Bab 24 🔞🔞🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bunyi petikan gitar terdengar, kawin dengan suara ukulele, detik berikutnya merdu vokal Richard membawakan Tiga Pagi memeluk ratusan penonton konser. Keriuhan menyambut lagu bermelodi kalem tersebut. Lautan manusia memantulkan bait-baitnya untuk bernyanyi bareng.

Dalam diam

Ada luka

Yang tertawa riang

Wangi melati menyuruk hidung Pakin ketika Luna menyandarkan tubuh di dadanya, sementara ia sibuk mengabadikan Fletch yang tengah menyihir para pentonton menggunakan ponsel pintar. Pakin tersenyum melihat gadis ini, lantas menggeleng-geleng gemas. Pakin tidak pernah mengira bahwa perempuan seindependen dia bisa semanja sekarang. Selama seminggu utuh Luna meneror Pakin untuk menemaninya menonton konser di Kemayoran. Tentu saja Pakin menolak. Selain karena ia tidak pernah bisa mempersilakan Luna, perang dinginnya dengan Neo adalah segala sesuatu yang jelas bermuara pada tidak. Tapi Pakin lupa bahwa Luna adalah perempuan gigih. Tiada hari tanpa pesan-pesannya berisi permohonan. Pakin berkali-kali meminta Luna untuk mengajak Neo, tapi Neo yang memiliki jadwal di kampus saat hari konser itu diadakan, membuat Luna bersiteguh membujuk Pakin. Dan Pakin yang sudah tidak mampu lagi memberikan penolakan, ditambah luka benjut di wajahnya telah pulih, akhirnya menerima ajakan Luna.

Ternyata keputusannya tidaklah buruk. Pikirannya sedikit fresh saat ikut bernyanyi bareng, atau melonjak dan menggerakkan tubuh. Berada dalam kepungan orang-orang berenergi positif kelihatannya membawakan pengaruh baik.

Ribuan cahaya

Hilangkan gelap

Menatapmu

Tak kuasa

Ku terserap

Sebelah tangan Pakin melingkari perut Luna, lalu ia menyeret tubuh gadis itu melekat. Ia tumpukan kepalanya di atas kepala Luna, dan aroma sampo buah-buahan menginvasi kepalanya. Gema tepuk tangan merebak seakan-akan meladakkan langit sore ketika Fletch merampungkan lagunya. Luna meloncat-loncat heboh dalam pelukan Pakin.

"Aduh, sorry, Kin, lo jadi harus megangin gue gini daripada nikmatin konsernya," Luna berbisik di telinganya.

Pakin tersenyum, mengusap perut Luna lembut, lalu berujar, "It's okay. Gue suka, kok. Lonjak-lonjak sesuka lo, gue jagain. Gue menikmati konsernya. Nggak usah merasa bersalah."

Lagu berikutnya Sadajiwa dialunkan, dan Arena Jiexpo seperti bergetar ketika para penonton berseru gegap gempita. Pakin ikut merasakan ambience para penggemar. Kendati ia tidak begitu mengenal band-band indie, Fletch mungkin sedikit pengecualian. Nanon yang merupakan fanboy dari sang vokalis, sering memainkan musik-musiknya ketika ia dulu berlatih teater.

Luna yang semakin aktif ketika malam menginjak, membuat Pakin benar-benar kewalahan. Ia lantas memeluk perut Luna dari belakang dengan kedua lengan, dan menumpukan wajah di pundaknya yang ramping. Perempuan itu tertawa kecil, memberikan Pakin ciuman karena laki-lakinya manis sekali malam ini. Pakin menyambut ciuman Luna dengan senang, sebelum kembali mengikuti konser sampai rampung pukul sepuluh malam.

"That was incredible insane. Gue suka banget sama mereka sejak album Konotasi. Oke, mungkin gue fomo, ya, karena suka saat Tiga Pagi viral, but after I looked further, Laraku Pilumu, Angin Hujan, sampai Blue Dawn tuh enak banget. Their music genre is totally undoubtly my fucking taste. Setelah Sheila On 7, mungkin ini kali pertama gue bisa sejatuh itu sama band."

Pakin tertawa mendengar keantusiasan Luna bercerita sementara ia sibuk mengemudi mobil menuju apartemen perempuan ini.

"Being a fomo is nothing to be ashamed of, kok, Lun, tenang aja. Malah bagus buat artisnya gue rasa, sebab penjualan tiket mereka turut didongkrak oleh partisipan para fomo. Apa yang kita suka, kan, nggak serta merta disukai banyak orang. Jangankan selera musik, selera menu nasi padang aja banyak yang berbeda. Sedangkan kalau nggak ada para pendengar, pemusik hanya akan menjadi peracau sendirian."

"Goddamn it. I love that words. Tanpa para pendengar, pemusik hanya akan menjadi peracau sendirian. Harusnya gue pakai kalimat itu waktu banyak penggemar Fletch nuduh gue fomo di setiap gue upload instastory nonton konser mereka."

"Lo bisa memakainya untuk membalas mereka, lo kan tadi banyak unggah IGS."

"Bener juga lo. Kalau menurut lo sendiri, ada, nggak, lagu dari Fletch yang lo suka banget? Atau ternyata lo baru mendengar mereka hari ini setelah gue ajak nonton?"

Senyum Pakin terkembang. Ia mengacak-acak kepala Luna, membuat rambut tebalnya berantakan. Luna mendengus mendapati perlakuan Pakin.

"Nanon kebetulan fanboy-nya Richard, sih, jadi gue sering denger lagu mereka kalau kami lagi latihan."

"Demi apa?"

"Lain kali kalau lo mau nonton mereka, ajak aja Nanon. Gue jamin bakal pecah pengalaman konser lo. Nonton konser dari band yang sama bakal terasa berbeda kalau lo menemukan orang yang sefrekuensi. Gue jamin."

"Couldn't agree more. Tapi, fuck, Kin, what we are talking about is Nanon Korapat. Artis hebat, ganteng luar biasa, kalem parah, dan I am really freaking idolize him sewaktu dia memainkan Balada Sumirah. I'm totally taking Nanon to the next Fletch concert no matter what, sih, kalau kayak gini caranya." Ia berseru ceria, senyumnya sampai melebar membuat kedua matanya menyipit, dan terus berceloteh tanpa henti sepanjang perjalanan pulang. "Jadi lagu Fletch apa yang lo suka? Dan kenapa? Gue mau dengar interpretasi lo kepada lagu itu."

Pakin bergumam, sedikit berpikir, sebelum menjawab, "Mungkin karena viral kali, ya, jadi gue into banget sama Tiga Pagi. Nggak ada interpretasi yang bagaimana-bagaimana, sih, sama lagu itu, tapi gue jatuh cinta dengan judulnya. Sebagian orang bertawadu di pukul tiga pagi dalam munajat paling romantis pada Tuhan, sebagian lagi terjaga dan dibekap depresi, sebagian lain berperang sama overthinking. Sehingga, dalam diam ada luka yang tertawa riang itu bagi gue bukanlah sekadar sebuah gubahan bait indah."

"Karena pukul tiga pagi adalah malam-malam paling sunyi where all that overthinking lives and all fears shouted out loud?"

"Exactly. Kita nggak pernah tahu bagaimana menderitanya sebagian-sebagian yang lain untuk memantaskan diri agar diterima, paling enggak, sama lingkungan. Atau hampir putus asanya sebagian lagi dicengkeram tangan-tangan depresi yang memaksanya untuk tenggelam. Semua hantu itu bagi beberapa pihak orang memang ada yang nggak pernah meninggalkan mereka, tapi eksistensinya ketika subuh hampir-hampir datang adalah sebagaimana bisingnya pasar-pasar Dieng."

"Fuck you, Kin, you really are an incredible insane artist. Gue selama ini hanya tahu bahwa lagu itu adalah tentang kita menyikapi dan bijak terhadap luka-luka, and wow... now I got another version." Luna memukul lengan Pakin pelan. "Gue udah baca Perempuan Pukul Empat Pagi, dan I'm completely crazy over you. Bagi gue itu adalah karya paling sepi yang pernah gue baca selama ini. Dan gue turut kasihan padanya, pada lo."

"Sepi bagaimananya?" Kedua tangan Pakin tanpa sadar mencengkeram erat setir mobil.

"Marta is indeed a prostitute with all the suffering and complicated stories, ia berhaha-hihi bahkan ketika direndahkan oleh orang yang membeli jasa esek-eseknya, maupun ketika ia diludahi germo keparat itu. But the deeper I read, the more I felt lonely. Air mata itu seolah-olah mengering and no one listens to it sampai Jawa Pos menerbitkannya."

Luna menjeda penjelasan ketika ia mereguk sebotol air mineral. Sekarang hampir pukul sebelas. Mereka sebentar lagi sampai di apartemennya. Dan Pakin tidak bisa menyembunyikan keterkejutan di wajahnya. Dari segala kemungkinan apresiasi yang ia dapat untuk Perempuan Pukul Empat Pagi... bagaimana bisa Luna menebak di daerah yang selama ini ia lindapkan eksistensinya? Pakin hampir-hampir tidak lagi mengenal sejarah itu apabila para hantu yang selalu berjaga di sekeliling tidak mengingatkannya setiap hari, di sepanjang malam. Usaha yang mati-matian ia lakukan untuk memakamkan cerita itu agar tidak diendus oleh orang lain, jelas menjumpai kegagalan. Ia terserak-serak, porak-poranda, hanya dari kalimat satu tarikan napas dari Luna. Mata Pakin menjegil rupa-rupa, ketakutan tiba-tiba merayapi tengkuknya yang dingin.

"Ia berupa air mata kesepian di malam-malam bising," Luna melanjutkan, "air mata putus asa sebab perekonomian yang sulit, air mata menyerah kepada takdir yang nggak pernah berpihak kepadanya. She even had to live alone raising Putri. Marta memang menarasikan laki-laki yang menghamilinya kabur, but what about her family? Did they kick her out ketika dalam kondisi hamil? Apakah kehamilan Marta menimbulkan aib buat keluarga sehingga orang tuanya harus mengusirnya? Gue nggak tahu. Perempuan Pukul Empat Pagi adalah kesepian paling nelangsa bagi gue."

Damn! Perempuan itu seperti menelanjangi Pakin telak. Pakin bahkan tidak siap ditembak dan diberangus dalam kondisi semendadak ini, di mana sebelumnya mereka hanya mengobrolkan hal-hal ringan. Buku-buku jarinya memutih saking kencangnya ia meremas batang setir. Ia bahkan tanpa sadar menahan napas sejak mendengarkan penuturan Luna.

"And I really wish that Putri wasn't you. I can't imagine if Putri was really you, neraka apa yang lo alami selama ini. Did anyone hear your cries? Ataukah mereka mengering sebelum sampai di telinga siapa pun? Penderitaan apa yang lo alami di Tiga Pagi? Apakah hantu-hantu itu seramai Pasar Dieng? I sincerely pray that you are not Putri, Kin. Gue nggak bisa membayangkan lo sesepi itu."

Luna benar-benar perempuan cerdas, dan Pakin tidak meragukan hal tersebut. Mungkin jika ia tidak memiliki ketertarikan kepada Neo dan bukanlah seorang homoseksual, Pakin jelas akan semudah itu jatuh ke dalam pesona Luna. Ia bahkan tanpa perlu melakukan banyak usaha untuk mendapatkan atensi. Seluruh apa yang ada dalam dirinya adalah pusat perhatian, bahkan diamnya pun merupakan medan magnit. Kecerdasannya adalah bentuk kemustahilan dari proses penciptaan kesempurnaan yang tidak mampu digugat, dan Pakin benar-benar menyetujui gagasan tersebut. Walaupun Ohm sudah berulang kali membaca karyanya, ia tidak pernah sampai di titik pemahaman sebagaimana Luna. Dan Pakin menyukurinya. Ia tidak pernah siap mempertontonkan bopeng dan borok di balik kemeja yang ia kenakan. Tapi perempuan ini dengan mudahnya melucuti semua pakaian yang ia kenakan, sehingga menyisakan jasad merana yang terpuruk dalam sepi.

"She is not me, and will never be me."

"I hope so."

Mobil memasuki apartemen Luna di daerah Kalibata. Begitu mematikan mesin, Pakin berpamitan. Tubuhnya sudah sangat lelah. Ia butuh pelepasan. Beberapa batang rokok atau alkohol adalah hal yang sangat ia butuhkan sekarang. Tapi dengan halus perempuan itu menolak. Ia menggamit lengan Pakin dan mengajaknya untuk berkunjung. Aroma melati yang familier menusuk hidung Pakin sewaktu ia masuk ke kamar yang begitu bersejarah tersebut. Luna membuatkannya secangkir kopi, dan Pakin sudah akan melenggang ke balkon sewaktu Luna menghelanya ke kamar.

"Gue senang banget hari ini, Kin. Gue nggak pernah mengira lo teman yang asyik buat nonton konser. Lo nggak bawel, nggak cerewet, bahkan suka-suka aja gue ajak bikin instastory." Luna merebahkan tubuh menghadap Pakin, dan pemuda berambut keriting tersebut melakukan hal serupa.

Pakin tahu apa tujuan Luna, dan ia tidak menampik bahwa ia pun menginginkannya. Perempuan ini sangat cantik. Ia memakai tanktop hitam dari brand ternama yang ia lapisi croptop putih. Luna menopang kepala menggunakan sebelah tangan, membuat perut kencangnya terlihat, menampilkan lubang mungil udelnya. Luna hanya memakai skirt jeans di atas paha, dan sekarang kain itu tersingkap untuk menunjukkan kulit pahanya yang mulus. Pakin mendekat. Deru napasnya memanas, seiring dengan gelegak darahnya yang seperti mulai direbus di atas kompor.

"Gue juga suka, Lun. Lo cantik banget, gue sampai pusing. Mati-matian gue jagain lo supaya lo nggak dinikmati oleh cowok-cowok di sana. Tapi mana bisa, sih, kendati lo gue peluk erat-erat? Yang ada semakin tinggi lo melonjak, semakan lapar mereka menatap lo. Gue cemburu, Lun."

Suara tawa Luna benar-benar bajingan. Sangat mampu memancing libido Pakin. Susah payah ia menahan hasrat supaya tidak kelepasan dan menyerang Luna sekarang juga, tapi perempuan itu begitu lihai mempermainkan Pakin.

"Kenapa harus cemburu kalau malam ini hanya lo yang bisa memegang gue?" Luna menarik tangan Pakin, dan ia daratkan di buah dadanya yang menggemuk.

Pakin meremasnya perlahan, semakin merapatkan tubuh. Jantungnya berdebar-debar kencang.

"Gue emang sengaja, sih, tampil cantik supaya lo nggak bisa menghindari gue."

"Lo nggak perlu berdandan hanya untuk mencari perhatian gue, Lun. Lo tahu gue udah jatuh pada pesona lo. Tubuh lo benar-benar mirip dewi yang bisa gue puja dalam pemujaan paling erotis dan gue pastikan lo nggak bisa hidup tanpa persembahan-persembahan gue."

"Gue memang menciptakan diri gue sebagai batas kegagalan orang mempertahankan keimanannya. Gue adalah semua nafsu yang membabi buta, dan akan gue buat semua orang seperti lo, Kin. Menyembah gue dalam pesona yang nggak bisa ditampik."

"Gue setuju, Lun. Lo adalah semua iya dari semua pertanyaan dan pernyataan." Pakin mengusap-usap dada Luna dengan sayang. "Can I fuck you, Lun? I'm totally desperate all over you. Tubuh lo benar-benar berhala bagi gue."

"Then beg me, Kin."

"Please."

Tangan Pakin mengelus perut Luna perlahan-lahan, guna merasakan tekstur halus dari kulitnya yang singset. Ia melabuhkan ciuman paling nelangsa yang pernah ada. Bibir Luna yang empuk ia lumat hati-hati. Atas bawah secara bergantian. Luna merintih dalam ciuman itu ketika Pakin menggigit bibirnya. Tanpa mengabaikan kesempatan, Pakin menyelusupkan lidahnya, dan mulai menggauli lidah Luna yang kenyal. Daging itu empuk dan kasar, basah dan penuh liur, yang ketika membelit lidahnya, memberikan sensasi memabukkan. Pakin seolah-olah ingin mengunyahnya sebab ia mengingatkan Pakin pada Yupi yang elastis, tapi jelas itu bukanlah sesuatu yang bisa ia wujudkan. Maka yang bisa Pakin lakukan hanyalah mengemut, lantas menyesapnya, tak berselang lama setalah itu ia menyedot kuat, membuat liur berlelehan. Dan Luna melenguh hebat. Suara rintihan Luna benar-benar bak langgam paling nakal dari tubuh seorang manusia. Nadanya yang manja dan penuh permohonan seperti memuaskan seluruh egoisme Pakin tentang dirinya sendiri.

Tangan Pakin naik, meraba tanktop Luna yang membungkus payudaranya. Ia memijit-mijit daging lentur itu, meremasnya, dan memasukkan jarinya ke dalam sana. Putting Luna yang berkerut dan tanpa tulang ia esek-esek, ia tekan-tekan, ia peluntir-peluntir, membuat Luna mengerang nikmat dalam ciumannya yang panas. Luna kian mendekat, dan menekan vaginanya ke dengkul Pakin. Rasanya juara kelas. Enak itu merebak ke seluruh tubuh, lalu pecah sampai ke tulang sikut. Vaginanya berkedut-kedut. Perutnya terasa melilit. Kepalanya pusing mendapatkan sentuhan-sentuhan dari Pakin.

Tangan Pakin mengeluarkan payudara Luna, sehingga buah dada itu tergantung di kaus tanktopnya, lantas ia semakin kuat meremas-remanya, dengan jari yang terus melecehkan putting; menekan, menjepit, dan memilin-milinnya gemas. Luna kian tidak keru-keruan. Tubuhnya berpendar merah, hasil dari nafsu cabulnya malam ini. Pakin menyingkap croptop Luna, melorotkan tanktop, supaya payudaranya yang sekal dan bulat itu terpampang. Ia memosisikan wajah di dada Luna yang seharum melati, dan ia mulai menyusu. Rasanya tidak mampu Pakin deskripsikan. Sejak persusuannya di payudara Luna ketika mereka trisam, Pakin tidak menampik bahwa payudara Luna lezat. Apalagi ditambah dengan aroma keringatnya yang mulai mengering dari pertunjukan konser, dan wangi sabun yang masih meninggalkan bekas di kulitnya yang seputih repihan gamping, Luna seperti tengah menghidangkan kenikmatan yang menikam kepalanya diam-diam.

Lidah Pakin menjilat-jilat giat putingnya yang sewarna buah jambu air, sementara tangan lain mulai merogoh selangkangan Luna. Sudah sangat basah ternyata. Pakin usap-usap sekepal daging penuh berahi tersebut, lantas menekan-nekan dinding klitoris yang timbul di celana dalamnya. Luna mengerang kencang, semakin membuka lipatan paha. Rok jinsnya naik sampai perut, membuat Pakin leluasa mengurut-urut kemaluannya yang gembil. Ia memilin biji kelentit Luna, yang dalam tempo selanjutnya, ia gepit. Luna memekik lantang, merintih keenakan.

"Engh... Kin."

"Apa, Sayang? Kamu minta apa?"

"Undress me, Kin, please, just use your teeth."

Orang sinting mana yang memberikan perintah tidak senonoh ketika hendak kawin tersebut? Kendati persetubuhan adalah proses paling hina hanya untuk memuaskan nafsu selangkangan, tapi ucapan-ucapan tidak sopan dan nakal seperti itu justru membuat Pakin kian terangsang. Apalagi ia minta ditelanjangi hanya menggunakan gigi. Sinting namanya. Pakin mengahadap pangkal paha Luna, dan mematuhi perintah dari sang terkasih. Menggunakan gigi ia melorotkan celana dalam Luna, juga roknya, juga croptop serta tanktopnya, dan memperlihatkan bagaimana tubuh telanjang itu adalah puncak keindahan yang pernah dimiliki manusia justru ketika ia berada di titik paling nista. Pakin pernah mengabadikan ketelanjangan Luna dalam prosa pemujaan paling sakral. Dan sekarang ia benar-benar bersumpah, bahwa jika dosa adalah sebagaimana hal berkaitan tentang pengenalan jati diri, ia sanggup memanifestasikan dirinya untuk bersembahyang di selangkangan Luna pada malam-malam paling kalis — di sepanjang ia hidup.

Pakin mengangkat paha Luna, dan melabuhkan wajahnya di sana, membaui saung sanggama yang beraroma tebu dan air jahe yang familier, yang membuat kontolnya seketika berkedut-kedut. Ia menghirup daging segar Luna, lantas mulai menjilati kelentitnya yang berjembut tipis. Rasanya sungguh edan. Ia kecil, sangat lembut, seperti sepotong tekak. Lidah Pakin hampir-hampir menggigitnya saking ia gemas setengah mati. Ia memasukkan jarinya di liang persanggamaan Luna. Dua sekaligus, membuat tubuh Luna tersentak. Luna meremat seprai kencang supaya tidak kesetanan. Paha semakin ia buka lebar, dan gelombang orgasme itu datang menghantam tatkala Pakin berkali-kali menyodok kelaminnya tanpa welas asih. Pria ini jelas sesuatu, dan Luna diam-diam mengagumi kemampuannya bersetubuh. Ia jadi sanksi apakah Pakin benar-benar homo ataukah sebenarnya ia seorang biseksual? Sebab jika memang ia homo, dari mana ia dapat kemampuan memuja tubuh perempuan sehebat ini? Apakah ia memang sebenar-benarnya perempuan pertama yang Pakin gauli? Atau justru tanpa sepengetahuan siapa pun, Pakin pernah berhubungan badan dengan banyak perempuan? Luna tidak tahu, tapi keterampilan Pakin jelas sesuatu yang tidak bisa dilipirkan.

Tekstur liang vagina Luna kasap seperti selembar ampelas dan seolah berbintil-bintil mirip pasir ketika Pakin mencoba melakukan penetrasi. Dan itu adalah ancaman bagi kewarasannya, sebab ketika ia menggerakkan sedikit saja batang penis, lubang vagina Luna seolah meremas dan menggiling penis Pakin dalam pijatan yang menyebar dari puncak hingga pangkal kemaluan. Pakin mengerang nikmat. Ia sungguh-sungguh menyukai sensasi ini. Sadar bahwa liang persetubuhan Luna mengingatkan Pakin pada tabung penis sewaktu BDSM, ia semakin semangat merunjamkan kontol. Ia berstruktur, tapi lembut, yang ketika Pakin bergerak, seperti meremat burung Pakin kuat-kuat.

Persetubuhan itu panjang dan liar, panas dan penuh berahi, yang Pakin dan Luna lakukan dengan bermacam-macam gaya, membuat kamar bernuansa pastel dengan wangi melati itu penuh akan suara erangan Pakin dan Luna, juga bunyi pak-pak dari benturan kulit keduanya. Kadang Luna di pangkuannya, kadang Pakin menghantam kemaluannya dari belakang, kadang ia melakukan gaya nungging, sampai terakhir ia dan Luna berorgasme ketika ia menyondok Luna kencang dalam gendongannya.

Keduanya ambruk kelelahan, lantas tertawa kencang sebab mereka baru menyadari malam sudah nyaris rompal di pukul dua dini hari. Itu berarti sudah tiga jam mereka bersangggama. Pakin mengambil sebungkus rokok dan menyulutnya sebatang ketika Luna mengeluarkan suara.

"Apa yang lo pikirkan ketika lo berkata bahwa gue nggak pantas buat Neo?"

Tubuh Pakin mematung dalam sekejap, sebelum memutuskan membawa batang rokoknya keluar kamar, dan membiarkan dirinya kembali telanjang, seperti ketika di apartemen Force, di balkon apartemen Luna. Inilah yang Pakin tunggu-tunggu sejak seminggu ini Luna menghancurkan ketenangannya. Kehadirannya yang mirip kancil itu benar-benar merusak segala tatanan. Pakin sudah bersabar mengikuti arah permaian Luna dari ketika ia bertemu dengan Luna di parkiran kampus sampai persetubuhan itu lulus. Ternyata ketika semua berahi sudah tuntas, Luna baru menembakkan bedilnya. Sebuah keputusan yang cerdas. Perempuan itu jelas tahu bagaimana caranya bermain.

"Gue tahu lo sangat mencintai Neo, tapi bisa, kan, lo berikan Neo pada gue, Kin? Neo adalah satu-satunya alat yang akan membantu gue, untuk pertama kali dalam hidup, merasakan dihargai orang tua gue dan dipandang sejajar sama mereka. Gue nggak akan melepaskannya begitu saja." Luna sudah memakai kancut dan tanktop ketika menyusul Pakin. "Lo jangan merasa paling memiliki hak atas tubuh Neo, Kin, sebab lo nggak pernah ada di saat Neo membutuhkan bantuan selama ini. Dan bukankah gue sudah memberi lo akses pada hubungan gue dan Neo? Lo sangat kami persilakan masuk ke dalam hubungan kami, tapi nggak ketika lo mulai memiliki kuasa."

"Kenapa kita bertiga nggak menikah saja, Lun? Gue dan Neo jelas akan menjadi suami-suami baik yang akan menjaga dan melimpahi lo dengan cinta yang utuh."

"Don't be crazy, Kin. I've never needed love jika itu yang lo tawarkan ke gue. Gue hanya membutuhkan penghargaan dan pengakuan dari orang tua gue, dan jelas lo nggak bisa memenuhinya. Status sosial kita berbeda, there is no way for us to establish a relationship in the name of love."

"Apakah pada akhirnya lo mengakui bahwa lo menyukai gue terlepas dari status sosial kita?" Pakin mengembuskan asap rokoknya dalam pekatnya malam. Pandangannya menjelajah, dan ia tidak mampu mendapati apa-apa selain sepi yang terlalu berisik.

"Lo homo, Kin!"

"Tapi gue bisa belajar mencintai lo jika itu adalah lo, Lun. Lo indah, lo cantik, lo cerdas, lo sempurna, seperti yang telah lo ciptakan untuk diri lo sendiri, lo adalah batasan dari kegagalan orang mempertahankan iman. Gue bisa memuja lo dari kondisi yang bahkan nggak pernah lo sangka-sangka, Lun. Dan gue sangat yakin, baik Drake maupun Neo nggak mampu mempersembahkan pemujaan sebagaimana gue pada lo. Di antara mereka, hanya gue yang bisa membelai keangkuhan lo, Lun. Jangan menutup mata akan hal itu."

Luna mendesah berat, memijat kepala. "Bahkan jika itu memang benar, kita nggak ada jalan ke sana, Kin. Yang bisa gue tawarkan dari hubungan ini hanyalah persetubuhan daging dengan daging semata. Nggak lebih."

"Lo membohongi perasaan lo."

"Gue sudah membohongi perasaan gue di sepanjang hidup, dan gue bisa bertahan sampai sekarang. Selama gue berada di atas tanah, tujuan gue hanya satu; membuat orang tua gue memberikan pujian kebanggaan pada gue dan akhirnya mengakui keberadaan gue setara sebagaimana mereka memperlakukan saudari gue. Sebut gue tolol, terserah! Gue nggak akan mengorbankan tujuan gue hanya untuk sebentuk cinta yang nggak jelas masa depannya."

"Seburuk itukah gue sampai-sampai lo merasakan jijik dengan keberadaan gue?"

"Bukan di situ titik koordinat gue, Kin." Luna menggeram keji, menatap Pakin, yang sama sekali tidak menatapnya, dengan angkara murka. "Keadaannya adalah, gue sudah lama hidup seperti ini, Kin. Seperti kata lo, gue sudah kehilangan jati diri gue semenjak gue menciptakan topeng-topeng itu. Gue nggak tahu lagi harus mencari jati diri gue ke mana, maka yang bisa gue lakukan adalah terus mendempul mereka semakin tebal. Dan gue sudah memutuskan bahwa gue akan terus menggunakan topeng ini sampai liang lahat menutup jasad gue."

"Bagaimana jika gue bisa menemani lo menemukan jati diri lo yang telah hilang? Mungkin saja selama ini ia nggak hilang, hanya saja lo yang nggak bisa mengenali keberadaannya. Gue sangat mampu melakukannya demi lo, Lun. Seperti Neo, gue pun ingin melindungi dan menjaga lo."

"Jangan membohongi diri lo, Kin! Lo homo dan nggak mungkin untuk mencintai perempuan!"

"Seperti kata gue tadi, jika itu lo, gue bersedia belajar jatuh cinta."

"Munafik," desis Luna, baru setelah itu Pakin benar-benar menoleh ke arahnya. "Lo saja nggak yakin dengan diri lo sendiri, bagaimana lo bisa meminta gue mengorbankan masa depan gue bersama lo? Lo homo dan lo nggak akan pernah bisa mencintai orang lain selain dari gender lo. Dan lo meminta perempuan dewasa untuk gambling hidupnya dengan seseorang seperti lo? Bahkan jika kita menikah, lo nggak hanya menyakiti gue, tapi juga keluarga gue, juga lembaga pernikahan itu sendiri. Jangan menyembunyikan orientasi lo di balik pernikahan, Kin. Itu dosa paling nggak bisa termaafkan."

Pakin mengembuskan asap rokoknya lamat-lamat.

"Dan apabila yang gue rasakan ini cinta, gue nggak mau membiarkannya tumbuh segar di hati gue. Keluarga gue dari lingkungan terpandang dan terpelajar, Kin. Kami memiliki bisnis rumah sakit terbesar di Lampung. Gue nggak ingin merusak garis warisan keluarga gue dengan peranakan Marta!"

Rahang Pakin mengetat, matanya tajam menusuk perempuan di hadapannya. Emosi itu berkumpar membelit kewarasannya. Ia menatap Luna atas sampai bawah, kemudian mendecih sambil mengembuskan asap rokok. Tidak dimungkiri, aksinya barusan seperti menarik pemantik di tumpukan jerami, mengakibatkan emosi Luna menjilat-jilati egonya.

"Masa depan seperti apa yang akan gue berikan pada anak gue jika mereka memiliki ayah dengan riwayat depresi yang ia warisi dari ibunya? Ibu lo nggak lulus sekolah, Kin. Kita juga nggak tahu pendidikan terakhirnya apa. Bisa jadi SMA, SMP, atau jangan-jangan tidak lulus SD. Selain itu dia seorang pelacur. Dan jika yang gue rasakan adalah cinta, apakah lo pikir gue bisa mempersembahkan lo dengan segala latar belakang keluarga lo kepada orang tua gue? Lo lihat gue, nggak, sih, Kin? Gue selalu diremehkan, gue nggak pernah dianggap ada, gue adalah nomor dua, dan apa yang orang tua gue katakan kalau menantu mereka lahir dari lingkungan pelacuran? Gue bukannya menghina lo, Kin, serius. Gue hanya ingin mengajak lo berpikir realistis. Cinta itu harus sepadan, Kin, agar apa yang kita berikan kepada pasangan memiliki persepsi yang sama, jadi nggak ada yang merasa rendah dan direndahkan dari perbedaan pandangan kita."

Pakin mengangguk-angguk. Hantu-hantu di kepalanya terkakak-kakak. Mereka suka sekali melihat Pakin dilumpuhkan oleh orang yang tidak pernah ia anggap ada. Selama ini Pakin adalah keangkuhan berwujud manusia, yang merasa dirinya berada di titik paling tinggi hanya karena pernah merasakan titik rendahnya kehidupan. Jadi melihat Pakin terpuruk adalah kesenangan, apalagi ketika tujuan mereka hampir mendekati target, kebahagiaan itu benar-benar meletup-letup menyengsarakan Pakin.

"Lo benar, Lun, gue nggak bisa menyediakan bangku yang sama tinggi buat lo. Mungkin jika sama gue, yang lo dapatkan nggak lebih dari penderitaan semata."

"You got what I mean, Kin, maka biarkan gue hidup dengan kehidupan gue. Lo sangat gue persilakan masuk dalam hubungan gue dengan Neo, tapi nggak dengan kepemilikan. Lo harus tahu batasan lo sampai di titik mana. Gue tahu lo sangat mencintai Neo, tapi lo jangan pernah memaksa keegoisan lo semata. Orang tua Neo akan memenangkan pemilu tahun depan, dan Neo sudah dikaderisasi salah satu partai anak muda yang akan mendapuknya sebagai ketua umum. Kalau dia memiliki lo sebagai pasangan, lo jelas akan merusak hidup dan keluarganya. Semua masa depan mereka akan hancur, dan bisa jadi mereka di-cancel masyarakat karena lo tahu sendiri bagaimana pandangan mereka terhadap LGBT."

Pakin menatap Luna dengan kepala penuh tanda tanya. Ia sudah akan membuka mulut ketika Luna menyelanya.

"Gue tahu lo ada di Moving to Heaven. Gue mengenal orang tua Neo dari Moving to Heaven karena gue pun anggota. Asal lo tahu, sebagai seorang minoritas, posisi mereka terancam sewaktu-waktu. Mereka jelas butuh pegangan kuat agar kekal dalam jabatan. Dan gue nggak akan membiarkan rencana gue gagal kalau mereka digulingkan oleh oposisi hanya karena mereka memiliki anak yang mempunyai orientasi seksual menyimpang."

"Neo tahu lo anggota Moving to Heaven juga?"

"Dia nggak butuh tahu, Kin. Yang perlu dia ketahui bahwa dia nggak bisa hidup tanpa gue dan masa depan politik orang tuanya cerah. Gue sudah menyusun rencana ini matang-matang dan gue harap lo menjauhkan moncong lo dari pribadi gue atau lo akan menyesal seumur hidup. Lo pikir lo bakal terus lolos dari kecaman hate comment setiap lo melakukan tindakan tolol? Lo pikir Fourth akan terus mem-back up lo ketika lo berada di titik rendah dengan dalih persahabatan? Perkawanan itu kamuflase, Kin, nggak pernah ada eksistensinya tanpa adanya keuntungan dari masing-masing pihak. Lo nggak bisa selamanya bergantung pada orang untuk menyelamatkan hidup lo semata. Lo bukan pusat dunia. Lo nggak lebih dari putri seorang Marta."

"Lo ada di balik akun-akun yang menyerang dan membully gue, Lun?" Suara Pakin sampai bergetar sewaktu mengatakannya. Ia sama sekali tidak mengira, di antara ratusan orang yang membenci, justru orang terdekatnyalah yang menusuk diam-diam. Di antara semua kemungkinan, ia justru mendapati luka paling berdarah di atas keindahan yang ia puja serupa pemujaan Rahwana kepada kekasihnya. Ini benar-benar lajak, menghancurkan pecahankaca itu sampai remukannya tidak lagi memiliki bentuk selain berupa debu. Barangkali jika memang pengkhianat adalah seburuk-buruknya wujud manusia, maka Pakin tidak pernah mengira ia akan menjumpai keburukan di atas keindahan yang begitu kontradiktif. "Jawab gue, Lun, lo dalang dari semua perisakan itu?" Matanya hampir-hampir menggelinding saking lebarnya ia melotot.

"Gue hanya mempertahankan kepemilikan gue, Kin. Sejak enam bulan lo menghilang entah ke mana dan Neo dekat sama gue, gue menyadari bahwa keberadaannya gue butuhkan. Gue menyadari bahwa dialah satu-satunya yang bisa membuat orang tua gue melihat gue pada akhirnya. Gue pikir jalan gue mulus sebab lo nggak menunjukkan tanda-tanda ingin balik, tapi ternyata gue keliru. Nggak ada angin dan nggak ada hujan tiba-tiba lo menghubungi Neo dan mengabarkan bahwa lo sudah ada di stasiun, lalu dia meninggalkan gue begitu saja hanya untuk menjemput lo. Gue melakukan segala cara agar lo merasakan rendah diri dan nggak pantas berada di lingkungan Neo, sampai gue mengikutsertakan lo yang nggak punya apa-apa ke dalam hubungan gue. Apalagi setelah dua pem-bully-an itu membuat lo terpuruk, gue pikir lo telah benar-benar menyerah pada Neo. Tapi gue sama sekali nggak mengira, lo mendengking mirip anjing di sekitar kaki Neo. Maka inilah yang harus gue lakukan sebagai pertahanan terakhir gue."

Luna mengangkat ponselnya tinggi-tinggi, dan memainkan video persetubuhannya dengan Pakin malam tadi dengan gaya paling tidak senonoh mirip film porno. Tapi ajaibnya, dari sekilas potongan video yang terpampang, wajah Luna tidak terlihat di sana selain hanya menampilkan wajah Pakin dengan jelas dan gamblang.

Pakin tertawa keras sekali melihat video itu, yang membuat Luna kebingungan. Sebuah pertanyaan hebat menggempur kepalanya kendati ia sangat tahu jawabannya: kapan perempuan ini mulai merekam? Ia mematikan batang rokoknya, kemudian menatap Luna dengan culas.

"Lo mau mengancam gue dengan video itu?"

Ia tertawa mirip orang gila. Jenis tawa panjang yang nadanya ia ulur-ulur sedemikian rupa, sehingga berakhir dengan seringai yang menggigilkan tulang. Jujur saja, Luna sedikit ketakutan melihatnya seperti ini. Ia mundur selangkah ketika Pakin merangsek maju. Sekali lagi Pakin menatap Luna atas sampai bawah, lantas ia meludah tepat di ujung kakinya — sebagai bentuk bagaimana Pakin telah merendahkan perempuan ini di tempat seharusnya ia berdiam diri. Pakin terdiam sejenak ketika sesuatu melintas secara mengejutkan di kepalanya. Ia lantas melonjak histeris, berseru lantang, meninjukan kepalan tangannya ke udara, dan kembali tertawa kencang. Ia membelai lengan telanjang Luna. Jika beberapa jam lalu sentuhannya serupa lelehan karet yang mendidih atas nama hasrat, maka sekarang sentuhannya hanya mampu meninggalkan jejak dingin yang mencelus sampai ke hati. Luna merapat tembok di belakangnya. Menatap cokelat mata Pakin yang berkilat keji.

"Gue undang lo dalam pentas monolog gue minggu ini. Siapa tau lo memiliki bahan untuk kembali membanjiri base kampus dengan bullying tentang gue. Tapi tenang, kali ini nggak ada Fourth yang akan melindungi gue. Jelas nggak ada Neo yang berpihak karena kami sudah nggak ada lagi hubungan pertemanan. Juga nggak ada Ohm dan Nanon yang telah mengkhianati gue. Lo hanya akan melihat gue seorang diri tanpa dukungan siapa pun, dan gue pastikan lo akan memuja gue sebagaimana lo mengidolakan Nanon. Suatu kehormatan bagi gue kalau mantan finalis Putri Indonesia bersedia datang dalam pentas teater gue, jadi gue berharap lo benar-benar datang."

Pakin meninggalkan balkon, berjalan tenang sambil bersiul menuju kamar Luna. Ia mengambil ponsel, membuka blokirannya kepada Pangeran dan mengiriminya pesan singkat. Setelah itu dengan perasaan riang gembira, masih terus bersiul, ia membuka pesan dari adik kesayangannya yang tidak ia indahkan selama seminggu ini, Fourth Nattawat, lalu mengirimkan sebuah pesan kepadanya, juga sepucuk chat pendek buat Neo dan Ohm. Kemudian ia menelepon Nanon, sebab tiba-tiba saja sebuah ide tercetus di kepalanya tentang konsep yang akan ia bawakan untuk monolog nanti. Dan sebelum ia meninggalkan tempat yang begitu indah ini, ia menghubungi Captain guna membicarakan setting panggung.

Pakin jelas tidak akan memberikan yang terbaik untuk pentas teaternya nanti. Bukan pula menciptakan pertunjukan 'lebih baik' dari tahun kemarin. Ia akan mempersembahkan kesempurnaan di sana. Walaupun ia tahu tidak pernah benar-benar ada kesempurnaan yang jatuh ke tanah setelah Adam diusir dari Nirawana, ia yang akan menuhankan dirinya dan melahirkan kesempurnaan itu sendiri. Dan Pakin berjanji tidak akan membiarkan para penonton meninggalkan gedung teater tanpa decak kekaguman yang terucap hanya padanya, sebab kesempurnaannya kali ini benar-benar sanggup menggulingkan eksistensi ketuhanan yang pernah ada. Bahkan jika memungkinkan ketuhanannya bisa dipeluk dalam sebuah kepercayaan, Pakin tidak akan berpikir dua kali untuk menjadikannya sebuah agama. Agama kesempurnaan bernama Mark Pakin. Itu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro