. Jika mereka punya duit, mereka bisa saja menyewa lonte kelas kakap sekadar untuk melepaskan pejuh. Lah ini, maunya menumpang pada milik bos. Digarap ramai-ramai lagi. Menyedihkan. Anne sungguh prihatin dengan kegendengan mereka.

Ia bangkit terseok-seok. Memungut bajunya yang robek, dan roknya yang dilempar entah ke mana, lantas mulai pergi dari pabrik keparat tersebut. Dan ia bersumpah, sungguh-sungguh bersumpah, tidak akan ia biarkan orang-orang yang menyentuh kulitnya berbahagia atas apa pun di dunia ini. Ia tidak akan mendoakan kematian mereka, yang ia lakukan hanya mengharapkan mereka mendapatkan perilaku lebih hina dan keji daripada apa yang ia timpa. Ia haramkan manusia-manusia itu terbebas dari rasa bersalah. Bahkan jika proses pengganjaran untuk memasukkan manusia ke neraka atau ke surga itu benar-benar ada, Anne bersumpah akan mengganjar mereka dengan rasa bersalah yang tidak pernah bisa dibakar oleh pengampunan api neraka. Penderitaan itu harus mereka tanggung, sebab Anne sudah tidak tahu lagi harus seperti apa menjalani hidup.

Dua puluh delapan tahun hidup, dan ini adalah titik nadir yang pernah Anne temui. Mulanya mengetahui hamil di luar nikah adalah seburuk-buruknya takdir, tapi siapa yang menduga diperkosa 36 laki-laki bakal menjadi salah satu pengalaman tragis dalam hidupnya. Ia pernah merasakan kehancuran sewaktu mimpinya menjadi sarjana dari kampus ternama dunia yang tinggal di depan mata, gagal hanya dalam satu malam panjang. Ia pernah juga merasakan ketakutan saat dua dari lima pejalan kaki yang ia tabrak menggunakan mobil, meregang nyawa di jalan dan ia hampir dipukuli massa akibat kecerobohannya. Ia pernah pula merasakan sakit hati di saat sosok ibu yang selama ini menjadi pelindungnya, justru menudingkan telunjuk dan mengusirnya keluar dari rumah. Apalagi sewaktu ia akan melahirkan seorang diri tanpa duit dalam cekalan tangan, berjalan menuju puskesmas terdekat rasanya tidak pernah segetir itu. Tapi dari seluruh neraka yang tumpah dan membanjiri hidupnya, ia tidak pernah berada di titik ini. Ini memang sakit, tapi hampa yang diakibatkannya tidak pernah semencekik sekarang. Ia memang dihancurkan, tapi kosong yang ditimbulkan tidak pernah semencekam masa kini. Bisa jadi apa yang dia ampu adalah penjelasan dari kondisi sekarat, keadaan di mana lara berkumpul jadi satu sebelum dicerabut paksa oleh para malaikat. Hanya saja, sekarat yang saat ini merenggut kewarasannya tidak berujung kepada kematian. Ia dibiarkan tergolek bersama seutas nyawa begitu saja. Dan itu sungguh sebuah hukuman paling tidak manusiawi yang pernah dilahirkan oleh golongan manusia.

Anne mendesah kecewa saat ia menyadari bahwa untuk pertama dari janji yang ia buat kepada Pakin, ia ingkar. Pasti Pakin merasa sedih bukan kepalang. Ia akan menebus rasa bersalahnya dengan mengajak Pakin menonton bioskop. Ia tahu bahwa ia tidak lagi memiliki uang di balik kutang, tapi Anne akan mencoba mencari utangan kepada para tetangga. Biarlah ia hina sehina dinanya asal Hari Pakin Dijemput Bunda tidak menjadi hari buruk untuk dikenang.

Anne melewati gang sepi di perkampungan kumuhnya, melintasi seseorang yang tengah mabuk seperti hari-hari biasa. Tapi ketika ia berjalan tanpa memedulikan sosok tersebut, laki-laki itu justru memegang pergelangan tangannya dan menatap tubuh Anne dengan baju compang-camping yang memperlihatkan bra kuning blewahnya. Tatapan mata itu liar, dan Anne sudah muak melihat bagaimana laki-laki bisa ditundukkan hanya dengan sebongkah tubuh berdosa dari seorang perempuan. Maksudnya, ayolah, mereka sudah hidup bukan di zaman purba, kenapa untuk mengendalikan berahi begitu berat? Apakah ke mana pun ia pergi, laki-laki akan selalu sama? Diperbudak oleh kekuasaan dan hawa nafsu?

"Berapa?" tanya laki-laki itu.

Anne mendengus. Ini mirip seperti apa yang dibicarakan Wongso, bukan, sih?

Yang mana?

Bahwa dengan kemampuan hebatnya di dunia perselangkangan, Anne bisa membuka rumah pelacuran. Ayo, Ann, bawa laki-laki ini pulang ke rumah sebagai latihan di mana lo akan memiliki bisnis perlontean seorang diri.

Tapi Pakin di rumah.

Tahu apa Pakin akan kemalangan yang menimpa Bunda? Anak kecil nggak berguna itu juga butuh dikasih makanan setiap hari. Kalau lo nggak kerja, mau melihat anak sialan itu menderita kelaparan? Ayo, Ann, nggak usah mikir panjang, sikat aja toh lo juga nggak punya uang ini, kan?

Tapi aku bukan seorang pelacur.

Lo juga bukan seorang buruh sewaktu melamar kerja di pabrik teksil. Bukankah lo memiliki niat mengajak Pakin menonton? Daripada merendahkan diri lo lebih rendah lagi kepada para tetangga, bukankah lebih baik memiliki duit sendiri dari hasil perlontean? Toh lo juga bukan perempuan suci sejak pangeran bejat itu lo perbolehkan memasuki selangkangan lo.

Bukankah dengan begitu aku akan menjadi contoh yang buruk buat Pakin?

Apakah selama ini lo merupakan contoh yang baik buat anak lo? Lo pikir dengan menjadikan lo ibu jahat hanya untuk menarik ibu lo datang dan membawa kalian keluar dari lembah kemiskinan, tidak memberikan dampak buruk pada Pakin? Lo pikir dia ditendangi sendiri oleh ibunya dan tidak pernah diapresiasi sama sekali atas semua pencapaiannya tidak menimbulkan sakit yang bisa jadi bakal dia bawa sampai dewasa?

Jangan sok suci, Ann. Lo bukan ibu yang baik. Tidak ada definisi ibu yang datang bersama kemampuan memukuli anak-anaknya. Lo tak pernah lebih baik dari semua sangkaan lo, Ann. Menjadi anak hanya mampu membuat orang tua kecewa, menjadi karyawan justru melempar tai pada perusahaannya sendiri, menjadi tetangga lo selalu membuat keributan. Dan lo jelas telah gagal menjadi ibu, Ann. Lo gagal menjadi ibu.

Ha ha ha

Lo gagal menjadi ibu, Ann.

Lo gagal menjadi ibu.

Lo gagal menjadi ibu.

Lo gagal menjadi ibu.

Lo gagal menjadi ibu.

Lo nggak lebih dari seonggok sampah yang ke mana pun lo pergi, eksistensi lo nggak pernah penting. Apalagi di hadapan Pakin. Mau gue kasih tahu hal paling menggembirakan tentang proses penciptaan lo terhadap Pakin, dan mungkin ini satu-satunya keberhasilan lo di dunia ini? Lo sukses menciptakan neraka buat Pakin, Ann.

Ha ha ha ha

LO SUKSES MEMASUKKAN PAKIN KE DALAM NERAKA, ANN!

SELAMAT DAN SUKSES, ANN!

Pakin tumbuh dengan pengalaman paling menyakitkan yang pernah ada!

Selamat, Ann.

Ha ha ha ha

Selamat!

"BERHENTI! BERHENTI! BERHENTI!"

Laki-laki yang menawar Anne sampai mundur beberapa langkah sewaktu melihat perempuan berpenampilan amburadul tersebut memukul-mukul kepalanya sambil berteriak-teriak. Anne menjerit histeris, menampar-nampar wajah, menjambak-jambak rambut, lantas berjongkok dan menangis-nangis. Suara-suara itu, demi Tuhan, siapa mereka? Dan kenapa semakin ke sini eksistensi mereka semakin banyak dan membuat riuh? Demi Tuhan, Anne tidak sanggup mendengar suara-suara mereka. Anne tidak kuasa menerima semua hinaan mereka di saat hidupnya hancur berkeping-keping. Anne tidak kuat, Tuhan. Tidak kuat.

Jadi sudah paham, kan, Ann, di mana posisi lo saat ini? Bangkit, Ann. Layani laki-laki itu. Jadilah pelacur karena tidak akan perusahaan yang sudi menerima perempuan lulusan SMA dan pernah diperkosa 36 laki-laki masuk dalam perusahaan mereka.

Lo harus terima nasib itu, Annelies.

Ha ha ha

Lo harus terima nasib itu.

Sewaktu laki-laki tadi hendak pergi sebab ketakutan melihat perempuan di hadapannya, Anne bangkit, merampikan rambut, lalu memberikan senyum terindahnya. Senyum itu kemudian berubah menjadi tawa sehingga menampilan barisan giginya yang kecil-kecil dan berbanjar rapi. Ia menyibak rambut legamnya yang selembut sutera, membuat kecantikannya berdenyar-denyar di bawah semprongan lampu kuning lima watt tak jauh dari mereka.

"Seharga dua tiket menonton bioskop. Kalau kau bisa membayarku segitu, ayo ke rumahku. Aku sudah melayani 36 laki-laki dan semuanya puas dengan suara desahanku. Kau benar-benar merugi jika menolak pesonaku."

Dan sejak malam itu, hidup Anne telah benar-benar berubah. Sakit yang mencapai titik kulminasi dengan ditemani para hantu yang gaduh di tempurung kepala, memecah semua kewarasan Anne, membuatnya hancur berkeping-keping, dan menjadikan Anne berada dalam kebingungan yang tidak bisa dijelaskan. Ia tidak sanggup menentukan pilihan, tidak kuasa mengambil keputusan, bahkan sekadar mengajak otaknya berpikir pun, Anne kepayahan. Kehadiran suara-suara itu sungguh sukses mengendalikan kesadaran. Suara itu menyuruh Anne memukul Pakin, Anne langsung mengiakan. Suara itu memintanya menendang kepala Pakin, maka kaki Anne akan disulap menjadi kaki para pemain bola dunia saat ia kesetanan menyepak Pakin. Suara itu memerintah membentak Pakin untuk sekadar hal kecil seperti lupa tidak menggantung handuk di gantungan, maka Anne akan menjadi murid penurut. Para tetangga yang kasihan dengan sosok Pakin, berkali-kali mencoba menyelamatkan Pakin dari aniayanya, tapi Anne tidak pernah membiarkan mereka menyentuh Pakin seujung kuku pun, seujung rambut pun.

Suara-suara itu tumpang tindih, merontokkan akal, merompalkan pikir, yang semuanya akan Anne abaikan ketika cintanya kepada Pakin mampu menggeliat dan menyibak gelondongan bunyi itu yang menyerupai kumparan benang kusut. Di masa-masa Anne bersikeras melawan kehadiran para hantu, maka sekepal cinta dan sayangnya kepada Pakin akan meliuk dan menunjukkan eksistensi. Dan jika sudah seperti itu, Anne tidak akan mampu melakukan hal lain selain berpura-pura menjadi ibu jahat tapi menyayangi Pakinnya tidak tanggung-tanggung seperti sebelum kejadian perkosaan beberapa bulan tersebut.

"Pakin!" Anne berseru di ambang gerbang sekolah ketika anaknya keluar dari kelas. Pakin yang melihat Anne, langsung berlari menyambutnya dengan senyum lebar dan mata ceria.

"Bunda nggak bohong!" tinjunya mengepal ke udara, lalu ia memeluk tubuh Anne. "Bunda datang di Hari Pakin Dijemput Bunda. Tadi Pakin sudah was-was banget takut kecewa kalau Bunda nggak datang seperti hari itu. Pakin sampai ditegur Ibu Guru sebab Pakin tidak memerhatikan pelajaran di kelas."

Perempuan itu tertawa melihat buah hatinya. Kemampuan berbahasa Pakin semakin hari semakin mengesankan. Apalagi semenjak beralih profesi menjadi pelacur, Anne bisa membelikan Pakin majalah Bobo, kosakata Pakin kian bertambah banyak, dan struktur kalimatnya jauh lebih rapi. Di malam-malam sepi di mana ia tidak membuka lapak kepada para langganan, Anne akan mengajari Pakin cara membuat cerita pendek sendiri. Ia sudah mengenalkan Pakin hal-hal apa saja yang harus Pakin ingat dalam menyusun sebuah naskah di usianya yang masih menginjak kelas dua sekolah dasar.

"Suatu hari Bunda akan membaca namamu terpampang di majalah bersama cerpen yang Pakin buat sendiri."

"Pakin berjanji pada Bunda akan membawa hari itu khusus untuk Bunda."

Itu adalah obrolan paling hangat dan penuh cinta sewaktu ia berhasil mengalahkan kehadiran para hantu sebelum pukul empat pagi ketika ia terbangun setelah malam panjang bersama para pelanggan, suara itu akan memekik histeris di kepala dan menyalahkan semua keadaan, mengutuk nasib, menyumpahi takdir, dan menggugat kehadiran Pakin yang bisa-bisanya tertidur lelap sementara dirinya harus menderita seperti sampah, yang berujung pada pemukulan tanpa sebab kepada Pakin dengan kalap.

"Hari ini kita akan ke mana, Bunda?"

"Menonton film?"

"Bunda nggak bohong, kan? Pakin suka sekali film. Bunda tahu itu, kan? Awas saja kalau Bunda bohong."

"Bunda nggak bohong. Bunda sudah ada duit untuk menonton dan kita akan makan popcorn cokelat. Bagaimana?"

"Pakin suka popcorn cokelat. Bolehkah Pakin makan ayam goreng KFC, Bunda? Pakin suka sekali kalau Bunda mengabulkan keinginan Pakin. Sejak Bunda tidak pergi bekerja ke pabrik, Bunda jarang memaksa Pakin minum bayam kocok dan sesekali membawa pulang ayam goreng. Pakin suka."

"Itu jus bayam, Pakin, cocok buat kamu."

"Tapi tidak enak, Bunda. Rasanya seperti muntahan."

Anne menggeleng gemas. Mereka menunggu kopaja di halte dekat sekolah Pakin. Tangan kecil Pakin, Anne genggam lembut dan kuat. Seolah memberitahunya bahwa Bunda tidak akan melepaskan Pakin apa pun yang terjadi, dan akan memberikan cinta paling tulus sekalipun suara-suara itu merusak semua isi kepala dan tatanan hidup Anne.

"Jadi apakah kita akan makan ayam goreng KFC, Bunda? Bunda belum menjawab Pakin."

Demi Tuhan, sejak kapan laki-laki kecilnya ini menjadi secerewet sekarang? Anne memutar mata, menggeleng tidak habis pikir, lantas mencubit pipi gembil putranya dengan sayang.

"Karena Bunda banyak duit, Bunda belikan Pakin ayam goreng. Tapi satu saja. Bulan depan di hari Pakin Dijemput Bunda lagi, nanti kita makan di sana. Bagaimana?"

"Pakin pegang janji Bunda, ya. Awas saja kalau sampai Bunda bohong! Asik! Pakin dan Bunda akhirnya bisa makan di KFC bulan depan di Hari Pakin Dijemput Bunda. Pakin tidak sabar hari itu datang, Bunda! Asik! Asik! Asik!"

Kopaja datang, Anne menggendong Pakin untuk masuk bersama beberapa penumpang. Di dalam bus, ia mendudukkan Pakin di atas pangkuannya sementara Pakin sibuk bercerita tentang hari-hari di sekolahnya. Anne suka sekali hari itu. Ia mendengarkan dengan cermat, dalam hati merekam lekat-lekat, sebab ia tidak mampu sampai melupakan suara itu jika para hantu datang menyergap. Ia mencintai Pakin, anaknya yang luar biasa cerdas ini, dan cinta itu sungguh-sungguh datang dari hatinya sekalipun ribuan hantu menuding sebagai ibu yang keji. Hantu-hantu itu memang bersekutu untuk berkontemplasi menggencet kemampuan Anne berpikir, tapi sebisa mungkin ia berjuang melawan suara-suara mereka sebab setiap kali ia terjaga setelah melakukan penganiayaan kepada Pakin, rasa sakit dan kosong itu kian menganga lebar. Di malam-malam sunyinya yang sehancur repihan kertas, ia akan mengobati Pakin seperti yang selalu ia lakukan sebelum-sebelum ini, memeluk tubuh kurus tersebut, dan membubuhkan puluhan kecup di rambut keriting Pakin yang lembut.

"Pakin sudah berhasil membuat satu cerita pendek buat Bunda," kata Pakin.

"Oh, ya? Apa judulnya dan bercerita tentang apa?"

"Judulnya Bunda, bercerita tentang Bundanya Pakin yang cantik dan hebat ini, loooh." Pakin menjawil-jawil dagu Anne. Anne tergelak karenanya. "Bunda yang setiap hari Jumat mengantre di musala untuk mendapatkan nasi bungkus, Bunda yang setiap hari membuatkan bayam kocok, Bunda yang mengajari Pakin belajar membaca, dan Bunda yang pernah lupa tidak datang menjemput Pakin di Hari Pakin Dijemput Bunda."

"Astaga, Pakin, itu sudah lama berlalu dan Bunda sudah minta maaf, dan itu pun hanya sekali terjadi selama masa perjanjian kita."

"Pakin tahu, tapi Pakin memasukkan cerita itu karena besoknya Bunda mengajak Pakin membeli ayam goreng KFC paling enak untuk pertama kalinya di hidup Pakin. Dan Pakin sangat menyukai ayam goreng sejak saat itu."

Ya, Tuhan, Anne sangat mencintai anaknya.

"Nanti kalau besar, Pakin janji akan menuliskan nama Bunda paling indah di cerpen yang dimuat di majalah-majalah supaya dunia tahu bahwa Pakin memiliki Bunda yang hebat. Jadi Bunda tidak perlu menangis-nangis seorang diri lagi di kamar mandi kita yang dingin, sebab dunia tidak memiliki alasan untuk melukai Bunda Pakin yang luar biasa."

Anne membeku. Seluruh aliran darahnya seolah mambat. Kedua tangannya terasa kaku memeluk Pakin.

"Bagaimana Pakin tahu, Nak?"

"Pakin sayang Bunda. Jadi Pakin sering diam-diam melihat Bunda menghabiskan waktu di kamar mandi. Pakin tidak tahu apa yang Bunda lakukan. Tapi Pakin mendengar Bunda menangis. Bunda jangan sedih. Bunda punya Pakin. Pakin akan menemani Bunda ke mana pun Bunda pergi. Kita akan berdua selama-lamanya."

Anne tidak kuasa menahan tangis, maka yang ia lakukan adalah menciumi putranya semata wayang dengan wajah sembab. Ia tidak memedulikan tatapan orang-orang di kopaja. Ia hanya mencintai Pakin. Itu saja.

Hari Pakin Dijemput Bunda kali ini sangat istimewa, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Anne bersyukur memiliki banyak duit sehingga ia bisa menjajakan Pakin makanan apa pun yang ia minta. Pertama mereka menghabiskan nonton bioskop sambil berpegangan tangan dan memakan popcorn, setelah itu Anne mengajak Pakin membeli ayam goreng KFC yang dimakan di balaikota. Malamnya, Anne mengajak Pakin ke pasar malam. Mereka naik kora-kora sampai perut mual, naik wahana komidi putar sambil terus bergandengan tangan, sampai masuk ke rumah hantu yang begitu menakutkan. Anne tidak ambil pusing dengan masalah uang, karena sejak menjadi lonte, hidupnya sedikit aman kendati para laki-laki yang menjadi kliennya hampir setiap hari melakukan pelecehan dan kekerasan seksual. Anne tidak pernah lagi ambil pusing. Bahkan rasa-rasanya ia telah mati. Dipukuli oleh laki-laki yang datang silih berganti, dihina dina seperti rongsokan tak ada arti, bahkan diludahi dan dikencingi, Anne tidak lagi ambil pusing. Ia sudah pernah diperkosa 36 orang demi apa pun di dunia ini. Jadi kekerasan-kekerasan yang menimpanya tidak mampu lagi membuatnya kesakitan. Memang inilah risiko yang ia ambil ketika menjadi pelacur. Pekerjaan paling hina dan sama sekali tidak memiliki payung hukum untuk keamanannya, mau mengharapkan apa? Jika pabrik yang jelas diatur diundang-undang saja bisa membuat 36 laki-laki memerkosanya seperti orang gila, apalagi dengan pekerjaan di mana egoisme laki-laki dituntaskan setuntas-tuntasnya.

Malam semakin jatuh, dan Anne akhirnya menggendong Pakin yang mengantuk. Ini hari yang membahagiakan sampai ia tidak merasa kecapaian menanggung semua senang. Musim semi itu akhirnya telah benar-benar datang setelah musim panas memanggang hidupnya selama tujuh tahun utuh belakangan ini. Senyumnya tertarik lebar. Melihat Pakin yang terlelap dalam dekapannya, membuat kedua bibir Anne semakin menunjukkan tawa. Ia mengecup kening Pakin, dan akan memasuki kos-kosannya ketika ia... setelah tujuh tahun berpisah, setelah hatinya mati-matian mengaborsi semua benci dan dendam sebab diusir dari rumah, setelah malam-malam menyakitkannya menanti kehadiran orang itu, melihat perempuan itu berdiri di ambang pintu rumahnya.

Tubuhnya masihlah sama. Tinggi semampai dengan balutan jas hitam yang begitu cocok untuk potongan badannya. Rambutnya ia pangkas pendek, menjadikannya terlihat lebih muda jauh dari usianya. Matanya masihlah cokelat pinus menenangkan, yang berpijar penuh kehangatan. Perempuan itu tersenyum, dan seluruh pertahanan Anne hancur lebur. Rindu itu membengkak di sekujur. Dan ia tergugu dalam tangis sebagaimana tangis semua anak ketika melihat ibunya kembali setelah tujuh tahun berpisah. Ou, rasanya ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Apakah ini adalah jawaban dari semua imajinasinya ketika ia dikeroyok gering? Apakah ini adalah jawaban dari hidup Pakin yang akhirnya memiliki masa depan cerah? Apakah ini perpanjangan dari musim seminya untuk menebus penderitaan tujuh tahun ini?

"Ibu...." Dan Anne menyongsong sosok itu dalam dekapan, menghidu aroma tubuhnya yang segar dan terasa sangat familier. Hangatnya meresonansi di tubuh Anne yang ringkih. Pelukannya sangat Anne kenal dan ia tidak pernah merasakan sakit dipeluk sedemikian intim oleh ibunya. Ia meremas punggung Ibu untuk merasakan tiap jengkal dagingnya yang nyata. Ini bukan mimpi. Ini adalah sebenar-benarnya ibu yang begitu ia nanti-nantikan kedatangannya. Cornelia Soemarti. Ibu kandung yang begitu keras dan disiplin sewaktu mendidiknya.

"Annelies."

Anne tidak mampu menakar jumlah kebahagiaan sewaktu Ibu datang berkunjung ke rumah. Ia mengenalkan Pakin dan Pakin langsung terlihat akrab dengan sosok neneknya. Anne tidak memiliki pemikiran apa-apa tentang kehadiran ibunya selain untuk menjemput mereka keluar dari lubang siksaan. Jadi sewaktu Elia meminta Anne membereskan semua barangnya dan Pakin di rumah ini agar mereka bisa segera pergi dari perkampungan kumuh, Anne tidak berpikir dua kali untuk melakukannya. Pun ketika Ibu memesan tiket kereta ke Bogor alih-alih ke Lembang — rumahnya dari kecil, Anne tidak memiliki firasat apa-apa. Ia justru sibuk memberi tahu Pakin tentang alat transportasi darat yang tidak pernah dia naiki selama hidup. Anne sibuk memberi tahu Pakin tentang dunia luar yang pertama kali ia temui. Anne sibuk memperkenalkan Pakin dengan makanan-makanan enak yang Elia belikan untuk mereka berdua. Anne sibuk mengajari Pakin ini dan itu sehingga ia tidak begitu memerhatikan keadaan sekitar. Tidak juga memedulikan lingkungan sewaktu dengan antusias dia mengenalkan Pakin dengan becak yang mereka tumpangi menuju salah satu rumah sakit jiwa terbesar di Bogor di Jalan Dokter Semeru — Rumah Sakit Jiwa dr. H. Marzoeki Mahdi.

Anne tidak memiliki pemikiran buruk apa-apa. Pun ketika ibunya mengajak Annelies berobat ke salah satu dokter spesialis di sana, yang ada di kepala Annelies hanyalah kebahagiaan. Ia mengajak Pakin ngobrol dan mempertanyakan rasa ayam goreng KFC yang mereka beli kemarin. Ia mengajak Pakin ngobrol dan bertanya kira-kira kapan Pakin akan menunjukkan hasil tulisannya — ia sangat ingin membaca cerpen tulisan anaknya sendiri. Ia mengajak Pakin ngobrol dan bertanya apakah dia senang main-main di pasar malam.

Pikiran buruk itu baru tercetus ketika beberapa petugas datang membawa Anne, Pakin, dan Ibu ke ruang perawatan. Pikiran buruk itu baru muncul ketika beberapa petugas yang datang membawanya, Pakin, dan Ibu ke ruang perawatan dan memasukkan Anne ke salah satu bangsal dengan jeruji besi sebagai pembatasnya. Pikiran buruk itu baru lahir ketika beberapa petugas yang datang membawanya, Pakin, dan Ibu ke ruang perawatan dan memasukkan Anne ke salah satu bangsal dengan jeruji besi sebagai pembatasnya, mengunci Anne di dalam sana, meninggalkan Ibu dan Pakin di luar bangsal, sekaligus memisahkan Anne dengan sang buah hati.

"Apa ini maksudnya Ibu?" tanya Anne menggeram rupa-rupa. Ia mencengkeram jeruji besi yang begitu dingin di kulitnya. "Apa yang Ibu lakukan kepada Anne?"

"Ibu sangat menyayangimu, Anne. Tapi Ibu harus melakukan ini demi kamu dan Pakin ke depannya. Tetangga-tetanggamu sudah memberi tahu Ibu semua perilakumu pada Pakin selama ini, dan Ibu sangat yakin kamu pasti sakit dan membutuhkan pertolongan agar kamu bisa menemani Pakin sampai dewasa. Untuk sementara kamu tinggal di rumah sakit jiwa ini dulu, ya, Sayang, sampai dokter menyatakan bahwa kamu telah sembuh dan aman tinggal bersama Pakin."

Anne menggeleng-geleng. Kedua tangannya mengentak jeruji besi tersebut. "Ibu jangan main-main sama Anne. Aku nggak sakit, Bu. Aku sehat. Aku sangat sehat hanya untuk menghidupi Pakin seorang diri. Selama tujuh tahun ini aku bertahan dari kemiskinan keparat itu dan berjuang berdua dengan Pakin, kenapa Ibu tiba-tiba datang dan mengatakan ini itu seolah Ibu tahu semuanya? Keluarkan Anne, Bu. Keluarkan Anne."

"Ibu tahu kamu sangat kuat dan mampu membesarkan Pakin. Tapi dengan pola asuh yang sakit, apakah kamu menjamin kesehatan mental Pakin ke depannya, Sayang? Nggak lama, kok, Ann, sebentar juga setelah kamu sembuh, Ibu akan menjemputmu dan kita bisa tinggal bersama seperti dulu."

"Aku nggak mau tinggal di sini, Ibu! Aku mau tinggal bersama Pakinku! Jangan pisahkan aku dengan Pakinku, Bu! Jangan pisahkan aku dengan anakku! Ibu nggak tahu apa-apa tentang hidupku! Bahkan Ibu nggak ada ketika aku berjuang hidup dan mati melahirkan Pakin seorang diri! Kenapa sekarang Ibu tega memisahkan aku dan anakku? Kenapa?" Anne semakin mengentakkan jeruji seolah-olah ingin mengoyak pembatas antara kamar rawat inap dengan dunia luar. Ia lantas memukul-mukul besi-besi itu dan tangisnya rompal serupa hujan pertama di Bulan September. Ia melihat Pakin, lantas tangannya terjulur untuk memeluk tubuhnya yang mungil. "Jangan tinggalkan Bunda, Pakin. Pakin sudah janji nggak akan meninggalkan Bunda dan akan terus menemani Bunda. Pakin berjanji kita akan berdua selamanya. Jangan tinggalkan Bunda, Nak. Bunda mohon."

Pakin menangis dalam dekapan Anne, dan Anne bersumpah bahwa ia tidak akan pernah memaafkan perempuan tua yang tega menciptakan takdir begitu kejam buat dirinya. Tangan kecil Pakin meraih-raih punggungnya yang kurus, dan mencengkeram kemeja kusutnya kuat-kuat. Ia menjeritkan nama Bunda dengan suara pilu, dan Anne sungguh tidak sampai hati mendengar bagaimana bocah menggemaskan ini harus mengalami kepedihan. Anne mencium puncak kepala Pakin dengan kidmat, menjatuhkan ribuan cinta paling suci buat anaknya yang menderita. Ia menatap Elia, dan bibirnya bergetar sewaktu berkata.

"Kau pernah memberiku neraka paling kejam di dunia ini, dan jangan pernah bermimpi aku bebaskan hidupmu dalam kebahagiaan sampai aku mendengar Pakinku menderita. Betapa malangnya badanku ini, Bu. Betapa aku sangat mengasihani nasibku yang mengenaskan. Ketika muda pendidikanku diputus orang tuaku, aku diusirnya dari rumah, dan sekarang orang tuaku menceraikan aku dengan anakku sendiri. Betapa aku sangat ingin menangisi takdirku sendiri. Kenapa jika Tuhan itu ada, dia harus menghukumku sedemikian keji hanya karena kelalaianku memberikan keperawanan kepada pangeran asing? Manusia memang tempatnya lumbung dosa, tapi apakah ganjaran yang menimpaku setimpal dengan apa yang telah aku perbuat?"

"Ibu melakukan ini demi kamu dan Pakin, Annelies. Demi kebahagiaan kalian berdua. Kamu tidak dipenjara, Nak. Kamu hanya diobati sampai sembuh. Pegang kata-kata Ibu. Ketika dokter menyatakan kesembuhanmu, Ibu dan Pakin langsung datang menjemputmu. Ibu menetapkan tinggal di Bogor, tidak jauh dari rumah sakit. Jadi Ibu dan Pakin akan sering-sering berkunjung menemuimu sampai kamu sembuh." Elia memegang bahu Pakin, memaksanya melepaskan pelukan dan mengajaknya pergi dari sana.

Tangis Anne membabi buta. Ia mendobrak-dobrak jeruji besi, dan menjerit-jeritkan nama Ibu dan Pakin dengan suara paling nelangsa. Air matanya benar-benar seperti kucuran air terjun. Deras sekali, sampai dadanya terasa sesak dan ampek.

"Ibu jangan pisahkan Anne dengan Pakin! Ibu jangan bawa Pakin pergi dariku, Bu. Pakin jangan tinggalkan Bunda, Nak! Pakin jangan biarkan Bunda di sini sendirian, Nak! Ibu! Ibu! Cornelia Soemarti, menderita kau di neraka karena telah memisahkan ibu dan anaknya sekeji ini! Demi Tuhan aku benar-benar mengutukmu, Elia! Ibu, jangan bawa Pakin pergi, Bu! Jangan bawa Pakin pergi!"

Yang mana, sampai seluruh lumbung tangisnya kering pun, Pakin dan Elia tidak berbalik untuk mengeluarkannya dari tempat keparat tersebut. Anne tidak pernah mengira bahwa kesempatan untuk membaca cerpen buatan anaknya tidak akan pernah ada dalam hidupnya. Dan janji makan bersama di KFC bulan depan di Hari Pakin Dijemput Bunda pun tidak pernah bisa ia tepati, sementara sejak sekarang sampai kapan pun, tidak ada lagi Hari Pakin Dijemput Bunda. Jika Annelies tahu bahwa kemarin adalah kali terakhir ia bisa beromantis dengan anak semata wayangnya, Anne tidak akan sudi membawa Pakin pulang dan mengenalkannya kepada neneknya.

Hari-hari Anne berikutnya adalah kekosongan yang begitu nyata, hampa yang tidak tanggung-tanggung, senyap yang mencekik paru-paru, sakit yang membiru sampai seluruh kepala dan memutihkan segenap mata. Ia meringkuk di atas brankar rumah sakit, dengan kedua lutut ditekuk, kepala ia tumpukan di atas dengkul, dan mata tajam menatap jeruji besi yang mengisolasinya dari dunia luar, menunggu kehadiran Pakin datang membawakan pelukan dan cinta kasih paling ia kenal.

Yang sampai hari-hari berlalu sejak tragedi mengerikan tersebut datang, kunjungan Pakin bahkan bisa dihitung menggunakan jari. Dari yang seminggu sekali, menjadi sebulan sekali, lalu berubah setahun sekali, tapi sekarang Anne kehilangan hitungannya ketika bertahun-tahun sejak kedatangan terakhir, Pakin tidak kunjung sambang. Anaknya tidak datang membesuk. Ibunya juga tidak menjenguk. Annelies menjelma menjadi perempuan paling memprihatinkan yang pernah ada. Suntikan-suntikan obat dari para petugas medis sama sekali tidak memberikan perubahan kecuali ia sekarang tumbuh dan hidup menjalin pertemanan paling kekal dengan para hantu. Mereka adalah teman mengobrol yang asyik, yang setia menemani Annelies menanti kehadiran si buah hati. Kadang mereka berkelakar dan Annelies yang tidak sanggup menahan lawakan mereka, akan tertawa keras-keras. Kadang mereka datang membawa cerita sedih, dan Anne yang begitu bersahabat dengan luka, akan menangis kencang mendengar kisah mereka. Ada juga yang datang untuk menghakimi kisah hidup Anne selama ini. Menggodok kenangan Anne yang bercatatan merah sehingga Anne yang tidak memiliki sanggahan apa pun selain penyesalan, hanya mampu melukai dirinya sendiri sambil menangis kesetanan. Kadang mereka membuat marah, membawa obrolan omong kosong yang mengencingi rasa sayang Annelies kepada Pakin seperti bahwa Pakin telah melupakannya sebab ia merupakan Ibu yang jahat, dan Anne yang kian hari semakin ekspresif, akan meluapkan emosi itu dengan membanting seluruh perabotan di dalam ruang sambil menjerit-jerit histeris. Kemudian Anne akan kembali tertawa sebab hantu lain menyusul kehadiran mereka dengan banyolan jenaka, atau disusul oleh tangis, sebab hantu si paling sedih menawarkan penderitaan dalam kisahnya kali ini.

Emosi Annelies benar-benar dipermainkan oleh para hantu dengan masing-masing cerita mereka. Anne sungguh-sungguh menderita kesepian yang begitu mampu membuat kepalanya hampir-hampir pecah menanggung derita keparat itu, sebab hari-harinya selama ini hanya ia isi dengan kehadiran Pakin. Ia bahkan merindu masa-masa berebut nasi bungkus di musala Pak Acong, kangen adu mulut dengan pemilik warung tegal Mbak Tin, atau sekadar mengangkat telunjuk ketika Yudha kembali membully Pakin. Anne kangen waktu-waktu ia menumbuk bayam untuk dijadikan jus agar Pakin kecilnya tumbuh menjadi pribadi sehat dan kuat. Anne merasa ribang pada hari-hari ia mengajari Pakin membaca setiap koran yang ia jumpai di tumpukan sampah perkampungan kumuhnya. Kemiskinan memanglah rasa sakit yang tidak ada ampunan, tapi hidup seorang diri bertemankan sepi dan sunyi di bangsal rumah sakit jiwa, jauh lebih menyakitkan daripada semua kemiskinan yang melata di muka bumi.

Anne terus menghitung dan menghitung kendati ia kehilangan semua deret bilangannya akan kemungkinan Pakin kembali berkunjung. Matanya setia menatap jeruji tempat Pakin terakhir kali menghilang. Ruangannya gelap, dan selalu gelap seperti yang selalu ia ingat. Hantu-hantu itu kini mengidungkan tembang Nina Bobo, kelopak mata Anne berayun, ngangut menggelayut, pandangan simpang siur, dan ia sudah hampir terjatuh ke dalam mimpi ketika suara gemerincing kunci terdengar, dan bunyi decit gesekan dari besi berkarat memantul di kuping Anne, detik berikutnya suara tapak kaki masuk ruang perawatan membangunkan Anne seketika.

Anne membeku melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Ia adalah laki-laki indah yang pernah Anne lihat. Pria muda dengan kulit seputih pualam, rambut keriting yang memantul lembut, dan mata cokelat berair kue pan yang begitu ia kenal — sebagaimana ia mengenal semua rasa sakit di setiap sudut hidupnya. Anne berdiri, lalu berbisik, "Andrew?"

Laki-laki di hadapan Anne tersenyum, melebarkan kedua tangan, meminta Anne untuk masuk ke dalam pelukannya. "How have you been, Ann?"

Ouh, Tuhan, suara itu. Suara tenor yang meracuni kepalanya dalam sekali sapa. Suara tenor yang mengingatkan Annelies seketika dengan Sayap-Sayap Patah. Suara tenor yang menyeret Annelies dalam kenangan perjalanan panjang kereta api antara London — Brussels. Suara tenor yang membawa kembali kepada memori manis sekaligus pahit di bawah langit Kota Genval. Anne menjatuhkan tungkai kakinya di lantai, dan sengatan dingin dari keramik di bawahnya seketika meninju tumit sampai puncak ubun-ubun. Ia masuk dalam dekapan itu, hangat yang ditawarkan sosok tersebut kontan membuat dingin akan penantian itu meleleh seperti sebejana air suam-suam kuku.

"It's been such a long time since I've seen you. I miss you, miss you so much that I could go crazy. How did you know I was here? And how did you manage to come here?"

Andrew tidak menjawab, dan Anne tidak terlalu ambil pusing. Ia peluk erat-erat, ia hidu wangi tubuhnya rekat-rekat, kemudian ia labuhkan perasaannya dalam sebuah ciuman panjang yang penuh hasrat. Ia menyelusupkan jari-jarinya di antara helaian rambut keriting Andrew, menjambaknya, untuk semakin memperdalam pagutan. Sewaktu Anne memasukkan jari tangannya ke celana Andrew untuk menggenggam kelaminnya, sebuah pukulan keras menghantam kepala Anne hingga ia membentur brankar. Kepala Anne seketika pening, membuat sosok di hadapannya bergoyang-goyang dalam pandangan.

"Bunda benar-benar gila! Bagaimana bisa Bunda melecehkan Pakin seperti itu, hah? Memang seharusnya Pakin nggak mengikuti saran Oma yang meminta Pakin menjenguk Bunda jika harus dilecehkan seperti ini oleh Bunda lagi!"

Seketika Anne tersentak. Jantungnya bertalu-talu kencang. "Pakin?" tanyanya tidak yakin, sebab laki-laki di hadapannya sama sekali tidak seperti bocah kelas dua SD yang begitu bersemangat menceritakan cerpen pertama buatannya seorang diri. Ia jauh lebih menyerupai profil Andrew. Anne bangkit, mempertajam penglihatan. Ia kemudian maju mendekat, dan seketika hatinya bertempiar serupa pecahan kaca sewaktu pemuda yang mengaku sebagai Pakin mundur menjauh. "Mark Pakin anak kesayangan Bunda? Yang Bunda tunggu-tunggu selama ini? Ini benar-benar Mark Pakin? Ouh... Pakin, betapa Bunda sangat merindukanmu, Nak. Betapa hari-hari Bunda tidak pernah Bunda habiskan tanpa menunggumu di kamar ini seorang diri. Kamu berjanji mengunjungi Bunda secara rutin, tapi kamu nggak datang-datang juga. Nggak apa-apa, Sayang, Bunda paham. Kamu pasti sibuk belajar. Sini ke pelukan Bunda, Nak. Bunda kangen."

Pakin menggeleng kemudian tertawa kecil. "Apakah Bunda lupa pada apa yang Bunda lakukan kepada Pakin terakhir kali sebelum Pakin memutuskan untuk menjauh dari perempuan mengerikan sepertimu?"

Anne terdiam sebab ia benar-benar tidak paham apa yang dibicarakan Pakin.

"Bunda dulu juga melecehkan Pakin, bahkan hampir memerkosa Pakin. Beruntung Pakin berteriak minta tolong jadi Pakin selamat. Kupikir Bunda sudah berubah, tapi tetap saja! Bahkan sampai kapan pun Pakin yakin Bunda nggak pernah bisa berubah! Bunda membawakan neraka pada Pakin, dan Pakin mati-matian hidup agar bisa berdampingan dengan neraka sialan ini. Jujur aku muak ke sini, Bunda! Aku muak bertemu denganmu! Pakin sibuk dengan urusan kampus, tapi aku harus mengusuri Bunda yang lagi-lagi kumat sehingga melukai diri sendiri! Kenapa Bunda nggak pernah melepaskan Pakin sebentar saja, hah? Kenapa Bunda harus hidup menjadi mimpi buruk buat Pakin yang sampai kapan pun aku pergi, rasa-rasanya kedua kakiku Bunda belenggu rupa-rupa!"

"Pakin anak kesayangan Bunda sudah kuliah? Kamu kuliah di mana, Sayang? Aduh, Tuhan, anakku akhirnya bisa kuliah. Mimpiku menjadi kenyatan akhirnya. Mark Pakin kesayangan Bunda bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Sini peluk Bunda, Nak. Bunda senang sekali mendengar kabar bahwa kamu sudah kuliah."

"Aku benar-benar tidak tahu, dosa apa yang telah kulakukan di masa sebelum ini sehingga aku harus memiliki ibu gila yang suka melecehkan anaknya sendiri seperti Bunda! Bunda bahkan sama sekali nggak merasa bersalah selain justru berkata bahagia tentang pendidikan aku?" Pakin mendecih, lantas tertawa kecil. Ia mendekati Anne, menatapnya atas sampai bawah, lalu meludah tepat di kaki Anne — seperti yang sebagaimana Anne lakukan kepada semua orang yang menginjak harga dirinya. "Asalkan Bunda tahu, lebih baik aku mati daripada hidup membawa malapetaka yang Bunda ciptakan buatku dari kecil sampai sekarang! Aku jelas nggak akan pernah sanggup memiliki ibu nggak waras seperti Bunda! Tapi Bunda tenang saja, Pakin nggak pernah menceritakan bagaimana edannya Bunda melecehkan Pakin pada Oma, sehingga di mata Oma Bunda tetaplah anak kesayangannya yang penuh cinta."

Kemudian Pakin pergi meninggalkan Anne yang mematung dalam kebingungan membabi buta. Tapi sebelum ia menutup pintu, Pakin berbalik lagi, menghadapi Annelies, lalu berbisik, "Tahukah kamu, Bunda, di malam-malam neraka yang Bunda ciptakan pada Pakin datang menghampiri Pakin, Pakin diam-diam memohon kematianmu setiap detik, setiap napas ini berembus. Sebab rasa-rasanya sungguh tidak adil aku harus hidup dengan semua rasa sakit yang membuatku hampir gila, sementara Bunda nggak pernah menanggung sedikit pun rasa bersalah pada Pakin hanya karena Bunda bersembunyi di tempat ini. Aku sungguh mengasihani diriku sendiri sebab harus dilahirkan dari perempuan menderita sepertimu, Bunda. Pakin pergi, dan jangan pernah merepotkan Pakin lagi di kemudian hari."

Lo nggak mungkin membiarkan Pakin bunuh diri, kan, karena memiliki ibu gila seperti lo?

Lagian apa, sih, yang ada di pikiran lo sampai bisa-bisanya melecehkan anak lo sendiri?

Lo bahkan lebih hina dari keberadaan para binatang.

Ibu mana yang tega melecehkan bahkan hampir merkosa anaknya sendiri selain lo, sih?

Ha ha ha ha

Parah banget, sih, Ann, kelakuan lo asli. Gue kaget banget, astaga. Lo melecehkan Pakin, Ann. Dan tadi lo udah mencium bahkan memegang kelamin anak lo sendiri. Edan!

Tapi setelah neraka keji itu lo suguhkan di piring Pakin, justru anak lo-lah yang harus menyerah dari semua kebejatan lo selama ini. Apa katanya tadi? Dia ingin mati sebab nggak kuasa harus merawat ibu gila seperti lo?

Serius lo kalau membiarkan hal itu terjadi benar-benar nggak habis pikir gue.

Semua keputusan ada di tangan lo, Ann. Lo membiarkan Pakin mati atau enggak itu murni keputusan lo. Kata gue sih, kalau lo secinta itu sama Pakin lo nggak akan sampai hati membiarkannya memiliki sosok ibu gila seperti lo. Lo harus mengambil tindakan.

Tapi aku mencintai Pakin.

Jika itu cinta, kenapa yang ada justru lo melukai Pakin berkali-kali?

Aku nggak tahu. Di kepalaku dia seperti Andrew. Dia mirip banget dengan bapaknya.

Sekarang lo menjadikan Pakin sebagai bahan fantasi lo. Kalau Pakin mendengar isi kepala lo, apakah lo pikir dia baik-baik saja dan bisa terus menjalankan kehidupannya?

Seperti kata Pakin, Ann, lo itu benalu. Ke mana pun Pakin pergi, kebutuhan lo itu akan mengerangkengnya dan membuatnya kembali terpuruk untuk mengurusi lo doang. Pakin laki-laki yang cerdas, Ann. Dia memiliki masa depan cerah di depan sana. Ia akan berkenalan dengan orang terkasihnya, dan akan hidup bahagia menua bersama. Bayangkan jika lo harus ada di tengah-tengah kebahagiaan itu. Lo pikir pacarnya Pakin akan menerima keberadaan ibunya yang gila?

Jadi aku harus bagaimana?

Lo tahu jawabannya, Ann. Dan kebahagiaan Pakin jelas ada di kedua tangan lo. Berada di keputusan-keputsan lo.

Anne berjalan ke arah brankar. Ia menarik kasar seprai yang membalut, lalu mengambil satu-satunya dingklik di sana dan mengangkatnya di atas tempat biasa ia tidur. Perlahan-lahan Annelies menaiki kursi tersebut seraya membawa seprainya turut serta. Ia berjinjit sewaktu meninju satu-satunya lampu sebagai penerangan. Ruangan gelap seketika. Anne menarik paksa rangka dan lampunya yang pecah, menjebol plafon di atasnya, lantas mengaitkan seprai di kayu yang terlihat. Anne membuat tali pati, lalu memasukkan kepalanya di lubang yang ia buat dari seprai. Berbagai kilasan masa lalu terekam jelas di kepala, silih berganti datang menindih suara-suara di kepala.

"Bunda datang di Hari Pakin Dijemput Bunda. Tadi Pakin sudah was-was banget takut kecewa kalau Bunda nggak datang seperti hari itu. Pakin sampai ditegur Ibu Guru sebab Pakin tidak memerhatikan pelajaran di kelas."

"Pakin suka popcorn cokelat. Bolehkah Pakin makan ayam goreng KFC, Bunda? Pakin suka sekali kalau Bunda mengabulkan keinginan Pakin. Sejak Bunda tidak pergi bekerja ke pabrik, Bunda jarang memaksa Pakin minum bayam kocok dan sesekali membawa pulang ayam goreng. Pakin suka."

"Itu jus bayam, Pakin, cocok buat kamu."

"Tapi tidak enak, Bunda. Rasanya seperti muntahan."

"Pakin pegang janji Bunda, ya. Awas saja kalau sampai Bunda bohong! Asik! Pakin dan Bunda akhirnya bisa makan di KFC bulan depan di Hari Pakin Dijemput Bunda. Pakin tidak sabar hari itu datang, Bunda! Asik! Asik! Asik!"

"Nanti kalau besar, Pakin janji akan menuliskan nama Bunda paling indah di cerpen yang dimuat di majalah-majalah supaya dunia tahu bahwa Pakin memiliki Bunda yang hebat. Jadi Bunda tidak perlu menangis-nangis seorang diri lagi di kamar mandi kita yang dingin, sebab dunia tidak memiliki alasan untuk melukai Bunda Pakin yang luar biasa."

Maafkan bundamu, Nak, karena ternyata Bunda yang justru menikam dan memberikanmu neraka jahanam! Pakin nggak usah pergi, biar Bunda saja. Mulai sekarang Pakin tidak usah repot mengurusi Bunda sebab Bunda sudah bisa menjaga diri. Hidup Pakin masih panjang, Pakin harus hidup dan menjadi anak hebat kesayangan Bunda. Maafkan Bunda yang tidak bisa menepati janji makan ayam KFC berdua. Maafkan Bunda yang tidak pernah menjadi sosok hebat buat Pakin. Maafkan Bunda yang selalu memaksa Pakin menghabiskan jus bayam yang Pakin sebut bayam kocok. Maafkan Bunda ya, Nak, kalau Bunda melecehkan Pakin, sebab jujur, Nak, Bunda nggak bisa membedakan mana khayalan mana benar. Sejak hari Bunda diperkosa, Bunda nggak bisa berpikir dan berkonsentrasi. Bunda sayang Pakin.

Annelies memasukkan kepala di lubang seprai itu, lantas menendang kursi sebagai pijakannya. Kepalanya seketika tercekik. Tubuhnya terayun-ayun di dalam kegelapan. Sakitnya tidak mampu Annelies deskripsikan, sebab ternyata mengais napas ketika batang leher dicengkeram kuat tidak pernah ia bayangkan akan semenyeramkan ini. Lidah Anne terjulur, air liurnya menetes-netes. Ayunan tubuhnya semakin lama semakin pelan, semakin pelan sampai pada akhirnya... setelah berpuluh-puluh tahun hidup di periuk penderitaan yang tak ubahnya neraka jahanam, Annelies Kartika Paraningrat, tewas gantung diri malam itu juga.

Ia mengubur semua rasa sakitnya, ia larungkan semua pekik sakit hatinya, ia bawa pulang cintanya pada Pakin, ia lepaskan dunia yang penuh dengan hantu dan orang keji. Berita pemerkosaan yang dilakukan Jamal sampai merobek lubang vaginanya menggunakan batang sapu pun turut terkubur bersama jasadnya. Pula dengan kisah tragis pemerkosaan yang dilakukan 36 laki-laki keparat itu, mereka tidak ada yang menyuarakan sampai tubuh ringkih itu ditimbun tanah. Kejahatan itu tidak pernah menemukan pembalasan, dan kesakitan Annelies tidak pernah mendapatkan keadilan. Ia mati dalam kesenyapan paling hina, ia mati di tangan para pendosa yang menjelma orang terkasih, orang tua, perusahaan tempat kerja, kemelaratan sampai tulang iga, para tetangga yang hanya mampu mencerca, bahkan anak kandung yang begitu ia puja. Tidak ada yang benar-benar mencoba mengenali kesedihan Annelies, selain dirinya yang meratap dalam hening yang membisu. Ini adalah kematian paling nelangsa yang pernah manusia ciptakan di lingkungannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro