Bab 27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Menangis kenapa lagi, Pakin?" Annelies yang tengah sibuk menyalakan bara kayu di dalam tungku, menoleh ketika seorang bocah kurus memasuki dapur sambil terisak-isak.

"Mereka menghina Pakin nggak punya ayah, Bunda. Mereka menghina Pakin anak pembawa sial dan anak haram."

"Ck. Bunda, kan, sudah bilang padamu berkali-kali. Kalau kamu dijahati, lawan mereka satu per satu. Kalau perlu kamu tonjok wajah-wajah mereka sampai babak belur. Jangan kamu bawa tangisanmu ke dalam rumah sebab itu justru membuatmu akan semakin kalah."

"Tapi dia anak Ibu Nawang yang gemuk itu, Bunda. Si Yudha. Dijorokkinnya tubuh Pakin sampai membentur tembok dan Yudha semakin membawa rombongannya mengolok-olok Pakin."

Anne bangkit dari dingklik, berjalan ke belakang guna mengambil panci berisi air sumur untuk ia jerang di atas tungku. Setelah menutupnya, ia menghampiri bocah kesayangan itu dan berjongkok di hadapannya. Ia menurunkan lengan kurus Pakin yang menutupi matanya, kemdian memutar bola mata kesal sewaktu cokelat berair mata anaknya terlihat dari lipatan tangannya. Biji mata yang akan selalu mengingatkan Anne pada gerbang dari seluruh malapetaka dalam hidupnya.

"Ada yang luka? Sini Bunda obatin."

"Punggung Pakin sakit, Bunda. Mungkin tergores, tapi Pakin tidak tahu."

Anne mengambil obat-obatan sederhana yang ia simpan di para-para, lalu membuka kaus Pakin yang kerahnya sudah longgar ke mana-mana. Punggung seputih repihan salju itu terlihat bergarit merah. Dengan telaten Anne membubuhkan larutan salin di atas kassa untuk membersihkan luka itu, sebelum ia olesi menggunakan betadine. Setelah rampung, ia memegang pundak Pakin sehingga bocah berambut keriting itu menghadap seluruh ke arahnya.

"Kamu ingat ini kata-kata, Bunda, ya, Nak, Pakin Sayang, jangan pernah sekalipun kamu mengalah kepada siapa saja bahkan apabila mereka memiliki badan segede kingkong. Apa yang mereka berikan padamu, kembalikan sepuluh kali lipat. Tapi jika mereka menghajarmu, kamu bawakan mereka kematian. Berkali-kali Bunda bilang padamu, jangan pernah mengalah sebab dunia tidak pernah membaik kepada makhluk-makhluknya yang lemah."

Walaupun Pakin tidak tahu apa maksud Bunda, Pakin mengangguk sebab Bunda akan mengamuk jika ia tidak menjadi anak baik. Anne bangkit, memberikan pesan kepada Pakin agar segera mematikan bara api apabila air yang ia rebus telah mendidih. Ia keluar dari rumah, membawa sekepal emosi di kedua telapak tangan. Harus ada yang bertanggung jawab atas tangis dan luka yang menimpa anaknya. Tidak peduli bahwa bandit-bandit kurang ajar itu adalah anak pemilik sepetak kamar kos tempat ia menyewa, bahkan sekalipun mereka adalah anak pemilik hukum, jika mereka berani menyentuh atau membuat Pakin kecilnya menderita, ia akan mengganjarnya setimpal. Tuhan telah benar-benar pergi dari hidupnya, maka sejak langkah kakinya meninggalkan rumah di Lembang dan melahirkan Pakin seorang diri, Anne yang menjadi tuhan atas hidupnya dan Pakin. Ia yang mendatangkan keadilan itu dalam hidupnya, dengan kedua tangannya sendiri. Dan ia tidak akan mengeluh pada siapa pun. Pada apa pun.

"Yudha! Yudha keluar kau, Yud! Sini hadapin Tantte Anne! Jangan kamu beraninya dengan si Kecil Pakin! Yudha! Keluar kamu, Keparat!" Anne berteriak lantang. Perkampungan kumuh di Tangerang Selatang tempat ia melarikan diri selama ini, tampak gempar dengan jeritannya membabi buta. Warga perkampungan yang tumpah di gang sempit itu hanya menatap sekilas, lalu melanjutkan kembali kegiatan mereka. Amarah Anne yang meledak-ledak dan suka membuat onar di sana-sini sudah tersebar sampai ke seluk terpojok. Bahkan sehari saja tanpa mendengar suara muntahan Anne seperti sebuah keanehan.

Tapi Anne tidak peduli. Selama apa yang ia lakukan adalah benar menurutnya, Anne tidak akan gentar. Ia benar-benar telah menyulap pribadi putri presiden yang anggun itu menjadi anjing kelaparan. Kemiskinan ditambah kondisi lingkungan tempatnya tinggal yang jauh dari kata layak, benar-benar mampu membentuk karakternya setangguh karang. Permukiman itu di daerah Pondok Aren. Areanya tidaklah luas, namun rumah penduduk yang luasnya sejengkal tangan, tumpah ruah di sana. Dan dari ratusan bangunan di sana, mungkin hanya satu dua yang semi permanen termasuk kos-kosan Anne. Ia memang miskin sampai ke tulang belulang, tapi ia tidak akan membiarkan kemiskinan itu turut meringkusnya dalam bangunan triplek yang rentan terhadap angin, hujan, dan panas. Pakinnya bisa tumbuh menjadi anak yang gampang sakit apabila ia ajak bermukim di bangunan seperti itu. Jalanan di perkampungan itu begitu sempit, jadi sejauh mata memandang, yang Anne temui adalah orang-orang yang sama, dengan kemiskinan yang sama, dengan perkonomian yang sama, dengan keluhan-keluhan yang sama pula. Aliran listrik dan air sangat sulit di sana, jadi ketika malam-malam PLN memutus daya, ia selalu menyalakan cublik supaya Pakin tetap bisa belajar membaca dan berhitung. Sampah bertumpukan di mana-mana, membuat hewan-hewan seperti lalat, tikus, dan ular sering berkeliaran di permukiman tersebut. Sementara sungai yang mengalir di sepanjang perkampungan, airnya begitu pekat dan bau tidak sedap dari limbah keluarga. Mereka bahkan lebih busuk daripada comberan.

"Yudha! Kalau kamu tidak ke luar, Nak, Tante dobrak pintu rumahmu!" Di hitungan ketiga, laki-laki bertubuh bongsor yang kemungkinan usianya sepuluh tahun di atas Pakin, keluar takut-takut dari balik pintu berpelitur cokelat. Sekuat tenaga Anne merenggut kaus anak itu, lantas ia campakkan sampai ia menghantam tembok rumah. Mirip seperti apa yang Pakin kisahkan dalam ratapannya. Kegaduhan itu sekonyong-konyong menarik atensi pemilik rumah, apalagi Yudha mengimbuhinya dengan suara tangisan.

Induk semang keturunan Minang dengan wajah tegas bermata hitam menyala mengadang Anne. Si Nawang, yang saban awal bulan akan menggedori kos-kosan Anne meminta jatah uang bulanan.

"Kamu gila apa gimana, hah? Anak kecil kamu ajak berantem!" Nawang berseru kesal sekali, membantu anaknya bangkit, lantas melindunginya yang seakan-akan bisa ditelan Anne bulat-bulat. "Ada masalah apa? Kelakuanmu ini bisa kutuntut di meja hijau, ya, Ann! Kamu hanya pendatang di sini, jangan sok atau nasibmu akan berakhir tragis."

"Kamu tanyakan anakmu sendiri! Dosa apa ia lakukan pada Pakin? Kenapa bisa sampai anakku pulang nangis-nangis, hah? Heh, Yudha! Kamu laki-laki yang sudah gede! Jangan jadi pengecut dan katakan pada mamakmu apa yang telah kaulakukan pada Pakin."

Di antara isakan itu, suara Yudha menceracau. "Yudha hanya menyebutnya anak haram karena dia nggak punya bapak, Mak. Bukan lain. Sumpahlah, Mak. Yudha nggak bohong!"

Mendengar itu Nawang tertawa keras lalu kembali menghadapi Anne. "Dia hanya mengatakan kejujuran, lho. Pakin kan memang nggak punya ayah. Dilahirkan dari proses zina yang diharamkan agama. Kenapa kau justru marah kesetanan? Lucu kamu ini, Ann. Kalau kamu sudah tahu bahwa zina itu dasar dari semua petaka, harusnya tak kaulakukan dan berujung penderitaan pada anakmu! Itu karma yang Pakin tanggung karena punya mamak berdosa sepertimu."

"Bangsat! Kaudengarkan aku, ya, Nawang. Aku nggak peduli bahwa kamu induk semangku, dan aku hanya mengontrak di bangunan rumahmu. Asal kamu tahu, aku memang berdosa, tapi jangan mengikutsertakan Pakin. Jangan pernah menyentuh anakku! Bahkan jika memang itu dosa, aku nggak menyesal sama sekali sebab aku memiliki Pakin pada akhirnya. Dan kalau memang kamu menyebutnya karma, jelas ini karmamu karena memiliki anak setolol anak beruk ini! Tubuhnya saja gede. Tapi membaca masih lebih pintar Pakin daripada dia!"

Sebuah tamparan keras Anne dapatkan saat itu juga menyusul pernyataannya yang culas. Nawang tampak geram bukan kepalang. Ia melotot sedemikian garang. "Berani-beraninya kamu menghina anakku! Perempuan miskin! Nggak punya harga diri! Nggak punya martabat. Murahan! Mulutmu nggak pantas menyebut nama anakku! Jangan banyak berlagak, atau kujebloskan benar-benar kamu ke penjara!"

Anne terpingkal-pingkal sambil memegangi pipinya yang panas. Ia menatap perempuan di hadapannya, atas sampai bawah, kemudian meludah di kakinya sebagai bentuk penghinaan paling menyakitkan.

"Kaupikir hukum bisa kaubeli dengan harga kos-kosanmu yang reot ini, huh? Sekalipun kamu bawakan seluruh harta dari kampung keparat ini ke meja hijau, nasibmu akan tetap seperti ini! Nggak ada yang berubah." Suara tawa Anne benar-benar terdengar menyebalkan. "Jadi bagaimana rasanya sakit hatimu ketika aku menghina anakmu yang bodoh ini? Panas, bukan, dadamu? Itu adalah ganjaran karena kamu telah membiarkan aku melihat anakku merasakan sakit! Kamu boleh menghinaku, Nawang, kamu boleh merendahkanku, tapi jangan sekali pun berpikiran kamu bisa menyentuh anakku! Itu batas toleransiku jika kamu dan anakmu ingin selamat. Aku sama sekali nggak takut hukum sebab nggak ada yang lebih mengerikan daripada kemiskinan di Pondok Aren ini." Ia sudah akan berbalik, ketika sesuatu tahu-tahu melintas di balik tempurung kepalanya. Seringainya terulas. Ia kembali memindai ibu dan anak di hadapannya ini kemudian mendengus. "Lagipula, aku sudah pernah membunuh dua orang sekaligus semasa aku hidup. Jadi membunuh seorang anak kecil nggak punya otak yang dengan berani menyakiti anakku bukanlah perkara sulit. Aku nggak pernah main-main dengan ucapanku. Sebaiknya kau tahu itu."

Anne pergi, membawa ikut serta hatinya yang remuk redam. Kehidupan tidak pernah benar-benar berada dalam kata baik buat Anne. Hari di mana ia melepas keangkuhan seorang putri dari presiden, adalah hari di mana ia benar-benar hidup di hutan belantara liar dengan kemampuan bertahan hidup nol besar. Berbekal ijazah sekolah menengah dan dalam kondisi bunting, pekerjaan jelas sesuatu yang susah payah ia dapatkan. Pernah sekali waktu ia bekerja sebagai penerjemah lepas dari tabloid remaja Ibukota, atau pengisi rubrik horoskop majalah wanita yang cukup memiliki nama, pernah juga ia menjadi ghostwriter sebelum perutnya membuncit dan perusahaan-perusahaan itu harus menghentikannya karena tanggungan perusahaan untuk perempuan beranak jelas lebih besar daripada perempuan single. Jadi memangkas anggaran dengan membuang tenaga perempuan lulusan SMA bukanlah perkara sulit, toh selain Anne, banyak lulusan berijazah lebih tinggi yang jauh lebih efisien untuk direkrut di luar sana.

Hidup Anne tak ubahnnya kali di pinggiran kos-kosannya tingal; pekat dan bau comberan. Tidak ada yang benar-benar ia tunggu lagi selain Jumat yang bagi sebagian agama, ditengarai Jumat berkah. Dari Senin sampai Minggu, jelas Jumat adalah hari memperbaiki nutrisi buat Pakin. Setidaknya dalam satu pekan itu, jika beruntung, ia bisa sarapan nasi tahu tempe atau beberapa kepal pindang. Maka, pagi-pagi sekali sebelum Anne berangkat ke pabrik, ia melancong ke musala terdekat dengan senyuman merekah lebar menghadapi marbot.

"Yah, jatah Jumat berkahmu habis, Ann. Tadi ada penghuni baru yang kayaknya lebih miskin darimu jika dilihat dia menghuni kos-kosan paling reyot milik Nawang. Kuberikan saja nasi bungkus itu kepadanya. Kamu kembalilah Jumat depan. Nanti kutambahkan satu jatah nasi bungkusnya agar kalian semua dapat."

Itu pastilah bukan berita baik. Bagaimana bisa takaran tingkat kemiskinan dinilai dari bagus tidaknya kos-kosan milik Nawang? Jelas ini mendegradasi derajat kemiskinan itu sendiri. Ya, Tuhan, bahkan di lembah senista ini pun, hanya untuk sebungkus nasi Jumat berkah, Anne harus berkompetisi di antara simpatisan orang-orang miskin lainnya.

"Pak Acong, aku menghormatimu karena kulihat kamu ini rajin sekali beribadah. Doamu pasti makbul sebab Tuhan pastilah bangga memiliki umat serajin kamu. Tapi bagaimana bisa kamu memutuskan siapa lebih miskin siapa hanya dari kos-kosan yang KAMI BAYAR SETIAP BULANNYA pada Nawang, huh? Apakah kamu ingin kuberikan perincian alur keuangan bulananku agar kamu bisa menjadikannya patokan bahwa kemelaratan ini benar-benar nggak adil? Hari ini Pakin mau ujian membaca, dan dia harus mendapatkan protein yang bagus untuk mendukung nutrisi otaknya. Kenapa kamu berbuat seenak hati hanya karena jabatan yang dititipkan padamu, huh? Jangan tamak, Pak Acong. Agamamu pastilah melarang umatnya menyalahgunakan kekuasaan!"

"Buju buset, Ann, udah gila apa gimana, sih, lu? Cuma perkara sebungkus nasi orasimu ngalah-ngalahin mahasiswa-mahasiswa elit itu, astaga. Aku hanya marbot yang mengurusi kebersihan musala, dan bagaimana kaumenyebutnya ini sebagai jabatan tinggi yang bisa kusalahin, ya ampun? Kamu bisa beli nasi bungkus buat Pakin. Minggu depan kembalilah ke sini, akan aku sisakan buat Pakin."

"Cuma, Pak Acong? Kau bilang cuma?" Anne geram sekali. Ia menatap laki-laki berpeci itu atas sampai bawah, kemudian meludah. "Jika beragama dan kenyamanan yang kaudapatkan mampu membuatmu mengerdilkan kebutuhan tetanggamu yang lain, lebih baik kamu tinggalkan musala ini. Bagaimana bisa kamu menyebut dirimu bergama ketika Pakinku menanggung lapar pagi ini, huh? Aku sudah bertahun-tahun menjadi orang penerima Jumat berkahmu dan kamu masih nggak bisa mengenali tetanggamu yang ini, hah? Apakah kamu akan terus memberikan jatah nasi bungkus Pakin kepada orang miskin baru yang berdatangan di perkampungan keparat ini hanya karena aku ngekos di kos-kosan bertembok? Miris sekali karena ternyata seperti ini hasilmu berbakti pada Tuhanmu."

Pak Acong menggeleng gemas. Ini bukan kali pertama Anne mencak-mencak akibat kehabisan jatah nasi bungkus Jumat berkah. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah mendengar atau perdebatan tanpa ujung pangkal ini akan berakhir seharian utuh. Karena percayalah, jika itu Anne, urusan sekecil apa pun akan berakhir petaka. Ia cukup waras menghadapi emosi perempuan yang suka meledak-ledak ini.

"Maafkan aku, Ann. Ini sudah hampir pukul enam. Pulanglah dan berikan air gula pada Pakin. Anak itu pintar membaca, pasti nilai bacanya bagus-bagus saja tanpa makan tahu dan tempe. Minggu depan kupastikan dia mendapatkan jatahnya."

"Ini bukan perkara mendapatkan nasi bungkus tahu dan tempe semata. Ini adalah perkara harapan yang aku tunggu-tunggu dalam penderitaan seminggu utuh. Orang-orang seperti aku jangankan berharap, Pak Acong, memiliki mimpi saja kami takut. Kupikir agamamu yang paling santun ini sebaik-baiknya agama, tapi ia tak lebih dari organisasi yang paling santun pula membunuh satu-satunya harapan yang harus kami panjangkan sampai minggu depan." Annelies mendecih lantang, lalu sebelum pergi ia kembali berujar, "Kudoakan semoga kau tidak pernah disakiti oleh harapan paling melarat di sepanjang hidupmu, Pak Acong. Bahkan di dalam nasi bungkus yang kau sebut 'cuma' itu, ada setangkup kebahagiaan dari Pakin dan ibunya."

Jika berbicara masalah malu, jelas Anne telah meletakkan jubah rasa malu itu di flat tempat ia tinggal sewaktu masih di London dan sepuluh test pack di tangannya memunculkan dua garis biru. Anne pikir, bekerja sebagai relawan tidak bergaji selain jaminan makan dan tidur adalah seberat-beratnya hidup yang harus ia jalani sebelum menjalankan bisnis tambang. Tapi Anne sangat keliru. Bahkan di dalam angannya tentang kerasnya hidup, Anne sama sekali tidak pernah membayangkan akan berada di titik ia menggugat haknya dengan sepenuh tenaga atas kehadiran sebungkus nasi berlauk selembar tahu dan tempe. Jika ia masih memeluk rasa malu itu, jelas percekcokannya dengan Pak Acong yang bisa didengar satu RT tidak akan tercetus. Tapi ini masalah hak, dan Pakin yang sudah menanti-nanti datangnya hari Jumat, pasti akan kecewa sekali seumpama bundanya pulang tidak membawa nasi bungkus. Maka ketika ia melenggang pergi dari musala, kedua kakinya ia bawa ke warung tegal milik Mbak Tin.

Di hadapan banyaknya orang yang berjubel mengantre sarapan, ia melongok dan melemparkan senyum manis kepada perempuan asli Jawa Tengah itu. Sederet kalimat berisi utang sebungkus nasi buat Pakin ia keluarkan di antara mereka semua, yang — seperti biasa — dengan riwayatnya sukar membayar utang, langsung mendapatkan penolakan dari Mbak Tin.

"Ndak ada utang-utangan, Ann. Ini masih pagi, lho. Ayam saja baru berkokok dua jam lalu, dan sampean bisa-bisanya datang mau mengutang makanan. Mbok yo mikir gitu lho. Jangankan di warungku, di mana pun berada, dengan kelakuan sampean yang susah sekali ditagih utangnya, apakah sampean pikir akan mendapatkan pinjaman semudah itu? Sudahlah pergi sana. Pembeliku mau duduk itu lho."

Anne benar-benar memutar bola mata. Tatkala para pembeli sibuk memilih menu dan menyantap makanan, sementara Mbak Tin tidak memerhatikannya, Anne mengambil sebungkus roti sisir yang ada di dalam stoples diam-diam, lalu segera pergi dan pulang ke rumah. Anak kurus berambut keriting itu tengah tekun membaca Majalah Bobo — satu-satunya majalah yang mampu Anne belikan tiga tahun lalu yang sudah jutaan kali Pakin baca — lengkap dengan seragam kekecilannya yang semakin menunjukkan betapa kurusnya ia.

"Kenapa air gulanya nggak kauhabiskan, Pakin?"

Pakin menurunkan majalah, melihat Bunda dengan mata berbinar. "Pakin kembung, Bunda. Pakin mau makan nasi tahu dan tempe. Pasti enak sekali. Semalam Pakin memimpikannya dan Pakin nggak sabar untuk sarapan tahu dan tempe, Bunda." Ia melonjak gembira, memeluk tubuh Anne yang membeku.

Anne menepis Pakin dengan gerakan kaku, lalu melempar bungkus roti itu ke meja di samping air gula yang ia buat subuh tadi.

"Makan roti itu dan habiskan air gulamu lalu berangkat sekolah! Nggak ada nasi tahu dan tempe. Orang yang biasa berderma Jumat berkah ada perlu ke luar kota. Jangan merengek dan nangis! Bunda nggak pernah punya anak cengeng! Kamu harus selalu belajar untuk nggak selalu mendapatkan keinginanmu, Pakin."

Anne melintasi kamar dan berlalu ke wece. Ia menutup pintu berlumut itu lantas berjongkok, memeluk kedua kakinya dengan kedua tangan bergetar, menumpukan wajah di lipatan paha, kemudian dalam satu tempo yang begitu menyedihkan, ia terisak-isak tanpa suara di sana, tersengguk-sengguk hingga dadanya ampek sekali, tersedu-sedan dengan mulut yang ia tekap kuat. Air mata itu membasahi rok sepan yang ia kenakan. Napasnya tersendat-sendat sebab paru-parunya kesulitan menyirkulasi udara. Ketika suara kecil Pakin terdengar lantang di dapur, "Pakin berangkat sekolah, ya, Bunda. Rotinya enak sekali, tapi nasi lebih membuat perut Pakin kenyang, tapi rotinya enak sekali, jadi Pakin sangat suka. Pakin akan membawakan nilai bagus di ujian membaca buat Bunda," pertahanan itu hancur sudah. Di antara hening yang begitu lekat dengan hidupnya yang nelangsa, ia menangis hebat. Menangis sampai rasa-rasanya tidak ada hari esok, menangis sampai rasa-rasanya ia ingin menggetarkan langit tempat di mana Tuhan berada. Jika memang Dia bukanlah langgam yang biasa terdengar di radio-radio am, jika keberadaan-Nya sekudus Sang Maha Penyayang dan Maha Cinta, kenapa hidup di tanah-Nya terasa begitu penuh penderitaan? Kenapa?

Selain Jumat yang merupakan hari paling ditunggu-tunggu, hari gajian di pabrik tekstil jelas hal yang kedatangannya begitu Anne nantikan. Sebab hari ini ia akan membayar utang-utang, membayar biaya sekolah Pakin, membeli setumpuk bayam agar bisa ia buat bayam kocok yang bagus untuk kesehatan, dan membayar listrik, membayar air pam, membayar keamanan kampung, dan membayar uang kos jika masih ada sisa. Gaji Anne bukanlah setara UMR sebab ia mendaftar karyawan melalui pihak outsorching, dan sebagai jasa penyalur, mereka memotong tiga puluh persen dari seluruh gaji Anne. Jadi paling tidak gaji yang ia dapatkan dari sebulan bekerja sebanyak 600rb. Maka ketika ia keluar dari ruang bendahara dan menjumpai duit di dalam amplop cokelat itu hanya sebanyak 200 ribu, kening Anne mengernyit seketika.

Ia langsung balik ke ruang bendahara dan melempar amplopnya di meja laki-laki gempal bernama Wira di sana.

"Ke mana sisa uang 400 ribuku? Kenapa gajiku bulan ini hanya kamu ganjar 200 ribu?"

"Apa maksudmu, Anne? Ini sudah sesuai dengan jumlah absen yang kamu ceklok setiap harinya. Lihat. Kamu bulan ini tidak masuk sepuluh hari, jadi wajar kalau gajimu kupotong sesuai peraturan pabrik. Kamu pikir ini perusahaan nenek moyangmu yang bakal menggajimu utuh bahkan setelah kamu membolos sebanyak ini? Masih beruntung kamu tidak dikeluarkan! Bisa-bisanya nuntut!"

Anne mengernyit. Ini jelas permainan keparat. "Orang buta mana yang melihatku nggak masuk sepuluh hari, hah?" Anne membaca hasil ceklok absennya dan di sana memang ada sepuluh hari yang kosong. Anne menggeleng. Bahkan jika kematiannya harus disegerakan akibat penyakit yang ia derita, ia tidak akan sampai memiliki keberanian untuk bolos sehari pun. "Aku nggak pernah bolos, Pak. Kamu tanyai sana semua teman-teman sektorku. Apakah mereka melihatku menghilang selama sepuluh hari bulan kemarin? Aku nggak terima. Kembalikan gaji utuhku. Aku nggak pernah membolos."

Wira mendengus. "Aku bekerja sesuai data. Bukan menurut omongan orang. Bisa bangkrut pabrik ini kalau harus menjalankan sistem kata orang. Kalau kamu mau komplain, komplain ke petugas ceklok, kenapa sampai sistem sepuluh hari absenmu menghilang. Jangan kaugugat aku."

Oh, jadi seperti ini caranya para binatang itu bekerja? Mereka bersekongkol untuk menghancurkannya? Bahkan Anne tidak pernah membantah satu peraturan pun di perusahaan ini, kenapa kehadirannya seolah-olah membuat geram banyak orang? Anne keluar dari ruang bendahara, dan mencari petugas ceklok di antara suara mesin pabrik yang berdengung nyaring. Ia tidak peduli siapa musuhnya, uang 400 ribu itu harus ia dapatkan kembali atau malapetaka yang akan ia tanggung. Bahkan jika ternyata yang ia hadapi adalah direktur pabrik ini, Anne tidak akan mundur. Ia harus mendapatkan gajinya secara utuh.

Orang itu di sana. Area merokok dekat toilet bersama beberapa laki-laki sama-sama sampah masyarakat yang kehadirannya meresahkan. Tanpa pikir panjang Anne langsung memanggil nama pria itu dengan salakan keras. "Jamal!" Empat laki-laki di sana kontan berpaling ke arahnya. Laki-laki dengan kumis tipis dan rambut diberi minyak kelimis yang bernama Jamal melangkah mendekati Anne. "Aku nggak tahu apa gerangan masalahmu padaku, tapi jelas kamu melihatku masuk setiap hari bahkan ketika aku kena tifus. Lalu bagaimana kamu membiarkan absenku menghilang sepulu hari, hah?"

"Ya, mana aku tahu. Aku cuma petugas yang berjaga mesin ceklok. Urusan absenmu tertangkap mesin atau bukan ya kamu pertanyakan sendiri sama mesinnya. Atau pihak IT agar memeriksa apakah ada kesalahan! Aku nggak ada sangkut pautnya dengan hilangnya absenmu."

Anne mendengus. "Aku jadi bertanya-tanya bagaimana pabrik ini memproses perekrutan karyawan jika mereka memiliki pegawai dungu di sini. Kamu memang bukan mesin, tapi tanggung jawabmu sebagai petugas yang seharusnya membuatmu menginformasikan padaku kalau mesin absen nggak merekam kehadiranku jadi aku bisa mempertanyakannya ke pihak IT. Ini kamu diam saja sampai rekapan absenku menghilang sepuluh hari dan mengakibatkan gajiku dipotong 400 ribu! Aku nggak mau tahu, Jamal. Kembalikan uangku sekarang juga! Aku membutuhkan uang itu, Jamal! Anakku membutuhkan uang itu!"

"Siapa yang kausebut pegawai dungu di sini, hah?" Jamal merangsek maju menantang Anne. "Kalau-kalau kamu lupa, statusmu di sini hanyalah karyawan pihak ketiga, bukan karyawan organik. Jangan mentang-mentang kamu di sini, Ann, kamu bisa sewenang-wenang. Aku bahkan bisa mengeluarkanmu tanpa ada yang tahu!"

"Udahlah, Mal, sikat saja. Kelamaan! Biar dia tahu siapa lawannya!" Seorang kawan Jamal berseru.

"Anne montok banget, Mal. Darah blasteran nggak pernah gagal. Pasti tempiknya seputih kulitnya, dan susunya warna darah segar. Angkut, Mal. Angkut." Ceracauan itu tumpang tindih, diikuti oleh suara siulan dan mata yang menelanjangi tidak senonoh tubuh Anne. "Pengin banget gue mentokin dari pertama kali dia kerja di sini."

Sebisa mungkin Anne mengabaikan eksistensi batang-batang bodoh itu dan kembali fokus pada biangnya keparat. "Kalau kamu butuh uang, nggak kayak gini caranya, Jamal. Pencuri itu namanya! Yang butuh duit bukan kamu saja di sini. Tapi semuanya! Jangan memelihara mental miskin sementara kamu sudah memiliki jabatan. Ayo kembalikan uangku! 400 ribu, aku nggak mau tahu!"

"Keparat!" Jamal menjambak rambut Anne. Perempuan itu memekik seketika. Kepalanya seperti ditusuk ribuan jarum. "Jaga omongan lo, Ann. Jangan asal tuduh sembarangan tanpa barang bukti! Kamu salah cari musuh! Apa yang bisa dilakukan perempuan seperti kamu di sini, hah? Mau jadi jagoan? Jadi pahlawan? Kamu nggak lebih dari sekadar tumpukan sampah nggak guna, Ann."

"Udah, Mal, sikat, Mal. Jangan nunggu lama-lama. Kita pake ramai-ramai."

Mata Anne kuat menatap Jamal tanpa sedikit pun takut. Jika ia mati, matilah sudah. Para tetangganya pun pastinya akan mengasihani Pakin dan akan membawanya ke dinas sosial. Itu terasa lebih memiliki masa depan daripada hidup menderita kemiskinan seperti ini.

"Kamu nggak bisa mendebatku jadi mulai menyerangku, huh, Jamal? Bagaimana rasanya? Rasa mendapatkan kekuasaan dari menindas perempuan? Pasti enak sekali apalagi anjing-anjing di sekelilingmu menggonggong mirip anjing yang nggak pernah kawin semasa hidup. Menyedihkan! Menyedihkan sampai ingin aku kasihani mental-mental pencuri miskin seperti kalian."

Itu kalimat terakhir Anne sebelum kewarasannya kembali di ambang kematian untuk kesekian. Jamal dan ketiga kawannya menghajar Anne membabi buta di belakang pabrik; menenang, meninju, memukul, menampar, lantas memerkosanya bergantian — seperti yang mereka gonggongkan dari tadi. Mereka merojolkan kemaluan bau jamban dengan kasar sampai lecet bukan kepalang kelamin Anne. Mereka bahkan memaksa Anne mengoral batang kontol hitam mirip tai sapi yang begitu menjijikkan. Seakan masih belum puas melihat perempuan ini menderita, Jamal mengambil sapu di ruang janitor dan merunjamkan batang sapu di lubang vagina Anne. Anne memekik seketika. Rasanya luar biasa sakit, hampir-hampir membuat kepalanya pecah. Nyawa seolah lari tunggang langgang, menyisakan jasadnya yag halai-balai. Tubuhnya seperti terbelah menjadi dua. Melihat bagaimana perempuan angkuh ini sengsara, Jamal senang bukan kepalang. Ia menyodokkan batang sapu itu berkali-kali, kuat sekali, sambil tertawa-tawa mirip tapir. Setelah itu, dengan tenaga pamungkas, Jamal menusukkan batang sapu sampai rasa-rasanya mampu menembus kepala Anne, lalu mengencingi Anne ramai-ramai sebelum meninggalkan sosok itu tergolek merana di sana.

Mata Anne ketap-ketip, ia bahkan tidak tahu lagi harus menderita dan menangis dengan cara yang bagaimana lagi. Rasa-rasanya ia sudah mencoba semua gaya penderitaan dalam hidupnya. Tapi ternyata gaya itu belum kelar. Anne jadi bertanya-tanya, apakah kiranya ada lagi musim semi yang akan ia dapatkan di sisa hidupnya bersama Pakin? Jika meminta bahagia terdengar begitu lancang, bagaimana jika ia hanya minta dibuat tenang hidupnya? Paling tidak dunia di kepalanya tidak sampai seriuh sekarang.

Jadi apakah sekarang lo masih beranggapan bahwa Pakin adalah anak pembawa berkah?

Dia, tuh, sama kayak omongan Yudha, Ann, pembawa sial.

Lihat, sejak kehadirannya di muka bumi lo nggak pernah mendapatkan kedamaian sedikit pun. Kira-kira kehadirannya selayak itu diganjar penderitaan lo yang begitu membabi buta?

Dia belum lahir aja udah membuat lo diusir dari rumah paling nyaman di Lembang, bagaimana jika dia sudah besar nanti?

Kataku, sih, bunuh saja si Pakin. Toh dia nggak ada yang menginginkan bahkan sejak dia di dalam rahim.

Setelah membersihkan tubuh dan mengelap darah yang mengalir dari lubang vaginanya, Anne menyeret tubuh remuknya memasuki rumah. Anak semata wayangnya langsung memeluk kedua kakinya dengan penuh semangat.

"Lihat, Bunda, Pakin dapat nilai sempurna untuk ujian membaca! Pakin yang nomor satu di kelas Bunda! Lihat nilai Pakin, Bunda. Coba lihat sebentar dong, Bunda. Ih, Bunda, sini lihat sebentar nilai ulangan Pakin."

Berisik!

Tendang tubuhnya, Ann. Hancurkan tubuhnya sebagaimana Jamal dan anjing-anjing tadi menghancurkan lo. Ayo, Ann. Suaranya berisik sekali, kan. Lo kan jelas butuh tempat tenang setelah neraka yang menimpa lo tadi. Jangan kalem, Ann. Tendang Pakin, tendang, Ann.

Maka, Anne pun menyentak Pakin dari kakinya, dan menendang badan ringkih itu membabi buta. Wajah Jamal dan tiga temannya yang mirip anjing ada di wajah Pakin. Itu semakin membuat Anne kesetanan. Apalagi sewaktu Pakin menangis, rasa-rasanya yang terdengar adalah suara brengsek Jamal yang menilap 400 ribu gajinya. Bajingan! Anne akan melakukan segala cara agar ia bisa mendapatkan kembali uangnya! Ia butuh membayar semua tagihan, dan bagaiman hidup sebulan ke depan hanya dengan uang 200 ratus ribu? Kekerasan yang ia lakukan pun semakin hebat.

Ketika Pakin terbatuk, Anne tersadar. Ia menekap mulut, mundur sampai membentur tembok, dan melihat bagaimana kondisi Pakin kecil kesayangannya babak belur dan benjut di mana-mana. Ia menangis tersedu-sedu. Memohon ampunan yang begitu pilu sambil menyebut Bunda. Anne menggeleng ketakutan; takut padanya yang tidak membayar semua utang, takut melihat Jamal dan anjing-anjingnya, takut Pakin kesayangannya sakit dan menderita sebab kemiskinan itu benar-benar seperti nadi sangat dekat dan merekat, lalu ia keluar dari rumah, berlari seperti orang edan sementara suara-suara itu semakin riuh berterbangan di kepalanya.

Baru pukul satu dini hari Anne kembali ke rumah. Ia melihat tubuh anaknya yang hampir-hampir busung lapar tengah meringkuk memeluk guling terepes yang sudah dimakan ngengat. Anne mengambil obat-obatan di para-para, dan mulai mengobati tubuh kecil itu dengan penuh hati-hati. Setelahnya ia mencium setiap luka yang ia buat di badan Pakin dengan ciuman paling nelangsa. Mungkin karena masih jamnya tidur, juga sakit akibat babak belur, tidur Pakin tidak terusik sama sekali oleh perlakuan Anne. Matanya tetap terpejam, membuat barisan bulu matanya yang lebat berbenturan lembut dan tebal.

Ouh, Tuhaaan. Betapa Anne sangat mencintai malaikat kecil ini. Pecah tangis pertamanya ketika digendong bidan setelah persalinan adalah langgam paling merdu yang pernah ia dengar di dunia. Jari-jari itu begitu kecil, begitu rapuh, begitu merah bayi, begitu butuh perlindungan, dan Anne menciuminya seperti tidak pernah mengenal ciuman di sepanjang ia hidup. Pakin adalah cinta pertama yang Anne kenal, Pakin adalah kehidupan itu, Pakin adalah kekekalan itu, Pakin adalah kekalahannya terhadap dirinya sendiri. Hanya karena sumpahnya yang ia buat kepada sang Ibu, membuat Anne menumbuhkan Pakin dengan tampang galak seperti ibu tiri.

"Maafkan, Bunda, Pakin. Maafkan Bunda." Dan tubuh sang kekasih yang kini rasanya hanya kulit membalut tulang, ia dekap dalam pelukan paling nelangsa. Ia rasakan deru napas Pakin yang begitu teratur. Ia dengar suara detak jantungnya yang sangat tenang. Lantas ia jatuhkan ciuman paling sekarat di atas puncak kepalanya. Wangi melon dari sampo yang dikenakan Pakin seperti serbuk ganja yang begitu memabukkan kepala. Anne bahkan rela dilahirkan untuk kesekian kali dalam cengkeraman kemiskinan asal Pakin ikut serta. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hidup akan berjalan tanpa Pakin di sana.

Sakit yang ia derita akibat perkosaan itu, liang vagina yang rasanya pedih bukan kepalang hingga mampu menghancurkan kepala, perut yang seperti dimasukkan ke dalam mesin penggiling, lebur sudah ketika ada Pakin dalam pelukannya. Ia menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan-lahan, lalu terisak-isak dalam tangis paling sunyi sebab ia tidak ingin membangunkan Pakinnya, membangunkan anaknya. Rasanya tidak mampu ia definisikan. Karena jika itu sakit, kenapa ia tidak memiliki batas? Kenapa ia terasa begitu lepas? Ia menciumi ubun-ubun Pakin lagi, sekali lagi, berkali-kali sambil terus merapalkan matra, "Bunda mencintaimu, Pakin. Mencintaimu dengan sangat!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro