Bab 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Anne membuka halaman 25 novel di pangkuannya ketika seorang laki-laki mengempaskan pantat di kursi di hadapannya. Anne bisa melihat sekilas sosok itu tanpa memiliki keinginan untuk mendengak. Barisan kalimat puitis dengan metamorfosis bertebaran di mana-mana mengharuskannya tekun supaya ia tidak kehilangan maksud dari cerita. Ini bukan kali pertama Anne mengkhatamkan novel tersebut. Tapi tetap saja, waktu-waktu membaca adalah waktu-waktu sakral yang tidak boleh diganggu bahkan ketika ia tengah berada di kereta yang akan membawanya ke Brussels.

"Looks like a good book." Sebuah suara tenor seorang laki-laki menyapa telinga Anne ketika ia tanpa sengaja mengangkat novelnya.

Anne spontan memalingkan wajah kepada si empu suara, keningnya mengernyit pertanda sebuah pertanyaan terpelanting di dalam tempurung kepala. "Pardon me?"

"Oh, my bad for interrupting your reading, Miss. I apologize." Pria itu sedikit membungkuk mendapati respons Anne yang justru tampak memberikan pertanyan. Kening Anne kian mengerut dalam. "I just glanced at the book's cover, and it looks interesting."

Baru setelah Anne mendapatkan titik koordinat dari apa yang laki-laki itu ceracaukan, ia mengangguk paham. Membetulkan kacamata baca, Anne menimpali, "Just a light romance novel, Sir. Nothing special."

"But the way you're so into your reading, it's a different story. It's like the world stops around you, leaving just you and your book."

Anne tersenyum kecil. Niatnya untuk meneruskan membaca seakan-akan mengalami kendala melihat bagaimana atraktifnya orang ini mengajak bicara. Anne tidak begitu menyukai interaksi dengan orang asing ketika traveling, karena baginya itu hal yang cukup membuang-buang energi. Tapi pria ini lain. Dari sekian banyaknya stranger yang ia temui, mungkin hanya dialah yang menyinggung buku dalam topik obrolan. Dan sebagaimana ia hidup di lingkungan yang menjadikan buku sebagai pemujaan, jelas hal tersebut cukup menarik.

"The Broken Wings, Khalil Gibran, A novel you absolutely have to read, at least once in a lifetime! So you know that love can be that beautiful even if it ends tragically." Anne memperlihatkan sampul bukunya kepada dia. "Gibran's portrayal of his genuine and deep love is so honest that it truly moves me."

"From your description of the love in the novel, it seems like I can capture its beauty."

"Is there something off about the way I explained it?" Anne bersiaga, takut jika tanpa disengaja ia membuat kesalahan. Ia memang tidak suka berinteraksi dengan orang asing, tapi ketika ia memutuskan untuk memulai, jelas ada begitu banyak ragu dan takut yang bisa saja tanpa ia sadari mencoreng citranya. Apakah ia bertutur dengan baik, apakah ada yang tersinggung dengan ucapannya, apakah penampilannya buruk yang membuat orang menjadi ilfeel? Jenis-jenis pertanyaan seperti itu acapkali menggempur kepala tatkala ia harus bersosialisasi. Dan memerangi mereka bukanlah proses menyenangkan.

"No, no, that's not what I meant. You didn't mess up at all; it's just that you're really vibing with this book. It feels like you've flipped through its pages a gazillion times. But, even though you've been on this reading rollercoaster multiple times and you're still rocking that same excitement, doesn't it just scream out how much you're crushing on the author and their words?"

Oke. Untuk penampilan pertama, satu yang jelas; pria ini sesuatu. Cara dia mengamati gesturnya bahkan hanya dari beberapa menit mereka berinteraksi, cukup untuk menggambarkan betapa ia bisa sangat menarik, tapi juga mampu menikam tajam. Senyum Anne tersimpul.

"You're spot on, sir. I think I've read this book like ten times."

"A number that I really shouldn't be shocked about."

Kekehan Anne terlempar kecil. "Apakah gadis di depanmu sekarang sudah cukup terlihat maniak pada buku romans?"

"Terlihat seperti sebuah dedikasi menurut pendapatku. Buku tidak pernah mengenal penghakiman. Kau bisa mencintai romas paling picisan daripada buku sejarah dunia tanpa perlu mendegradasi integritasmu. Kau bisa mencintai tulisan erotis dan menggilainya daripada buku sains dan teknologi tanpa menjatuhkan intelektualmu. Buku memang membuka jendela dunia, but it's you who decides who you are."

"Your take on that read is seriously cool. I vibe with your opinion. Bagiku buku adalah makanan jiwa. Seberapa buruk nilai sebuah buku, selalu ada sesuatu di dalamnya. Kendati penulis itu sendiri hanya menciptakan kejahatan semata, tapi ketika bukunya telah jatuh di pasar, maka ia sudah bukan lagi miliknya. Ia milik para pembaca dan interpretasi itu hanya dimiliki masing-masing orang yang membacanya."

"What interpretation did you get from 'The Broken Wings' that makes you praise it so much?"

"You know what's funny? Every time I read this book, my interpretation is different. The first time, my take was A. The second time it was B, and the third time, they were like C. They're like puzzle pieces, and maybe they'll come together as one big concept someday."

"Sounds really intriguing." Dia berdeham, membetulkan posisi duduk supaya lebih nyaman untuk konversasi yang di luar ekspekstasi ini. "Can you spill the beans on each of the interpretations you've got so far since you've been reading it?"

"Pertama kali aku membaca jelas aku menemukan ketulusan cinta dari Gibran. Apalagi cara dia menarasikan cinta itu sendiri. Aku bahkan bisa berlutut di hadapannya." Anne membuka novel, mencari halaman yang dimaksud, kemudian tersenyum sebelum membacakan, "Oh, sahabat-sahabat masa mudaku yang tersebar di Kota Beirut, jika kalian melewati makam di hutan pinus, masuklah tanpa bersuara dan berjalanlah perlahan sehingga langkah kalian tidak mengganggu orang tidur mati, dan berhentilah dengan rendah hati di pusara Selma dan sapalah tanah yang menutupi jasadnya dan sebut namaku dengan tarikan napas yang dalam dan katakan pada diri kalian sendiri 'Di sini semua harapan Gibran, yang hidup sebagai tawanan cinta melampaui lautan, dikuburkan.'"Anne berhenti mengutip dan ia tertawa lebar. Tawa yang membuat pipi gembilnya menggembung menggemaskan, tawa yang membuat barisan gigi putihnya terpampang jelas, tawa yang membuat hitam matanya hampir-hampir menyipit di balik juntaian poninya yang terbaring di dahi.

Ada sesuatu yang memeluk pria di hadapan Anne sewaktu melihat bagaimana gadis itu tertawa. Kecantikan yang berpendar di wajah segar sang kawan perjalanan benar-benar mamukau. Sanggup mengisap semua atensi. Ia sampai-sampai merasa mampu meruntuhkan segenap keangkuhan dalam badan. Tawa itu sangat lugas, polos, dan begitu kalis. Sama sekali tidak ada keinginan untuk menunjukkan seberapa hebat ia. Tidak ada tendensi untuk merendahkan si pria yang sama sekali buta akan dunia picisan. Ia seperti membuka kedua tangan, dan mengulurkan sebuah perkawanan tanpa sebuah alasan. Begitu sederhana. Begitu melena.

"But the sad part is, you know, the love I got from it turned into heartache when I read it for the second time. Sebuah sakit yang membuatku bertanya-tanya, kenapa jika itu cinta bisa berujung pada penderitaan yang begitu pilu? Apabila Tuhan adalah sebenar-benarnya keindahan, kenapa harus ada rasa sakit atas nama cinta? Ketika Gibran bahkan masih menangis dan meratapi Selma saat perempuan itu sudah selesai dimakamkan, saat itu aku merasa bahwa mungkin ada kesalahan. Atau memang sebenarnya penggambaran cinta adalah seperti itu? Mereka saling menggenggam rasa sakit? Karena sejatinya bagiku sama sekali tidak adil. Gibran tidak memiliki kepemilikan atas Selma, dan masih diganjar oleh kematiannya yang begitu menyesakkan."

"Bukankah itu sudah menjadi hukum alam?" Pria itu berargumen. "Love is never on the same page as ownership. Karena cinta adalah ruang. Ruang di mana kau memberikan kebebasan kepada orang yang kaucintai agar menjadi apa yang mereka inginkan. Sementara kepemilikan itu sendiri adalah racun yang akan merusak sebuah hubungan. Dalam proses pemberian ruang-ruang itu ada pintu-pintu berujung bahagia dan buruk rupa. Kita jelas tidak bisa memaksa pasangan kita memberikan pintu kebahagiaan kepada kita apabila takdir justru membuat keduanya berujung penderitaan. Dan kita tidak tahu kepedihan Gibran adalah rupa apa? Bisa jadi itu sebuah cobaan yang diberikan Tuhan dalam proses pendewasaannya menjadi manusia. Cobaan dalam bentuk penderitaan dan perpisahan. Bisa jadi hasil dari pilihan-pilihan yang dia ambil dalam proses penciptaan cintanya kepada Selma. Takdir kita memang sudah ditulis jelas, tapi ada takdir-takdir yang di dalamnya kita diberi kebebasan untuk memilih seperti apa hidup kita."

"Itu adalah pandangan yang menarik tentang cinta dan kepemilikan." Anne manggut-manggut setuju. Diam-diam dia menyukai obrolan ini lebih dari apa pun. Jelas pria di hadapannya melebih label sesuatu yang dia sematkan tadi. Pandangannya benar-benar mampu membelai keakuan Anne akan sebuah hubungan. "Namun, dalam beberapa situasi, ada kebutuhan untuk 'memiliki' sebagai tanda kebersamaan. Mereka di antaranya bisa jadi mencakup tanggung jawab terhadap satu sama lain, rasa aman, dan komitmen. Mungkin menurutmu kepemilikan bisa merusak hubungan, tetapi bagiku, itu bisa menjadi aspek yang diperlukan dalam pembentukan ikatan yang kuat. Dan bukankah lebih baik tidak mengenal sama sekali daripada menderita sakit hati seperti Gibran? Proses pendewasaan bisa didapat dari mana pun, sebab alam adalah sebuah buku yang terbuka. Aku tidak harus merasakan sakitnya jatuh ke jurang hanya untuk menakar rasa sakitnya, bukan?"

"Jika kita berbicara masalah cinta, kita tidak bisa memisahkannya dari akal. Sebab akar dari akal adalah cinta itu sendiri. Sementara akal adalah dunia di kepala kita." Dia menunjuk buku yang ada di pangkuan Anne, dan Anne mengikuti arah tunjuknya. "Ketika kau mampu menyebut yang kaupegang adalah buku, apakah itu adalah benar-benar sebuah buku yang dialami? Tidak. Tapi cahaya menempel di buku, masuk ke mata, direflesikan ke otak untuk diterjemahkan menjadi sebuah buku. Artinya dunia di kepala. Cintanya Gibran tergantung kepada dunia yang dia ciptakan di kepala seperti apa. Itu adalah dua dunia berhubungan. A jadi B, B membangun A, seperti kaki kanan dan kaki kiri. Ketika dia mencintai sesuatu, dia akan belajar sungguh-sungguh, kemudian dia tahu aspeknya, yang akan memperkaya akalnya dan memperluas alamnya. Ketika alamnya sudah luas, cintanya akan berubah. Kenapa? Karena dia memiliki pemahaman yang lebih."

"Aku sepakat bahwa ada keterkaitan erat antara persepsi dan pemahaman kita terhadap dunia luar dengan apa yang kita rasakan dalam hati kita, termasuk dalam konteks cinta." Anne menjabarkan pandangannya dengan lebih antusias. Ia jelas akan mengenang perjalanannya kali ini dalam hati, sebab ledakan kejut yang ia dapatkan dari teman mengobrolnya tidak mampu dilipirkan. "Ketika seseorang mencintai sesuatu, minat dan rasa ingin tahu mereka dapat mendorong mereka untuk memahami aspek tersebut dengan lebih mendalam. Ini bisa membawa pemahaman yang lebih baik tentang subjek tersebut. Namun yang perlu diingat bahwa, cinta adalah perasaan yang kompleks dan seringkali sulit dijelaskan secara ilmiah atau rasional. Meskipun pemahaman yang lebih dalam tentang objek cinta dapat memperkaya akal dan memperluas pandangan, cinta juga dapat melibatkan aspek emosional yang sulit dipahami secara sepenuhnya. Terlepas dari itu, pandangan bahwa cinta dan pemahaman saling memengaruhi adalah konsep menarik yang mengingatkan kita akan kompleksitas dan kedalaman hubungan manusia. But I'm not disputing your idea about the connection between reason and love, Sir. It's something new to me, and I'd be happy to learn more about it."

"Reading seems to have truly opened up your heart space."

"What does it even mean to open up my heart space?"

"Rolling with different opinions is a heart thing. Our heads, where all that human ego hangs out, tend to be a bit stubborn about embracing differences. But, you just vibe with my perspective without digging too deep into the why."

Tidak dimungkiri, pipi gembil Anne merona. Ia tersenyum canggung, kemudian memalingkan wajah ke daerah Tenggara Inggris. Jika ditilik dari posisinya, sebentar lagi kereta yang Anne tumpangi akan melewati Terowongan Channel di Folkstone sebelum memasuki wilayah Prancis Utara.

"Because to me, other people's minds are just like the books I read. They open up if we open up, and each openness will give me a deeper understanding of life and humanity itself. Dan aku suka keduanya. Membaca buku dan pikiran orang lain."

"Wow, it seems like a sign that I should be careful so you don't get a chance to read my mind, huh?"

Kedua manusia itu tertawa.

"So, what other interpretations have you got from 'The Broken Wings'?"

Anne tampak berpikir sejenak, membolak-balik halaman buku novelnya, lalu berujar, "Bahwa ternyata proses kepercayaan kita kepada Tuhan bisa sangat berbeda dengan keagamaan itu sendiri."

"Seriously? You got that kind of intricate insight from a book you said was just a light cheesy romance? Are we still talking about the same book?"

"Seriously, you can trust my words, Sir." Anne terkikik. "Well, you know, sometimes a book surprises you a lot. It's like finding hidden depths in unexpected places. Dan Sayap-Sayap Patah akan mengajakmu menemui fantasi-fantasi mengejutkan di dalamnya di luar ekspektasimu."

"Ceritakan kepadaku. Aku sepertinya sangat tertarik."

"Ini adalah bagaimana praktik keagamaan itu bisa sangat berbeda jika kepercayaan yang kauanut dicampuradukkan sama kepentingan manusia. Selma dipisahkan dari Gibran karena dia mendapatkan lamaran dari kemenakan Uskup. Sang pemuka agama. Dan di masa-masa penulisan ini, perintah Uskup adalah mutlak. Ayah Selma jelas jemaat yang taat, sementara tujuan Uskup menikahkan kemenakannya kepada Selma hanya untuk harta sang ayah. Cara mereka mencampuradukkan urusan pribadi dengan agama itu adalah kejahatan. Agama jelas keimanan kepada Tuhan yang murni datangnya dari langit, tapi prosesnya bagi sebagian pihak butuh disesuaikan untuk mendapatkan keuntungan. Itu sungguh perbuatan merugikan pihak lain. Bahwa yang mereka lakukan tak ubahnya mencoreng agama itu sendiri dan melahirkan penderitaan yang tidak seharusnya diterima Gibran dan Selma."

"Jelas, sih, ketika agama digunakan untuk mencapai tujuan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etika dan moral yang seharusnya dipegang dalam kepercayaan tersebut, itu dapat merusak martabat agama itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan penderitaan dan ketidakadilan bagi individu atau kelompok yang terlibat. Dalam hal ini Gibran dan Selma." Pria itu memungkasi penjelasannya dengan senyuman menawan. "I have something to confess, Miss."

"So suddenly?" Anne benar-benar tidak mampu menyembunyikan ketertarikan dari suara tawa pria di hadapannya. Ia tersenyum melihatnya tergelak.

"This is the most intriguing ride back home I've ever had. Who would've thought that just from a book, we could open up to each other?"

"So, after our long chat, you finally admit that your home is in Brussels, huh?"

"Oh, wow, you've been waiting for me to tell you about my journey? Quite unexpected."

"There's nothing wrong, right? I'm just an ordinary human. And a good-looking stranger with such a broad perspective sure caught my attention."

"Hold your horses."

"Yang mana?"

"Aku orang ganteng."

Anne mendengus. "Kupikir orang sepertimu tidak membutuhkan validasi dariku."

"I'm just an ordinary human." Ia tertawa lebar melihat perempuan di hadapannya memutar bola mata terang-terangan. "Well, it took a while to get there, but yeah, Brussels is where I call home. Dan sebagai penduduk asli sana, aku cukup familier dengan orang-orangnya. Kau jelas bukan salah satu bagian dari kami. Asians?"

"Such a shot in the dark."

"Melakukan agenda traveling, belajar, atau...."

"I'm gonna volunteer at a farm."

"Gosh. I was taken aback. Peternakan di mana? Aku mengenal ujung Brussels dari sudut ke sudut."

"Wow, by saying that, you're making me hesitant to reveal which farm it is."

"Apa ruginya memberitahuku peternakan yang mana? Aku bisa menjadi tour guide-mu kalau kau sedang berlibur. Akan kuajak kau ke tempat-tempat di mana para turis tidak akan mampu menemukannya."

"Kedengarannya menyenangkan. Tapi aku lebih suka solo traveling. Biarkan aku merasakan terkejut dari penemuanku terhadap hal-hal yang mungkin bagi Bruselar adalah hal biasa. Itu tempat baru bagiku. Bahkan pancuran airnya bisa menjadi tempat bertamasya yang indah."

Pria itu benar-benar terpingkal dengan kalimat Anne. Ia melempar pandangan ke luar jendela. Kereta sudah melewati Mons dan sebentar lagi akan memasuki kawasan Hainaut sebelum kembali berhenti sejenak di Braine-le-Comte. Brussels menunggu di hadapan, dan kehidupan menyenangkan di hari-hari liburnya pun tinggal menunggu menit demi menit sebelum ia kembali menjalani rutinitas yang membosankan. Tanpa sadar ia mendesah kecil. Semua gestur itu ditangkap Anne, tapi ia hanya mampu menelannya. Kehidupan pribadi dari stranger adalah hal yang sebisa mungkin ia hindari. Sebab tautan emosi tidak pernah ia persilakan kepada orang yang tidak ia kenal kendati orang tersebut memiliki dunia beserta isinya di dalam kepala.

"Jadi kita akan sampai di kota tujuan kita. Apakah kau tidak ingin berkenalan denganku?" Pria itu bertanya kemudian. "Ini akan sangat menyenangkan memiliki teman mengobrol sepertimu. Kau bisa menceritakan padaku lebih banyak buku yang akan kita diskusikan di kemudian hari."

Anne tersenyum. "It would be more fun if we didn't get to know each other better. Biarkan pertemuan singkat kita diabadikan seperti ketika kau tengah meminum kopi dengan sekeping kue lemon. Ia nikmat, tapi hanya mampu dinikmati untuk sesaat."

"But what if we run into each other down the line?"

Perempuan itu terdiam. "Maka biarkan alam yang memberikan jawabannya."

Mereka benar-benar berpisah di stasiun Brussels. Sebuah mobil sedan tengah menunggu pria berambut ikal tersebut, dan langsung membawanya pergi begitu Anne melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. Anne melihat kembali catatannya. Maka yang perlu ia lakukan sekarang adalah mencari bus yang akan membawanya ke desa Genval sebab sudah tidak ada jadwal kereta yang menuju ke sana.

Volunteer bagi Anne bukanlah sebuah hal baru. Semenjak ia melanjutkan pendidikan di LSE dua tahun lalu, hari-hari liburannya selalu ia gunakan untuk volunteer. Ia sudah pernah ke Italia, pedesaan-pedesaan di Prancis, maupun di London itu sendiri. Memiliki orang tua berkecupukan adalah sebuah anugerah, dan Anne tidak akan menyianyiakan anugerah itu untuk mengeksplor dunia dengan kedua kakinya. Ia suka sekali bertualang, menghabiskan perjalanan panjang dengan membaca buku sambil mempelajari budaya dari setiap desa yang ia tuju. Bekerja suka rela bukanlah perkara besar kendati ia dilahirkan dengan berlilitkan sendok emas. Ibu yang memiliki etos kedisiplinan tinggi jelas berhasil mendidik gadis itu menjadi sosok mandiri. Dan Anne diam-diam tidak pernah menyesali kegalakan Ibu dalam proses pengajarannya. Karena ternyata hal itu begitu bermanfaat ketika ia belajar dan bekerja di negara orang.

Genval adalah sebuah kota kecil yang terletak dekat Danau Genval di provinsi Walloon Brabant. Provinsi ini berbatasan dengan wilayah Brussels-Capital dan juga berdekatan dengan Provinsi Hainaut. Anne tidak pernah mendengar nama kota ini sebelum organisasi pengampu para volunteer memasukkannya dalam tujuan para pekerja sukarela.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, decak kekaguman Anne tidak sanggup disembunyikan. Meskipun tergolong sebagai kota kecil, bangunannya memiliki arsitektur klasik Eropa yang indah. Mereka mencakup elemen-elemen seperti dinding bata, atap berbentuk mansard, jendela besar dengan bingkai kayu, dan detail arsitektur lainnya yang menambah pesona kota. Bangunan di Genval cenderung memiliki palet warna tradisional, seperti putih, krem, kuning pucat, atau merah bata. Perpaduan penggunaan kayu sebagai elemen dekoratif dan warna-warnanya membuat Genval memiliki sentuhan pedesaan. Pepohonan seperti linden dengan daun berbentuk hati, dan birch yang memiliki kulit putih khas dan daun lebar dengan tepi bergelombang, tertata rapi di sepanjang jalan. Kota ini dikelilingi hutan, kebun, dan Danau Genval itu sendiri yang menjadikannya begitu sejuk, ramah, dan tenang.

Hampir sebulan sejak perjalanan menakjubkan dengan stranger yang sama menakjubkannya, Anne tampak begitu betah di Genval. Pekerjaannya benar-benar menyenangkan. Dari ia mulai mengenal volunteer, ini adalah kali pertama ia bekerja di peternakan. Pagi-pagi ia akan disibukkan dengan memberi makan dan minum ternak; sapi, kuda, ayam, dan kambing. Menjelang siang, ia mengajak hewan ternak untuk merumput di ladang sementara ia akan membersihkan kandang; menimpal kotoran, mengganti jerami atau serbuk gergaji, dan menjaga agar kandang tetap bersih dan sehat. Kadang jika waktunya bertelur, ia pun akan aktif dengan mengumpulkan telur dan mengganti telur asli dengan artifisial agar induk ayam tetap merasakan proses pengeraman. Setelah itu semua selesai, ia akan berkebun; merawat tanaman, seperti mengairi, menyiangi gulma, atau memanen hasil panen. Sorenya ia ditenggelamkan dengan kesibukan membersihkan peralatan yang dipakai seperti traktor atau alat pertanian lainnya.

Kadang ketika akhir pekan tiba, dan para turis mulai berkunjung, Anne diminta menjadi guide yang akan mengajari mereka tentang peternakan atau memberikan tur — untuk pekerjaan di akhir pekan seperti ini, Anne biasanya diberi gaji oleh bosnya. Di hari-hari tertentu, jika peternakan bekerja dengan kelompok-kelompok sosial atau memiliki proyek sosial, Anne diminta membantu untuk mendistribusikan makanan atau menyelenggarakan acara sosial.

Kelihatannya sangat sibuk dan seolah-olah tidak ada hari libur. Tapi Anne sungguh-sungguh menyukainya. Setiap kali ia menelepon Ibu atau Ayah, Anne akan bercerita dengan semangat menggebu-gebu. Ia sangat mencintai hidupnya. Mereka terlalu sempurna dan Anne sendiri tidak tahu harus bersyukur dengan cara apa lagi atas pemberian yang Tuhan curahkan kepadanya.

Ia tengah menikmati escargot saus lada hijau dengan segelas jus lemon segar ketika tengah menikmati hari liburnya di kafe dekat Danau Genval bersama host — pemimpin organisasi tempat ia melamar menjadi relawan — pemuda kelahiran Lacock (daerah di bagian tenggara Inggris, sebelah barat daya kota Chippenham di Wiltshire).

"Darn! The farm owner is coming this weekend."

"Huh? You mean Olivier Rousseau?"

"Oh, girl, Mr. Rousseau isn't the owner. He's just the head caretaker."

"Wow, I just discovered that he isn't the actual owner!" Anne menyeruput jus lemonnya dan mendesah lega sebab sekarang adalah puncak musim panas. Hal-hal yang berhubungan dengan pengarian di kerongkongan adalah hal yang begitu ia damba. "Who is the actual owner, and what's bothering you?"

"Because he's a real monster. He's going to complain about everything, from cleanliness sometimes to food quality, even to the livestock's drinking water concentration. Yang paling menyebalkan adalah ketika dia ingin berkuda dan si Roger tidak berada dalam kondisi prima."

Sebagai informasi, Roger adalah nama salah satu kuda mustang yang besar dan begitu tangguh. Pertama kali Anne merawatnya, ia cukup kewalahan sebab ia begitu lincah dan terlalu kuat untuk ia kuasai. Tapi seiring berjalannya waktu, kuda tersebut tampaknya luluh dengan Anne. Melalui sentuhan tangannya, ia bisa sangat tenang dan menurut.

"Dan ia akan membuat kita melewatkan jam makan siang juga jam camilan sore selain bekerja dan bekerja. Aku benar-benar ingin menghilang saja rasanya. Kau tahu, Ann, dalam malam-malamku yang ganjil, kadang aku mendoakannya segera diakui sebagai anggota keluarga kerajaan dengan hak-hak pewarisan tahta yang sama, daripada harus menjadi keturunan dengan memiliki status yang lebih rendah dalam garis suksesi tahta. Sebab dengan statusnya yang sekarang, dia dibebaskan tugas dari tanggung jawab yang harus diampu oleh pangeran utama, yang menjadikannya bisa pergi ke mana pun untuk mengurusi harta kerajaan sampingan."

"Hey, hold on, buddy. 'Kingdom' and 'prince'? We were talking about the farm owner, right? Did I get that right?"

"Oh God, I forgot how annoying you can be, Ann."

Anne memutar bola mata kesal. "Just in case you forgot, you're hosting me, right? So it's your responsibility for all the info that goes into my head."

"Oh, you're right. My bad, sorry." Laki-laki itu terkekeh kecil, membuat Anne berdecal sebal. "Yang aku maksud adalah Andrew-Pierre Dupont. Dia satu-satunya keturunan yang dimiliki Raja Belgia dengan istri keduanya. Peraturan kerajaan membuatnya terdepak dari penerimaan hak-hak pewarisan sebab Ratu dan kedua anaknya bersedia menerima semua hak-hak pewarisan tahta. Ini terlalu rumit untuk dijelaskan. Garis besarnya, Pangeran Andrew adalah sosok yang harus kaujauhi jika kau ingin selamat."

"Seems like he's really irritating."

"Indeed."

Yang di mana kengerian itu semua berakhir dalam rasa kejut yang tidak mampu ia sembunyikan ketika laki-laki berambut ikal itu memasuki kandang saat ia tengah membersihkannya. Ia masihlah sama seperti laki-laki cerdas sebulan lalu yang ia temui di kereta sebagai teman seperjalanan. Sosoknya tinggi dengan badan bidang dan tegap. Rambutnya berwarna pirang keemasan, terlihat begitu lentur dan lembut, bergelombang keriting yang sangat cocok untuk bentuk mukanya. Rahangnya terpahat tegas nyaris siku-siku dengan cambang tipis yang justru membuatnya tampak semakin maskulin. Kedua pipinya yang merona merah akibat panggangan sinar matahari, memperlihatkan jelas bintik-bintik wajahnya. Ia memiliki alis pirang yang lebat, hidung bangir yang meninggi di cupingnya, dan bibir tebal dan lebar yang terlihat seperti kepingan roti sisir yang memantul-mantul baru dikeluarkan dari pemanggang.

Anne menahan napas, matanya hampir-hampir menggelinding.

"I guess it's interesting to see where life takes us now that we've reunite." Laki-laki itu berjalan mendekati Anne dengan tawa lebar yang masihlah sememikat bulan lalu. Ia memakai riding attire lengkap mulai dari kaus press body yang memperlihatkan bongkahan-bongkahan dada menyesatkan iman dan memamerkan hasil olahan fisik berupa triseps dan biseps yang membuat gegar otak, celana yang membungkus paha rampingnya, sepatu penunggang kuda, sambil menenteng sebuah helm pacu. "And now, who's the girl that got me falling in love with The Broken Wings last month?" Ia mengulurkan tangan.

"My hands are dirty, Your Highness."Anne menunduk. Laki-laki di hadapannya benar-benar terpingkal.

"Where did that lively and enthusiastic girl I met last month disappear to?"

Anne masih memandangi ragu uluran tangan itu. Jujur saja ia masih begitu terkejut dengan bagaimana takdir memiliki alurnya. Di antara jutaan kemungkinan yang bisa saja terjadi, mendapati stranger itu adalah pemilik peternakan tempatnya bekerja, yang kebetulan juga adalah pangeran kerajaan sungguh-sungguh sesuatu yang sulit diterima akal sehat. Ia menggigit bibir bawah. Bingung harus berkelakuan seperti apa supaya tidak menjatuhkan harga diri dan membuatnya tampak bodoh.

"Just throw all the politeness out the window and give me that bespectacled girl back." Sang Pangeran menatap Anne gemas saat pada akhirnya gadis itu mengangkat kepala. "Come on." Ia mengedik, menatap uluran tangannya.

Masih menggigit bibir, Anne menyambut jabatan tangan pria tersebut. "Annelies Kartika Paraningrat. But please, just call me Anne or Ann."

"In that case, forget the noble titles you've bestowed upon me and start calling me Andrew. I kindly request no objections. And please, bring back your cheerful smile from last month. Aku begitu kesulitan mengenali versi yang galak ini, Ann."

Anne mendengus, dan Andrew kian terpingkal melihatnya. Ia mengajak Anne berkeliling kandang untuk melihat-lihat kondisi kuda. "Oh, so you're the farm's snack-time tyrant, huh?"

Laki-laki di sampingnya benar-benar terbahak-bahak lalu mengacak-acak rambutnya dengan gemas. "Apakah aku di matamu terlihat sebagaimana penggambaran mereka?"

"Tidak ada yang tahu. Aku pekerja baru kalau-kalau kau lupa. Aku sama sekali tidak mengenalmu selain perbincangan kita di kereta kala itu." Mereka berhenti di depan kandang kuda putih. Andrew mengelus kepala kudanya dengan lembut. "Dan bolehkah aku jujur bahwa aku benar-benar terkejut melihatmu sebagai pemilik asli peternakan ini?"

"Apakah keterkejutanmu itu seirama dengan statusku yang merupakan pangeran kerajaan?"

"Sebagian iya. Tapi apabila kau mengenalku lebih jauh, kau pasti paham bahwa hal-hal semacam itu bukanlah sesuatu yang aku risaukan dalam hidupku. Ini lebih ke... aku sama sekali tidak menyangka bahwa selama ini kau ternyata sedekat itu sama aku."

Andrew kembali tertawa, lantas menatapnya. "Aku senang ketika orang-orang melihatku hanya sebatas diriku, tanpa embel-embel pangeran. Aku bukannya mengutuk takdir yang ikut terlahir ketika aku datang ke dunia. Hanya saja, aku tidak suka dipuji karena aku anak raja. Seperti kau dan semua pekerja di sini, aku manusia biasa."

"Tapi tanggung jawab, wewenang, dan kuasa yang turut lahir bersama janinmu memberikan perbedaan di tempat kami. Apalagi ketika kau menunjukkan kuasamu dengan tanpa memberikan para pekerja jam makan siang dan jam camilan sore hari. Kaulah yang membangun tembok setinggi itu."

"Ya, Tuhan, Ann, kau benar-benar berpikir aku monster?" Gelaknya mengindikasikan betapa menggelikannya perempuan ini. "Aku hanya menerapkan tanggung jawab kepada mereka. Mereka sangat kupersilakan istirahat jika pekerjaan sudah tuntas. Aku tidak menuntut apa-apa selain itu. Memang aku sangat concern dengan kesehatan para ternak di sini, tapi itu aku lakukan sebagai bentuk tanggung jawabku pada hewan-hewan itu. Aku yang membawa mereka ke sini, jadi sudah selayaknya aku memperlakukan mereka dengan baik."

Anne mengangguk dan sepertinya memahami segala isu itu dari dua sisi sekaligus. Mereka berhenti di kandang Roger. Tangan Anne mengelus wajahnya, Roger menggerung dan mengusap-usapkan wajahnya di tangan kasar perempuan itu — seperti seorang anak yang tengah manja kepada ibunya. Andrew mengamati gestur itu dan melihat bagaimana Roger bisa lunak dan menjadi anak baik di tangan Anne. Itu jelas sesuatu yang baru baginya. Sebab sejak mendatangkan Roger dari Amerika, kuda mustang itu sulit sekali beradaptasi dengan lingkungan dan orang baru.

"Dan apakah arti dari kalau aku mengenalmu lebih dalam maka hal-hal berupa jabatan bukanlah suatu perkara buatmu?"

"Ketika kau ingin orang memandangmu sepadan, kupikir hal-hal semacam itu tidak perlu kautanyakan kepadaku. Biarkan kita menjadi sama tinggi dan sama rendah tanpa memedulikan titel."

"It sounds like you want to get to know me better. I'd be thrilled to get acquainted without any strings attached, no matter what."

"Why getting to know me better is something that piques your interest?"

"Karena kau sudah mengucapkan mantra itu."

"Mantra? Mantra apa?"

"Mantra pertama kau menggunakan bahasa sepadan di awal perkenalan kita sehingga kau membuatku merasa seperti kawan lama yang tidak pernah berjumpa. Dan mantra kedua adalah keajaiban The Broken Wings. Jujur saja, semua pandanganmu tentang cinta, hidup, bahkan keyakinan beragama benar-benar telah menarik perhatianku. Tanpa sepengatahuanmu, diam-diam selama sebulan ini aku mencari-carimu di kota Brussels sampai ke kota-kota yang ada peternakan. But who would've thought that my effort would succeed when I had already given up, and it turns out, as you said, you've been so close to me all along."

Anne tersenyum kecil.

"So, what about my proposal? Are you willing for us to get to know each other better?"

Anne menatapnya dalam. Ada perasaan yang tidak bisa ia deskripsikan yang menari-nari di dasar perutnya. Ia jelas tidak keberatan, sebab memiliki teman baru yang asyik diajak berdiskusi seperti Andrew ternyata tidaklah buruk. Tapi di antara campuran rasa itu, ada kelindan takut dan ragu yang turut membelitnya seperti gelondongan benang. Anne tidak tahu ke manakah muara dari ketakutan itu. Ia menatap mata pangeran. Mereka indah, berwarna cokelat yang serupa lelehan madu di atas sepotong kue pan. Berair dan begitu bening. Jenis-jenis tatapan yang mampu menjadikan pohon salix sebagai tempat berteduh terakhir ketika musim panas memanggang kulitmu semerah udang.

Hanya saja, di daerah antah berantah, di mana ia tidak mengenal seorang pun di kota yang memekikkan aura baru itu, didukung bagaimana indah dan sempurnanya sosok pangeran, juga wawasannya yang begitu luas dan pemahamannya tentang buku yang begitu bersahaja, benar-benar mirip maelstrom yang mampu menyedot apa pun di atasnya ke dalam pusaran air yang kuat. Tanpa berpikir lebih lanjut Anne memberikan anggukan, yang di mana anggukan itulah muara dari segala kegagalannya mempertahankan kesempurnaan pemberian Tuhan di sisa hidupnya.

Gegap gempita kebahagiaan itu mengalami musim gugur ketika dua bulan setelah ia menyelesaikan volunteernuya dan kembali Holborn. Sepuluh test pack yang ia pakai untuk mengecek kehamilan memberikan jawaban positif. Kedua tangan Anne bergetar hebat, hidupnya benar-benar telah hancur. Jelas ini adalah dosa yang ia tanggung akibat keangkuhannya menantang takdir sewaktu pangeran mengajaknya bergumul di malam perayaan musim panas sebab hasil panen kebun dan ternaknya tahun ini melonjak berkali-kali lipat. Anne bahkan tidak tahu lagi bagaimana caranya mengeluakan air mata ketika dokter obsgyn yang ia kunjungi untuk memeriksa kandungannya pun memberikan jawaban serupa. Ia hamil. Lima minggu.

Anne pikir itu adalah puncak dari penderitaan, dan Ibu dan Ayah yang pastinya akan tetap marah pada akhrinya akan memberikan ampunan — seperti di setiap semua kesalahan yang ia perbuat selama hidup. Tapi rupanya ia keliru. Sangat-sangat keliru. Ketika Ayah mengirimkan dua pleton bodyguard untuk memaksanya pulang ke tanah air, neraka yang sesungguhnya benar-benar telah dibuka di hadapan mata.

"Ayah sudah memproses seluruh penghentian pendidikanmu, Anne. Perbuatanmu adalah jawaban dari bagaimana nggak becusnya kamu memegang kepercayaan Ayah."

"Ayah pasti berbohong! Aku nggak mau putus kuliah, Yah. Tinggal dua tahun lagi dan aku akan lulus menjadi sarjana. Ayah jangan seperti ini padaku."

"Jangan berbuat seperti ini seperti apa maksudmu, hah? Ayah mengeluarkan uang nggak sedikit buatmu, lho, Ann? Semua kebutuhanmu Ayah penuhi, dan kenapa di antara semua pilihan yang kamu miliki kamu justru melemparkan tai ke wajah Ayah? Memalukan! Mau menjadi perempuan seperti apa kamu? Jangan mentang-mentang kamu kuliah di negara orang, lantas kelakuanmu berubah menjadi rendahan kayak sekarang."

"Jangan terlalu keras sama Anne, Mas. Kasihan dia baru melalui perjalanan panjang. Paling enggak beri dia kesempatan buat istirahat."

"Ini juga karenamu, Elia. Kamu terlalu memanjakan anakmu! Dan lihatnya sekarang hasil didikanmu selama dua puluh tahun! Dia masih sangat belia dan bagaimana dia bisa hamil ketika dia seharusnya menghabiskan waktu dengan belajar dan mencari banyak pengalaman? Dia telah meludahiku sebagai ayah!"

"Anne mohon maaf, Yah, Bu, mohon maaf karena telah melakukan kesalahan ini. Tapi kumohon jangan putuskan kuliah Anne. Anne berjuang mati-matian kuliah bisnis agar bisa mewarisi bisnis tambang Ayah. Anne mohon!"

Sutan Hadiwijaya Paraningrat tertawa lantang. "Kamu telah melempariku dengan muntahan dan masih berpikir bahwa kamu memiliki hak atas warisanku, Anne? Kamu memang telah aku masukkan sebagai pewaris utama bisnis pertambanganku, tapi dengan apa yang telah kamu berikan kepadaku, Ayah nggak sudi memberikanmu salah satu anak perusahaan Ayah! Dan jangan pernah bermimpi mendapatkannya!"

"Yah, Anne, mohon, Yah. Ampuni dosa Anne, Yah. Jangan tempatkan Anne dalam posisi seperti ini. Anne mohon dengan sangat, Yah. Anne mohon."

"Jika kamu meminta maaf, Ann, Ayah bisa memberikannya sekarang juga, tapi harga diri dan martabat yang telah kaurusak ini jelas nggak bisa dikembalikan bagaimanapun caranya! Mereka memiliki konteks yang berbeda. Kalau-kalau kamu lupa, ayahmu ini seorang presiden, Ann. Presiden negara ini! Dan mau ditaruh di mana mukaku di hadapan rakyat, huh, mendapati anaknya justru menggundik di negara orang?"

"I think we've done enough for now, Mas. You're using too much energy. And if you don't stop, you keep hurting our children. Let's continue this discussion tomorrow."

"Kamu jelas akan terus membelanya, Elia. Kamu nggak tahu di mana urgensinya kondisi anakmu dan martabat keluarga kita sekarang dipertaruhkan! Anak tidak tahu diri."

"Mas Sutan Hadiwijaya Paraningrat, I earnestly request this. Let Annelies rest tonight."

Laki-laki berambut keperakan tersebut mendengus, memutar bola mata, dan meminta putrinya meninggalkan tempat menggunakan gestur singkat. Malam semakin jatuh dan suasana di kediaman Paraningrat benar-benar tak ubahnya dipanggang terik matahari musim kemarau yang begitu kering. Sang kepala keluarga itu jelas tidak akan pernah bisa berdamai dengan neraka yang dibawa oleh anak kesayangannya. Ia telah memiliki impian tinggi dari satu-satunya putri yang dia miliki, dan bagaimana putri yang masa depannya sudah ia siapkan sedemikian rupa justru menghancurkan semua dalam satu hubungan telepon jarak jauh?

"Jika kamu memperkarakan mencoreng jabatanmu sebagai presiden, bukankah yang seharusnya kamu tunjuk itu adalah dirimu sendiri ketika menjadikanku istri keduamu dan menyembunyikan berita ini bahkan status anakmu dari dunia selain dari keluarga intimu?" Cornelia Soemarti berjalan memasuki kamar utama dengan tangis yang sudah mengering di pipinya yang pucat. Bibir semerah wine dan sering menebar senyum itu kini sedikit bengkak saking kuatnya ia menggigit supaya tangis tidak terlalu runtuh dari kelopak mata. "Dua puluh dua tahun aku diam saja dengan perlakuanmu, bahkan ketika kamu memboyong keluargamu ke Istana sementara kami masih kamu sembunyikan di Lembang, aku nggak pernah menuntut apa-apa, Mas. Jadi kenapa sekarang seolah-olah kamu menjadikan dirimu tuhan untuk anakmu sendiri? Dia salah, memang. Aku sama sekali nggak menampiknya. Dia keterlaluan, aku setuju dengan pandangamu. Tapi kita nggak serta merta memberinya hukuman di luar ambang batas kemampuannya. Dia anak kita, Mas. Aku mengandungnya sembilan bulan dan melahirknya seorang diri. Jangan menafikan keibuanku, Mas."

"Kamu jelas salah memahami konteks, Elia. Sekalipun kau kunikahi siri, agama melegalkan pernikahan kita. Dan walaupun kalian nggak kuboyong ke Istana, kalian mendapatkan semua hak yang sama seperti dua anakku dari Ratu Hemas. Apa yang telah anakmu lakukan itu benar-benar tak ubahnya perilaku iblis. Kita mati-matian di sini bekerja dan mendoakannya setiap hari setiap malam, tapi bahkan kepada Tuhan pun dia berkhianat. Kau boleh membelanya, tapi jangan mengingkari kesalahannya."

"Bukankah itu tugas kita sebagai orang tua? Satu-satunya tempat pulang bahkan jika agama yang kauanut pun membuangnya dalam jurang?"

"Memang iya jika itu kesalahan yang bisa kutoleransi. Semua kenakalan anak-anakku selama ini mana yang nggak pernah aku ampuni, Elia? Annelies menabrakkan mobil ke pejalan kaki sehingga dua dari lima orang yang dia tabrak meninggal dunia? Aku ampuni. Annelies kabur dan kedapatan merokok di sekolah? Aku ampuni! Tapi enggak dengan zina, Elia. Tidak dengan hamil di luar nikah! Itu adalah batas toleransiku yang nggak pernah bisa kaugugat dengan semua akalmu. Aku memang ayahnya, tapi aku tak lebih dari laki-laki biasa dengan ego terlalu tinggi. Anak itu telah mengencingiku, dan aku jelas nggak bisa membiarkannya begitu saja." Hadiwijaya berjalan mondar-mandir dengan keretek yang meretih di jepitan tangannya. Ia mengisap dan mengembuskan rokok itu berkali-kali, tapi masalah di dalam kepalanya justru kian berlari-lari. "Bahkan ketika jabatan presiden itu ada dalam genggaman tanganku? Cih. Anak sialan."

Elia membeku. Kemarahan dari laki-laki yang telah meruntuhkan semua akalnya itu benar-benar tidak kuasa ia sangkal. Ia sangat mencintai anaknya, tapi menolak keakuan dari suaminya, juga bukanlah perkara gampang. Selama menikah dengan pria dari tanah Jawa ini, ia meninggalkan semua budaya Belanda yang ia dapat dari kedua orang tuanya, dan mengikuti adat dan budaya Jawa yang suaminya anut. Tidak pernah satu pun dari mereka yang ia tolak, dan menjadikannya istri yang berbakti tanpa cela kepada suami. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan pendapat dengan suami adalah suatu kesulitan.

"Maka jika memang hukuman yang ingin kaujatuhkan kepada Annelies, hukum saja dia dengan takaran yang setimpal dengan hatimu sebagai seorang ayah. Jangan pernah menggunakan keadilan dunia pada anak kita, karena kau tahu sendiri, keadilan sebagaimana aku tahu, terlalu menyakitkan."

Hitam mata Hadiwijaya mengadang cokelat mata Elia. Dan kumparan amarah itu benar-benar membelit akalnya rupa-rupa.

"Satu-satunya penghakiman yang pantas untuk anak durhaka seperti dia adalah kematian atau kemiskinan." Bibir Hadiwijaya sampai bergetar sewaktu mengucapkannya. Kekecewaan dan rasa sakit menciprati dinding korneanya dengan begitu pekat. "Dan keputusan itu ada di tanganmu sebagai bentuk penghukumanmu yang tidak pernah becus mendidik anak. Kamu yang memutuskan apakah akan membunuhnya dengan jabang yang nggak pernah sudi kuakui sampai mayatku dikebumikan, atau kaularung mereka ke dalam kemiskinan. Aku tidak pernah main-main dengan kalimatku, Elia. Kamu pun pasti paham bagaimana karakterku."

Maka sejatinya, rasa sakit paling hebat yang diderita seorang perempuan ketika ia telah menjadi ibu bukanlah proses persalinan yang memutihkan tulang, bukan pula malam-malam panjang yang dia habiskan untuk menimang, atau pula remuk tubuhnya setelah seharian menjaga anak terlingtang pukang. Rasa sakit itu berupa air mata anaknya yang bergetar sewaktu menahan sakit dari derita yang ia pikul. Rasa sakit itu berupa kegagalannya menghalau hidup sang anak yang amburadul, rasa sakit itu berupa ketidakbecusannya memberikan perlindungan ketika duka anak berjumbul-jumbul, pula berupa kekalahannya membiarkan kuasa sang kepala keluarga menciptakan masa depan sang anak penuh masygul.

Bahwasanya seorang ibu sangat mampu memanggul berat dunia, kecuali dunia anaknya yang telah disakiti sedemikian rupa. Dan Cornelia menanggung seberat-beratnya beban paling hina, dengan rasa sakit luar biasa meremukkan rusuk-rusuk sewaktu ia pada akhirnya, mengikuti perintah kepala keluarga, mengusir Annelies dengan keadaan paling nelangsa.

Annelies melihat Ibu dengan tawa begitu saja, sebab tangis rupanya bukanlah keadilan yang cocok untuk nasibnya. Ia mengangkat telunjuk, pertama di seumur hidupnya, menantang tubuh perempuan berkulit pucat di hadapan dengan keberanian dan lara hati yang mendengking-dengking serupa beruk.

"Kamu dengar aku, Ibuku yang Mulia? Akan kubawakan neraka pada cucumu. Nggak akan pernah aku biarkan sehari pun dia hidup tanpa penderitaan, nggak akan pernah kubiarkan dirinya mendapatkan setitik cinta, nggak akan pernah kuizinkan dia mencicipi kebahagiaan, sampai itu datangnya dari kedua tanganmu sendiri. Sebelum kamu datang menyelamatkan hidupnya, aku akan menghukumnya sebagai bentuk penghukumanmu padaku. Dan jika kamu, Ibuku yang Mulia, nggak datang sendiri menjemputnya, dia akan kukubur dalam kemiskinan paling melarat yang pernah negara ini perbuat. Aku sakit hati, dan anak ini harus mati di tanganku setiap hari."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro