Bab 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Neo Trai Nimtawat berdiri menakutkan di lobi ketika Pakin turun pukul dua dini hari. Wajahnya terlihat menyeramkan, matanya menyalak tajam, bibirnya terlipat segaris saking hebatnya emosi yang ia pendam. Pakin menelan ludah. Mungkin memang sudah saatnya bagi ia untuk berkomunikasi dengan Neo setelah menghindari kawannya hampir seminggu ini. Pakin sangat paham apa yang bakal terjadi padanya. Kemarahan Neo kemarin yang belum tuntas, lalu pesta seks yang ia ikuti, pasti subuh ini akan ia habiskan dengan penuh perjuangan.

"Sudah makan?" tanya Neo ketika Pakin sampai di hadapannya.

"Belum."

"KFC mau? Atau nasi goreng deket kampus?"

"KFC ajalah. Jauh kalau harus muter ke kampus."

Neo mengangguk, lantas memimpin Pakin menuju parking area dan meluncur mencari KFC terdekat. Selama di dalam mobil, Pakin terdiam. Matanya menelanjangi jalanan Ibukota yang lengang. Usikan AC yang sejuk membelai lembut kulitnya. Musik melantunkan suara Panji Sakti. Dan Neo tidak ada tanda-tanda ingin mengajaknya berbicara. Pakin sendiri bingung harus membawa topik obrolan apa. Sangat mustahil ia melemparkan fakta yang ia dapat dari Moving to Heaven tentang keanggotan orang tuanya dan bagaimana mereka mereguk kemenangan selama ini, dan bagaimana kesetiaan mereka kepada Force dan Book yang membuat Moving to Heaven bisa berdiri kukuh sampai sekarang. Selain kebencian tanpa dasarnya kepada Force, Neo juga sepertinya dalam mode tidak ingin menyenggol kepentingan orang tuanya.

Setelah mendapatkan pesanan melalui drive thru Neo mencari tempat parkir agar bisa menyantap makan subuh mereka. Masih tidak ada obrolan yang bergulir, menjadikan aura di mobil bahkan Pakin jamin lebih dingin dari titik beku Puncak Dieng ketika musim kemarau. Ia menyantap ayam gorengnya dalam diam, sementara pikirannya berkelana entah ke mana.

"Lo sakit?" Pertanyaan Neo yang tiba-tiba mengembalikan kesadaran Pakin. Pria berambut keriting itu tergeragap, nyaris tersedak. Neo menggeleng lalu membukakan botol air mineral untuk Pakin yang langsung kawannya gasak. Neo mengambil tisu di atas dasbor dan menyeka lelehan air di sudut bibir Pakin.

Pakin menatapnya, keinginan hati mengutarakan tentang kiprah orang tuanya di dunia politik itu sungguh menebal di lidah. "Nggak. Gue nggak sakit. Kenapa lo berpikiran seperti itu?"

"Lo nggak masuk kampus selama beberapa hari terakhir. Gue nanya temen-temen lo, mereka juga nggak tahu keberadaan lo. Ini kalau gue nggak maksa Drake buat ngasih tahu ke mana lo pergi sebab teman-teman lo nggak ada yang tahu menahu keberadaan lo, gue juga nggak akan tahu posisi lo. Dan bukannya jatah bolos lo udah lo ambil semua, ya?"

Pakin mendengus kecil. Memang selama ia berantem dengan Neo, Drake-lah pilihan satu-satunya tempat ia menenangkan diri. Walaupun kemungkinan Drake tidak bisa menutup mulut kalau Neo berbuat anarki, setidaknya sebelum menemui Drake, pasti Neo menghabiskan waktunya mencari Pakin ke tempat teman-temannya. Drake memang bukan teman yang menyenangkan, tapi setidaknya Drake memberinya rasa aman. Ia bahkan tidak bertanya sepatah pun ketika Pakin mengetuk pintu apartemennya untuk menginap.

"Gue aman, kok. Cuma butuh ruang buat menenangkan diri."

"Apakah sekarang lo sudah merasa tenang buat cerita semuanya ke gue? Lo nggak tahu betapa gilanya gue ketika lo nggak membalas semua pesan gue, sementara teman-teman lo pun nggak memiliki ide sama sekali tentang keberadaan lo. Fourth bahkan nemenin gue nyariin lo sewaktu gue mendatanginya di Petra."

Decihan Pakin kian terdengar kuat. Mendengar nama Fourth disebut, insiden beberapa hari lalu kembali terapung-apung di dasar kepalanya. Dan komplotan yang sangat berjasa demi keselamatannya itu masih saja mengelak memberi tahunya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Menjadi manusia miskin memang tidak mengenakkan. Perasaanmu bahkan tidak pernah ditakar ada, dan harga dirimu hanyalah seharga pelepah pisang.

"Kami hanya khawatir sama lo, Kin. Gue sangsi mereka nggak ada yang tahu lo hook up dengan Force yang kita semua tahu memiliki riwayat mengerikan. Bahkan mungkin saja mereka nggak ada yang tahu apa yang terjadi pada kita. Tindakan lo benar-benar membuat gue nggak tenang. Lo semakin menjauh, dan memiliki lingkungan pertemanan baru yang jelas-jelas toxic buat lo."

"Lo bisa, nggak, sih, nggak mengenduskan moncong lo ke pribadi Force? For the fucking sake, dia baik sama gue. Gue nggak tahu, benar-benar nggak tahu, koordinat zona hitam yang lo sangkakan di pribadi Force itu apa. Tapi seenggaknya selama ini dia nggak pernah merugikan gue."

"Atau sebenarnya iya, hanya lo yang nggak tahu aja?"

Pakin menghunuskan tatapannya ke arah Neo. "Lo boleh marah sama gue, Nyo, tapi bisa, nggak, nggak usah menebar asumsi yang lo sendiri nggak memiliki dasar yang pagan?"

"Segitunya lo membela Force. Dia kayaknya telah benar-benar mencuci otak lo, ya, Kin? Kenapa? Apakah ini ada hubungannya dengan Perempuan Pukul Empat Pagi lo yang pada akhirnya bisa naik cetak setelah lo ngentot sama dia sehingga lo sebias ini dan membelanya mati-matian? Cerpen mana lagi sekarang yang akan lo terbitkan sampai lo tetap berada di sisinya seperti anjing?"

Pakin tertawa. Pesona ayam goreng itu sirna sudah. Ia melempar asal bungkusnya ke jok belakang, lantas keluar mobil dan menyulut sebatang rokok. Ia melepas jas hitam yang membungkus tubuhnya, membongkar tiga kancing teratas kemeja putih, dan menggulung lengannya sampai siku. Jalanan di kawasan Senopati benar-benar tampak tengah melamun, butuh waktu beberapa jam lagi supaya ia terjaga. Angin subuh kelihatannya begitu bersahabat dengan Pakin, sehingga ia tak merasakan dingin selain amarah yang mengepul di balik tempurung kepala.

"Apakah lo akan kabur lagi kali ini, Kin? Gue persilakan karena pada akhirnya lo akan kembali lagi ke gue." Neo benar-benar tidak melepaskan Pakin barang seinchi pun. Ia berdiri bersandar kap mobil di samping Pakin.

"Lo bahkan nggak tahu apa-apa tentang Perempuan Pukul Empat Pagi, Nyo."

"Bukankah memang seperti itu pada kenyataannya?"

Asap rokok itu meliuk di udara, kemudian pecah bersama embusan angin.

"Gue nggak pernah benar-benar tahu tentang lo. Selama ini gue diam saja, Kin, dengan tingkah laku lo walaupun kepala gue panas bukan main mikirin semua kegilaan yang lo perbuat. Gue bahkan melipat lidah rapat-rapat ketika lo menghilang selama enam bulan utuh. Gue menanti, gue menanti, gue menanti, sampai lo bisa menceritakan semuanya tapi sampai detik ini, gue nggak tahu ke mana lo pergi. Bunda juga nggak memberi tahu kepergian lo ketika gue mengunjungi lo ke Bogor. Gue selalu berusaha menghargai dan menghormati lo yang terlalu menutup diri dari gue, sampai akhirnya gue benar-benar kehilangan lo. Gue nggak pernah benar-benar tahu tentang lo."

"Bukankah gue sudah bilang, lo bukanlah pemegang kunci itu? Sekalipun lo mendobrak pintu rumah gue, yang bakal lo dapatin hanya ruangan kosong, dengan kursi reot yang sudah apek, beberapa perabotan tua yang nggak pernah tersentuh, debu tebal menyelimuti lantai, sementara langit-langit penuh dengan sarang laba-laba."

Neo terdiam, kesulitan menerjemahkan alegori yang diucapkan sang kawan. "Jika itu rumah lo...," katanya beberapa saat kemudian, "kenapa lo biarkan nggak terawat? Ataukah lo memiliki keengganan untuk menjaganya tetap utuh? Ataukah lo nggak memiliki kekuatan untuk membersihkannya? Even if I'm a bad friend, gue pasti menemani lo membersihkan kediaman lo. Hanya saja, just gimme a little chance. I just wanna know what really happened to you. It's insane even I know nothing about Perempuan Pukul Empat Pagi"

"Apanya yang perlu dibersihkan jika nggak pernah ada sebenar-benarnya kehidupan di balik pintu rumah itu, Nyo? Mau lo cari sampai ke seluk beluknya, lo nggak akan pernah mendapatkan apa yang lo cari di sana."

Neo menatapnya getir. Ia ingin sekali mendekap kawan yang terlihat semakin kurus setiap harinya tersebut. Kantung mata Pakin menebal, lingkar hitamnya bahkan bisa mengisahkan malam-malam yang ia lewati dengan mata terbuka. Pakin adalah sahabat, tapi dari dulu sampai sekarang, dari ketika ia mulai menyadarinya di Alun-Alun Kidul Yogyakarta, ada tembok terlalu tinggi yang dibangun Pakin untuk menutupi ketelanjangannya. Sekalipun Neo mengungkung Pakin dalam persahabatan posesif, ia tidak pernah benar-benar mampu melihat ketelanjangannya.

"Lalu apa yang harus gue lakukan supaya gue bisa menemukan apa yang gue cari?"

"Sejatinya apa yang lo cari di rumah itu, Nyo? Gue, atau rasa ingin tahu lo? Karena jika itu gue, lo sudah mendapatkannya selama enam tahun kita berkawan. Tapi jika itu hanya bentuk rasa ingin tahu lo, gue bahkan nggak tahu harus menjawab seperti apa sebab gue nggak tahu sedalam dan seliar apa rasa ingin tahu lo."

"Tapi gue nggak pernah benar-benar bisa mendapatkan lo, Kin."

"Gue itu murahan, Nyo. Lo nggak perlu berkorban sedemikian hebat hanya untuk menemukan gue. Bahkan sekarang lo memiliki tubuh gue seutuhnya. Lo mau berbuat apa pun kepada gue, gue lho rela, Nyo. Lo mau mengobrak-abrik privasi gue, sekalipun gue marah-marah sama perbuatan lo, gue selalu mempersilakan lo. Gue itu udah menjadi milik lo, Nyo, yang ke mana pun gue pergi, pulangnya tetap ke lo."

"Yang gue inginkan nggak hanya tubuh lo, Kin, tapi hati, pikiran, perasaan, seluruh yang ada di luar maupun yang nggak gue lihat. Gue ingin memiliki lo seutuhnya, sampai ke tahap yang lo sendiri pun nggak tahu lo memilikinya."

"Bukankah itu terlalu berlebihan, Nyo?" Pakin tertawa, mengisap dalam kereteknya lantas mengembuskannya perlahan. "Tapi asal lo tahu, walaupun permintaan lo terlalu sulit buat gue ikuti, kendati keinginan lo terlalu berlebihan, yang harus lo tanamkan di pikiran lo, gue telah memberikannya kepada lo. Pikiran, hati, perasaan, nggak ada satu pun yang gue bagi ke orang lain selain kepada lo. Mereka milik lo, Nyo. Semuanya, tanpa sedikit pun sisa."

"Kalau memang mereka milik gue, kenapa mereka tampak begitu asing buat gue, Kin? Kenapa mereka begitu jauh dalam jangkauan gue? Bahkan untuk mencium bibirnya gue nggak bisa, Kin. Bahkan untuk membelai rambutnya gue nggak mampu. Bahkan untuk menggenggam tangannya gue kesulitan. Kepemilikan macam apa yang bahkan gue nggak pernah bisa mendengar suara napasnya, huh? Kepemilikan model bagaimana bahkan untuk seremeh Perempuan Pukul Empat Pagi gue nggak mendapatkan apa-apa walaupun udah gue baca ratusan kali?"

"Karena lo nggak pernah sadar dengan kepemilikan lo, Nyo. Ketidaksadaran lo itu membatasi ruang gerak lo, dan membuat lo nggak pernah menghargainya. Lo terlalu sibuk mencari dan sibuk mencari tanpa pernah benar-benar tahu lo telah memiliki dunia yang nggak pernah lo kunjungi selama ini."

"Apa yang harus gue lakukan supaya gue memiliki kesadaran?"

"Itu pertanyaan yang lo nggak akan pernah bisa memenuhinya walaupun lo tahu jawabannya." Pakin berkata tajam. Riak sakit hati menciprati wajahnya yang pucat. Jika tubuhnya mampu berorasi, mungkin mereka sekarang sudah mendengkingkan rasa sakit akibat jarangnya Pakin mengasupi mereka dengan makanan sehat selain rokok dan alkohol. Sementara tanpa Pakin sadari, toleransinya kepada alkohol semakin malam semakin mencengangkan. Jika itu dimasukkan dalam salah satu kejuaraan, Pakin pasti mendapatkan nomor di tiga besar.

"Dan itu adalah?"

"Tinggalkan Luna. Lo tahu gue mencintai lo dan gue nggak mau harus membagi lo dengan Luna. Gue nggak peduli lo akan menikahinya atau apa, hanya tinggalkan Luna. Tinggalkan Luna dan kita hidup berdua menjadi pasangan."

"Sudah gila lo, Kin." Neo menggeleng tidak habis pikir. Ia berjalan mondar-mandir sambil berkacak pinggang, lantas berdiri tepat di hadapan kawannya. Pemuda berambut keriting itu menatapnya dengan mata mengantuk sambil terus mengisap batang rokok keduanya. "Lo mau gue mendapatkan lo dengan cara membunuh gue? Lalu hubungan yang bagaimana yang akan lo wujudkan jika lo hanya mendapati mayat gue?"

"Alamatkan kalimat lo pada diri lo, Nyo." Pakin benar-benar tidak ingin memperkarakan perasan Neo kali ini. Di kepalanya hanya ada cara untuk menghentikan semua kegilaan ini atau dia akan yang akan larung dalam derasnya arus. Jujur saja, sekarang tungkai-tungkai kakinya sudah tercebur di aliran Brantas. Jika ia tidak segera menyelamatkannya, ia benar-benar akan karam. Tenaga yang ia miliki telah berada di ambang batas antara mengalah dengan menyerah. "Lo telah membunuh gue perlahan-lahan sejak lo tahu gue mencintai lo dan lo memilih untuk mengabaikannya. Gue sekarat menderita perasaan cinta ini. Jika harus memiliki lo dengan syarat membunuh lo, gue akan melakukannya. Ayo kita jalin hubungan sekarat dengan dua mayat ini, Nyo."

"Gue mencintai Luna, Kin. Bulan depan kami lamaran, dan kemungkinan akhir tahun ini atau tahun depan gue akan menikahinya. Nggak ada ruang buat lo dalam hubungan ini. Mungkin satu-satunya bilik yang bisa menampung lo adalah persanggamaan ketika baik gue maupun Luna membutuhkan lo."

"Gue tahu, tapi gue nggak peduli. Mau lo menikahinya besok pun kalau lo mau memiliki gue seutuhnya, tinggalkan Luna. Gue bisa memberikan apa yang dia berikan, bahkan melebihi apa yang telah dia korbankan buat lo."

"Luna nggak pernah berkorban apa pun dalam hubungan ini asal lo tahu. Dan ini jelas bukan tentang pemberian karena gue nggak pernah mengizinkannya memberikan apa pun ke gue. Kalian berdua adalah hidup gue, Kin, jadi bagaimana gue harus memilih jika gue nggak bisa benar-benar hidup tanpa kalian? Lo nggak pernah bisa masuk dalam hubungan romansa gue dengan Luna, tapi lo akan selalu menjadi sahabat yang nggak akan pernah bisa gue lepaskan. Bentuk cinta yang bisa gue tawarkan ke lo hanya itu. Sebaiknya lo menyadari tempat lo."

"Maka lo telah benar-benar kehilangan dunia lo. Butuh pesta perpisahan? Wanna kiss me? Lo nggak pernah nyium gue selain ketika kita trisam waktu itu. Jujur, gue suka banget sama bibir lo, Nyo. Kasih gue ciuman sebelum lo melepas, yang katanya, dunia lo."

"Lo benar-benar sakit jiwa! Ini jelas pengaruh yang lo dapatkan dari Force! Lo nggak pernah seperti ini sebelunya. Lo selalu sesuai batas. Dan lo malah ikut ke acara pengultusan pesta seks. Kenapa? Dia membiayai lo? Dia ngasih lo banyak keuntungan? Lihat, semakin hari lo semakin nggak dikenal! Seperti Pakin yang nggak benar! Ke mana Pakin yang selalu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan? Ke mana Pakin yang selalu menghargai keberadaan orang lain? Jika lo adalah orang yang dengan bangganya menjadi murid Ohm, lo jelas sosok yang angkuh sampai menyamakan level lo dengan Ohm yang beragama pada kemanusiaan."

"Lo tahu, nggak, hal lucu apa yang gue dapat di acaranya Force ketika gue dientot brutal di sana?"

"Gue nggak mau denger. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Force adalah zona hitam. Dan gue jijik mendengarnya."

"Bagaimana kalau seandainya malam ini gue tahu isi dari zona hitam tersebut?" Pakin tertawa melihat Neo yang tampak tidak percaya. Ia mengembuskan asap rokok tepat di wajah Neo dengan mata berkilat keji sebelum berujar, "Zona hitam itu berisi keluarga Nimtawat. Lo nggak perlu pusing mempersiapkan diri lo untuk menyukseskan program kampanye orang tua lo, Nyo, karena kemenangan ada di dalam genggaman tangan mereka. Kalian bakal tetap mempertahankan kursi di parlemen dan kekayaan akan tetap terjaga di kandung badan. Keberpihakan itu atas nama Nimtawat, mengalahkan keluarga Thanawat." Suara klap klap tepuk tangan Pakin terdengar. Ia tertawa keras sekali sampai Neo gusar dan merenggut kerah kemejanya.

"Berhenti omong kosong. Jangan mentang-mentang lo teman gue, lo jadi bisa kurang ajar pada gue. Orang tua nggak pernah mendapatkan undangan keparat itu! Tutup mulut busuk lo dan berhenti menyebarkan fitnah. Lo boleh membenci gue dan Luna, Kin, tapi jangan membawa orang tua gue dalam mimbar! Lo bahkan nggak memiliki hak untuk menyentuhnya. Seharusnya lo sadar, tanpa belas kasih orang tua gue, lo akan dikeluarkan dari SMA karena orientasi seksual lo yang bisa menulari anak-anak walimurid. Bunda bakal marah pada lo dan masa depan lo benar-benar hancur! Nggak usah berlagak! Lo hidup nggak lebih dari sebatas uluran tangan orang tua gue semata!"

"Seharusnya lo lihat bentuk tubuh telanjang orang tua lo, Nyo. Gue baru tahu bahwa kontol bokap lo kayak punya lo. Gede. Coba kalau tadi lo ikut, kita bisa foursome karena ternyata kontol bokap lo dan susu ibu lo seenak itu. Gue jelas bakal ikut lagi pesta seks tahun depan. Kayaknya gue ketagihan ngentot sama orang tua lo! Suara desahan ibu lo waktu vaginanya gue entot benar-benar enak didengar. Ibu lo manja sekali tadi malam. Gue suka."

"Bajingan!"

Neo mendorong tubuh Pakin hingga tersungkur. Tanpa pikir panjang ia menindihnya, lantas meninjunya secara membabi buta. Darah segar dari wajah Pakin menciprati baju Neo, dan Neo tidak peduli. Apalagi ketika Pakin terus tertawa melihatnya kesetanan, hantaman-hantaman itu kian ia runjamkan penuh tenaga. Lama Neo menyerang Pakin, sampai ia merasa tawa Pakin lunas, ia baru mengakhiri kegilaannya. Neo bangkit dan mendapati tubuh sahabatnya babak belur. Darah meleleh di mana-mana. Bibir, pelipis, tulang pipi, dan rahang Pakin jelas robek. Mungkin hidungnya bengkok. Tapi ia sama sekali tidak peduli. Sama sekali tidak peduli. Bahkan jika boleh, ia ingin mengantarkan Pakin dalam kematian yang selama ini ia kidungkan setiap malam. Tidak ada anak yang baik-baik saja ketika orang tuanya dilecehkan sedemikian hina sama temannya sendiri. Tidak ada anak yang baik-baik saja ketika kawannya menceritakan malam persanggamaan dengan orang tuanya. Dan sumpah demi Tuhan, Neo sangat membenci Pakin subuh ini. Membencinya sampai-sampai rasanya ia mampu membunuh Pakin sekarang juga.

"Persahabatan kita sampai di sini, Kin. Lo mau pisah dari kungkungan gue? Gue kabulkan. Jangan pernah sekali pun lo memunculkan wajah lo di hadapan gue. Karena percayalah jika itu lo lakukan, gue akan benar-benar membunuh lo."

Pakin tertawa lagi, tertawa terus sampai tersengal lalu batuk dan mengeluarkan darah dari mulut. Suara derum mobil Neo terdengar. Semprongan lampunya menyilaukan mata, membuat Pakin harus terpejam sampai suara itu berangsur-angsur menghilang.

Barangkali jika memang seperti inilah akhir dari kehidupan Pakin yang Tuhan tentukan, Pakin akan menerimanya dengan ikhlas kendati rasa sakit ia terima. Bukan karena ia dianiaya oleh seseorang yang ia sebut sahabat, melainkan karena pada akhirnya ia telah mampu benar-benar memutus jalinan perkawanan itu. Enam tahun memang tergolong masih seumur jagung bagi sebagian orang, tapi cintanya pada Neo sekukuh yang tidak bisa ia ampu. Pakin sangat ingin melindungi Neo dengan kedua tangannya, apalagi ketika Neo berujar bahwa ia tidak pernah menerima apa pun dalam hubungannya dengan Luna, keinginan untuk menjaganya setinggi itu. Neo orang baik, dan ia pantas mendapatkan semua kebaikan. Sementara menguras seluruh kemampuan pengorbanan dan pemberian Neo, jelas bukanlah tindakan yang bisa Pakin persilakan. Tapi sejurus kemudian Pakin tertawa kecil. Ia merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel, mendial nomor siapa pun yang ada di riwayat panggilan teratas untuk menjemputnya di sini, sebelum mulai menyulut sebatang rokok.

Oh rokok, jika memang inilah hari akhir itu, Pakin ingin merayakannya bersama sebungkus keretek. Sebab selain perkara hantu-hantu, hanya rokoklah satu-satunya yang tidak berkhianat pada Pakin. Sebatang rokok yang tidak pernah mengingkari janji. Bahkan dibandingkan dengan rokok pun eksistensi Pakin tetap tidak bisa dihitung. Jika rokok saja tidak pernah mencederai kepercayaannya, kenapa ia justru memilih jalan itu demi lepas dari genggaman tangan Neo? Memberikan kebohongan kepada Neo bukanlah sesuatu yang mudah, tapi Pakin harus melepaskannya atau ia bisa semakin merusak Neo. Kadar toxic dalam dirinya benar-benar telah membanjiri kewarasannya, dan Neo akan lebih terluka jika ia tidak segera diselamatkan. Lidahnya sangat tidak bisa diselamatkan ketika ia dikuasai emosi. Ia bisa memberikan cinta tulus, tapi di sisi lain ia bisa membunuh tanpa ampun.

Asap rokok itu terus ia embuskan. Matanya nyalang menatap langit Jakarta menjelang subuh. Tidak ada bintang yang bisa ia saksikan sebagaimana ketika ia menghabiskan malam di Gunung Salak, dan itu membuat Pakin merasa rindu. Rindu keparat yang membuat hidung Pakin nyeri sebab air mata itu tidak kunjung tiba. Rindu sakit jiwa yang membuat dadanya luar biasa ampek sebab repihan perasaannya kucar-kacir di lantai berdebu. Dengan keheningan yang begitu mengerikan dan detak jantung yang berdegap-degap kencang, Pakin menyadari bahwa kayu-kayu bakar di dalam anglo itu telah menjadi arang, dan abu hasil dari proses pembakarannya terbang tertiup angin. Kendil Bunda melompong, menyisakan bekas air rebus yang berkerak putih di dasarnya. Dapur terasa sepi, menyisakan kelompang yang tergantung di langit-langit. Segelas bayam kocok menjijikkan tergeletak berdebu di atas meja, bersisian dengan bekas muntahan Pakin yang tidak mampu lagi mengonsumsi bayam kocok itu. Tudung saji terbujur di kursi yang diseret ke belakang menjauhi meja makan, menampilkan piring dengan tiga potong tempe pemberian musala sebagai amalan Jumat berkah yang berjamur. Lemari kayu tua yang sudah lapuk dimakan rayap terbuka, tumpukan baju yang berantakan tercecer di mana-mana. Kelambu kamar Pakin terbuka sebagian. Kasur yang sudah hampir menyatu dengan lantai itu tampak sudah lama tidak dikunjungi, membuat sperma hasil perkawinan entah kapan mengering di seprainya, sementara pakaian dinas Bunda yang berwarna blewah dan sehalus sutra tergantung di balik pintu.

Ya, Tuhan, jika memang kematian sesepi ini, biarkan Pakin tidur sejenak untuk merayakan kematiannya yang begitu pilu. Ia ingin menghargai rasa duka, dan biarkan ia yang melawat di pekuburannya sendiri. Pakin tidak layak mendapatkan tangisan, bahkan ia tidak layak untuk dikenang. Ganjaran yang patut dia dapat dari seluruh kebejatan yang ia lakukan adalah tikaman sepi yang membabi buta. Hening yang menggelayut, dan hampa yang berongga sekepalan tangan di dadanya. Ini sangat menyakitkan, sekaligus menyesakkan dalam satu waktu.

"Lo sudah sadar, Bang?"

Perlahan Pakin membuka mata dan mendapati laki-laki keturunan Cina tengah menatapnya khawatir. "Gue di mana?"

"Lo di IGD, Bang." Winny menjawab khawatir.

Pakin melebarkan pandangan dan mendapati ruang dengan penerangan lewah meliuk di penglihatannya. Aroma desinfektan tercium, lantas suara erang kesakitan para pasien terdengar, dibarengi dengan dering telepon yang memekik berkali-kali, yang semuanya tumpang tindih dengan bunyi derap langkah kaki yang berjalan tergesa-gesa, roda-roda brankar yang didorong, dan suara para petugas medis yang menyebutkan sederet terapi pengobatan yang tidak diketahui Pakin.

"Lo tadi telepon gue, Bang. Dan gue ketakutan setengah mati mendapati lo nggak sadarkan diri dengan kondisi babak belur parah. Gue takut lo udah mati, jadi tanpa pikir panjang gue bawa lo ke rumah sakit. Puji Tuhan lo selamat." Winny memberi penjelasan sambil membantu Pakin berdiri dari posisi tidurnya. "Lo rawat inap dulu, ya? Fourth sedang mengurusi administrasi untuk perawatan lo sebelum lo dibawa ke kamar."

"Gue baik-baik saja, Win. Cuma luka yang udah diobati ini."

"Bang, please, wajah lo mendapat puluhan luka jahit sementara kita nggak tahu apa yang terjadi dengan tubuh bagian dalam lo. Dokter tadi merencanakan pemeriksaan MRI untuk mengetahui kepala lo terluka atau enggak. Nurut, ya? Kali ini aja, Bang."

"Tapi gue beneran baik-baik saja, Win. Tubuh dalam gue nggak merasa luka. Gue sehat."

"Bang, lo tahu bahwa gue sangat menghormati lo sebagai senior, tapi kali ini kayaknya gue harus menerabas batas kehormatan itu agar lo bisa mendapatkan perawatan terbaik. Terserah lo setuju apa enggak, gue nggak peduli. Lo bukan Tuhan yang bisa mengetahui keadaan lo yang sebenar-benarnya. Gue hanya ingin lo selamat. Seharusnya lo melihat tampang lo semalam supaya lo bisa menerima perawatan lebih intens."

"Gue rasa lo terlalu berlebihan, Win. Gue tahu kondisi gue sendiri."

"Apakah lo pikir gue bisa ditawar? Simpan negosiasi lo, Bang, dan jadi pasien yang baik hari ini. Kalau lo nggak menerima gue perlakukan dengan baik, maka terima perlakuan gue yang akan memaksa lo sekuat tenaga. Persetan lo kating atau apalah, di sini status lo pasien yang harus nurut kalau lo mau sembuh."

Pakin mendecih lantang, memutar bola malas melihat kelakuan adik tingkat yang begitu menyebalkan. Pakin sampai lupa kenapa Winny ada di riwayat panggilan teratas jadi ia harus berkompromi sama kelakuannya yang keras kepala.

"Paling enggak izinin gue untuk kencing. Gue kebelet."

"Gue anterin."

"Kalau lo berani melakukan itu, ini kali terakhir lo melihat gue, Win. Gue nggak pernah main-main dengan omongan gue."

"Fuck! Gue benci banget sama lo, Bang, asal lo tahu."

"Terima kasih, tapi gue juga sama kayak lo. Membenci diri gue sendiri."

Setelah menyelesaikan urusan kantung kemihnya, Pakin berencana untuk kembali ke IGD dan menjadi pasien nurut. Tapi mulutnya yang asam membuat Pakin harus melenggang ke tempat yang sepi untuk merokok. Pakin tidak tahu sekarang pukul berapa. Jika dilihat dari posisi matahari, kemungkinan baru pukul sepuluh atau sebelas pagi. Ia berjalan menuju koridor yang tidak banyak dikunjungi oleh keluarga pasien. Sampai di area Instalasi Laundry, Pakin menyulut batang rokoknya ketika suara-suara itu terdengar.

"Gue benar-benar takut melihat kondisi Bang Pakin seperti semalam."

Jantung Pakin mencelus mendengar namanya disebut oleh suara yang sangat ia kenal. Fourth Nattawat. Pakin mencoba mencari sumber suara, dan sedikit terkejut melihat punggung yang dibungkus sneli menghadap Fourth. Itu punggung yang ia lihat sewaktu di Petra, dengan jas yang ia lihat dipakai seseorang yang memperhatikannya dari jauh ketika ia dan Luna ngobrol di taman sewaktu Neo mendapat perawatan; punggung yang terasa familier buatnya, yang sampai sekarang tidak tahu milik siapa.

"Saya juga, Fourth. Saya benar-benar kecolongan tadi malam sehingga orang yang saya suruh untuk mengawasinya kehilangan dia sewaktu pesta usai. Saya pikir dia langsung pulang, tapi saya tidak tahu bahwa Pakin justru bertemu dengan Neo dan berakhir seperti ini."

"Bukankah ini terlalu berlebihan?"

"Berlebihan bagaimananya?"

"Memasukkan Bang Ganesha untuk memata-matai Bang Pakin? Soalnya jujur saja kalau dia tahu, kita nggak pernah tahu kemarahan Bang Pakin akan seperti apa."

"Pakin akan baik-baik saja. Saya melakukan ini semua demi Oma sebab sejak Oma mengutarakan keinginannya untuk mempertemukan Pakin dengan ayahnya, dia memutus hubungan dengan Oma. Saya tidak sampai hati mendengar Oma yang mengiba dalam penderitaan di setiap teleponnya."

"Jujur saja gue merasa berdosa pada Bang Pakin."

"Kamu melakukannya demi kebaikan Pakin, Fourth. Kamu sudah saya ceritakan bagaimana kematian itu membuat Pakin hilang ingatan selama enam bulan utuh, dan dunia omanya seakan-akan hancur melihat cucunya seperti itu. Kita menyayangi Pakin dan seperti inilah satu-satunya cara mengimplementasikan cinta kita padanya. Dengan perilaku yang dimiliki Pakin, dia bakal menolak mentah-mentah segala bentuk kepedulian kita. Jadi yang bisa kita lakukan adalah melindunginya dari jauh."

"Memata-matainya lebih tepat."

"Kamu hanya melaporkan setiap kegiatannya pada saya dan untuk urusan lainnya semua tanggung jawab saya. Ini bukan memata-matainya, hanya upaya untuk menyelamatkannya. Kamu sudah benar, Fourth. Kita semua sudah benar."

"Kalau Bang Pakin tahu bagaimana? Apa yang harus gue lakukan?"

"Seperti kata saya, segala urusan menjadi tanggung jawab saya. Saya sudah melunak dengan memberikannya kebebasan mencari pekerjaan untuk membiayai UKT-nya, tapi saya sangat tidak mengira dia akan menjadi gigolo untuk orang sekeparat Force. Laki-laki itu akan mendapatkan ganjaran karena telah menyentuh milik saya. Saya jelas tidak akan tinggal diam. Apalagi setelah kejadian di Moving to Heaven, Force akan mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan. Saya tidak peduli jika dia memiliki kekuasaan tanpa batas, saya sendiri yang akan memberangus batasan-batasan itu. Saya tidak pernah takut dengan antek-anteknya, sebab mereka tidak pernah bisa masuk ke dalam keraton. Dan kamu harus membantu saya, Fourth. Saya tidak bisa melakukan semua ini tanpa bantuanmu. Saya sudah melunasi semua tanggungan biaya kuliah Pakin, jadi pekerjaanmu tidak akan seberat kemarin-kemarin."

"Lo kedengarannya sangat mencintai Bang Pakin. Sejak mengenal lo, gue nggak pernah menjumpai Gemini versi ini."

"Saya melakukan ini hanya untuk Oma, Fourth. Saya menemani Oma berjuang dari titik rendah sampai sekarang. Saya hanya tidak ingin di usianya yang sudah sepuh, beliau harus ditikam oleh penderitaan. Biarkan luka itu lunas bersama kematian putrinya. Sekarang waktunya Oma untuk bebas dari penjara rasa bersalah dengan dampingan cucu kesayangannya."

"Itu adalah sebenar-benarnya bukti yang cukup lantang menyuarakan cinta lo, Gem."

"Saya tidak pernah menjumpai cinta sebelum saya bertemu denganmu. Itu jujur kendati kamu memercayainya atau tidak. Saya tahu kamu pasti merasa sakit hati dengan perhatian yang saya habiskan kepada Pakin, tapi saya tidak pernah melihat Pakin dalam mimbar bernama romansa. Jika itu cinta, maka kepada Oma-lah saya memberikannya sebab beliau perempuan tulus yang mengingatkan saya pada Eyang di Solo. Segala bentuk perhatian saya kepadanya adalah panjang tangan dari iba dan sayang saya pada Oma. Karena jika itu bukan Oma, maka saya tidak akan mencampuri urusannya seperti ini. Saya tidak pernah bisa memandang orang sama tinggi sampai kamu menghancurkan pertahanan saya yang selama puluhan tahun saya jaga. Kamu jelas menghantam keegoisan saya, dan saya bertekuk lutut di hadapanmu. Kamu boleh cemburu, tapi saya harap itu sesuai takar agar tidak melukaimu. Pakin tidak pernah benar-benar ada dalam perasaan saya."

"Jika pada suatu hari Oma menutup mata, apa yang akan lo lakukan? Apakah lo akan terus menjaganya seperti ini? Memberikan perlindungan dan dunia tanpa batas padanya? Dan terus mem-provide semua kebutuhannya sebagai seorang dokter spesialis bedah yang akan terus bersembunyi di balik bayang-bayang sosok pangeran?"

"Maka tanggung jawab saya sudah selesai. Pakin saya lepas dari genggaman tangan saya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro