Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ohm sibuk memberikan penjelasan kepada junior tentang acara pendakian ke Arjuna. Selepas UTS nanti, anak-anak mapala berencana mengadakan hiking. Karena awal tahun dan dua bulan lalu mereka sudah menyusuri pegunungan di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sekarang adalah saat mereka menapakkan kaki di Jawa Timur. Mereka jelas tidak mungkin ke Semeru sebab gunung tertinggi di pulau Jawa tersebut masih ditutup akibat seringnya mengalami erupsi. Tidak mungkin pula ke Raung, karena bekal yang para kating berikan kepada junior belum cukup. Sementara ke Argopuro masih bisa dipertimbangkan. Hanya saja, lamanya perjalanan yang mereka tempuh, bisa membuat para anggota kelelahan sedangkan di kampus masih ada Pekan Olahraga Mahasiswa yang harus dihadiri oleh seluruh mahasiswa. Jadilah pilihan itu jatuh ke Gunung Arjuna.

Pakin pernah ke sana. Mungkin sekitar tiga atau empat kali. Ia tidak begitu ingat. Dia sebenarnya malas. Liburan setelah UTS jelaslah adalah hal yang patut digembirakan dengan tidur sepanjang hari, main game sampai kedua tangannya kesleo, atau nonton bokep yang ia kunjungi tatkala malas ngapa-ngapain. Hanya saja, permintaan Ohm untuk mendampingi para junior, ditambah jajaran kating mapala yang sibuk mempersiapkan POM dan pekan teater, jelas bukan sesuatu yang bisa ia tolak begitu saja. Membayangkan menghabiskan belasan jam untuk menempuh jarak Jakarta — Malang menggunakan kereta api, sudah membuatnya mengerang berat. Itu jelas memuakkan. Bisa meruntuhkan letupan endorphin yang kehadirannya tinggal berutas-utas saja. Setelah berdiri sekitar satu jam utuh dengan puluhan kali kuapan yang tidak bisa ditoleransi kehadirannya, akhirnya pertemuan itu ditutup oleh sang ketua mapala.

Ohm Pawat Chittsawangdee. Mahasiswa Sastra Indonesia — teman sefakultas Pakin — adalah sosok yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Usianya mungkin baru menginjak dua puluhan, tapi karismanya di mata semua orang tidak bisa diganggu gugat. Ia memiliki rambut berpotongan pendek yang sangat cocok untuk bentuk mukanya. Kulitnya bersih seperti biji kemiri. Matanya bulat penuh, dengan iris gelap yang mengingatkan Pakin pada biji pala. Selain keahliannya di bidang hiking dan panjat tebing, kesusastraan Ohm melebihi apa yang bisa disangka orang-orang. Cerpennya sering dimuat koran-koran lokal maupun nasional. Novelnya beberapa kali mencetak best seller, bahkan enam dari tujuh novel ciptaannya diangkat ke dalam film layar lebar. Tidak hanya itu, ulasannya tentang film maupun novel mendapat banyak sambutan positif yang sebagian besar digunakan khalayak sebagai rujukan penilaian sebuah bacaan maupun tontonan. Ringkas cerita, Ohm adalah penulis flamboyan, yang dengan mudah disukai oleh siapa saja — yeah, termasuk Pakin kalau boleh ditambahkan.

"Kupikir amanat yang ingin kamu sampaikan di cerpenmu berjudul Perempuan Pukul Empat Pagi itu terlalu kentara," ucapnya ketika ia dan Pakin membereskan ruang mapala. Para junior itu sudah membubarkan diri. Kini tinggal mereka berdua di sana. "Oke, katakanlah kamu menulis apa yang terjadi di Ndolli sewaktu Risma membubarkan tempat itu, tapi menjadikan Martha yang di sepanjang narasi kamu gambarkan sebagai perempuan biasa, berlatar pendidikan yang tidak dia tamatkan, dengan segala karut marut kehidupan yang krisis ekonomi dari kecil sampai sekarang, kalimatnya terlalu memiliki gelar ijazah tinggi."

"Gue sebenarnya juga bingung mau memasukkan amanat seperti apa. Beberapa kali cerpen gue selalu mendapat review pedas dari Mas Force, yang sampai sekarang membuat gue kayaknya kesulitan menembus media koran." Merogoh celana jeans belelnya, Pakin mengeluarkan sebungkus keretek. Ia menawari Ohm yang turut mengambil sebatang. "Memasukkan amanat itu susah banget, sih. Bagaimana caranya supaya kita nggak kejebak dalam menggurui pembaca, tapi cerita kita nggak kosong aja gitu." Pakin mengembuskan asap rokok, lantas duduk di salah satu meja. Di depannya, Ohm melakukan hal serupa. Anak asli Solo itu selalu tampak tenang di mana pun berada, dan Pakin suka dengan ketenangan yang ia tawarkan. Rasa-rasanya segarba masalah yang ia gembol, akan selalu mendapatkan jalan keluar entah bagaimana caranya. Ia merasa dilindungi dengan cara sederhana dan bersahaja — begitu berbeda dari bagaimana Neo memperlakukannya. "Gue udah memakai berbagai macam genre. Tapi semua mental. Mas Force menyarankan gue untuk membuat cerpen horror kontemporer dengan memasukkan problem-problem urban seperti social ekonomi."

"Dan hasilnya?"

"Semua cerpen gue direvisi merah, Njeng." Si Ketua Mapala sukses dibuat tertawa sama bocah berambut keriwil tersebut. Menyejajarkan Pakin dengan sastra jelaslah merupakan kesalahan. Ia memasuki jurusan itu pun karena berpikir di antara jutaan jurusan di muka bumi, Bahasa Indonesia terlihat paling gampang, kan? Lihat, dari kecil hingga sekarang dia berbahasa Indonesia. Apa yang sulit, coba? Sialnya, ketika ia semakin menekuni pelajaran-pelajaran di kelas, otaknya semakin ngebul. Apalagi jika dosen sudah membahas semiotika, analisis konstituen, linguistik, beuh, berasa Pakin bisa gantung diri. Satu-satunya yang Pakin banggakan dalam proses pembelajarannya hanyalah kegilaannya pada bahan bacaan. Ia bisa membaca apa saja dan mampu mengkaji isinya sampai struktur terdalam. Tapi jelas kemampuan itu tidak cukup untuk membawanya mendapatkan gelar ijazah jika tidak didukung pengetahuan lain.

Sebenarnya ia tak ingin masuk ke jurusan ini, tapi menghitung dan menghafal tentu bukanlah keahlian. Sementara memutuskan bekerja ketika semua temannya melanjutkan jejang kuliah, Oma melerangnya mentah-mentah. Perempuan sepuh itu bahkan mengangkat tinggi-tinggi bedil ketika Pakin bersikeras ingin bekerja. Mereka sampai berdebat hebat, yang berujung tidak saling sapa hampir satu bulan utuh.

"Mungkin kamu bisa mencoba menggunakan hukum sebab akibat."

"Maksudnya?"

Setelah mengembuskan asap, keretek dalam ruas jari-jari itu sengaja ia jepit untuk memberi penjelasan kepada Pakin. "Seperti Martha yang kamu tuliskan. Kamu dari awal menarasikan dia gagal melanjutkan pendidikan, keluarganya menghilang entah ke mana, sementara itu dia tidak memiliki teman satu pun. Dia nggak memiliki pergaulan luas selain dunia pelacuran. Dia nggak punya ponsel, nggak punya televisi dengan channel memadai, nggak punya akses ke koran-koran. Itu semua adalah faktor-faktor yang membentuk kerangka berpikirnya. Akibatnya apa? Argumennya mentah, pandangannya dangkal, visi misinya nggak bisa untuk belari tiga atau lima tahun ke depan."

Pakin manggut-manggut, mengembuskan asap rokok. "Benar juga kata lo. Selama ini gue memandang cerpen gue dari sudut perasaan Martha, sampai gue lupa bahwa ada lingkungan yang bisa membentuk struktur berpikir manusia. Nanti gue revisi lagi. Lo masih mau ngereview, kan?"

"Email aja seperti biasa."

Ah... inilah yang Pakin selalu suka dari Ohm. Laki-laki penggila panjat tebing itu selalu dan selalu mampu meluangkan waktu untuk Pakin. Mau dia sakit, sehat, senang, sedih, apabila Pakin membutuhkan bantuan, Ohm selalu mengulurkan tangan. Mungkin ia tidak satu kos dengan Pakin, tapi rasa-rasanya kehadirannya di kos Pakin melebihi para mahasiswa yang sudah lebih dulu menghuni koskosan tersebut. Dan diperlakukan seperti itu, jiwa rapuh Pakin tidak bisa untuk tidak mendengkingkan rasa suka. Di malam-malam erotis Pakin ketika menuntaskan hasrat, tak jarang ia mengimajinasikan Ohm menyetubuhi lubang anusnya. Sialnya, hanya itu yang bisa Pakin lakukan. Tidak lebih. Kehadiran Neo yang selalu menempelinya serupa magnit, memblokade jalan Pakin untuk mendapatkan laki-laki yang ia suka.

"Jadi gimana kabarmu, Kin?"

Pakin sampai mengalihkan pandangan ke arahnya hanya untuk mencari tahu bahwa ia tidak salah mendengar. Keningnya mengernyit. Ohm menanyakan kabarnya? Jelas suatu keajaiban.

"Gue nggak salah dengar, kan?"

"Berita kamu di base yang ramai dan bagaimana gelombang ujaran kebencian itu mereka berikan pada kamu hanya karena kamu digerebek Neo sedang ons dengan Drake. Aku takut kamu kenapa-kenapa. Apalagi sudah dua minggu dari hari itu dan hate comment mereka nggak mereda barang satu pun. Agak di luar akal sehatku saja, Kin, rasa-rasanya."

Oh. Pakin tertawa karenanya. Ia mengisap dalam-dalam batang rokok, kemudian mengembuskannya dalam bulatan-bulatan kecil. Memang hal yang dilakukan Neo di Petra beberapa waktu kemarin sangat heboh di base kampus, sebab ternyata ada salah satu mahasiswa yang merekam penganiyaan yang dilakukan Neo kepada Drake. Tapi kehadiran minggu-minggu UTS membuat Pakin hampir tidak pernah membuka Twitter sehingga ia tidak sempat melihat amukan orang yang menghina dina dirinya seperti yang terjadi setahun lalu. Dan Ohm yang juga disibukkan dengan UTS dan deadline novelnya di salah satu penerbit membuatnya tidak memiliki banyak kesempatan bertanya tentang hal pribadi ketika Pakin menginap di kos-kosannya.

"Bukan perkara besar. Inget gue pernah mendapatkan bullying yang lebih hebat dari ini tahun lalu? Jadi, yeah, gue biarkan saja orang-orang menilai gue dengan apa. Gue memang homo dan menyukai selangkangan cowok. Mau bagaimana lagi?"

"Tapi menurutku ini nggak wajar, sih, Kin?"

"Bagaimananya?"

"Kita semua mengenal Drake, dan reputasi merahnya selama ini. Ketika kalian yang digerebek, kenapa hanya kamu saja yang mereka rundung? Bukankah itu akan lebih empuk menjadikan Drake sasaran bullying sebab dia terkenal sering memperlakukan pasangannya nggak baik?"

"Mungkin karena gue sudah pernah menggegerkan pihak manajemen kampus tahun lalu? Mereka sampai melakukan represi terhadap gue karena menganggap keberadaan gue membahayakan mereka? Jadinya melihat gue kena skandal lagi, mereka seperti memiliki bahan lain untuk kembali membully gue. Gue sudah terbiasa."

"Masalahnya bukan terbiasa atau enggak, Kin, kendati aku tahu di matamu nggak pernah ada kata baik-baik saja. Dua minggu kamu menginap di kosku, dua minggu itu pula aku seperti menjumpai mayat hidup. Aku nggak tahu apakah ini karena ulah Neo yang lagi-lagi menerobos batas privasimu, ujaran kebencian yang kamu dapatkan, ataukah seperti pesan chatku padamu malam itu. Apa yang telah dilakukan Drake padamu? Aku nggak tahu apa yang terjadi pada kalian selain proses persanggamaan itu. Tapi jelas ada sesuatu di antara kalian malam itu yang membuatmu seperti zombie."

Pakin menelan ludah. Tangannya terangkat di depan mulut untuk mengisap batang rokok, tapi kemudian urung, yang ia lakukan selajutnya hanya menutuk ujungnya untuk membuang abu di sana. Ia mematung, bingung memberikan jawaban apa, sebab tidak mungkin baginya menjelaskan apa yang Drake beberkan. Lagipula, dari mana Ohm mampu menebak apa yang terjadi malam itu, coba, sementara Neo yang berada di sana tidak sanggup menelaah apa yang sebenarnya terjadi? Kasus ia dan Drake hanya diketahui oleh Fourth — adik tingkat Pakin yang bekerja di Petra. Tapi tidak mungkin juga Fourth menceritakan hal tersebut pada Ohm. Selain mereka terlihat tidak begitu kenal, gedung fakultas Fourth jauh banget dengan gedung fakultasnya.

"Nggak ada apa-apa antara gue dan Drake. Kami cuma having sex karena kebutuhan biologis saja. Bukan perkara berat. Nggak usah khawatir."

Ohm menatap Pakin dalam, sepertinya paham bahwa pemuda di hadapannya enggan membahasa ini. Yang ia lakukan kemudian mengisap batang kereteknya, mengembuskan begitu saja, lantas berujar, "Tapi kamu harus lebih concern terhadap perisakan yang menimpamu, Kin. Kupikir ini sudah nggak wajar."

"Aku nggak melihat ketidakwajaran di sana, Ohm. Nggak usah dipikirin. Gue udah biasa diperlakukan seperti ini. Lo ngarepin apaan, sih, dari lingkungan sosial kita? Perbedaan orientasi seksual aja sudah menjadi kejahatan bagi mereka. Apalagi melihat ada mahasiswa problematik yang kedapatan digerebek temannya sendiri sedang ngentot sama cowok terkenal di kampusnya. Jelas itu akan membuat mereka semakin giat merundung gue."

Ohm terdiam. Pertahanan yang dilakukan Pakin cukup membuatnya sadar bahwa kawannya itu tengah membangun tembok tinggi yang tidak ingin diterabas oleh orang lain. Ia berteman dengan Pakin sejak mereka sama-sama menjadi mahasiswa baru. Dan sekalipun Pakin adalah laki-laki ceria yang menawarkan hangatnya perkawanan, Pakin seperti menyelimuti dirinya dengan tirai rapat dari dunia luar. Ia memang bisa menangkap rasa sakit Pakin melalui matanya yang terlalu berpijar jujur. Tapi Ohm tidak pernah tahu apa yang melatarbelakangi itu semua. Sedikit pun dari kisah Pakin, Ohm tidak pernah sanggup menjamah.

"Dan bagaimana perasaanmu diperlakukan seperti itu sama Neo? Kamu akan terus mempersilakan kehadirannya mengobrak-abrik seluruh privasimu? Menjadikanmu sebagai pemilik rumah yang kehilangan ruang-ruangnya?"

Pakin menatap Ohm, lalu tersenyum kecil. "Lo tahu jawabannya. Udah seperti ini sejak rasa sialan itu muncul dan berkembang kayak taik anjing di hati gue, tapi gue sama sekali nggak punya kemampuan buat melawan."

"Luna gadis yang baik."

"Karena dia baik itulah gue nggak memiliki keberanian menerabas batas antara gue dan Neo. Kalau saja dia memberikan sisi buruk yang merugikan Neo, kedua tangan gue sendiri yang akan merebut Neo darinya. Semua batas itu memang berada di titik kebaikan buat Neo. Karena ketika dia bahagia, gue nggak memiliki alasan merusak kebahagiaannya, kan?"

"Tapi kamu berhak mendapatkan hidup lebih baik, Kin. Berhak menerima cinta yang sepadan dengan semua usahamu. Nggak capek, kah, ketika kamu memikirkan Neo tanpa henti, yang kamu dapatkan justru punggung laki-laki itu yang semakin menjauh dari pandangan mata? Dia telah menginvasi seluruh ruang di rumahmu, tapi kemudian meninggalkannya terbengkalai tanpa tanggung jawab. Apakah kamu nggak bosan harus memungut perabotannya yang berantakan untuk dikembalikan ke tempat semula setiap harinya?"

Pintu ruang mapala terbuka. Seperti yang ia janjikan melalui pesan singkat, sosok Neo masuk. Ia melambaikan tangan dan berjalan menghampiri mereka.

Pakin mendengus, mengembuskan asap rokok. Kembali menatap Ohm, lalu berkisik dengan senyum miring terulas kecil, "Bagaimana jika nggak pernah ada ruang-ruang di rumah itu, Ohm? Bagaimana jika selama ini rumah itu kosong, dan nggak ada apa-apa selain sisa-sisa tangis yang telah mengering? Ada atau tanpa Neo, rumah itu dari awal sudah terbengkalai, Ohm. Sampai gue kasihan sama tuan rumahnya."

Neo memberi salam, menepuk bahu Ohm ringan, kemudian merangkul Pakin.

"Pinjam si Kiting dulu, ya. Ada perlu ini."

"Habisin sepuasnya. Kami sudah selesai," sahut Ohm. Ia menatap dalam Pakin yang membuang muka darinya. Sesuatu seperti ada yang meremat isi kepalanya menyusul kalimat Pakin barusan. Ia terlalu sadar bahwa ini adalah kali pertama Pakin membisikkan sebagian kecil potongan hidupnya. Rasa canggung tiba-tiba berdenyut di bawah permukaan perut Ohm, menimbulkan gejolak tidak enak dan sesak. Ketika ia melihat dua punggung manusia itu menjauh dari ruang mapala, satu yang Ohm simpulkan dari sosok Pakin: siapa pun ia saat ini, itu jelas bukan sebenar-benarnya Mark Pakin yang ia tunjukkan. Pemuda itu terlalu abu-abu. Dan Ohm bersumpah demi seluruh nama sastra di Indonesia, ada dengking permintaan tolong yang mengenaskan di balik cokelat matanya.

Sejak kepergok tengah berbuat ena-ena dengan Drake, tidak terjadi perubahan berarti terhadap persahabatannya dengan Neo. Laki-laki itu tetap mengawalnya ke mana pun ia pergi, bahkan memaksanya ikutan nongkrong sama teman-teman sefakultasnya. Ia juga masih meneror Pakin melalui telepon apabila sang kawan tidak membalas pesan singkatnya. Atau memborbardir Pakin dengan chat jika laki-laki berambut keriting tersebut tidak kunjung membalas pesan singkatnya. Yang mana, sikapnya dua minggu ini ngeprovide seluruh kebutuhan Pakin saat menginap di kos-kosan Ohm — sampai membuat Ohm kuwalahan dengan kiriman-kiriman makanan darinya. Pakin akan baper bukan kepalang jika Neo melakukannya dengan sukarela. Sayang, Pakin terlalu tahu kenyataan bahwa di setiap Neo mengiriminya makanan, dia lagi bareng sama Luna untuk sekadar menemaninya belajar, makan, atau hangout saja. Ringkas cerita, laki-laki itu tetap menyebalkan. Dan lebih menyebalkan lagi ketika Pakin masuk ke dalam mobilnya, sudah ada Luna di dalam sana.

"Hai, Kin, gimana kabar lo?"

Mati-matian untuk tidak memutar bola mata, Pakin melesakkan bokong di jok belakang. Sampai kapan ia harus menjadi obat nyamuk dari dua manusia keparat itu, Tuhan?

"Baik. Lo gimana, Lun? Lancar UTS lo?"

"Baik banget kos UTS gue lancar jaya. Ini bayaran yang patut gue terima, sih, setelah dua bulan ini gue berjuang mati-matian supaya gue mendapatkan nilai baik."

"Senang mendengarnya. Ngomong-ngomong, mau ke mana nih?"

"Nonton. Tapi temenin gue belanja dulu, ya. Kebutuhan bulanan gue habis. Dan Neo yang bilang kalau kebutuhan kalian habis, ngotot ngajak lo turut serta. Maaf, ya, Kin, jadi ngerepotin."

Ou... lihatlah perempuan itu. Manis dan sangat baik kepada Pakin. Tolol rasanya seumpama Pakin nekat melakukan niatnya untuk merebut Neo. Hanya saja, apa yang Neo lakukan kepadanya benar-benar telah melebihi batas. Segala macam bentuk keposesifan Neo terhadap Pakin tidak mungkin tidak mampu meliarkan imajinasi Pakin terhadap sentuhan bernama romansa. Bersahabat dari kelas sepuluh jelas bukan perjalanan yang singkat. Suka duka yang ia dan Neo alami bersama cukup mampu untuk mengembangkan biji-biji cinta dalam dadanya. Bahkan sampai sekarang, sampai Neo telah berpacaran tiga tahun dengan perempuan ayu calon dokter tersebut, sedikit pun perasaan Pakin pada Neo tidak berkurang. Yang terjadi justru sebaliknya. Neo dalam keadaan haram disentuh semakin menghamparkan sayang yang berkelindan dengan hasrat untuk menyetubuhinya telanjang bulat. Pakin mendesah. Ia sungguh seperti pemuda pesakitan paling menyedihkan di atas tanah.

Ketika mobil berhenti di setopan lampu merah, Neo berbalik ke belakang, lantas mengenakan sabuk pengaman yang alpa dipakai Pakin. Memutar bola mata melihat keteledoran Pakin ini, si anak bisnis itu menghadiahi Pakin dengan jitakan kepala. Pakin meresposnnya dengan dengusan kecil. Ia meminta Neo mematikan pendingin ruang sebab mulutnya yang terasa kecut minta jatah tembakau. Neo memang perokok, tapi keaktifan Pakin dalam merokok melebihi apa yang Neo lakukan. Pakin bisa menghabiskan dua pak rokok setiap hari. Apalagi jika ia sedang stres berat. Mulutnya tidak akan berhenti mengepulkan asap seperti kereta lokomotif.

Mereka sampai di pusat perbelanjaan. Pakin sebenarnya malas berbelanja sebab, hei..., selain persediaannya di koskosan masih bisa dipakai sampai akhir bulan, rasa-rasanya dia pengin beristirahat setelah aktivitas kampus yang sangat melelahkan. Tapi tentu saja hal itu mustahil ia lakukan. Ketika Neo sudah memberi ultimatum, maka baginya itu adalah perintah.

"Banyak banget borong cokelatnya, Neo?" tanya Luna sewaktu menggunakan kedua tangannya, Neo memasukkan sekitar dua puluh lebih cokelat Tobleron ke dalam keranjang.

"Cokelat persediaan Pakin habis. Dan gue ogah keluar malam-malam kalau dia tahu-tahu pengin ngemil cokelat. Lo tahu sendiri gimana cerewetnya dia kalau lagi bm."

Di belakang mereka, Pakin memutar bola mata.

"Lho, bukannya kemarin gue habis ngebeliin lu deodorant, ya? Kenapa ambil lagi?" tanya Luna lagi setelah mereka mulai menyusuri lorong body care.

"Tuh tanyain ke Kiting. Diapain itu deodorant sampai cepet sekali habis? Dimakan sambil nonton bokep kali."

Pakin tak menanggapi ocehan dua sejoli itu. Dia memilih melihat ke berbagai macam body care tanpa ada minat untuk membelinya. Entah berapa lama ia mematung di situ sambil membaca komposisi dari sunscreen SPF 50 — yang sangat dia butuhkan ketika ada kegiatan hiking — sewaktu Neo tahu-tahu berdiri menjulang di belakangnya, dan memasukkan sela-sela jarinya ke sela-sela jari Pakin. Dia mengambil botol sunscreen dalam pegangan Pakin, lalu menarik pria itu pergi dari sana.

"Mapala ada kegiatan mendaki lagi emangnya?"

"Tahu dari mana?"

"Lo nggak pernah merhatiin kebutuhan skincare kecuali kalau mau mendaki, sih." Neo mengacungkan botol tabir surya.

Pakin jadi teringat permintaan Ohm yang menyuruhnya mengajak Neo ke Arjuna. Menyejajari langkah Neo, dan tanpa sadar membiarkan tangannya terkunci dalam tautan jemari Neo, ia berujar, "Rencananya mau ke Arjuna akhir bulan ini. Ohm minta lo jadi guide karena kami ngajak rombongan lumayan banyak. Kalau harus nurunin dua guide dia bakal kewalahan kendatipun kami menyewa empat porter dari basecamp. Lo bisa, nggak?"

"Berapa banyak?"

"Sepuluh."

"Empat porter dan tiga guide hanya untuk mengawal sepuluh pendaki? Nggak kebanyakan itu?"

"Bahkan satu nyawa manusia sudah dihitung banyak, sih, Nyo. Kita nggak pernah tahu kondisi alam liar, lebih-lebih gunung seperti apa. Bisa jadi awal pendakian masih lancar, tapi ada badai atau bencana alam lainnya di atas. Nggak ada yang tahu sebab, yeah, kebetulan kita manusia yang memiliki keterbatasan." Pemuda berambut keriting tersebut memutar bola mata jengkel menanggapi pertanyaan Neo yang terlewat abai.

Neo tergelak kecil. Jempolnya mengusap punggung tangan Pakin. Mereka berjalan menyusuri lorong body care untuk mencari keberadaan Luna. "Sorry kalau gue kedengarannya terlalu nggak berperasaan. Nanti gue lihat jadwal apakah bisa ikut ke Arjuna atau enggak. Sekalian gue ajak Luna kalau ternyata gue bisa. Dia mupeng banget sewaktu Ohm mosting foto kalian di Merbabu kemarin."

Pakin mendengus. Saat sosok Luna terlihat sedang antre di salah satu kasir, Pakin melepas genggaman tangan Neo dan berujar akan menunggu mereka di lobi luar. Neo seperti terlihat tidak setuju dengan gagasan Pakin, tapi kemudian ia hanya mampu memberinya izin setelah Luna memanggilnya untuk bergabung dengan antrean.

Mereka memutuskan makan siang sebelum berangkat nonton di salah satu kafe di daerah Kebayoran. Kedai tersebut tidak begitu ramai, bahkan cenderung tenang dengan musik mengalun lembut. Sewaktu mereka masuk, embusan udara sejuk dari aircon menyentuh kulit mereka. Pakin mengedarkan pandangan. Dinding-dinding kaca yang melapisi ruang di lantai satu ini cukup menjadi daya tarik pembeli. Pemandangan di luar kafetaria ketika saat sedang asyik ngobrol dengan teman dekat, atau menikmati kesendirian di tengah tugas mendera jelas merupakan daya pikat tersendiri.

Terdapat peralatan meracik teh dan kopi di meja bar yang terbentuk dari marmer putih gading. Mesin pour-over, grinder kopi, dan french press diletakkan di meja belakang. Sementara di samping mesin kasir tampak bermacam-macam ketel berbagai ukuran untuk memanaskan air. Di sebelahnya terlihat tabung-tabung kaca tinggi berisi biji-biji teh aneka ragam yang tidak pernah Pakin lihat sebelumnya. Saat ia lebih menelisik ruangan itu, terdapat semacam pameran teh disimpan di dalam kaleng yang diletakkan di partisi-partisinya. Pakin mengendus, dan baru menyadari aroma teh meliuk di indra penciumannya. Ia lantas melarikan tatap ke arah Luna dan Neo yang sudah memesan di depan kasir.

"Green tea pannacota-nya di sini enak banget, Neo. Kamu coba, ya? Kamu selama ini selalu nolak kalau aku ajak ngeteh bareng, padahal seru, tahu."

Di samping Luna, Neo hanya mengangguk sambil tersenyum kecil, lantas membelai rambut hitamnya dengan sayang. Ia menyebutkan deret pesanan, lalu menoleh ke arah Pakin dan bertanya jamuan yang ingin disantap laki-laki tersebut. Pakin tampak melihat menu-menu yang tergantung di atas mesin kasir, lalu menyebutkan sepiring nasi goreng kari dan dua gelas kopi latte dingin. Ketika Luna bertanya kenapa dia memesan dua gelas sekaligus, Pakin hanya menanggapinya sambil lalu. Cuaca sangat panas, udaranya pun kering. Minum dua es kopi jelas merupakan surga. Setelahnya mereka memilih tempat duduk dekat dengan tembok kaca.

"I'm so sorry about what happened, Pakin."

Pemuda berambut keriwil itu mengernyit sejenak mendengar penuturan Luna yang tiba-tiba.

"Pembullyan yang lo terima di medsos, Kin. The things they're saying are just so mean. And it's crazy how this hate train keeps chugging along within the campus. Kek, mereka nggak ada kerjaan lainkah selain ngebully elo? Gue sama Neo dan anak-anak berkali-kali speak up untuk ngetake down bahkan nutup tuh base sialan. Tapi, I just don't get why they can't close down the campus base."

Oh, pembahasan memuakkan ini. Pakin mengangguk-angguk kecil sebab bingung mau merespons dengan apa lagi. Tadi Ohm sudah mengebor kepalanya dengan topik usang ini, sekarang masih harus berhadapan dengan perempuan segigih Luna. Agak-agaknya sampai akhir semester rampung, orang-orang yang berjumpa dengannya akan terus mengambil tema obrolan serupa. Betapa menyebalkan.

"Gue sampai datengi ketua BEM untuk menghentikan hate comment itu," Neo menimpali. "Gue minta bantuan First dan Khao, tapi nggak tahu kenapa sampai sekarang tuh base masih berdiri."

"Have you thought about reporting the bullying you're facing? Ini sudah termasuk cyber bullying, nggak, sih? Ngeri banget, asli, melihat orang-orang bisa sejahat itu. Kata gue mending lo melapor, deh. Gue takutnya ini berhubungan dengan Drake."

Lekuk kernyit di kening Pakin bertambah ketika nama Drake disebut. "Bagaimana ini bisa berhubungan dengan Drake?"

"Terima kasih, Kak," kata Luna sopan ketika seorang waitress datang membawakan pesanan mereka.

Pakin sedikit terkejut melihat penampilan nasi gorengnya. Sial! Dia lupa memesan tanpa sayur. Pakin mengambil garpu dan sendok, membongkar bentuk nasi goreng yang ditata setengah batok, dan sudah akan menceraikan sayuran di sana tatkala tangan Neo terulur dan mulai mencerabuti daun-daun entah apa di antara buliran nasi.

"It's still fresh in my mind, that thing from our first year at GMM karena korbannya anak FK juga. Lo menghilang enam bulan entah ke mana jadi kayaknya lo nggak tahu kehebohan waktu itu. Drake brought a guy over to Petra's and got him so hammered that he couldn't even keep his eyes open. Nah di saat dia nggak sadarkan diri itulah, dia memasukkan seorang cewek ke kamar yang dia sewa di Petra, dan bikin video porno untuk memeras cowok itu."

Pakin tampak berpikir dalam. Bimbang menanggapi dengan apa. Pada akhirnya dia hanya mampu berujar, "Senakutin itu perilaku dia? Gue pikir dia hanya membuat pemerasan dari video yang ada dianya. Nggak nyangka bisa sampai melibatkan perempuan." Matanya menatap tangan Neo yang sibuk memecah persekutuan sayur dan nasi di atas piringnya.

"Makanya sewaktu gue ngelihat berita lo heboh di base dan cowok itu ternyata Drake, gue langsung memasikannya ke Neo. Betapa terkejutnya gue saat Neo membenarkan pertanyaan gue. How did you and Drake first link up? Gue tahu lo social butterfly banget, yah, but it's a surprise to me that your social circle reaches all the way to Drake."

"Terus hubungannya pembullyian itu dengan Drake apaan?"

"Nggak ada, Pakin, hanya saja jika dia bisa berbuat sejahat itu, bukan nggak mungkin, kan, dia berada di balik gelombang amukan massa? I'm just hoping you stay safe and sound. I can't help but feel a little concerned, Kin."

Neo menarik tangannya kembali dan menikmati menu roast beef sambal ijo tatkala koloni sayur itu sudah rampung ia sibakkan di nasi goreng kari Pakin. Pemuda berambut keriting di hadapannya mulai menyantap porsi makan siangnya sambil terus melanjutkan obrolan.

"Gue tahu kekhawatiran lo dan hampir semua orang yang mengenal gue, Lun. Gue terima kasih banget sama kalian. I'm in the pink, seriusan. Walaupun kita mengenal Drake dengan sejarah kelamnya, tapi itu akan jadi sebuah tuduhan nggak berdasar yang jahat banget buat dia kalau ternyata dia nggak ada hubungannya dengan bullying yang menimpa gue."

"Lo kayaknya membela Drake banget sejak malam itu." Neo berkomentar tidak suka. Biji-biji keringat sebundar ketumbar lahir di balik jaringan kulit wajahnya. Pakin mengambil dua lembar tisu yang ia selipkan di tangan Neo, dan sang kawan langsung menggunakannya untuk mengelap mereka. "Gue bahkan sanksi lo nggak sekenal itu sama dia. Kalau kalian kenal lama, kenapa gue nggak pernah tahu? Di Petra itu pertemuan pertama kalian, kan?"

Pakin terdiam. Geraham-gerahamnya mengunyah butir-butir nasi sedikit bersemangat. Ia belum sarapan, dan ujian terakhir tadi sungguh melelahkan. Seharusnya ia bisa langsung ke kansas begitu keluar dari kelas, tapi acara dengan mapala membuat Pakin memperpanjang durasi lambung bertemu kangen dengan pati.

"Gue hanya nggak ingin menyeret orang-orang nggak bersalah ke dalam masalah gue, Nyo." Pakin menjeda kalimatnya saat Neo tersedak rasa pedas. Diam-diam ia menggeser satu dari dua gelas latte dinginnya ke dekat piring Neo yang langsung digasak kawannya. "Pertemuan di Petra emang yang pertama kalinya, jadi udahlah, jangan dibesar-besarkan. Gue sama dia juga kemungkinan nggak bakal ketemu lagi di kemudian hari. Lagian, gue baik-baik aja. Gue pernah mendapatkan hal lebih mengerikan dari ini tahun lalu. Jadi, udahlah nggak usah diributkan."

"Isn't it the norm to be cautious when we're not that familiar with someone? Apalagi itu pertemuan kalian pertama kali di Petra." Luna menuang teh hijau dari pot ke cangkir kecil yang disediakan kafe. Kuapan asapnya yang serupa selendang seketika mengeluk di udara. "Lo nggak ada saat huru-hara tentang Drake merebak di kampus, so I get why you might not fully trust what I and others who warned you about Drake are saying. Hanya saja, please, ini untuk kebaikan lo sendiri. Bisa, kan, lo berjaga-jaga sedikit saja darinya, Kin? I've considered everything you've told me about him, but there's no harm in taking some precautions. Kalau lo bisa membuat persiapan dari a sampai z sebelum mendaki gunung untuk meminimalisir kecelakaan, so why not do the same when dealing with folks like Drake?"

Daging pipi Pakin menggembung ketika nasi dalam mulutnya digerus para molar. Ia melirik bergantian Neo yang menyedot es kopinya dan Luna yang tekun menikmati vanilla bean panna cotta setuntas menyeruput teh. Kalimat yang Drake udarakan malam itu memukul tempurung kepala, lantas ia tersenyum, menarik kedua alis ke atas.

"Lo tenang aja. Sekalipun itu pertemuan pertama gue sama Drake, dia nggak akan pernah bisa menyakiti gue untuk urusan ini. Dia nggak akan sudi membasuh tangannya ke dalam lumpur dengan cara sepengecut ini, sih. Selain karena dia anggota senat, dia tipe orang yang akan menyerang lawannya tanpa perlu memakai topeng di balik akun-akun jahat. Gue memang baru kenal dia, Lun. Tapi gue tahu dengan siapa gue hadapi."

"Bukankah dengan menyebutkan itu dia jadi memiliki alibi kuat?"

Pakin menyeruput es lattenya untuk menyorongkan daging kambing di mulut.

"Dia nggota senat, memiliki kekuasaan tinggi, akan sangat mudah baginya menolak dengung pembelaan kepada lo. Especially because the bullying directed at you is still happening. Kalau bukan karena kekuasan besar di belakangnya, dapat keberanian dari mana orang-orang jahat itu ngebully lo? Gue nggak ingin lo kenapa-kenapa, seriusan. Lo hanya belum tahu siapa Drake sebenarnya kalau kata gue. Dia nggak seperti yang lo sangka, Kin. Anak FK yang jadi korban dia kebetulan teman dekat gue. Akan gue kenalkan ke lo kalau lo mau. Dan lo akan tahu neraka apa yang telah Drake perbuat padanya. Dia itu tuhan menjelma iblis, Kin. Dia bisa menciptakan nasib manusia dan menghancurkannya sampai remuk redam. Gue hanya nggak ingin nasib lo sampai kayak temen gue."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro