Bab 31

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nyooo... ini ulah lo, kan, yang ngisiin pulsa gue sejuta? Lo sinting apa gimana, sih? Pulsa sejuta buat apaan, Anjeng? Mau nyiram tanaman Shopee sehari tujuh kali biar kayak orang tawaf? Gue emang miskin, Nyo, tapi bisa, nggak, sih, nggak memperlakukan gue kayak orang minta-minta? Gue heran banget sumpah sama orang-orang ini. Kenapa mereka suka banget menghambur-hamburkan uang untuk gue? Kek, apakah wajah gue mirip kotak amal yang butuh disantuni seperti fakir miskin? Bangsat! Nggak lo, nggak Andrew, nggak semua, kenapa saat melihat gue kayak melihat badan amal? Gue emang miskin ya, Tuhan, tapi gue masih bisa ngeprovide kebutuhan gue. Gue aja bisa membayar uang UKT gue, ya kali untuk urusan pulsa aja gue nggak mampu. Lo kenapa diam aja, sih, Nyo? Lo seneng, ya, melihat gue ngomel-ngomel nggak jelas untuk santunan anak piatu dari lo ini? Capek banget tahu, nggak, teriak-teriak sampe urat-urat nonjol. Udah tahu hari ini kita balik ke Brussels, tapi ada aja kelakuan rakyat yang nggak ditanggung pasal 34."

Neo tersenyum melihat Pakin meracau tidak jelas di atas kursi roda sambil mengutak-atik ponselnya. Ia berjalan mendekati Pakin, menangkupkan kedua tangan ke sepasang rahangnya, membuat Pakin mendengak, lantas membubuhkan kecupan singkat di dahinya. Saat Pakin memutar bola mata lalu menepis tangannya, senyum Neo semakin lebar, memperlihatkan lesung pipitnya yang menggemaskan.

"Oh, boy, it's barely morning, and we've got a ringside view of the young lovebirds in action. How about some sympathy for the single folks here?" seru Andrew di meja makannya. "I'm about to hit the road. I really need some energy, but guess what I stumble upon? My kid, right in front of me, locking lips with their sweetheart, mere inches from my view. Ah, the joys of early mornings!"

Neo tergelak, meninggalkan Pakin yang merengut butuh penjelasan, dan mengambil tempat duduk untuk mendapatkan sarapan.

"What's my youngster been spouting off to you? How on earth do they keep the conversation flowing like a river?" Andrew berbisik penasaran, menyenggol lengan Neo untuk mendapatkan atensi. Ia harus tahu formula yang dimiliki Neo supaya pemuda pucat berambut keriting itu bisa ngobrol panjang lebar pula dengannya. Tidak enak sama sekali rasanya ketika ia ingin ngobrol banyak dengan anaknya, tapi hanya ditanggapi oleh diam dan diam.

"Pakin said he loves me so bad. He swears he'd go nuts without me!"

"Why the marathon of words for a simple 'I love you'? Spill it!"

"You've got to believe me, Sir, your child's got this one-of-a-kind love lingo, and I'm absolutely lovestruck by it."

"Aku bisa mendengarkan kalian kalau kalian mau tahu." Pakin mendengus, membuat Andrew dan Neo terkikik geli. Ia mendorong kursi rodanya mendekati meja makan, dan melihat menu sarapan — yang lagi-lagi — dalam porsi lewah di sana. Andrew dan obsesinya mengenyangkan perut Pakin benar-benar mengerikan. "And, is it really necessary to buy me a million worth of credit, for God's sake? I can handle my own phone credit. I'm not someone who asks for things."

"Who's calling you a beggar, Kin? I just want to make sure you always have enough credit to reply to my calls or messages. You've been silent to my calls all last month, and I can't help but worry about what might be happening to you."

"Why don't you realize that I'm just being lazy and not responding to your messages? It's as simple as that, right? You don't have to splurge so much on credit just for me."

Neo mengacak-acak rambut Pakin dengan gemas, kemudian tersenyum semakin lebar. "Iya, Sayang, lain kali aku izin dulu kalau mau ngisiin pulsa kamu."

"Anjing, Neo. Kenapa... pake sayang-sayangan, sih? Aku kamuan juga lagi."

"Habis lo nyerocos terus dari tadi, sih. Lo pikir mental gue kuat ngelihat bibir merah lo kalau lagi ngomel-ngomel? Nggak kuat banget, anjeeeng. Dah pengin gue telanjangi lo di sini, tapi nanti gue dideportasi bokap lo."

"Dih. Kayak yang mau aja lo cium-cium."

Neo benar-benar menggigit lidahnya supaya hasrat melumat bibir Pakin tidak meledak-ledak di meja makan. Ia tahu Pakin belum sepenuhnya memaafkan. Yang terjadi malam tadi hanyalah pelukan semata. Tidak ada obrolan apa-apa. Tidak ada penjelasan dan sebagainya. Mereka hanya membagi hangat tubuh untuk menyalurkan kangen yang datang bertubi-tubi. Ketika Neo membuka mulut hendak melanjutkan penjelasan, Pakin melarangnya. Dia memintanya untuk menelan semua cerita itu, dan melanjutkan tidur yang sempat terganggu.

"Aku harus balik dulu ke Brussels pagi ini, Son. Ada penerbangan ke Barcelona untuk meeting dengan klien pukul dua belas nanti. Kalian kalau mau pulang cukup minta pada kepala pelayan saja, nanti akan ada yang datang menjemput."

"Maafkan kalau aku merepotkan, Dru," kata Neo bersungguh-sungguh setelah menelan kunyahan dagingnya. "Dan terima kasih atas semua bantuan yang kauberikan padaku. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika kau menolak menolongku. Mungkin sampai sekarang aku belum bisa berekonsiliasi dengan Pakin. Dia sangat berarti buatku, dan aku benar-benar akan gila jika dia menghilang dariku untuk kedua kalinya."

"Tidak usah terlalu dipikirkan. Aku senang kau memutuskan untuk menemani Pakin di sini. Melihatnya bisa tersenyum dan berkata sepanjang tadi rasa-rasanya sudah cukup buatku. Aku belum pernah memiliki pengalaman sedikit pun memiliki anak, membesarkan, dan menjaganya. Jadi jujur aku kebingungan dengan bagaimana harus berperilaku terhadapnya. Kehadiranmu cukup menjembatani kami memiliki obrolan yang lebih hangat dan serius."

Pakin hanya mendengarkan obrolan mereka. Tidak ada niatan untuk bergabung. Ia menikmati sarapannya dalam diam. Ada beberapa salad yang ia tidak tahu terbuat dari sayur apa saja. Ia membolak-balik tumpukan sayur untuk memakan ikan kakap. Rasanya segar, ada perpaduan lemon zest, daun timi dan daun salam, yang ngeblend dengan kaldu ikan dan krim yang kental. Pakin agak menyukai hidangan ini. Ia berhati-hati sekali supaya tidak sampai memakan sayurannya. Ia memilih salad sebab terlalu bosan dengan wafel, omelet, ataupun muesli. Ia melihat cangkir yang ada di samping Neo. Teh hitam darjeeling tampak tidak ia sentuh sama sekali. Sambil menikmati makanan, dan membiarkan dua orang itu terlibat dialog, diam-diam dia menukar cangkirnya yang berisi kopi lungo dengan teh kepunyaan Neo.

Andrew yang melihat detail itu sejak semalam hanya menyimpulkan senyum. Mungkin Pakin tidak terlalu gembar-gembor menunjukkan rasa sukanya, tapi perhatian kecil yang ia lakukan kepada Neo cukup membuat Andrew mendengar ungkapan sayangnya.

"I think parenting is never an easy task. We all have to roll with the punches. But after seeing how you've been handling Pakin, I'd say you've taken the bull by the horns and played your cards wisely."

"Indeed, true professionalism is never born with the universe. We all have our learning curve. And those early steps are what set the stage. I'm just worried that my cautiousness in looking after Pakin might lead to a few bumps in the road. I've been searching for my child for 22 years now. If I could, I'd want to protect him, especially after the difficult situation four months ago. I didn't want him to get hurt. Pakin was born to a woman I loved deeply. And that only adds another layer to my soft spot for my child."

"Taking care of stuff can be kinda scary, Dru. You worry that what you gotta do might mess things up and cause problems. But hey, facing challenges isn't all bad. We can learn from others and their experiences, even though we can't really know exactly how it feels for them because everyone's different, both in their head and body."

Andrew menatap Neo dalam diam, kemudian mengangguk kecil. Sedikit terkejut juga dengan pandangan pemuda di sampingnya ini. Awalnya dia pikir Neo hanyalah seorang pembuat onar. Apalagi setelah kekacauan yang dia buat untuk anaknya. Tidak ada satu pun citra yang tersemat selain sumber masalah. Tapi setelah beberapa kali dia berdiskusi dengan Neo, ditambah keulenannya menjaga Pakin di ICU sebulan penuh, pemikirannya cukup mengejutkan juga.

"Aku sangat terkesan dengan pemikiranmu, Neo. Tapi aku jadi bertanya-tanya, jika kau bisa sebijak ini, kenapa kau bisa memilih menyakiti Pakin di antara semua kemungkinan?"

Neo berdeham, agak tidak menyangka mendapat tembakan pertanyaan di luar konteks. Ia mengambil cangkir kopinya, lantas menenggak beberapa teguk untuk menyorongkan daging dalam mulut.

"Yeah, kau tahu sendiri, memang kadang cinta terlahir dengan kebodohan hakiki. Dan terima kasih karena sepertinya kau sedendam itu padaku. Kau menyebut hal itu berkali-kali seolah-olah memaafkanku hanyalah ucapan manis tanpa ada niatan mendalam."

Andrew tergelak kecil. Ia menyeruput teh hitamnya, dan akan menggigit kroisan ketika Pakin terbatuk. Pemuda berambut keriting itu langsung memegang leher, sibuk mencari tisu. Neo yang duduk di sampingnya langsung berdiri dan mengedarkan pandangan, tapi kotak tisu tidak terhidang di meja makan mereka. Ia lantas menengadahkan telapak tangannya di depan mulut Pakin.

"Muntahin di tangan gue buruan. Lo makan bayam atau sayuran?"

Pakin melirik Neo dengan mata berembun akibat sengatan bayam yang sungguh tidak mampu diterima tubuhnya. Karena sudah tidak tahan dan tisu juga tidak tersedia, dia akhirnya melepehkan kunyahan bayam di tangan Neo. Neo Langsung ke dapur dan membuang bayam dari mulut Pakin ke tempat sampah, dan kembali lagi ke samping Pakin. Ia mengambil mangkuk salad Pakin kemudian menggeleng.

"Sudah tahu nggak bisa makan sayur, apalagi bayam. Kenapa dipaksakan coba?" Dia menjauhkan makanan itu dari tangan Pakin. Sebagai gantinya dia menyodorkan segelas air pada si keriting, lalu mengusap sudut bibirnya yang menyisa serpihan bayam.

"Gue nggak tahu yang gue makan bayam padahal gue udah berhati-hati banget dari tadi buat nggak ngambil sayuran."

"Kenapa harus makan salad coba?"

"Nyo, serius, sebulan ini gue makan wafel, kroisan, dan temen-temennya semenjak di sini, gue bosen banget astaga. Gue pengin nasi padang, anjir, Nyo. Atau nasi pecel, atau nasi soto betawi. Atau KFC. Buset dah, kangen banget makan KFC. Lidah gue nggak terbiasa makan makanan orang kaya. Emang mental miskin ini malu-malui banget."

"Ya udah nanti kita cari kuliner yang bisa cocok sama lidah lo. Atau kita ke gerai KFC aja. Masih mau makan?" Saat Pakin mengangguk, Neo mengambil potongan roti tost yang sudah dipanggang dengan keju lalu meletakkannya di piring Pakin. "Makan ini dulu, ya. Inget lo harus minum obat, jangan sampai lo minum obat dengan kondisi perut kosong."

"Makasih." Pakin menerima kepingan roti itu kendati rasa mual akan sajian olahan roti yang setiap hari ada di meja sarapan terasa begitu menggaruk dinding perutnya.

"Mind spilling the beans on what we just witnessed?"

"Pakin doesn't like vegetables, especially spinach. He can lose his lunch if he eats spinach."

"What's the scoop on that?"

"It's just a little story, nothing to write home about. When I was a kid, and Mom was pinching pennies but wanted me to grow up strong as an ox, she used to blend spinach into smoothies. That's why I'm not exactly head over heels for the taste of spinach."

Baik Andrew maupun Neo terdiam, seolah-olah dihantam sebuah kenyataan mengejutkan dari seorang Pakin. Pakin memang selalu menarasikan dirinya tak lekang oleh kemiskinan, tapi sumpah demi Tuhan, tidak pernah mereka sangka bahwa batas miskin Pakin semenderita itu. Jika untuk urusan bayam saja memiliki latar belakang sedemikian mengerikan, cerita dari Pakin mana lagi yang bisa membuat keduannya penuh sesak oleh pedih yang meninju tulang rusuk?

Dalam hati Andrew memerhatikan anaknya yang kini menyantap roti tost dengan mimik tidak begitu suka. Ia kembali berdeham, menggusur sumpalan di kerongkongan dengan air mineral, lantas bangkit dari meja makan. Ia berjalan menuju kamar dan menelepon seseorang dari sana.

Setelah segala keperluan rampung ia siapkan, Andrew menghampiri anak dan kekasihnya di ruang makan. Ia berpamitan kepada mereka untuk segera pergi, dan sudah akan meninggalkan rumah ketika Pakin memanggilnya.

"Even though I've scrubbed my dad's existence from my life, both in the physical world and in my mind, what you've done so far isn't a flop. I see you as a stand-up guy. Thanks for everything..., Dad."

Andrew membeku. Matanya berkedip dua kali. Telinganya seperti telah salah menangkap apa yang diucapkan Pakin. Tapi demi Tuhan, hati Andrew tidak pernah sehangat ini. Pakin menyebutnya Dad. Jagoan itu akhirnya, setelah 22 tahun ia cari dengan penderitaan yang tidak mampu ditakar, mengakui keberadaannya dan memanggilnya ayah. Ada bening air yang menebal di dinding mata Andew. Ia tersenyum kecil, mendadak merasakan rindu yang begitu canggung untuk Annelies. Ia merasa gelombang nostalgia membanjiri sepatunya, dan menyeret kembali hari pertama ketika ia berjumpa dengan Annelies di kereta api London ke Brussels. Semuanya memang hulunya ada di sana. Goresan panjang cerita itu, yang kelam penuh rasa sakit, sampai akhirnya kembali berjumpa dalam sepotong pagi yang hangat, bermula dari percakapan di kereta, ketika ia memberanikan diri mengajak perempuan cantik di hadapannya berbicara dengan mengomentari sampul buku yang ia pangku. Jika ia melipat lidah dan membiarkan segalanya dalam diam, tidak akan ada hari ini. Tidak akan ada Pakin. Dan tidak akan ada hatinya yang melepuh oleh cinta yang terasa sangat utuh.

Laki-laki itu mengangguk, melayangkan tangan kemudian berlalu dengan hati terasa ringan. Sebab, segalanya telah cukup. Apa yang ia dapatkan selama ini telah mencapai kata cukup. Ia tidak ingin mencari apa-apa lagi, bersama Pakin, maka semuanya sudah lunas. Saat ia memasuki mobil, senyumnya melebar sampai ke kedua mata. Ia mengenakan kacamata hitam, menyetel lagu dari radio, lalu menjalankan mobil sambil menembangkan barisan lirik cinta.

"Gue tadi pagi sempat melihat-lihat koleksi kuda bokap lo, Kin, dan gue mau berkuda. Lo ikut, ya?" Neo turun dari kamar Pakin dengan membawa kantung obat sahabatnya. Ia membuka bungkus-bungkus obat, dan mengambil sesuai dosis yang ia letakkan di cucing. Ia berjalan ke dapur, merangkum segelas air, lantas menyodorkannya kepada Pakin.

"Lo nggak lihat kakit gue belum pulih? Dan gue harus make kacamata saat pagi sampai sore. Nggak enak banget kalau harus berkuda, Nyo. Lagian gue juga nggak bisa. Emang lo bisa?" Pakin menelan lima butir obat untuk pemulihan fisik pascacoma, tiga obat untuk memulihkan mata, dan dua antidepresan dari cucing. Segera setelah obat-obat itu masuk ke mulut, ia menggelontorkan air untuk menelannya. Kemudian ia memberikan gelas dan cucing kosong kepada Neo yang langsung membawanya ke bak pencucian untuk dicuci. Seorang pelayan datang untuk mengambil alih tugas itu, tapi Neo menolaknya dengan sopan.

"Ada gue, santai saja. Lo pake kacamata lo biar nggak kena sinar matahari langsung." Dia mengeluarkan kacamata hitam dari saku celana, membuat Pakin tidak kuasa memutar bola matanya.

"Kayaknya udah lo persiapkan banget, ye?" Pakin memakai kacamata tersebut.

Neo mengusap-usap rambut keritingnya dengan lembut kemudian mendorong kursi roda kawannya ke arah kandang peternakan. Neo mengobrol singkat dengan penjaga di sana, dan mengajak Pakin mencari kuda yang cocok diajak buat pacuan. Pakin sama sekali tidak mengerti kuda, jadi dia diam saja saat Neo dan penjaga tersebut ngobrol tentang ini dan itu. Ketika Neo sudah memutuskan untuk memilih kuda yang mana, dia bersama sang penjaga mempersiapkan segala sesuatunya. Memasang sarung pelana agar punggung kuda terasa nyaman, lantas memakaikan pelana untuk dua orang di atasnya. Sementara itu sang penjaga mengikat pinggang pelana agar tidak tergelincir. Penjaga itu juga memasangkan bridle dan bit, sedangkan Neo memakaikan stirrup. Tidak cukup lama mereka melakukan persiapan. Ketika sudah cukup aman untuk menunggang, Neo membantu Pakin naik ke atas punggung kuda sebelum dia mendarat di belakang. Neo memegang tali kendali dengan kuat dan membiarkan Pakin memegang kedua lengannya. Mereka keluar dari kandang dan menuju kebun tempat biasa hewan-hewan ternak di sini dilepaskan.

Pakin tertawa-tawa merasakan sensasi pertamanya menaiki kuda. Mulanya ia tidak begitu yakin dengan gagasan ini, tapi dada bidang Neo yang membentur punggungnya seperti memberikan sebuah perlindungan. Dan lengan Neo yang ia cekal tampak tidak akan membahayakan.

"Dulu waktu masih pindah-pindah orang tua gue pernah ditempatkan di Purbalingga, dan di sana ada arena berkuda. Gue sempat berlatih beberapa kali sebelum dipindah lagi."

Suara Neo bergetar di punggung Pakin, membuat dada Pakin berdebar-debar. Apalagi napasnya yang menggesek pelipis, sensasinya menggelitik perut. Oh, Pakin tersenyum kecil. Inikah rasanya seperti yang ditulis oleh ribuan penulis picisan di luar sana tentang kupu-kupu berkepak-kepak di perut? Memang geli, sih. Tapi geli itu menimbulkan pukulan-pukulan jantung yang bergejolak, dan denyut nadinya di bawah permukaan kulit seperti tengah berdenyut-denyut kencang.

"Sudah lama banget pastinya. Kenapa lo masih ingat cara-cara mempersiapkan kuda sebelum ditunggangi?"

"Mungkin karena gue langsung praktik jadinya langkah-langkah itu kayak lebih tertanam di kepala? Nggak tahu juga, sih. Waktu Andrew bilang kalau dia memiliki peternakan kuda, gue semangat banget semalam. Nggak sabar buat ngajakin lo berkuda. Gimana rasanya? Lo suka, nggak?"

"Lumayan, sih. Awalnya agak ragu, tapi oke juga sejauh ini." Mereka mengarahkan kuda ke tepian pagar. Pakin merentangkan tangan untuk merasakan angin Benval pagi hari yang sejuk. Matanya terpejam sebab Neo menghentikan kudanya. Udara segar itu menampar wajahnya dengan lembut, menggerak-gerakkan helaian rambut keritingnya yang halus. Sinar matahari yang belum terlalu terik, menimpa mukanya, dan memberikan kehangatan. Ia bernapas lebih landung, untuk memasok lebih banyak oksigen peternakan yang jauh dari polusi. Tenang banget, kayak pelukan Bunda.

Neo terkekeh melihat perilaku Pakin. Ia membenarkan rambut kawannya yang berantakan. Sebelah tangannya ia tumpukan di paha Pakin lalu mengelusnya dengan sayang. Saat Pakin menarik kembali kedua tangannya, Neo menyambut salah satunya ke dalam genggaman. Ia kaitkan jari-jarinya di sela-sela jari Pakin, kemudian mendaratkan pertautan tangan mereka di perut Pakin supaya pemuda dalam dekapannya ini semakin merekat dengan rangka tubuhnya. Pakin sedikit tersentak. Ia menoleh ke samping, dan langsung dihadapkan dengan wajah Neo yang mendekat. Tangan Neo terampil melepas kacamata hitam Pakin saat ia mulai mengasahkan kepalanya pada Pakin. Sisi pipi kiri Neo menggesek pipi kanan Pakin. Ujung hidungnya mengeja setiap daging paras Pakin. Ia mengendus aroma Pakin di sana, ada bau melon familier yang sungguh menenangkan. Setiap struktur rupanya ia absen melalui gosokan-gosokan cuping hidung. Mereka tidak halus, berlekuk-lekuk membentuk gatra kepala Pakin. Ada yang cekung seperti ketika hidungnya menyinggung kelopak mata, ada yang menonjol ketika lipatan bibirnya merapalkan tulang pipi Pakin, dan ada yang melengkung saat ia menyentuh lintasan rahang Pakin. Sentuhan-sentuhan kecil itu membuat darahnya seperti melepuh di bawah jaringan kulitnya, dan menciptakan tumbukan-tumbukan tidak tenang di kepalan jantungnya. Ketika ia melabuhkan bibirnya ke mulut Pakin yang kenyal, Neo ingin menangis saat itu juga. Ia tidak pernah mengira bahwa setelah masalah pelik yang mengadang keduanya, ada hari di mana mereka menghabiskan pagi sederhana dengan sentuhan-sentuhan lembut yang menggegerkan isi kepala. Rasanya apa yang ia lakukan selama ini kepada Pakin tidak layak mendapatkan ganjaran sebegini indah. Ia mengemut pelan-pelan mulut Pakin yang terasa keju, takut seolah lembar daging tidak bertulang tersebut mampu retak sebagaimana porselen di tangan kasap pengrajin. Lelehan keju yang meninggalkan jejak di sana, ia isap. Rasanya campur-campur, ada peterseli, oregano, dan daun basil. Yang ketika bercampur dengan ludah Pakin, mereka meleleh hangat di mulut Neo.

Pakin sedikit mengerang. Dadanya seperti dihantam oleh meriam. Ia mencengkeram erat lengan Neo, saat tiba-tiba malam persanggamaan ia, Neo, dan Luna memantul di puncak kepalanya. Suara desah napas Luna dan erangannya yang menggigilkan tulang seketika menyentak Pakin. Apalagi tawa Luna sewaktu menunjukkan video persetubuhannya dengan Pakin, membuat Pakin merinding dan ia membuka mata, lalu memutus ciuman itu. Dada Neo yang kukuh ia dorong, sehingga kawannya tersebut turut membuka mata dengan tatapan bertanya.

"Sorry, Nyo, tapi gue belum bisa."

Neo mengusap bibir kawannya yang belepotan ludah entah siapa di antara mereka berdua. Ia mengangguk paham, membetulkan kembali rambut Pakin, memasangkan kacamata hitam, lantas mengucapkan kalimat, "Nggak apa-apa. Gue paham, kok. Gue aja yang terlalu terburu-buru. Kita perlahan-lahan aja, ya." Ia kembali memacu kuda ke arah kandang.

Dan di situlah Pakin melihat keduanya tengah berdiri bersisian di sana. Kepala Pakin seketika seperti penuh sesak oleh air laut, menjadikannya seakan-akan tenggelam dan paru-parunya diperah sedemikian rupa sampai ia tersedak. Neo yang bingung dengan kondisi Pakin mengikuti arah pandang kawannya dan melihat Gemini dan Fourth mematung tak jauh dari mereka. Di belakang mereka ada penjaga yang membawa kursi roda Pakin. Neo mengarahkan kuda ke sana lalu turun dari kuda. Ia membantu Pakin turun dan mengangkat tubuhnya untuk duduk di kursi roda. Neo mengarahkan kaki ke tempat Gemini dan Fourth saat Pakin menggeleng.

"Kita ke ruang baca aja, Nyo."

Ruang baca itu ada di lantai satu. Sebelah belakang dan terhubung langsung dengan pintu besar yang mengarah ke kebun belakang. Rak-rak buku tinggi disusun mengepung kursi-kursi kayu di sana. Ribuan buku ditata rapi mengisi setiap shelving. Punggung-punggungnya yang menghadap ke arah luar mempertontonkan judul-judul buku dan nama pengarang. Tidak ada satu pun dari mereka yang Pakin kenal. Tapi sewaktu keempatnya masuk ke sana dan mengisi kursi-kursi yang tersedia, Pakin sengaja menghadap satu rak dengan sebuah buku yang ia ambil acak. Ia membuka buku tersebut di pangkuan. Buku tentang sejarah politik Belgia rupanya. Pakin menggumamkan nama pengarangnya saat beberapa pelayan datang dan menyuguhkan kue-kue tradisional guna menjamu para tamu, juga bercangkir-cangkir teh sebagai teman makan. Ketika mereka pergi, suara Gemini yang dalam itu terdengar.

Tapi sebelum ia menuntaskan kalimatnya, Pakin lekas-lekas memotong, "Jika kalian jauh-jauh ke sini hanya untuk mengumumkan kata maaf, gue akan benar-benar pergi dari sini." Jelas keikutsertaan Andrew dalam hidupnya harus dipertegas agar bokap sialan itu tidak terlalu masuk ke dalam ruang privasi.

Baik Gemini, Fourth, maupun Neo sendiri menahan napas mendengar tajamnya kalimat Pakin. Seolah-olah musim semi yang hangat itu tergantikan oleh bekunya musim dingin hanya dalam sekali tempo.

Gemini berdeham, melepas tiga kancing teratas kemeja yang ia kenakan. Ia membetulkan gagang kacamata lalu berkata, "Semuanya memang salah saya, Pakin. Saya terlalu menyeret banyak orang hanya untuk menjagamu yang tanpa saya sadari, perilaku saya justru membuatmu tertekan dan masuk terlalu dalam ke lembah depresi. Apalagi ketika saya mengetahui bahwa Fourth, anak asuh saya, satu kampus dengan kamu, saya memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan saya. Saya tahu saya seberengsek itu. Saya terlalu egois untuk melindungi sepupu saya."

Pakin memejamkan mata tatkala kata sepupu itu terlontar. Mati-matian ia tidak memberikan reaksi, lebih-lebih emosi yang mendesak tulang-tulang rusuk, agar ia mendengar dengan jelas semua duduk perkara. Ia memang telah dimatikan oleh hantu-hantu itu, tapi sebagian kecil hatinya menginginkan cerita yang lengkap. Ia hanya tidak ingin tersesat.

"Sebenarnya saya tidak terlalu mengenal kamu, Pakin. Tapi Oma Elia menelepon eyang uti saya di Solo sewaktu ibu kamu ditemukan dalam keadaan gantung diri di bangsal rumah sakit jiwa."

Baik Neo maupun Fourth tersentak di bangku mereka. Keduanya menatap tubuh Pakin yang memunggungi mereka. Sama sekali tidak mengira bahwa orang tua dari laki-laki kesayangan mereka meregang nyawa dengan gantung diri. Di rumah sakit jiwa pula.

"Dia bercerita sambil menangis, yang kebetulan saya sedang berkunjung ke rumah. Uti membesarkan volume telepon sehingga saya bisa mendengar suara Oma terisak-isak. Saya sudah banyak menjumpai orang seingat saya hidup, Pakin. Saya terlalu sering berjumpa dengan kematian semenjak saya memutuskan menjadi seorang dokter. Berbagai macam cerita duka dan kesedihan adalah makanan sehari-hari saya. Apalagi jika pasien saya meninggal di atas meja operasi, saya tidak akan pernah bisa mendeskripsikan bagaimana rasanya hati saya. Tapi saya tidak pernah mendengar sakit dan sedih semengerikan itu sejak Oma telepon. Dada saya sampai bergetar sewaktu beliau menceritakan bagaimana terpukulnya kamu ketika pagi hari kamu datang untuk mengirimkan makanan kepada ibumu, tapi yang kamu jumpai justru tubuhnya yang sudah tewas tergantung seprai rumah sakit."

Neo bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Pakin dengan mata menatap getir. Ia berlutut di hadapan Pakin, dan melihat betapa pemuda itu menjelma menjadi laki-laki yang tidak ia kenal. Mata cokelat Pakin nanar mengadang pandangannya. Bibirnya ia lipat segaris, seperti tengah menahan muntahan yang bisa bermunculan dari liang mulut. Neo melepaskan genggaman tangan erat Pakin di tepi-tepi buku, lantas memasukkan jari-jarinya untuk mengisi relung-relung di sela-sela derijinya .

"Kamu syok berat saat itu, dan yang selanjutnya terjadi kamu kehilangan semua hasrat hidupmu. Oma yang tidak tahu harus bagaimana menghadapi dukanya, terpaksa memasukkanmu ke rumah sakit jiwa saat proses pemakaman Tante Annelies berlangsung. Hebatnya, Oma menjalani itu semua seorang diri. Ia tidak menghubungi siapa pun sebab dari cerita yang saya dapat dari Uti, Oma telah memutus semua hubungan ketika memutuskan pergi dari Lembang."

Lembang? Kenapa ada nama Lembang yang disebut? Oma tidak pernah bercerita tentang hal itu. Kening Pakin mengernyit mendapati informasi baru ini. Matanya menatap Neo, tapi fokusnya pergi entah ke mana. Neo yang sepertinya paham bahwa ini pula baru buat Pakin, memijat-mijat sela antara jempol dan telunjuk Pakin untuk memberikan ketenangan.

"Tapi setelah pemakaman Tante Anne dan kamu tidak kunjung sembuh, itulah yang membuat Oma akhirnya menurunkan harga diri dan melunakkan sakit hati untuk menghubungi Uti. Asal kamu tahu, Pakin, baik Oma dan Uti mengalami perseteruan panjang bahkan jauh sebelum Eyang Kakung diangkat menjadi presiden."

Kini giliran Neo yang ternganga. Ia menatap Pakin penuh tanya, tapi Pakin enggan memberikan kontak mata. Oke, setelah tahu bahwa ayah biologis Pakin adalah Pangeran Brussels, sekarang sebuah kenyataan terpampang mengejutkan bahwa kakek Pakin seorang mantan presiden? Anjir! Kegilaan macam apa ini? Pakin dilahirkan dari lingkungan keluarga yang memiliki latar belakang politik di puncak kasta tertinggi? Ia ibaratkan trah brahmana yang setiap katanya harus ditaati oleh trah lebih rendah darinya. Ngeri juga mengetahui sosok kawannya ini.

"Saya tidak tahu menahu cerita yang melatarbelakangi perseteruan Oma dengan Uti. Yang saya tahu hari itu Oma terisak-isak memohon bantuan agar kamu bisa diselamatkan. Beliau takut apa yang terjadi pada Tante Anne, terjadi pula padamu. Uti yang tersentuh dengan bagaimana penderitaan Oma, akhirnya meminta saya untuk menjagamu. Saya belum sama sekali tahu tentang kamu saat itu, Pakin. Hanya berbekal nama dan rumah sakit tempat kamu dirawat, saya mengunjungi kamu. Kamu tahu apa yang saya lihat pertama kali ketika melihatmu di rumah sakit jiwa? Saya seperti tengah melihat seorang pemuda kehilangan hidupnya. Kamu sama sekali tidak merespons lingkungan maupun para petugas medis yang memberi terapi. Kamu dipanggil, dicubit, bahkan disakiti kalau perlu, kamu tidak menanggapi. Jika kamu tidak sadar, kamu berada dalam kondisi koma, hanya saja saat itu kamu sadar tapi psikismu yang terguncang hebat membuatmu seolah mati rasa."

Pakin mengetatkan genggaman tangan pada Neo. Sementara sahabatnya menerka-nerka, kapankah waktunya Pakin merasakan seperti itu? Sebelum bertemu bertemu dengannya, kah? Atau kapan?

"Saya setiap hari datang mengajak kamu ngobrol apa pun walaupun saya tidak mengenal kamu maupun sebaliknya. Hampir enam bulan saya melakukan itu di samping terapi yang diberikan petugas medis kepadamu tidak berkurang sedosis pun. Saya terpaksa mengambil cuti di rumah sakit saya sebab kamu tidak mungkin saya tinggal dalam kondisi seperti itu, sementara Oma tidak sekuat itu harus menunggumu. Kamu akhirnya mulai memberikan reaksi atas obrolan-obrolan yang saya berikan di bulan keenam. Kamu bisa mengangguk, kamu sudah mulai bisa menggeleng, bahkan mulai mengeluarkan satu dua patah kata. Kamu menanggapi pertanyaan yang diberikan paramedis, lebih-lebih kamu bisa berdiskusi dengan dokter yang menanganimu. Saat itulah saya memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan membiarkan Oma menunggumu. Ketika kamu pada akhirnya dinyatakan sembuh dengan syarat terus melakukan terapi agar psikis kamu bisa terjaga, kamu kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kuliahmu yang terputus enam bulan."

Neo tersedak ludahnya sendiri. Air mata itu tumpah dari kelopaknya. Ia tergugu dengan suara isak tertahan. Bahunya sampai bergetar mendengar cerita dari Gemini. Ia menciumi punggung tangan Pakin dan membisikkan beribu ampunan kepadanya. Semua skenario tentang menghilangnya Pakin selama ini bermunculan terus di kepalanya. Ia bahkan geram sebab Pakin tidak pernah sudi menyinggungnya sedikit pun. Tapi Neo sangat tidak menyangka bahwa kisah kelam itu justru yang dialami Pakin ketika ia tiba-tiba balik ke Bogor dan menghilang selama enam bulan. Ou, Tuhan, betapa dosa yang ia tanggung kepada sahabat sebesar itu. Semua yang ia lakukan kepada Pakin tidak pernah ada yang menyenangkan sang kawan. Kawan? Cih! Dan bagaimana bisa ia mendeklarasikan diri sebagai seorang teman? Ia dapatkan dari mana keakuan itu sementara setiap jengkal hidup Pakin tidak ada satu pun yang ia cumbu? Pakin telanjang di hadapannya, tapi seujung rambut pun tidak mampu Neo sentuh. Pakin betul-betul bersungguh-sungguh dengan sumpahnya. Ia menutup rapat-rapat lawang rumah, dan meninggalkan Neo sendiri diadang sepi di empernya yang sendu. Daun-daun jambu dersono rontok, dan berguguran di pelatarannya yang berantakan. Ilalang tumbuh segar, bahkan menutupi jalan ke pintu. Rumah itu sangat sepi dan menyedihkan. Rumah itu sangat sepi dan menyesakkan. Ketika ia sibuk menyenangkan hati seorang perempuan bernama Luna, ia telah benar-benar kehilangan dirinya. Betapa itu merupakan suatu kehilangan mahaedan yang membuat matanya tidak kuasa merompalkan literan air mata. Ia tumpukan kening di punggung tangan Pakin, dan ia menangis sejadi-jadi bayi kehilangan putting ibu.

"Saya terus berhubungan dengan Oma sekembalinya kamu ke Jakarta. Saya menjelma menjadi pangeran yang memenuhi semua kebutuhan kamu. Walaupun begitu, saya tetap kesulitan memantau kamu sebab kita memiliki jadwal padat masing-masing. Apalagi kamu memutuskan pengobatan sepihak, saya semakin kebingungan harus menjagamu seperti apa lagi. Saat itulah Fourth masuk ke rumah saya di tahun kedua kamu kuliah. Saya berjanji akan memberikan apa pun keinginan Fourth asal dia bisa menjadi panjang tangan saya. Dia menginginkan kebebasan pada saya, maka saya kabulkan keinginan dia. Saya biarkan dia tinggal di kos dan melakukan semua keinginannya walaupun seharusnya dia menjadi anak asuh dan tinggal sama saya. Sampai pada akhirnya kebebasan yang saya berikan kepada Fourth diketahui orang tua saya, dan kami bertengkar hebat. Saya mulai ketat lagi padanya dan mulai menggenggamnya supaya tidak terlepas dari saya."

"Apa yang lo minta dari Fourth sebagai panjang tangan lo selama ini?" Pakin membuka suara untuk pertama kalinya. Dan percayalah, dingin yang ada di sebujur kalimatnya mampu membuat jantung terasa tercemplung ke dalam danau es. Pakin melepaskan genggaman tangan Neo, lantas mulai membolak-balik halaman buku di pangkuannya.

"Dia yang tidak mengenal kamu, pada akhirnya melakukan pendekatan. Kamu pastinya ingat hari pertama kalian bertemu kan? Ketika kamu fotokopi berkas di depan kampus, saat itu Fourth yang melihatmu langsung membuang kalung identitas yang merupakan benda wajib di acara ospek. Dia mendekatimu dan meminta tolong bagaimana caranya agar dia memiliki kalung itu. Tidak hanya itu, dia mulai menarik rasa simpatimu menjelma mahasiswa miskin tidak memiliki uang untuk mengerjakan tugas maupun membuat lukisan-lukisannya. Dia tahu kamu tidak memiliki banyak uang, tapi di daerah perantauan, memiliki nasib yang sama seperti menemukan saudara jauh. Itu yang dilakukan Fourth selama ini."

"Mungkin semuanya terdengar rekaan di kuping lo, Bang, tapi rasa sayang gue pada lo nggak pernah gue reka-reka. Mereka nyata, Bang. Gue sayang banget sama lo. Apalagi seiring berjalannya waktu, lo selalu menyediakan bahu buat gue pulang dan bersandar, rasa sayang itu semakin besar, Bang. Gue benar-benar minta maaf kalau harus memulainya dengan kebohongan. Gue benar-benar minta maaf, Bang. Gue mohon ampuni gue, Bang. Gue takut banget kehilangan lo, Bang. Lo satu-satunya abang yang bisa mengerti gue di saat gue merasa kesepian. Ampuni gue, Bang. Apa yang harus gue lakukan agar gue bisa mendapatkan lo kembali seperti sebelum ini?"

Pakin mengembalikan bukunya ke rak, memutar roda-roda kursinya untuk berbalik menghadapi kedua orang itu. Ia menatap Gemini dan Fourth bergantian. Dan baru dia sadari sejak tiga tahun berkawan, ia bisa menghadapi sosok pangeran dalam keadaan sesadar-sadarnya. Pemuda itu mungkin berusia 30 tahun — Pakin jadi merasa kasihan, dia harus mengemban tanggung jawab memulihkan mentalnya di saat usianya masih terlalu muda (sebuah dosa yang tidak patut dia tanggung untuk orang yang tidak ia kenal). Ia jelas rupawan. Rambutnya panjang dan terlihat mengilap ditempa matahari siang. Posturnya bahkan lebih tinggi dari Neo. Bahunya kukuh. Dan suluran urat menyembul di permukaan kulitnya yang cerah. Ia memakai kacamata bulat yang bertengger di batang hidungnya yang tinggi. Mungkin ia terlihat dingin, tapi tidak ada yang tidak jatuh pada pesonanya hanya dalam sekali tatap. Ditilik dari sudut mana pun Pangeran adalah keindahan dalam perjamuan malam kudus.

Jika saja Pakin tidak mengenal laki-laki ini, tidak terlibat dalam hubungan ambigu yang begitu memuakkan, ia pastinya akan membuka selangkangan di pertemuan pertama mereka. Jelas Pangeran sosok yang sangat ia persilakan untuk masuk ke dalam romansa persanggamaan. Mengimajinasikan profil tersebut dalam ketelanjangan bukanlah sebuah dosa, sebab indah yang tercipta dari figur di hadapannya terlalu naif untuk dinafikan. Apabila dalam proses pembentukan Neo, Tuhan seperti tengah menyesap sampanye, maka ketika menggubah Pangeran ke dalam rahim bunda, Tuhan takzim menikmati sesloki prosecco, bertemankan porterhouse dalam suguhan mewah bersama para malaikat, dengan latar musik klasik Eine kleine Nacht musik-nya Mozart. Dalam pandangan dangkal, Pangeran ia letakkan di titik kulminasi keindahan pergelaran sakral. Hanya saja, yang mampu Pakin lakukan saat ini cuma berdesis. Jika dendam, maka Pakin masih memiliki emosi untuk dibalaskan kepadanya. Jika amarah, Pakin masihlah juga mempunyai alasan untuk menuntaskan angkaranya. Apa yang ia rasakan saat ini melebihi itu semua. Tidak ada dendam, tidak adan benci, tidak ada amarah. Hatinya seolah-olah telah kopong, menjadikannya kebas oleh segala cubitan dari potret di hadapannya.

"Jadi apakah rasanya sama seperti saat itu?" tanya Pakin tanpa konteks. Suara bisikannya rendah, tapi mampu menembus ulu hati.

Pangeran yang ditodong tembakan tiba-tiba hanya mampu berpikir tentang ke mana arah dari pertanyaan Pakin. Ia melirik Fourth dan Neo. Kedua remaja akhir itu memberikan sinyal tidak paham titik koordinat dari kalimat Pakin. Mereka saling tatap dalam diam.

"Kegagalan, kan? Satu-satunya hal yang lo takuti dari orang tua lo selama ini, yang membuat lo pada akhirnya kembali merenggut kebebasan Fourth?"

Pangeran kontan berdiri, menimbulkan suara decit dari kaki-kaki kursinya yang menggesek marmer.

"Gue mendengar kalian berdebat di Petra di hari lo memukul kepala gue sampai gue nggak sadarkan diri. Dari seluruh penjelasan lo barusan, lo bukanlah tipe seorang penakut. Bahkan mengambil cuti enam bulan hanya untuk menemani seorang remaja pesakitan yang nggak lo kenal sama sekali, kalau bukan berani, sebutan apa yang cocok untuk disematkan pada lo?" Pakin mendecih, menatap atas sampai bawah wujud Pangeran. "Bukankah itu sebuah ironi ketika lo nggak memiliki rasa takut di luar sana, tapi lo nggak berkutik di hadapan orang tua lo?" Kalimat yang diucapkan Pangeran kala itu bahkan terasa bergetar di belakang kupingnya, dan Pakin membisikkannya dengan tatapan keji, "Saya tidak peduli dengan coretan merah yang kamu berikan dalam lembar penilaian saya. Yang saya pedulikan hanyalah martabat saya di hadapan orang tua saya." Ia mendengus kecil sementara Pangeran menabrak rak buku di belakangnya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Pakin ketika mabuk bisa mengingat semua detail cerita. Bahkan penggalan kalimat yang ia sendiri tidak begitu ingat.

Fourth berdiri dan menggeleng, sedikit tidak percaya dengan daya ingat kakak tingkatnya.

"Lo pasti pernah mengalami kegagalan yang membuat orang tua lo meragukan integritas lo, kegagalan yang membuat orang tua lo kecewa bukan main, kegagalan yang membuat kepercayaan mereka hilang dalam sekali tempo. Dan bisa jadi itu kegagalan yang lo lakukan ada di masa-masa kanak-kanak lo yang pada akhirnya membuat mereka jarang mengapresiasi setiap keberhasilan lo, dan menjadikan lo, tanpa mereka sadari, tumbuh dengan catatan luka anak kecil yang nggak ada tujuan apa-apa dalam hidup selain untuk mengembalikan kepercayaan mereka." Pakin tertawa lantang, bahkan bahunya sampai bergetar hebat.

Seperti ada yang merenggut jantung Pangeran, dan menghantam tempurung kepalanya kuat. Tiga puluh tahun, demi Tuhan, tiga puluh tahun dan tidak ada satu pun manusia melata di muka bumi ini yang mampu melihat luka kecilnya. Ia menutupi rapat sekali lara itu, bahkan ia timbun dengan balok-balok pejal supaya tidak ada yang mengendus. Dan upayanya memang berhasil. Bahkan orang tuanya pun tidak sadar ada pangeran kecil yang terluka akibat perilaku mereka. Tapi dalam satu kali tarikan napas, berbekal ingatan yang disadur serampangan dari malam dia mabuk parah, Pakin telah mampu menelanjanginya. Menelanjanginya dalam bentuk seburuk-buruknya rupa dari seorang Gemini Norawit. Dan ia terluka — pertama kali selama 30 tahun hidup — dipermalukan sampai seluruh harga diri itu tidak tersisa di pijakan kakinya.

"Apakah kegagalan menjaga gue dan membuat gue melakukan percobaan bunuh diri melukai harga diri lo lagi, Pangeran?" Tawa Pakin kian kencang. Itu adalah tawa yang sama pula yang ia berikan dalam pertunjukan monolog empat bulan silam. Dan semuanya bersumpah, lebih baik melihat Pakin tidak sadarkan diri daripada harus menjumpai versi mengerikannya seperti ini. "Apakah melihat gue menusuk-nusuk tubuh gue membangkitkan ketakutan lo melihat Annelies gantung diri, Pangeran? Dan membuat integritas lo di hadapan Oma sehancur di hadapan orang tua lo? Sama, nggak, rasanya? Apakah kejadian gue di atas panggung membangkitkan malam-malam pangeran pengecut yang nggak bisa melakukan apa-apa selain mengecewakan orang tuanya? Apakah pada akhirnya pangeran pengecut itu hanya mampu menangis dan mencoba melakukan pembuktian-pembuktian lagi yang lebih melelahkan daripada menghadapi semua ketakutannya?"

Demi seluruh nama dewa di muka bumi, Gemini hampir menonjok wajah Pakin. Kedua tangannya terkepal kuat di sisi-sisi tubuhnya. Apa yang pemuda berambut keriting itu katakan, demi Tuhan, tidak ada satu pun yang meleset. Semua cerita itu, semua luka itu, semua tangis itu, bahkan kepengecutan itu, adalah sebenar-benarnya ia. Adalah sejati-jatinya ia yang ia tutupi menggunakan ambal. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa hanya dengan mendengar kalimat yang ia ucapkan di Petra dan Pakin mampu merontokkan semua pertahanan itu? Apakah Pakin selama ini mengenduskan moncongnya tanpa sepengetahuan siapa pun? Tapi itu mustahil sebab ia hampir-hampir menjaga Pakin 24 jam nonstop.

"Simpan permintaan maaf lo, Pangeran. Biarkan mereka menjadi pendosa bagi lo yang akan menghukum malam-malam nggak berdaya lo di hari kemudian. Setelah ini lo mau melakukan apa pun dalam hidup gue, gue nggak melarang. Tapi satu yang harus lo ketahui, Pangeran. Lo telah kalah. Lo nggak bisa melawan takdir bahwa yang sosok dengan mahkota kerajaan di hadapan gue ini nggak lebih dari seorang laki-laki pengecut. Seorang anak pecundang yang jangankan melindungi gue, menghadapi masalahnya saja dia nggak becus. Berapa usia lo, Pangeran? Tiga puluh? Tiga lima?" Tawa Pakin benar-benar mampu menusuk kewarasan tiga pemuda di sana. "Gue kasihan sekali karena di sepanjang hidup lo, lo tetap menjadi anak kecil yang nggak bisa menentukan jalan hidup selain mengharapkan kepercayaan kembali dari orang tuanya. Dosa apa yang telah lo lakukan pada orang tua lo, Pangeran, sampai rasa-rasanya mereka tidak memberikan ampunan pada anak kecil? Dosa anak kecil adalah dosa orang tua, sebab mereka tanggung jawab orang tua sepenuhnya. Bukankah itu terlalu culas untuk melempar semua dosa kepada pangeran kecil kita sementara tanggung jawab masih mereka emban seutuhnya?"

Kilat mata Pakin begitu bengis, sampai-sampai rasanya mampu melubangi tengkorak kepala. Gemini gemeretak menahan amarah. Emosi itu berkumpar di kedua kepalan tinju, yang akan siap ia hantamkan dengan kekuatan penuh. Hanya saja, ia terlalu pengecut untuk melakukan itu semua. Ia tidak mampu menggugat, sebab seperti kata Pakin, ia telah benar-benar kalah.

"Gue kasihan sekali pada lo, Pangeran. Kasihan sekali."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro