Bab 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Horror jelaslah bukan sesuatu yang bisa disandingkan dengan Pakin. Sedari awal ketika Luna menunjuk film horror, Pakin kontan memasang wajah lesu. Neo berkali-kali mencoba membelokkan niat Luna, tapi melihat tampang ayu dari gadis asal Lampung tersebut yang muram dengan pilihan Neo, Pakin pun tidak tega. Alhasil di sinilah dia berada. Dengan jantung kebat-kebit melihat penampakan di layar lebar. Didukung banyaknya jump scare di sepanjang film, kematian mengenaskan Pakin di sini bukanlah suatu hal yang mengejutkan.

"Tenang," bisik Neo tiba-tiba. Tangannya mengelus paha Pakin dengan lembut. Melihat itu, tidak butuh waktu lama, Pakin langsung menyambar lengan Neo dan memeluknya erat. Ini sungguh memalukan. Jika Luna tahu, Pakin pasti kebingungan mencari repihan mukanya yang sekarang berantakan di lantai. Mata Pakin terpejam erat. Karena tidak sanggup lagi melihat layar bioskop apalagi ditambah dengan alunan gending Jawa yang meremangkan bulu kuduk, Pakin membenamkan wajahnya di punggung Neo.

Si Anak Bisnis menggeleng kecil, tersenyum. Ia menggusak rambut keriting Pakin. Aroma melon menyeruak; menyetubuhi indra penciuman. Itu adalah wangi sampo yang sama dengan yang selalu ia gunakan; wangi yang sama pula yang ia ingat ketika mereka tengah study tour di Yogyakarta beberapa tahun silam. Awalnya Neo tidak pernah memerhatikan ini, tapi ketika ia membuka penutup mata, dan Mark Pakin terlihat di hadapan, candu terhadap raksi melon dari sibakan rambutnya benar-benar mampu meracuni pikiran. Ia mengambil napas panjang, dan feromonnya menggelinjang akibat wewangian dari Pakin. Ia usap lengan dingin Pakin dengan halus. Dielus terus sampai ke permukaan punggung tangannya yang berstuktur. Ia menggerayang kulitnya yang bergaris-garis lembut. Kerutan di setiap patahan ruasnya ia pencet-pencet mengikuti rangka tulang, rasanya yang lentur seperti meleleh di pucuk-pucuk indra peraba. Kemudian jemarinya terulur, meraba jempol, menggesek telunjuk, memberi pijatan kecil pada jari tengah, menyikat sela jari manis dan memilin kelingking, sebelum memasukkan jari-jarinya di antara celah jemari Pakin. Ia membalikkan telapak tangan Pakin, kemudian mengunci pertautan genggaman itu dalam cengkeraman kuat juga menenangkan. Seolah memberi kabar kepada Pakin bahwa ia tidak perlu takut, sebab Neo akan melindunginya.

Pakin menelan ludah, melihat bagaimana tangan besar Neo merangkum kepalan tangannya yang lebih kecil. Rasanya hangat dan tebal. Teksturnya yang agak kasar mengurut kulit tapaknya, membuat perutnya terasa kesemutan. Lipatan telapak mereka saling gosok, seakan-akan Pakin mampu merasakan aliran darah di pembuluh tangan Neo melepuh dalam genggaman tersebut. Mereka sering bergandengan, bahkan tadi di mal Neo juga menyelimuti telapaknya. Tapi sensasi yang ditimbulkan dari singgungan dua kepal daging sekarang memiliki imbas berbeda. Ia lebih intim, lebih mendebarkan sebab ada Luna di samping Neo, dan lebih sensual akibat penerangan gelap. Adrenalinnya berpacu menonjok tempurung kepala. Apalagi dengan jarak selekat ini, ekstrak kalamasi yang segar dan manis dari tubuh Neo menginvasi pikirannya ugal-ugalan. Dada Pakin berdebar tergesa-gesa. Lebih-lebih sewaktu jempol Neo mengusap punggung ibu jari dengan perlahan seolah-olah tengah mengampelas patung tanah liat, dengkul Pakin bergetar. Rasanya sedikit tegang kalau ketahuan Luna, tapi cubitan enak mengeluk kewarasan.

Dua jam bersama film horror adalah siksaan. Sekeluar dari ruang tempat pembantaian nyali tersebut, Pakin kabur ke kamar mandi. Kantung kemihnya kembung. Selain itu, udara dingin dari semburan AC yang menggigit kulitnya, membuat perut Pakin terasa begah. Ou... ini pasti buah dari beberapa hari ia luput mengonsumsi karbohidrat. Nasi terakhir yang menyatroni lambung Pakin kira-kira tiga hari kemarin. Sepanjang UTS ini memang Pakin tidur di kos-kosan Ohm, yang mengakibatkannya kekurangan gizi sebab Neo pun harus menghabiskan malam-malamnya dengan teman sejurusan. Sang sahabat memang kerap mengiriminya makanan via ojek online, tapi akibat kesibukannya menyantap materi-materi kampret, membuat makanan-makanan itu beberapa ada yang terbengkalai. Untung siang tadi Neo membelikannya nasi goreng. Hanya saja, pedas yang menyengat dari sesajian tersebut, tampaknya menyumbang rasa perih yang kini diderita Pakin.

Sial!

Apakah ini akhir dari perjalanannya sebagai pria homo mengenaskan? Pakin menggigit bibir. Ia butuh asupan nikotin.

"Lama banget. Gue pikir lo mati di dalam." Neo sudah ada di hadapan sambil memainkan ponsel ketika Pakin keluar.

"Sialnya gue masih hidup," balas Pakin payah, melangkahkan kaki menuju wastafel. "Coba kalau mati beneran, pasti enak. Nggak bakal gue ngadepin hidup keparat ini." Ia membuka keran, dan membiarkan debit air dingin yang menusuk tulang itu mencubit telapak tangannya. "Kenapa ni air dingin kayak es, sih?"

Mengernyit, melihat bibir Pakin sedikit pucat, Neo menghampiri. "Lo sakit." Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan tegas setelah ia memegang tengkuk Pakin dan merasakan sengatan keringat dingin. "Lo nggak makan selama di kos-kosan Ohm?"

Pakin malas menanggapi. Ia menepis tangan Neo; merogoh saku celana untuk mengeluarkan bungkus rokok.

"Gue setiap hari ngegojekin lo makanan, sih, Kin." Tangkas, Neo menyambar bungkus rokok di tangan Pakin, lantas membuangnya ke dalam tong sampah. "Nggak lo makan? Ini nih yang paling bikin gue nggak sudi ngelepas lo tidur di kos-kosan siapa pun itu, termasuk Ohm. Jadwal makan lo pasti rusak. Lo pasti cuma ngerokok dan ngerokok doang."

"Seriusan, Nyo, lo mempermasalahkan itu sekarang?"

"Apa yang lo rasakan sekarang?" tanyanya cemas sambil berdecak sebal sebab Pakinnya masih bertingkah di saat-saat seperti ini.

"Perut gue sakit, Nyo. Kemarin gue emang sibuk banget sama Ohm, sampai-sampai makanan dari lo terbengkalai. Pusing banget gue. Ngadepin UTS sama revisi cerpen. Mulut gue pahit, Nyo."

Memutar bola mata, mendengus gemas, lantas menggosok rambut keriting kawannya dengan lembut, Neo kemudian memegang pergelangan tangan Pakin dan mengajaknya keluar kamar mandi. Luna tengah menafakuri layar ponselnya di ruang tunggu. Ia melihat Neo dan Pakin yang bergandengan tangan.

"Kayaknya kita harus berpisah di sini, deh, Lun," Neo memberi informasi, "Pakin sakit perut. Sudah tahu punya magh, malah nggak makan. Tolol memang. Gue panggilin Gocar, ya?"

"Ih, ya ampun, buruan lo bawa ke dokter daripada makin parah. Gue bisa pesen Gocar sendiri, lo nggak usah pusing." Disentuhnya lengan Pakin dengan lembut, "Sorry, ya, Kin, gue nggak tahu lo sakit. Kalau tahu gini, habis belanja tadi kita langsung pulang. Nggak perlu mampir nonton. Sekali lagi maaf, ya."

Pakin memberi senyum lemah. "Tenang aja. Gue nggak akan mati, kok. Lagian kalau gue mati, kan, pacar lo bisa terselamatkan dari bangkrut. Nggak akan ngebiayain fakir miskin ini lagi."

"Ngomong apaan, sih, Kin? Lo mulai melantur gini."

"Emang nggak tahu diri ni anak sialan. Ya, udah, Lun, kami pergi dulu. Makin dibiarin, makin kayak orang sinting dia. Lo hati-hati, ya, di jalan. Kalau dia sudah baikan, gue akan ke kos-kosan lo."

Dan, yeah, asam lambung Pakin memang naik. Perutnya terasa menyalak ketika dokter spesialis tadi menekan-nekan. Ia diresepi sirup, beberapa butir obat, serta harus istirahat jika tidak ingin merambah ke tipes. Itu jelas bukan berita baik. Acara pendakian tinggal di depan mata. Semua tiket sudah dipesan. Mereka bahkan telah menghubungi porter di sekitar basecamp Arjuna. Mustahil rasanya melepas Ohm seorang diri dengan membawa sepuluh peserta.

Pakin tidak pernah ambil pusing dengan kesehatannya. Mau dia kena magh, tipes, atau bahkan yang sering dibualkan Neo, mati sekalipun, bukanlah sesuatu yang patut ia perkarakan. Ia pernah berada di barak kemiskinan paling mencekam selama hidup. Hampir setiap hari dibuatkan bayam kocok sama Bunda yang menimbulkan trauma hebat hanya untuk membuatnya tumbuh menjadi anak sehat dan kuat. Menu-menu yang dimasakkan Bunda tidak pernah bervariasi. Kebanyakan nasi garam, yang apabila Jumat tiba, Bunda dengan kekuatan supernya akan mendapatkan sebungkus nasi dari jatah Jumat berkah musala terdekat. Diadang kemiskinan yang melilit perut, kesehatan merupakan seporsi nasi goreng telur mata sapi; hal mustahil yang ia risaukan. Kendati pada akhirnya Oma datang menjemput dan memberikan kehidupan lebih layak, Pakin tidak pernah benar-benar memperkarakan hal berhubungan dengan kesehatan.

Samar, di antara kesadarannya timbul tenggelam, Pakin mendengar suara Neo memantul-mantul di kamar kos.

"Gue sudah berapa kali ngomong ke lo, sih, Ohm, jaga Pakin ketika dia tidur di kos-kosan lo. Gue tahu lo penulis yang dipuja Pakin sampai semua cerpen dan novel lo, temen gue punya. Tapi please lah, jangan rusak Pakin."

Aroma tembakau satu per satu mulai menginvasi indra penciuman Pakin. Ia menggeliat, mengganti posisi, merebut guling di hadapan dan memeluknya erat. Setengah dipicingkannya mata, ia mampu melihat Neo tengah mondar-mandir di balkon yang pintunya sengaja dibuka.

"Mungkin lo terbiasa nggak makan berhari-hari, tapi Pakin beda. Nggak makan sehari saja dia bisa epilepsy. Apalagi hampir dua minggu dia di kos-kosan lo. Gofood-gofood yang gue pesan emang nggak lo kasihkan ke dia? Ngentotlah!"

Memutar bola mata, Pakin mendengus. Neo jelas terasa begitu pelik jika dipisahkan dari kosakata bernama drama. Segala sesuatu dalam hidup Neo agak-agaknya akan terasa getir jika ia tidak mendramatisasi keadaan. Pakin menggulingkan badan ke kiri dan kanan untuk mendapatkan posisi nyaman. Matanya berkedip-kedip. Remasan di perutnya tidak sehebat tadi siang, tapi pegal yang mendera punggung menyulitkannya mendapatkan kondisi tenang. Ia bangkit dari tempat tidur pada akhirnya sebab busa kasur justru terasa memukul-mukul daging tubuh. Ia berjalan menuju dispenser dan merangkum segelas air dingin.

"Gue udah bilang sama Ohm kalau lo nggak bisa ikut hiking minggu depan."

"Bloody hell!" Pakin memutar bola mata. Opera sabun ini agak-agaknya akan dimulai. Ayolah, dia belum makan lagi setelah secara heroic tadi, Neo menyuapinya dengan bubur ayam. Dia terang membutuhkan — paling tidak — semangkuk sereal, dua puluh potong ayam KFC, lima es krim Magnum, untuk meladeni laki-laki bedebah yang agak-agaknya masih tidak terima makanan-makanan yang ia pesan untuk Pakin sewaktu tidur di tempat Ohm tidak termakan. "Lo nggak bisa kayak gitu, dong, Nyo," tukas Pakin setelah menggelontorkan air dingin tadi di kerongkongan. "Bentar. Gue lapar banget. KFC dulu, yuk."

Neo memang harus menyetok kesabaran menghadapi Pakin.

"Kita kayaknya akan beradu argumen lama banget, dan gue bisa pingsan kalau nggak makan."

"Kenapa harus beradu argumen lama kalau lo tinggal menerima putusan dari gue?"

"KFC dulu, oke?"

Sialan. Kenapa ia harus sesayang itu sama babi guling ini, sih? "Makan sana atau gofood aja?"

Senyum merekah di bibir Pakin. Ia mendekati Neo, lantas merenggut ponsel dari tangan sahabat. Pakin tidak perlu menanyakan kata sandi ponsel Neo. Sebab mengetahui betapa jongkoknya IQ Pakin dalam hal menghafal, Neo memutuskan menggunakan tanggal lahir Pakin sebagai kata sandi. Dia tidak ingin Pakin uring-uringan apabila tidak bisa masuk ke ponselnya.

Tiga puluh menit dan kedua laki-laki tidak ada unyu-unyunya tersebut berakhir tepar di kasur akibat kekenyangan. Pakin tidak tanggung-tanggung dalam memesan makanan. Tidak hanya sebuket ayam goreng, ia masih melengkapi pesanan-pesanan itu dengan sepuluh Magnum dan empat bungkus burjo depan fakultas yang rasanya juara kelas. Neo yang memang tidak bisa makan banyak sampai hampir memuntahkan apa yang sudah ia telan.

"Gue tahu kalau gue lagi sakit," Pakin akhirnya membuka suara. Setelah kenyang, agak-agaknya susunan neuron dalam otaknya kembali mampu bekerja. Tanpa mengindahkan larangan Neo, Pakin menyulut sebatang rokok. "Jadi, temenin gue, ya, ke Arjuna nanti. Gue pasti akan tumbang kalau nggak ada lo. Mau ngandalin Ohm juga mustahil, ada sepuluh mahasiswa yang harus diperhatikan."

"Kata dokter lo harus istirahat. Dan bukannya selama ini lo berkoar-koar kalau lo melarang para junior untuk mendaki apabila sakit?"

"Maka dari itu, gue butuh lo."

Ouh, sial. Si keriting itu membawa kelemahan Neo. Apa pun, demi Tuhan, apa pun, jika Pakin bersabda dia membutuhkan Neo, dalam kondisi entah bagaimana, semua bilangan itu adalah iya, semua muara itu adalah iya, semua jawaban itu adalah iya. Dan Neo tidak akan pernah bisa mengelak. Ia memang telah membanting harga dirinya di hadapan Pakin. Yang sialnya, bedebah itu sangat paham bagaimana cara mempermainkan harga dirinya.

"Gue nggak ingin lo kenapa-kenapa."

"Makanya, gue butuh kehadiran lo."

"Kalau penyakit lo makin sekarat, apa yang harus gue ucapkan kepada Bunda sebagai pertanggungjawaban?"

"Tahu... makanya, kan, gue butuh elo."

"Dan lo juga tahu, kan, tingkat sayangnya gue ke lo ini sudah kayak orang sinting? Gue rela lo permainkan semau lo. Gue rela lo jadikan boneka, pesawat terbang, robot-robotan, apa pun sesuka hati lo."

"Jadi, gimana? Lo ikut kan?"

"Sialan! Kenapa harus elo, sih, orang yang gue khawatirkan?"

Neo merangsek mendekati Pakin. Ia menyurukkan tangannya di bawah leher Pakin, sebelah tangan kanannya ia sampirkan di pinggang Pakin. Ia elus lekuk tubuh Pakin di sana, lantas ia usap secara melingkar pinggul Pakin yang sekal. Selanjutnya ia menyeret tubuh Pakin untuk masuk ke dekapan.

"Kalau gue ikut, lo jangan berulah. Nurut sama gue. Gue nggak mau lo makin kambuh di gunung. Jalannya jangan jauh-jauh dari gue. Gue tahu lo sering ke Arjuna, tapi mau ke mana pun di sana lo harus gue anterin. Kita nggak pernah tahu kondisi gunung setiap waktunya."

Pakin mematikan rokok di asbak, lalu membalas pelukan Neo dan menghirup aroma segar jeruk dari tubuh temannya.

"Gue bakal jadi Pakin penurut," suaranya diredam dada bidang Neo.

Neo menggeleng, menepuk-nepuk punggungnya perlahan. "Perutnya masih sakit?" tanyanya perhatian.

"Udah nggak sesakit siang ini. Jauh lebih baik. Makasih, ya, Nyo."

"UTS lo gimana? Lancar?"

"Ya semoga dosennya nggak malah bingung jawaban gue yang lebih mirip pertanyaan."

Neo tersenyum geli. Kini tepukannya berubah menjadi usapan melingkar. Aduh diginiin Pakin makin suka. Si keriting kian mendusel untuk saling menggenapi suhu tubuh keduanya. "Soal yang dikatakan Luna," nada suara Neo memantul di antara gelombang rambut Pakin, "gue benar-benar berharap lo nggak keras kepala. Gue tahu pergaulan lo luas, dan gue nggak ingin mengekang lingkar pertemanan lo, tapi dengan Drake, lo kudu berhati-hati. Apa yang dilakukannya waktu lo cuti satu semeter awal kuliah dulu semengerikan itu. Gue hanya nggak ingin lo terluka sebagaimana temennya Luna."

"Gue tahu, lo dan orang-orang yang mengenal gue bakal ngomong gitu kalau gue dekat dengan Drake. Gue nggak tahu apa yang dia lakukan selama gue nggak ada, tapi gue nggak ingin membatasi ruang gerak gue."

Neo berdeham, membasuh kerongkongan dengan menelan ludah, tubuhnya selalu terasa tegang saat mengingat ini. Menghilangnya Pakin satu semester penuh di awal perkuliahan. Demi Tuhan itu adalah hari-hari mengerikan yang pernah Neo alami di sepanjang ia hidup. Ia sampai berkali-kali mengunjungi Pakin ke Bogor, tapi Bunda pun tidak tahu menahu keberadaan pakin. Ia hampir-hampir gila. Begitu banyak pertanyaan menyusul menghilangnya Pakin. Tapi ketika ia melihat sahabatnya pertama kali setelah kepergiannya, semua pertanyaan itu berantakan, tergantikan oleh rindu yang memeluk tulang. Ia tidak pernah menanyakan hal tersebut, sebab Pakin selalu membuat pondasi sekukuh beton tiap kali permasalahan tentang raibnya dia diusung.

"Gue selama ini selalu menanti lo untuk membahas ini, sih, Kin. Sengaja gue nggak tanya langsung ke lo karena gue nggak ingin mencampuri urusan lo. Tapi ketika Luna tadi nyinggung dan lo barusan juga ngomong, gue boleh tanya, nggak, sih, sebenarnya lo cuti ke mana enam bulan itu? Kenapa lo menghilang begitu saja? Gue cari-cari lo ke Bogor tapi kata Bunda lo nggak ada di Bogor. Gue sampai bingung nyari lo, tapi lo kayak lenyap begitu saja. Sebenarnya, apa yang terjadi pada lo, Kin?"

Pakin menelan ludah, matanya melotot menatap kaus Neo. Pasti akan ada hari di mana Neo akan bertanya ke mana dia pergi selama ini, kendati waktu pertama kali bertemu Neo setelah ia cuti, Neo tidak pernah menyinggung pertanyaan itu. Napas Pakin seketika memburu, jantungnya berisik tidak aman. Rasa takut merayapi tungkai kaki hingga merambat ke punggung, membuat ia merinding. Alih-alih menjawab Neo, Pakin semakin mengeratkan pelukan. Membiarkan pertanyaan Neo usang dimakan ngengat. Tidak! Ia tidak akan bisa menceritakan kepada siapa tentang menghilangnya selama enam bulan! Tidak! Neo tidak boleh tahu! Itu cerita kelam! Tidak! Tidak! Tidak! Neo tidak boleh tahu! Siapa pun tidak boleh tahu! Tidak! Tidak! Tidak! Dan tubuh Pakin semakin menggigil ketakutan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro