Bab 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"I think it's enough, Kin." Drake mencoba memutus ciuman Pakin yang menuntut. Ia tertawa kecil ketika pria itu menggeleng, dan kembali merebut bibirnya dalam ciuman panjang. Ia memang sangat menyukai ciuman, dan pagutan mulut Pakin tidak bisa dimungkiri adalah jawaranya. Drake sampai terheran sendiri, dapat kemampuan berciuman hebat dari mana Pakin? Kenapa pemuda yang jika dilihat dari luar tampak tidak keru-keruan dengan rambut keriting itu, justru mampu membuat kewarasannya dipertanyakan hanya dengan dicium seintim ini? Sejak Pakin menumpang di apartemennya, sudah tidak terhitung berapa kali mereka ciuman yang berujung dalam persetubuhan panjang dan panas. Drake sangat menggemarinya, karena ternyata Pakin benar-benar partner sanggama yang sama-sama kelaparan setiap malam. "Hei. Setelah acara lo nanti, lo akan mendapatkan semuanya." Drake benar-benar kewalahan.

Pakin mendengus, lantas menjauh untuk menyulut sebatang rokok. Sekarang pukul sepuluh. Pukul dua belas dia harus sudah ada di gedung teater untuk melakukan geladi resik, dan pukul tujuh malam adalah puncak dari pertunjukan monolognya. Jujur, Pakin sangat tidak sabar. Sejak ia menghubungi Nanon dan Captain subuh-subuh, Pakin menghabiskan waktu di gedung teater untuk berlatih — sepanjang hari, di sepanjang minggu ini. Bahkan ia sendiri yang menggambar konsep untuk penataan panggung, dan Captain yang takjub dengan tema yang dibawakan Pakin, dibuat semakin tidak berkutik ketika Pakin menunjukkan gagasannya tentang penampilan nanti. Sejak ia berlatih, para anggota teater sudah disihir oleh pertunjukannya. Cerita yang dibawakan Pakin kali ini tidak dimungkiri bahkan melonjak tinggi melebihi seluruh ekspektasi mereka. Bahkan diam-diam air mata Nanon merembes sewaktu melihat Pakin bermonolog. Itu adalah drama paling pilu, dan paling menimbulkan kekosongan dalam dada.

"Lo kelihatan semangat banget hari ini."

"Jelas. Pada akhirnya gue bisa kembali pentas di atas panggung dan merebut atensi dari para penonton. Gue nggak sabar. Lo jangan sampai ketinggalan penampilan gue atau lo akan menyesal nggak melihat artis hebat ini menunjukkan aksinya."

Drake tertawa gemas. Ia mengambil gitar dan memeluknya ketika memutuskan untuk bermain. Pakin terlihat nyaman di kursi gaming di depan meja kerjanya.

"Nggak merasa grogi sama sekali emangnya? Gue jadi penasaran, para artis tuh kalau mau tampil bisa merasakan gugup juga, nggak, sih?"

"Ya pasti, lah. Bahkan jika lo merupakan artis dengan jam kerja tinggi, nervous itu bakal tetap ada saat akan bertatap muka langsung dengan para penonton. Hanya saja, kebahagiaan gue mengalahkan ketakutan gue. Ini adalah mahakarya gue, Drake, dan gue ingin memberikan yang sempurna kepada para penonton."

"Mungkin nggak sesempurna itu juga, kali, ya. Kalau-kalau lo lupa, nilai sepuluh itu hanya milik Tuhan."

Pakin tertawa senang, mengembuskan asap rokoknya dengan riang. "Lo salah, Drake. Penampilan gue kali ini akan menggeser eksistensi Tuhan karena gue akan merebut nilai sepuluh itu dari kekuasannya. Gue nggak akan membiarkan para penonton keluar gedung dengan membawa kekecewaan selain decak kagum kepada gue. Sudah saatnya gue bersinar menggantikan Nanon. Penampilan Mark Pakin yang sekarang bahkan nggak ada yang bisa dicela selain hanya bisa dipuja."

Drake terdiam sementara jemarinya memetik pelan senar gitar, menciptakan nada alunan pelan yang sedikit sendu. "Apa yang akan lo pentaskan nanti, Kin?"

"Nggak surprise, dong, kalau lo gue kasih tahu sekarang. Lo, Neo, Luna, dan seluruh sahabat gue sudah gue pesankan tempat duduk paling strategis yang bisa melihat penampilan gue dengan jelas. Jadi kalian nggak usah khawatir nggak bisa melihat gue. Pastikan lo mengabadikan pertunjukan gue dan mengunggahnya di akun sosmed lo agar dunia semakin tahu bahwa ada artis hebat kelahiran Bogor di GMM." Tawa Pakin membahana.

"Gue jadi takut kalau kayak gini caranya."

"Takut bagaimananya?"

"Lo sepercaya diri ini, hampir-hampir mendekati keangkuhan, kalau nanti mendapatkan kesalahan, lo akan merasakan kekecewaan hebat. Sebagai manusia nggak ada yang namanya luput dari kesalahan, kan? Gue hanya nggak ingin lo dikecewakan oleh ekspektasi lo sendiri."

"Drake, Drake, bersama Pakin percayalah. Gue akan menjadi tuhan malam ini, yang nggak akan pernah melakukan kesalahan. Gue nggak akan dikecewakan oleh ekspektasi, karena keyakinan gue bukanlah harapan semata, melainkan sebuah kebenaran. Lo harus bisa membedakannya, Drake."

Drake mengamatinya dalam-dalam. "Sejak dari Luna lo berubah, sih, Kin, asli. Luna nggak melakukan sesuatu yang buruk pada lo, kan?"

"Lo ngomong seperti itu seakan-akan perempuan itu pernah melakukan sesuatu yang buruk pada lo saja." Tawa Pakin kian berceceran sewaktu Drake hanya membeku menyusul pernyataannya. "Dia perempuan cerdas, dan gue sangat mengagumi kecerdasannya. Seperti kata lo waktu itu, gue nggak memiliki alasan selain memuja tubuhnya yang erotis sebab memang seindah itu Isyaaluna Saarawitry. Ia adalah semua prosa kekaguman gue pada manusia, dan Luna berhak mendapatkannya."

"Gue nggak pernah mendengar seseorang mendeskripsikan Luna seperti itu."

"Karena nggak ada yang bisa melihat Luna sebagaimana gue, Drake. Gue bersungguh-sungguh akan hal itu. Lo dan Neo bisa mencintainya dengan porsi kalian masing-masing, tapi pendewaan kepada Luna hanya gue yang bisa melakukannya. Dan, yeah, dia yang membuat gue sampai di titik ini. Titik perubahan di mana pada akhirnya gue menemukan tujuan hidup gue dan mulai mengejarnya."

"Lo terdengar seperti orang lagi jatuh cinta."

"Karena jika memang itu Luna, gue nggak memiliki alasan untuk nggak jatuh cinta padanya." Pakin tertawa kecil ketika sesuatu meletik di kepalanya. "Rahasia kecil dari gue, Drake, pertunjukan gue di teater nanti malam, salah satunya adalah gue tujukan padanya. Gue akan membuatnya menggilai gue sampai dia nggak memiliki alasan untuk menolak kekaguman gue pada keindahannya. Gue akan membuatnya menangis sebab dia nggak akan pernah lagi mendapatkan pengultusan yang membelai keangkuhannya selain dari gue."

Tidak dimungkiri, rasa ngeri itu merebak ke seluruh tubuh Drake. Selama mengenal Pakin, ini adalah versi Pakin paling tidak waras yang pernah Drake temui. Ia sama sekali tidak memiliki keraguan, ketakutan, maupun kekhawatiran. Yang ada justru sebaliknya, Pakin sekarang adalah pribadi dengan sekepal keakuannya yang unggul dan utuh, yang sanggup menari sambil terkakak-kakak dan menceritakan kisah cabul dengan kekentiran kental. Bahkan menuhankan dirinya, jika bukan karena sinting, jelas tidak ada orang normal yang melakukannya. Seharusnya ia senang bahwa kawannya merasakan kegembiraan. Tapi kebahagiaan Pakin memberikan resonansi lain. Tawanya yang terlalu lebar menerbitkan rasa tidak tenang di dasar perut Drake. Ia menelan ludah, dan tanpa sadar bulu kuduknya meremang. Hawa dingin yang dikuarkan Pakin sungguh-sungguh mampu melumat eksistensinya. Jika kegilaan adalah nama lain dari bahagia yang anomali, maka Pakin pagi ini adalah sesungguh-sungguhnya orang edan.

"Dan pemujaan kepada Neo apakah pada akhirnya mengalami pergeseran setelah lo menghabiskan malam panas dengan Luna?"

"Lo salah bertanya seperti itu, Drake."

"Salah di mananya?"

"Karena gue nggak pernah memuja Neo selain mencintainya. Sekalipun dia menghunuskan belati untuk membutakan mata gue, rasa yang gue miliki tetaplah bernama cinta. Dan akan selalu bernama cinta. Ia nggak mengalami pergeseran sedikit pun."

"Tapi dia sudah meninggalkan lo dengan catatan yang begitu kelam. Lo sudah dihancurkan segitu hebatnya, Kin. Apakah lo akan memaafkan dirinya lalu kembali bersama setelah apa yang lo lalui?"

Pakin menggeleng, tertawa kecil, lalu mengembuskan asap rokok kesekian. "Mencintai nggak pernah seirama dengan kepemilikan. Gue bisa mencintainya tanpa harus bersama dengannya. Terdengar sangat munafik, tapi mau bagaimana lagi jika memang seperti ini keadaannya. Setelah ketololan yang dia lakukan ke gue, gue bersumpah akan membuatnya menyesal karena telah menghancurkan gue. Cinta yang gue miliki padanya adalah bentuk sebenar-benarnya. Dan gue nggak tahu apakah gue bisa memiliki rasa yang sama jika bukan pada Neo. Mungkin ini adalah kali terakhir bagi gue untuk menyepuh prosa cinta pada diri gue. Setelah ini, gue bahkan nggak tahu apakah gue bisa mencintai orang lain selain Neo atau enggak. Biarkan saja. Biarkan mereka mengering dan menderita di tempatnya, Drake. Gue memang disakiti, tapi gue nggak menyesalinya."

"Lo terlalu menghukum diri lo sendiri, Kin. Lo berhak mendapatkan kebahagiaan setelah bagaimana lo menghadapi kehidupan yang anjing ini. Entah itu Neo atau bukan, lo pantas memiliki kehidupan yang layak. Lo nggak perlu menanggung beban cinta sehebat itu jika lo melepaskannya. Kekuatan lo yang menggenggamnya dengan kencang yang membuat lo akan sulit untuk bangkit."

"Lo salah, Drake, apa yang gue lakukan bukan untuk menghukum gue, melainkan sebuah hukuman mati buat Neo. Gue akan membuatnya merasakan penderitaan paling gila yang pernah manusia ciptakan. Penyesalan. Dan dia akan memohon kematian kepada Tuhan sebab penyesalan yang menusuknya nggak akan pernah sanggup ia ampu. Gue harus memberinya sebuah hukuman setimpal agar dia tahu bahwa nggak pernah ada badan-badan manusia yang baik-baik saja dihancurkan sehina itu oleh sahabatnya sendiri. Gue memang sangat memujanya, tapi gue nggak akan berdiam diri direndahkan seperti ini." Pakin menutuk ujung batang rokok, sehingga abunya runtuh di permukaan asbak. "Gue pernah bersumpah padanya bahwa gue nggak akan pernah melepaskannya sebelum gue yakin dia berada di lingkungan yang mampu memberikannya cinta sama besar seperti cinta gue. Mungkin memang sekaranglah waktu itu. Dia memiliki Luna, orang tuanya pasti akan memenangkan politik tahun depan, dan dia akan menjadi ketum dari sebuah partai. Tugas gue menggenggam tangannya sudah selesai, dan yang dia lihat sejak malam itu hanyalah punggung gue semata."

"Jadi malam nanti lo akan membuat pertunjukan di mana mampu membuat Luna menangis sebab nggak mendapatkan permuliaan sebagaimana cara lo memuliakannya, dan Neo merasakan penyesalan karena telah meninggalkan lo?"

"Tepat sekali. Malam nanti adalah sebenar-benarnya gue dilahirkan di muka bumi. Gue telah memilih diri gue sendiri dan akan memberikan kehidupan yang terbaik buat gue. Sudah cukup gue memenuhi egoisme manusia lain hanya untuk mendapatkan pelepasan. Sekaranglah saatnya gue berorgasme dari masturbasi. Gue akan meloco sampai kedua tangan gue patah. Gue akan berorgasme paling hebat dari semua petualangan seks gue."

"Gue jadi nggak sabar melihat pentas lo malam ini, Kin. Lo pantas mendapatkan hadiah paling indah dari kerja keras lo."

Pakin tersenyum, menarik alisnya ke atas. "Gue nggak menerima barang buruk kalau lo tahu bagaimana gue edan dengan keindahan."

Drake meletakkan gitarnya di atas kasur, lantas berjalan ke arah Pakin, dan duduk di pangkuan si pemuda berambut keriwil ini. Pakin langsung meremas pantatnya. "Dan gue sangat mengenal lo sampai gue nggak memiliki pilihan lain selain memberikan keindahan buat lo." Lalu mereka berciuman seperti tidak pernah ada hari esok.

Ketika Pakin berseru bahwa ia akan menciptakan kesempurnaan, itu bukanlah isapan jempol semata. Semua persiapan panggung sampai wardrobe dan tata rias, dia sendiri yang memilih. Sewaktu Captain mengusulkan Pakin menggunakan elemen lain untuk lebih menciptakan aura magis, Pakin menolak mentah-mentah, dan argumennya yang tajam tidak ada celah untuk digugat. Pakin memanglah masih tergolong muda jika berbicara tentang seni teater, hanya saja seluruh anggota dibuat tidak berdaya selain memberikan decak kekaguman terhadap kehebatan Pakin kali ini setiap kali mereka melihat Pakin latihan. Naskah yang ia tulis tidak ada cela. Diksi yang dipakai begitu runut dan mampu menghunjam jantung. Rima yang digunakan seelok puisi, tapi lebih kejam dari sebuah kematian; tema yang diambil GMM tahun ini. Sementara isi dari keseluruhan naskahnya adalah kesakitan-kesakitan paling biadab yang tidak pernah mereka dengar. Mereka hanya berharap bahwa apa yang Pakin bawakan hanyalah dongeng siang hari. Bukan merupakan kisah hidupnya yang pelik.

Mungkin sisi sinting Pakin inilah yang dilihat Indonesia Bertutur tahun lalu ketika memberikannya undangan. Sebab sejak mereka mengenal Pakin, baru sekaranglah keedanan seniman itu yang sesungguhnya ia tampilkan. Sejatinya Nanon sudah mampu menelanjangi keseriusan Pakin dalam dunia seni lakon, tapi Mark Pakin sore itu adalah berhala yang tidak sanggup ia usik dalam proses misa yang kudus. Dan rasa kagum yang ia miliki sejak melihat monolog Pakin tahun lalu, kian beranak-pinak membanjiri jantungnya.

"Beruntung pertunjukan lo paling akhir, jadi gue ada waktu buat melihat penampilan lo tanpa rasa cemas untuk mempersiapkan penampilan gue sendiri." Sosok Nanon dalam busana petani terpantul di cermin ketika Pakin merias wajahnya. "Selama melihat lo latihan saja gue sudah merinding, apalagi pas acaranya nanti. Lo pasti bakal lebih memukau."

Pakin tersenyum, terampil menggunakan bronzer untuk memberikan ketegasan pada wajahnya. "Gue yang minta panitia untuk mendaftarkan penampilan gue paling akhir, sih."

"Oh, kah? Gue baru tahu." Nanon memutuskan duduk di samping Pakin. "Apakah lo ingin membuat penampilan lo sebagai hidangan penutup untuk menyempurnakan Pekan Teater tahun ini?"

"Karena penampilan gue adalah hidangan utama yang menjadi tanda titik. Jadi ketika gue sudah turun dari panggung, nggak ada lagi lakon yang menempel di ingatan para penonton selain pertunjukan gue."

"Sialan. Bener juga lo." Mereka tertawa. "Subuh itu adalah subuh terbahagia bagi gue, sih, Kin."

"Ceritakan ke gue tentangnya."

"Pertama memang tema yang lo angkat luar biasa keren dan gue nggak bisa menelan ketakjuban gue ketika lo menjelaskannya panjang lebar di telepon. Tapi yang paling membuat gue bahagia ya ketika akhirnya lo kembali menghubungi gue setelah siang itu gue mengecewakan lo dengan sangat hebatnya."

Pakin tersenyum sekilas, kini sedang sibuk membubuhkan eyeliner sebelum menjawab, "Biarkan itu menjadi dosa agar lo memiliki batas dalam pertemanan kita. Lo tahu gue nggak pernah suka dibohongi, dan baru sekarang lo mendapatkan konsekuensi dari kebohongan lo. Anggap rasa bersalah lo adalah ganjaran yang layak lo dapatkan dari keberanian lo melanggar batas itu. Lo tahu sendiri, kan, semua keburukan gue persilakan kecuali kebohongan? Dan gue nggak pernah main-main dengan semua perkataan gue, Non."

"Gue lebih baik lo maki-maki, lo goblok-goblokin, atau lo pukulin sampai babak belur asal nggak lo diamin. Silent treatment lo benar-benar pembunuh karakter paling biadab dan gue bersumpah nggak akan pernah lagi ingin menghadapi lo dalam kondisi diam. Parah banget, Kin. Lo membuat gue mempertanyakan kelayakan gue hidup dan terus overthinking tiap malam. Gue nggak pernah merasakan seperti itu di sepanjang gue hidup."

Pakin mendengus kecil. Ia rampung dengan kegiatan bersolek, lantas memerhatikan penampilannya di pantulan cermin dengan saksama. Kelompang yang berongga di dadanya seperti meninju ulu hati. Tawa yang dia dulang selama seminggu sejak subuh merekah di apartemen Luna, cukup membuat kepalanya sekarat; cukup membuat tubuhnya berontak. Pakin di dalam cermin itu adalah Pakin yang ia lihat ketika pukul empat pagi ia dibangunkan paksa oleh Bunda, dan dibanting sebab Bunda hanya mendapatkan tiga lembar uang sepuluh ribuan dari hasil mengangkang di kepala suami orang semalaman utuh. Kemiskinan adalah darah daging dari semua rasa sakit yang meremat hidup Pakin, dan semua masa lalu itu kini ia lahirkan kembali dalam sebuah monolog panjang.

Pakin mengolesi keriting rambutnya menggunakan pomade sehingga mereka tampak terbaring teratur di kepala. Wajahnya yang kurus semakin terlihat tirus. Mulutnya ia pugar menjadi pucat, semampang Pakin Kecil yang tidak mendapatkan asupan apa pun selain bayam kocok ketika Bunda gajian, dan air gula di mana masa gajian itu tuntas. Ia memakai kemeja putih yang hampir-hampir melekat di tubuhnya, juga celana kain berwarna senada. Sebab putih adalah proses penciptaan Tuhan kepada jabang-jabang yang baru dilahirkan dari lubang vagina, begitu kata Pakin sewaktu menejelaskan tema panggungnya kepada Captain.

"Apakah lo sudah mulai ngobrol dengan Ohm? Gue lihat-lihat ketika latihan kalian belum terlibat obrolan."

"Karena masa hukumannya belum selesai."

"Maksud lo?"

"Kalian berdua memang membohongi gue dalam satu waktu, tapi gue nggak bisa memperlakukan kalian dalam satu takaran yang sama. Gue masih memafhumi lo sebab kita nggak ketemu selama setahun selain melalui pesan singkat atau telepon. Dan hal seperti itu nggak layak aja diobrolkan via jaringan. Sementara Ohm, dia jelas berbeda. Pertemuan kami sangat intens, gue bahkan menghabiskan minggu-minggu UTS di kos-kosannya. Dari semua kesempatan itu dan dia masih memutuskan untuk membohongi gue. Dia patut mendapatkan ganjaran yang lebih besar."

"Jadi lo sama sekali nggak melibatkannya dalam proses penciptaan naskah lo, walaupun sekadar untuk brainstorming?"

"Dengan mengenal karakter gue, apakah gue akan melakukan hal seperti itu?" Pakin mendengus. "Gue selalu berprinsip bahwa ketika Tuhan nggak mampu memberikan keadilan buat gue, Non, gue yang akan menjadi tuhan itu sendiri untuk mendapatkan keadilan itu. Dan apa yang gue lakukan sekarang pada Ohm adalah bagaimana keangkuhan tuhan memberinya pelajaran setimpal. Dia sangat layak mendapatkannya."

"Tapi lo mengundangnya walaupun lo tahu dia pasti datang karena dia anggota dari teater."

"Jelas ada perbedaan di sini. Ketika dia melihat gue atas undangan gue, itu adalah karena gue menginginkan kehadirannya secara langsung. Akan jadi berbeda jika dia memutuskan melihat gue karena memang dia salah satu anggota teater."

"Dan lo repot-repot menurunkan ketuhanan lo untuk mengundangnya di saat dia telah melanggar batas itu."

"Bagaimana kalau lo melihatnya sebagai salah satu bentuk hukuman dari proses penuhanan gue?" Nanon tampak tidak mendapatkan titik koordinat dari kalimat Pakin, dan itu membuat pemuda keriwil tersebut tertawa kecil.

"Apakah dua pasangan keparat itu turut lo undang?"

"Mereka justru bintang utamanya, Non. Oh, dan Fourth juga Pangeran. Sahabat-sahabat tercinta gue. Malam ini gue akan membuat persembahan hanya untuk orang-orang yang gue sayangi sehingga mereka nggak memiliki alasan untuk menyakiti gue selain berujung dengan penyesalan." Decak kekaguman Nanon benar-benar tidak mampu pemuda berlesung pipi itu telan. Ia melihat Pakin dengan tatapan penuh damba. "Kristal terus tatapan penuh puja lo pada gue, Non. Gue suka."

Panggung benar-benar sudah disulap sedemikian rupa oleh Captain bersama para tim. Geladaknya dilapisi kain seputih kemeja dan celana yang Pakin kenakan, dinding-dindingnya pun dilayeri gorden-gorden putih yang menjulang sampai langit-langit. Di tengah-tengah panggung terdapat balok cukup besar dengan kelir serupa. Ketika Pakin masuk dan berdiri di samping balok tersebut, gemuruh suara bedug dari musik latar menggema memenuhi seluruh gedung teater, seperti tengah memukul-mukul jantung para penonton. Tata lampu dibuat meredup di permukaan panggung, tapi berpendar terang di sosok Pakin yang terlihat jauh semakin kurus. Dari tempat Pakin berdiri, ia mampu menonton ratusan pasang mata para penikmat teater GMM tengah sibuk memerhatikannya. Neo, Luna, Ohm, Fourth, Pangeran, Winny, dan Satang telah menempati posisi duduk sebagaimana Pakin pesan. Jadi, dari sini pula Pakin bisa melihat orang-orang hebat itu tengah menunggu seni monolognya.

Pakin tersenyum, dadanya berdebar-debar hebat. Lautan manusia yang hening dalam pekatnya gelap, seperti menyuntikkan kekuatan dalam proses persalinannya. Dan kebahagiaan itu berjingkrak-jingkrak sebagaimana kora-kora. Mereka melebur jadi satu dengan kehadiran para hantu, saling mendentingkan gelas kaki berisi wine yang telah mengalami masa fermentasi ratusan tahun, dengan menikmati suguhan berpiring-piring daging kalkun — karena sekaranglah perayaan pesta syukur itu pada akhirnya. Pakin menggenggam proposal adiluhung yang dipresentasikan dengan sangat menggemaskan oleh salah satu hantu. Dan merasakan pizza dingin sebab tidak mampu membeli microwave bukanlah hal buruk. Kemiskinan adalah kawan lama, jadi menghabiskan malam membosankan dengan sanggama dalam kemiskinan jauh lebih baik daripada menikmati segelas bayam kocok.

"Aku membunuhnya." Kalimat pembuka monolog itu terlihat tenang, diucapkan dengan senyuman lebar, dan mata yang berpijar terang. "Perempuan itu. Di sana." Pakin menunjuk pojok ruangan. Tak ayal, suara pekik para penonton yang tertahan, merayapi kaki-kaki panggung.

"Ibuku!" Ia kemudian tertawa — jenis tawa yang ia labuhkan ketika Luna mempertontonkan video persetubuhan mereka — tawa yang membuat siapa pun para pendengar merasakan tidak tenang.

"Perempuan itu seharusnya tidak perlu mati, toh dia sangat mencintaiku. Tapi aku harus membunuhnya karena aku senang mendengar jerit penderitaannya." Pakin tertawa lagi, lebih kuat, sampai ia membungkuk menahan perut.

"Perempuan itu seharusnya tidak perlu mati, toh dia sangat mencintaiku. Tapi dia harus mati karena telah melahirkanku." Pakin kembali tertawa, dan suara bedug drum itu semakin membuat suasana tidak enak. "Aku tidak suka dilahirkan, Bunda, kalau hanya kemiskinan yang Bunda berikan kepada aku. Aku tahu Bunda sangat mencintaku, tapi aku membenci bayam kocok dan Bunda harus mati karena memaksaku minum bayam kocok!" Musik berhenti, membuat keadaan sunyi rapat. "BUNDA LAYAK MATI KARENA MEMAKSAKU MINUM BAYAM KOCOK!" Jeritan itu lantang sekali, seakan-akan sanggup menghancurkan langit-langit.

"Perempuan itu seharusnya tidak perlu mati, toh dia sangat mencintaiku. Tapi dia harus mati karena aku tidak suka kemiskinan. Kemiskinan melahirkan kegoblokan. Kemiskinan membunuh akal sehat. Kemiskinan melumat bentuk-bentuk cinta. Aku tahu Bunda mencintaiku, tapi ketika uang gajian Bunda habis, Bunda memaksaku meminum air gula. Aku benci air gula, Bunda, karena air gula membuat perutku kembung sehingga aku tidak mampu mengikuti pelajaran berhitung." Pakin menjeda kalimatnya, menatap sosok imajiner dengan tatapan penuh dendam yang pernah ada. Air mukanya adalah bentuk kebencian yang ia kandung dalam badan selama ini. Ia mengangkat tangan lalu menunjuk sosok itu dengan amarah bertubi-tubi. "DAN BUNDA PANTAS MATI KARENA MEMBUAT PERUTKU KEMBUNG DAN NILAI MATIKAKU DAPAT DUA!"

Teriakan Pakin membelah kebekuan, meremat semua tulang. Lautan manusia yang ada di sana nanap hanya untuk menyaksikan bagaimana pemuda itu menunjukkan sihirnya.

"Perempuan itu seharusnya tidak perlu mati, toh dia sangat mencintaiku. Tapi dia harus mati karena kemiskinan membuatnya seperti orang edan. Dipukulinya aku sama Bunda ketika uang di dalam kutang tidak cukup membeli bayam." Pakin menampar mukanya berkali-kali. Suaranya sangat kencang, menandakan ia menggunakan kekuatan sepenuh tenaga. "Ditendangnya kepala aku karena uang itu jelas tidak cukup untuknya membeli amer." Kini Pakin menghantam-hantamkan kepalanya di balok tadi.

Dug! Dug! Dug! Kuat sekali. Seperti tidak ada penghalang, dan itu membuat para penonton sontak berteriak takut. Pakin kemudian berdiri lagi, dan darah meluncur dari pelipisnya, membasuh putih kemeja yang ia kenakan — penampakan itu cukup membikin para penonton histeris dalam satu tempo, sebelum hening untuk menonton Pakin dengan takzim dalam tempo berikutnya.

"Tendangan Bunda luar biasa, lho. Ini Bunda harus jadi striker Indonesia, sih, biar kemampuan Bunda bisa membawakan kemenangan di FIFA." Pakin tertawa membahana lagi. Ia berjalan mondar-mandir. Kebencian itu berkelindan dengan rasa sakit yang luar biasa, dengan sepi yang memutihkan mata, dengan hening yang begitu memekakkan telinga. Ia seolah bisa melihat sosok bundanya di sini, perempuan cantik dengan balutan gaun tidur berwarna blewahnya, yang ketika Pakin pegang halusnya seperti sutra, dengan bibir digincu merah yang comeng ke pipi seputih tahunya.

"Perempuan itu seharusnya tidak perlu mati, toh dia sangat mencintaiku. Tapi dia harus mati karena kemiskinan memendekkan akal dan budi. Dibawanya laki-laki entah siapa, dan mereka berkuda-kuda ketika aku sedang belajar menghafal doa-doa di ilmu Pendidikan Agama. Ahh... ahh... ahh... suara erangan Bunda terdengar ketika aku mati-matian membaca basmalah, dan uh... uh... uh... suara desahan laki-laki itu bersahut-sahutan ketika aku kebingungan harus menggunakan izhar atau ikhfa." Pakin menatap nanar pada sosok itu. Matanya adalah apa yang tidak ingin orang lain lihat. Mereka penuh luka, yang selama 22 tahun ia hidup, mereka menjerit dalam heningnya malam. "JADI BUNDA HARUS MATI SEBAB AKU KESIANGAN BANGUN PAGI, DAN HARUS MENGURAS KAMAR MANDI SEKOLAH YANG BAU TAI, AKIBAT PERSANGGAMAAN BUNDA DENGAN LAKI-LAKI YANG AKU TIDAK TAHU SEPERTI BABI!" Tubuh Pakin bergetar hebat. Tangan yang terangkat itu tremor parah. Semua penampilan ini benar-benar didukung oleh musik yang begitu meremukkan jantung dan pembuluh darah.

"Perempuan itu seharusnya tidak perlu mati, toh dia sangat mencintaiku. Tapi dia harus mati karena ketika subuh menjelang pukul empat pagi, ia bangun dan mendapati hasilnya mengangkang semalaman di muka suami orang hanya dibayar uang sepuluh ribuan tiga lembar, Bunda akan murka dan menyentak tubuhku yang tengah terlelap." Pakin merenggut kerah kemejanya, lantas mencampakkan tubuh menghantam balok. Suara tubrukannya terdengar lantang seperti ia benar-benar mengempaskan tubuhnya dengan total. "Dan Bunda akan menginjak-injak dadaku serupa cucian basah sambil menjerit sambil menangis sambil memaki sambil menyumpahi!" Pakin meninju-ninju dadanya. Satu, dua, tiga, empat, sampai delapan. "Bunda membenci kamu, Pakin. Kenapa kamu harus lahir, sih? Dengan uang tiga puluh ribu seperti ini, mau beli bayam buat menyumpal perutmu selama sebulan juga tidak bisa! Kamu bisa mati saja, tidak, sih, Pakin?" Pakin menirukan suara Bunda, lantas tertawa kencang dan berdiri kembali. "BUNDA HARUS MATI KARENA TELAH MENGGANGGU TIDURKU YANG SUSAH PAYAH AKIBAT KASUR TEMPAT AKU TIDUR HARUS RAMAI DENGAN PERSETUBUHAN BUNDA YANG SEPERTI BABI! BUNDA HARUS MATI KARENA AROMA PERKAWINAN BUNDA YANG MENJIJIKAN DENGAN BAU SPERMA YANG SUNGGUH-SUNGGUH SEPERTI TERASI!"

Bibir Pakin bergetar. Kemarahan benar-benar merebak ke seluruh tubuhnya. Dua puluh dua tahun dan mereka akhirnya ia lahirkan di hadapan ratusan orang. Dua puluh dua tahun dan mereka ia telanjangi seperti tidak memiliki harga diri. Karena memang tidak pernah ada harga diri di tubuh Pakin, selain muntahan dan comberan. Karena memang tidak pernah ada apa-apa di dalam rumah Pakin, selain penderitaan yang begitu menakutkan.

"Perempuan itu seharusnya tidak perlu mati, toh dia sangat mencintaiku. Tapi dia harus mati karena kos-kosan semakin hari tidak ubahnya menjadi rumah pelacuran. Laki-laki datang silih berganti, suara ah uh terdengar ketika aku sedang membaca, ketika aku sedang menulis, ketika aku sedang makan nasi pindang hasil sedekah Jumat berkah musala terdekat, ketika aku sedang melamun, ketika aku sedang dipukul, ketika aku sedang ditendang, ketika aku sedang diinjak, bahkan ketika aku sedang tidur di kasur yang sama dengan mereka." Pakin menarik napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan-lahan. "BUNDA HARUS MATI KARENA MEMAKSAKU MELIHAT BUNDA HARUS BERSETUBUH SEHINGGA MENJADIKAN LIBIDOKU LIAR BAHKAN DI SAAT AKU BARU BISA PERHITUNGAN ANGKA SEPULUH!"

Bunyi jeritan beberapa penonton terdengar. Tubuh Pakin terkokol-kokol. Lalu ia tersenyum manis, sambil membenahi rambutnya. Matanya menatap genit, dan gestur tubuhnya berganti dari amarah membabi buta menjadi pria malu-malu yang kedapatan cinta pertamanya.

"Perempuan itu seharusnya tidak perlu mati, toh dia sangat mencintaiku. Tapi dia harus mati karena ketika aku bangun dari mimpi basah pertama kaliku, burungku sudah ada di dalam mulut Bunda. Burung kamu enak sekali, Sayangku. Coba kamu masukkan di vagina seperti yang kita lakukan saat itu. Kamu pasti suka. Tapi aku tidak mau, Bunda. Aku takut. Ayolah, Sayangku, aku kangen sekali sama kamu, burung kamu sangat cocok di tubuh aku. Ahhh... ah... Sayang, burung kamu enak sekali. Ah... iya di situ, Sayang. Di situ, di situ. Aduhhh... ini enak, Tuhan." Pakin tertawa kencang, kencang sekali sampai tanpa sadar, pertama kali di sepanjang ia mengingat, ia menjumpai apa yang ia cari. Air mata. Cairan mata itu menebal di dinding matanya, kemudian luruh melindas pipinya. Pakin mengusap pipi, dan menemukan biji air mata di pucuk-pucuk jari. Ia tertawa lagi sampai bahunya berguncang. "BUNDA HARUS MATI SEBAB KARENA BUNDALAH AKU MENJADI MANIAK SEKS BEBAS! SEBAB KARENA BUNDALAH AKU MENGALAMI KEKERASAN SEKSUAL! SEBAB KARENA BUNDALAH AKU MENGALAMI PELECEHAN!"

Pakin mengatupkan kedua tangan, menatap sosok imajinernya dengan lembut. "Kemiskinan memang pembunuh paling keji, tapi apakah kamu tahu siapa dalang pembunuhan paling tidak manusiawi di muka bumi?" Dia membuka tangan dan menunjuk tubuhnya sendiri. "Adalah peranakan kemiskinan. Dan aku membenci Bunda yang melahirkanku dengan kemiskinan membabi buta. Apakah kamu ingin tahu bagaimana aku membunuh perempuan keparat itu? Seperti ini. Mulanya ia sedang tidur, mendengkur mirip tengkukur, kemudian aku mencekik lehernya." Tawa Pakin melebar, rasa senang itu melompat-lompat ganjil di kepalanya. "Dan terus mencekiknya ketika Bunda terbangun, matanya melotot, ia memanggil-manggil pertolongan yang suaranya begitu merdu di telinga. Ia memohon ampun dengan tangis membabi buta yang begitu menyenangkan. Oh. Oh. Ketika Bunda berkata Pakin, tolongin, Nak Sayang. Bunda nggak bisa bernapas, Pakin. Tolongin Bunda, Pakin. Mereka sungguh terdengar manja di kepala aku, dan aku sangat memujanya. Bunda adalah wanita cantik dengan gaun tidur warna blewahnya, dengan gincu merah yang comeng di pipi seputih tahunya, dan kematian dan penderitaan adalah sebenar-benarnya hal yang layak untuk keindahan Bunda. Aku semakin mencekik Bunda, semakin menikmati penderitaannya, dan ketika dia sekarat sebelum ajal itu menjemput, keindahan Bunda seperti disepuh oleh lelehan emas yang memantulkan kecantikannya. Tuhan pastilah sangat iri dengan keindahan Bunda sehingga ia menjadikannya perempuan miskin yang harus membesarkan seorang anak sendirian. Lalu setelah itu, aku menggantung tubuh Bunda di tali yang kubuat dari seprai, sehingga tubuh Bunda terayun-ayun mirip orang gantung diri."

Kali ini suara penonton sangat riuh. Apalagi sewaktu Pakin melotot dan senyumnya lebar mengerikan. Adegan di depan benar-benar tak ubahnya mimpi buruk yang bahkan untuk memimpikannya pun mereka enggan. Pakin tak lebih dari iblis. Ia tak ubahnya pembunuh yang begitu menikmati penderitaan dari korban. Bahkan iblis rasa-rasanya terdengar masih terlalu lembut untuk mengimplementasikan penampilannya malam itu.

"Tapi kau pun layak untuk mati, Pakin!" Sewaktu Nanon dan kru bersiap memberikan tepukan tangan sebab sampai di sinilah puncak pertunjukan Pakin selama ini ia berlatih, mereka justru dikejutkan oleh aksi Pakin lainnya. Suara Pakin tiba-tiba berbisik dengan nada yang meliuk tinggi. Bisikan yang keluar dari suara perut itu sampai ke ujung gedung teater, sehingga ia seolah-olah tengah berkisik di belakang kuping para penonton. "Kau layak diganjar kematian!" Dari saku celana, Pakin mengeluarkan sebilah belati, lalu dengan kekuatan hebat, ia mengayunkan tangan, memegang gagang pisau erat-erat, lalu menancapkan ke kakinya dengan beringas. Darah segar langsung menciprati kain celana. Luka yang diakibatkannya sangat panas, dan mampu memecahkan kepala. Ia menarik belati tersebut, lalu berjalan mendekati para penonton. Darah menetes di ujung belati itu dan mengotori kain geladak.

Nanon menoleh ke arah Captain. Tapi Captain yang menggeleng, memberikan informasi bahwa ia pun tidak tahu-menahu tentang penampilan tambahan Pakin. Ia dan kru juga tidak mempersiapkan darah artifisial untuk mendukung monolog Pakin.

"Setelah apa yang kaudapati dalam hidup ini kaupikir kaulayak mendapatkan cinta dan kasih? Bahkan sahabatmu mengkhianatimu! Ia berbohong dengan kemiskinannya sementara orang tuanya adalah seorang hakim agung dan ibunya seorang diplomat yang kini bertugas di Austria." Kali ini ia menusuk kaki kanan berkali-kali. Darah menetes kian banyak. Para penonton yang masih mengira bahwa ini merupakan satu kesatuan dari monolognya hanya mampu berteriak histeris, dan tetap terjaga di kursi, seolah ingin melihat keedanan Pakin lebih liar.

Di sana, Pakin melihat bundar mata itu melotot kaget seolah-olah tidak menyangka kakak yang begitu ia idolakan mampu menusuknya sampai ke dada. Wajahnya serupa kertas putih kosong, dengan mulut terbuka lebar yang terlihat bergetar hebat. Fourth Nattawat telah mendapatkan ganjaran itu. Dan Pakin tertawa senang bukan kepalang melihat bagaimana kengerian memeluk tubuhnya yang ringkih. Kebahagiaan itu benar-benar membanjiri akal sehatnya.

"Kau layak mati, Pakin, sebab sosok Pangeran yang selama ini menjadi malaikat pun tak ubahnya iblis yang bekerja sama dengan sahabatmu untuk membunuhmu diam-diam. Berdua mereka bersekongkol memata-matai hidupmu sampai memasukkan orang ke dalam Moving to Heaven hanya untuk melihatmu bersetubuh! Dan mereka melakukan ini hanya untuk Oma yang apabila perempuan renta itu telah mati, mereka akan meninggalkanmu serupa sampah!" Pakin tertawa luar biasa kencang sewaktu menusuk rusuk-rusuknya, seketika kemeja putih itu banjir merah darah. Badannya bergegar-gegar penuh semangat. Tawanya tinggi, melengking, meremukkan pertahanan semua penonton. Sosok Pangeran di samping Fourth membulatkan mata lebar. Bahunya terlihat begitu kaku. Ia menggeleng berkali-kali sambil menekap mulut menggunakan tangan. Pria itu telah mendapatkan hukuman setimpal. Prosesnya menuhankan diri sendiri benar-benar menyenangkan.

"Kau layak mati, Pakin, sebab kawan yang selama ini mengoreksi Perempuan Pukul Empat Pagi tak ubahnya bandit-bandit nakal yang kehadirannya justru menyembunyikan segarba kebenaran kepadamu. Kamu layak menjadi dirimu sendiri ketika ada aku, cuih! Bagiamana harus menjadi diri sendiri jika yang ia tawarkan dalam lingkar perkawanan hanyalah kebohongan semata." Ia menancapkan pisau itu di bahu kanan kiri, sebab di sanalah ia meletakkan keberadaan Ohm selama ini. Berdiskusi dengan Ohm selalu mampu melengserkan rupa-rupa masalah di kedua pundak, mampu meringankan bobot beban yang menibani bahu. Dan apa yang Ohm lakukan tak lebih dari menusuk kedua bahunya sendiri. Pakin masih terus tergelak senang. Para hantu itu memberikan tepukan meriah. Wine mereka dantingkan, daging kalkun mereka kunyah dengan semangat. Kebahagiaan benar-benar menghantam mereka dalam gelombang suka cita. Dan Pakin bersumpah, penampilan Ohm ketika ia menghunjam kedua pundaknya adalah pemandangan paling indah yang pernah ia jumpai. Bahkan apabila ia telah mendaki puluhan gunung dan mencumbu rupa-rupa Rengganis, tidak ada yang sanggup menandingi bagaimana indahnya wajah Ohm sekarang.

Kemeja dan celana putihnya bersimbah merah darah, pun dengan pembungkus geladak, semuanya berwarna merah. Dan tak ada satu pun dari penonton termasuk Nanon dan Captain yang menyadari bahwa itu bukanlah akting semata. Mereka terlalu disihir oleh lakonnya yang membius. Kemarahan Pakin benar-benar meringkus mereka dalam ke ketakjuban yang begitu lekat.

"Kau layak mati, Pakin, sebab keindahan yang kaudewakan selama ini, yang di selangkangannya kau rela bersembahyang sebagaimana pengultusan kepada Tuhan, justru merekam video persetubuhanmu yang mirip artis porno dan memintamu untuk sadar di mana lokasimu berada selain kemiskinan." Pakin cekikikan ketika ia mampu melihat Luna ketakutan. Ini adalah pembalasan paling indah yang pernah ia miliki di sepanjang napas. Matanya melebar mirip setan, giginya terpampang begitu nyata. "Dan inilah ganjaran yang layak kaudapatkan akibat persekutuanmu kepada Tuhan, Pakin. Kau sangat layak untuk mati." Ia menghunuskan pisau ke mata. Pekik ketakutan para penonton pecah seketika. Mereka serempak berdiri. Nanon dan Captain buru-buru mendekat ketika mereka menyadari bahwa apa yang Pakin lakukan bukanlah merupakan seni lakon lagi, tapi Pakin mengangkat tangan untuk melarang mereka memasuki panggung. Ini masihlah menjadi pentasnya. Dan seperti yang ia sumpahkan, ia akan mempersembahkan kesempurnaan paling menyakitkan buat siapa pun. Dan ia tidak ingin kesempurnaannya diganggu oleh siapa pun.

"Kau sangat layak untuk mati, Pakin, sebab satu-satunya orang yang kaucintai dan menjadi penghuni tetap di kepalamu selama enam tahun ini justru menghancurkan hidupmu sampai remuk. Kau layak mati sebab keberadaannmu di mata orang yang kaucintai tak ubahnya ubi bakar di tumpukan arang yang tidak terlihat. Kau ada tapi kau tidak terlihat. Betapa hidup begitu mengerikan jika kau harus panjang umur dengan kondisi semenyakitkan ini?"

Neo Trai Nimtawat berdiri menjulang di sana. Tidak ada yang mampu membaca perasaan dan pikirannya termasuk Pakin. Pria berambut ikal itu mengadang tatapan Neo penuh cinta dan penuh damba. Ia tidak mengindahkan bagaimana sakit yang ditanggung badan, sebab penghakiman kepada Neo tak pernah terasa semembahagiakan ini. Pakin sangat menikmati wajahnya yang terkejut, Pakin sangat memuja ekspresi mukanya yang tidak mengira bakal menonton pertunjukan semengerikan ini. Oh, rasanya ia telah menjelma seperti para hantu itu, yang mendulang kebahagiaan paling sekarat dari penderitaan orang lain.

"Maka inilah ganjaran yang layak kauterima dari hidup nelangsamu, Pakin. Kematian." Kejadiannya begitu cepat. Nanon dan Captain yang berjaga di pintu teater bahkan sampai tidak mampu memproses insiden kilat di depan mata, ketika secara tiba-tiba Pakin mengangkat tangan, lantas dalam ayunan sekencang anting-anting, ia menancapkan pisau... di kepalanya. Tubuh itu ambruk dan berdebam di lantai panggung yang juga semerah darah segar seketika. Para penonton lari berhamburan, kucar-kacir berebut pintu keluar untuk segera hengkang dari gedung yang menampilkan proses bunuh diri dari seorang mahasiswa. Sementara tamu-tamu istimewa Pakin berdiri mematung, sebelum menyadari bahwa Pakin telah sekarat — benar-benar sekarat secara harfiah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro