Bab 32

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setahun sudah Pakin tinggal di Belgia dalam proses penyembuhan fisik dan psikis. Ia sudah bisa berjalan. Tidak lagi memakai kacamata hitam. Ketergantungannya pada alkohol pun berkurang drastis. Tubuhnya tidak lagi bergetar jika tidak mengonsumsi alkohol lebih-lebih vodka, pula malam-malamnya tidak semengerikan itu tanpa kehadiran mereka. Dan kondisi mentalnya sekalipun sedikit kemungkinan buat sembuh, setidaknya hantu-hantu itu tidak sambang apabila ia rutin meminum obatnya. Hubungannya dengan Oma semakin sehat walaupun sampai sekarang Oma masih tidak mau menceritakan perseteruan apa yang dia miliki dengan Eyang Uti. Sedangkan hubungannya dengan Andrew melampaui ekspektasi ayah biologisnya. Mereka berdua suka berantem seperti anjing dan kucing, terlebih jika Andrew sudah mengeluarkan kartu kekayaan, Pakin bisa meradang bukan kepalang. Tapi Pakin akan menunjukkan setulus-tulusnya cinta melalui tindakan. Ia memang mengomel sepanjang lintasan rel kereta api jika Andrew membuat ulah, tapi detik setelah itu ketika mengetahui ayahnya kecapaian, ia akan membuatkan teh hangat dan merampas semua gadget miliknya agar ia bisa beristirahat. Kadang untuk mengisi masa-masa menganggurnya di Belgia, Andrew suka mengajaknya meeting dengan para klien yang tersebar di seluruh negara. Mungkin jumlah kunjungan Pakin ke perusahaan Andrew bisa dihitung jari, tapi ia sama sekali tidak menyukai semua penerbangan itu selain kebersamaannya dengan Andrew. Berkutat dengan berkas penjualan mobil, MOU, pajak, dan lain-lain sungguh merupakan kegiatan membosankan. Ia jauh lebih menyukai menghabiskan waktunya dengan berlembar-lembar novel tebal, lalu mengkaji isinya untuk melihat seberapa dalam pemahaman yang ia ambil.

Sedangkan Neo, Pakin tidak tahu harus menamai hubungan mereka dengan apa. Keduanya intim, suka membagi hangat tubuh, suka menghabiskan waktu dengan obrolan ringan, random, maupun serius walaupun dipisahkan benua dan samudra, tapi Pakin masih memiliki rasa bimbang kepada Neo. Sampai sekarang, sejak ia melihat sosok Luna dalam kelopak mata ketika berciuman dengan Neo di Genval, Pakin belum bisa disentuh Neo lebih dari kecupan ringan di wajah. Ia berkali-kali mencoba melakukan kontak tubuh lebih erotis, tapi ketika Neo melumat bibirnya, bayang Luna selalu mampu menampar dan mengejutkan, yang detik berikutnya menimbulkan rasa takut dan tidak nyaman. Pakin selalu menolak memberikan penjelasan kenapa dia sampai sekarang tidak bisa disentuh Neo sebab kebingungannya yang tidak mampu menjelaskan duduk perkara berujung kesulitan mengutarakan pendapat, dan Neo yang selalu berusaha paham akan menerima semua penolakan Pakin, mencoba menenangkan dan menghibur Pakin kendati ia merasakan ngilu di sekujur tubuh.

Setahun cuti dari kuliah secara otomatis pendidikan Pakin lebih terlambat dari teman seangkatan. Neo sudah lulus dua bulan lalu. Ia tidak menjadi ketua umum dari suatu partai seperti kata Luna sekalipun orang tuanya berhasil mempertahankan kursi di parlemen. Seperti keinginannya sejak awal kuliah, ia pada akhirnya melanjutkan bisnis properti keluarga. Sementara kawannya, Nanon Korapat, bergabung dengan Teater Payung Hitam yang berlokasi di Bandung. Ia sebenarnya mendapatkan banyak tawaran bermain film layar lebar sejak pentasnya di pekan teater tahun lalu, tapi kecintaan Nanon pada panggung sandiwara membuat pemuda itu menolak semua tawaran dan melanjutkan kiprahnya di seni tonil Indonesia.

Drake bekerja di salah satu perusahaan properti di Jakarta Utara. Dia masih sering menghubungi Pakin bahkan sejak Pakin bangun dari koma. Beberapa kali ia mengajak Pakin jalan sewaktu Pakin akhirnya pulang ke Indonesia, tapi Pakin belum memiliki waktu luang. Hari-harinya sejak kembali ke Indonesia disibukkan dengan mengurus administrasi agar ia bisa melanjutkan kuliahnya lagi yang sempat tertunda. Luna meneruskan jejaknya menjadi model — benar-benar melepas dunia kedokterannya, sampai tidak melanjutkan kuliah profesi. Kiprah perempuan itu sungguh mengejutkan. Berkali-kali ia tampil di pagelaran busana di luar negeri. Bahkan awal tahun kemarin dia mengikuti NYFW. Sampai sekarang Pakin belum berkomunikasi dengan dia sejak malam haram jaddah itu. Ada keengganan menimbulkan mual apabila ia teringat Luna. Dan entah sampai kapan Pakin akan terus menghindari rasa takutnya.

Pangeran masih tetap menjadi pangeran menyebalkan. Jika dulu pesan-pesannya yang selalu mendatangi Pakin, kini sosoknya tidak akan malu-malu akan mengunjungi Pakin kapan pun dia merasa ingin melihat Pakin. Jadwal penerbangannya dari Indonesia ke Brussels bahkan melebihi kunjungan Neo. Apalagi kalau Pakin terlihat mengabaikan pesannya, dan Oma yang dia hubungi juga tidak memiliki petunjuk untuk melunakkan hati cucu kesayangan, maka malam itu juga dia bersama Fourth akan melakukan penerbangan. Orang kaya memuakkan. Pakin selalu membencinya setiap kali menghambur-hamburkan uang hanya untuk — demi Tuhan — ngobrol dengannya.

Hubungannya dengan Fourth tidak bisa dibilang membaik, tapi tidak buruk juga. Ia masih suka menerima telepon dari Fourth yang sama sekali tidak mengenal jam. Pemuda keparat itu bisa menghubunginya di jam-jam ia tidur, dan ponselnya tidak akan berhenti memekik sampai pagi kalau panggilan itu tidak ia angkat. Yang ketika ia angkat, informasi yang ia bawa sungguhlah tidak bermanfaat seperti, "Bang, gue mau balapan lagi sama anak-anak. Doain gue ya, Bang. Kalau gue menang, nanti gue bawain nasi padang dari Indonesia. Gue tahu lo pasti kangen nasi padang secara di kastil sana nggak ada yang namanya gulai kikil dan kepala ikan. Gue cinta lo, Bang. Lo nomor satu pokoknya. Ngalahin posisi Gemini." Kek. Wtf, bruh. Pakin tidak ingin masa-masa tidurnya dirusak oleh ocehan bocah kemarin sore yang denial banget tentang cintanya.

Dan dari semua orang yang ia kenal, jelas ia sama sekali tidak menduga akan terjalinnya perkawanan antara Force dan Book. Pasangan edan itu sering kali mengajak Pakin threesome maupun mengundangnya ke Moving to Heaven, yang selalu Pakin hadiahi dengan putaran bola mata. Bahkan di malam-malam sinting yang sama sekali tidak terprediksi, bisa-bisanya mereka berdua video call ketika sedang ngentot, yang bakal Pakin tutup detik itu juga dan ia kirimkan vn sumpah serapah panjang. Tapi di luar kegendengan mereka, kedua orang itu adalah teman ngobrol yang asik. Mereka menawarkan kuping dari pagi menjelang pagi, bahkan sanggup menemani hari-hari menganggur Pakin yang membosankan ketika masih di Belgia. Apabila urusannya di kampus sudah selesai, Pakin sudah membuat janji akan makan bersama mereka.

"Dad, seriously? It is already the seventh call this morning. If you miss me that much, you could consider hopping on a plane to Indonesia. Or better yet, you could set up camp here for a while, so I won't have to keep dealing with your little tantrums. It's only been a week since we said goodbye, Dad, and I've got morning classes."

"That's what I had in mind, actually."

Pakin mengambil gelas di dalam kabinet dapur, lantas berjalan menuju kulkas guna merangkum air. Suara gemiricik air yang bertengkar dengan dasar gelas terdengar berisik sebelum Pakin mematikan keran, dan membawa gelas ke meja makan.

"What do you mean by 'plan' exactly?" tanyanya sebelum mulai mereguk air segar itu untuk membasuh kerongkongan. Sekarang pukul tujuh pagi. Suara Neo sedang mandi terdengar dari dapur. Jam kantornya pukul sembilan. Ia sudah memasakkan sekeping sandwich tuna sebab stok bahan makanan Neo di kulkas hampir habis. Kayaknya nanti dia akan berbelanja sepulang dari kampus agar mereka bisa masak lebih banyak variasi menu. Neo tidak terlalu rewel soal makanan. Bahkan jika dia menyiapkan sepotong telur dadar gosong pun, laki-laki itu akan menghabiskannya dengan gembira.

"I've asked Gemini to lead my team as we explore the sports car market in Jakarta. The plan is to open a branch there if it works out. Rather than choosing a Jaguar or Ferrari, we're favoring the Mustang, which seems more appealing. That way, we can spend more quality time together. What do you think?"

Pakin tersedak air seketika. Ia meletakkan ponsel serampangan, dan lari ke wastafel guna memuntahkan apa pun yang menjadi sangkutan. Ia memukul-mukul dada yang seketika terasa terbakar. Matanya berembun. Hidungnya pedih bukan main. Ia terbatuk parah sampai membuat Neo yang masih mengenakan handuk keluar dari kamar.

"Hei, lo kenapa, Kin?" Ia menepuk punggung Pakin khawatir. Lendir keluar dari mulut laki-laki itu, dan Neo terus menepuk punggungnya, lantas memijat batang leher belakang sang kekasih. "Lo salah makan apa gimana?"

"Gila dia, Nyo. Gila banget." Suara Pakin terdengar serak ketika ia mulai menguasai keadaan. Neo mengambilkan beberapa lembar tisu dari kontainer penyimpanan dan mengelap cairan yang membercak di sekitar mulutnya.

"Apa maksud lo? Dia siapa? Kenapa gila?"

"Andrew kata gue udah nggak waras, sih."

Hanya menyebut nama itu saja, Neo sepertinya paham ke mana muara dari cerocosan kesayangannya. Segala sesuatu yang berhungan dengan pangeran kerajaan satu itu selalu mampu mendulang emosi Pakin. Dan diam-diam Neo bersyukur calon mertuanya sesinting itu. Setidaknya melihat Pakin ngomel sampai mengerucutkan bibir adalah tontonan indah yang suka banget ia nikmati. Ia berkacak pinggang, bersandar di meja marmer sambil melihat ponsel Pakin yang masih menghubungkan telepon dengan ayahnya.

"Apa lagi kelakuannya yang ia lakukan kali ini?"

"Lo nggak akan percaya, Nyo. Dia mau buka showroom Mustang di sini hanya karena nggak mau jauh-jauh dari gue. Dah gila emang orang tua satu itu. Mungkin kalau dia berak yang keluar bukan tai, melainkan duit kali ya. Makanya enteng banget dia ngomong mau bikin satu cabang Mustang di sini, kek kita ngomongin Mustang, ya, ngentot. Bukan kerak telor."

Neo tergelak, ia mengacak-acak rambut Pakin yang selalu menjadi favoritnya, lantas memeluk tubuh kesayangannya dari belakang ketika Pakin kembali ngobrol dengan ayahnya.

"Seriously, Dad, it's like you'd never take my word for it, even if I talked until I'm out of breath. We're discussing the Mustang showroom here, for heaven's sake. Why are you treating it casually, like we're haggling over groceries?"

Di belakangnya, tawa Neo benar-benar berderai. Ia kemudian berbisik untuk di-loudspeaker, sebab penasaran juga kegilaan apa lagi yang bakal mertuanya perbuat pagi ini.

"It's just a mom-and-pop showroom, Kin. No need to make a mountain out of a molehill. Oh, by the way, your birthday's around the corner. Should I get you a Mustang? But don't worry, I'll hunt down a bargain-priced Mustang so you won't raise a stink."

"Buju buset, dah, Nyo, mimpi apa gue sampai bisa-bisanya ada orang kelebihan duit mau ngasih gue Mustang di acara ulang tahun gue? Emang agak gila single parent satu ini gue rasa. Kayaknya dia butuh pendamping supaya nggak bikin gue jantungan mulu tiap hari."

Tubuh Neo bergetar kencang akibat tawanya. Ia menggeleng-geleng tidak habis pikir. Ia lebarkan kedua tangan, lantas mengunci Pakin di antara tubuhnya dan meja marmer. "Ambil aja, kali, Kin. Gue mau ngerasain naik Mustang ke Anyer. Enak aja gitu keknya, terus kita minum es kelapa muda di pinggir pantai sambil lihatin anak-anak kecil main voli pantai."

"Gaya hidup lo masih kayak orang miskin sok-sokan naik Mustang. Tremor tar dengkul lo."

Neo menumpukan wajahnya di bahu Pakin guna meredam tawanya yang kian lantang. Drama anak kaya baru dan ayah kebanyakan duit itu tidak bisa dilewatkan satu kejadian pun. Ia ingat ketika Pakin meledak-ledak saat pertama kali balik ke Indonesia setelah memulangkan Oma ke Bogor. Pangeran Brussels itu tetap membelikan penthouse di Senopati yang sudah lengkap perabotannya. Pakin marah bukan main, sementara jawaban-jawaban yang diberikan Andrew cukup mampu meledakkan kotak ketawanya. Akhirnya Pakin menyerah sebab ayahnya terlalu keras buat ia tentang. Tapi ia hanya akan menghuni penthouse itu apabila Oma berkunjung ke Jakarta atau ia datang ke sini. Selama tidak ada orang tuanya, Pakin akan tetap tinggal di apartement Neo. Andrew setuju-setuju saja. Toh, ngehire seorang karyawan untuk membersihkan griya tawang jelas bukan suatu perkara buatnya.

"Capek banget seriusan aku menghadapimu, Dad. Terserahlah apa yang mau kaulakukan. Aku mau siap-siap kuliah. Dan kaudengarkan aku, Dad! Jangan menghubungiku selama aku di kampus! Akan kukirimkan jadwalnya nanti." Ia menutup telepon dan melemparkan ponselnya dengan gemas di sisi meja.

Aroma tubuh Neo yang segar buah-buahan baru terasa lebih intens menyergap kepalanya ketika suara Andrew lesap dari pendengaran. Ia menengadah sewaktu Neo mulai menggesek-gesekkan hidungnya di leher. Rasanya sungguh nikmat sebab setahun utuh ini ia sama sekali tidak melakukan olah selangkangan. Jadi sentuhan kecil dari Neo saja akan mampu mencambuk berahinya. Lipatan bibir Neo menyentuh lembut lehernya, dan memberikan kecupan-kecupan ringan di sana. Napas panasnya menerpa daging itu, menjadikan rambut-rambut di sekitarnya meremang. Neo semakin memepet Pakin membentur meja. Kedua tangannya mengusap-usap dada hingga perut Pakin, berlalu ke lengan sampai jemarinya. Jari-jari kurus Pakin ia cium satu persatu, dan Pakin tidak mampu menahan desisan dari mulut. Ia menutup mata, menggigit bibir sewaktu Neo memasukkan jarinya ke mulut. Mengoral batang jarinya dalam belitan lidah kasap yang panas dan basah. Dada Pakin berdebar kencang. Ia memfokuskan pikiran pada setiap sentuhan Neo. Paling tidak, terserah di mana pun itu, ia bisa melakukan persetubuhan dengan Neo. Hal yang begitu ia dambakan ketika ia mulai menyadari bahwa cinta kepada Neo sudah bukan dalam bentuk persahabatan, melainkan lebih. Tapi tatkala Neo mulai menempelkan bibirnya pada mulutnya, bayangan tawa Luna yang mempertontonkan video persetubuhan mereka kembali menyentak, detik setelah itu suara desahan Luna sewaktu mereka melakukan threesome menyuruk kuping. Bergetar sangat lekat dengan kulit kupingnya. Kontan Pakin membuka mata, dan menghalau bahu telanjang Neo yang pagan.

"Gue nggak bisa, Nyo."

Neo menatapnya dengan tatapan nelangsa. Setahun ia harus melepaskan gairah lewat permainan tangan sebab kekasihnya sama sekali belum bisa disentuh. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Pakin, tapi melihatnya yang menderita, menimbulkan rasa sakit pula di dadanya kendati ia membutuhkan sebuah pelepasan.

"Gue bukannya nggak suka lo tolak-tolak terus, Kin, hanya saja agak aneh nggak, sih, lo yang dulu memiliki riwayat ngeseks sebebas itu jadi ketakutan setiap kali gue sentuh?" Neo menjauh dan menyantap sandwich buatan Pakin setelah melesakkan bokong di kursi tinggi di hadapan Pakin. "Apa yang sebenarnya terjadi pada lo, Kin? Tolong kasih tahu gue supaya gue bisa membantu lo. Gue tahu seks bukanlah segalanya dalam sebuah hubungan, tapi baik gue maupun lo pun memiliki kebutuhan yang perlu diselesaikan. Gue bisa menuntaskan bagian gue, tapi gue merasa sakit saat gue harus mendengar lo ngocok sendiri di kamar mandi di saat ada gue yang bisa memuaskan lo. Gue merasa menjadi cowok nggak berguna banget buat lo."

Pakin menggigit bibir, kembali menenggelamkan air dinginnya ke dalam kerongkongan, lalu turut mengempaskan pantat di kursi di hadapan Neo. Ia tidak tahu membawa nama Luna ke dalam hubungan mereka di saat semuanya selancar ini baik atau tidak. Walaupun mereka sudah membuka semua obrolan tentang semua permasalahan mereka, tetap saja membawa nama Luna ke gelanggang pertalian mereka begitu sukar diejawantahkan. Ketakutan-ketakutan itu sudah bertengkar lama sekali di balik tempurung kepalanya sejak ia menyadari bahwa ia tidak bisa disentuh Neo di peternakan ayahnya. Tapi sampai sekarang Pakin tidak tahu harus menuntaskan masalahnya seperti apa.

"Kita ke seksolog, ya, Kin?"

Pakin seketika mendengak dan mempertemukan tatap mereka.

"Gue selama setahun ini bisa menahannya, Kin, tapi melihat lo yang tampak menderita ketika nggak bisa gue ajak lebih jauh, bikin hati gue sakit juga. Setelah kejadian hebat menimpa lo belakangan ini, apakah lo pikir gue bisa tenang melihat lo semenderita itu?"

"Tapi nggak harus ke seksolog juga gue pikir."

"Itu sebenar-benarnya pertolongan yang cocok buat kita, Kin. Gue nggak tahu apa yang membuat lo seperti ini. Bisa jadi karena komunikasi kita yang nggak berjalan. Walaupun kita sudah saling terbuka, kita sampai sekarang masih menghindari obrolan tentang gairah seksual kita. Gue nggak tahu mau lo apa, begitupun sebaliknya. Ataukah karena kesehatan alat reproduksi lo? Lo mengalami disfungsi ereksi atau kesulitan melakukan orgasme?"

Pakin menggigit kuku-kukunya, menatap Neo cemas. "Gue nggak tahu, Nyo. Gue bingung."

"Makanya gue pikir ini waktu yang tepat untuk kita meminta bantuan profesional, Kin. Gue nggak tahu apakah ini ada hubungannya dengan trauma fisik dan psikis yang lo alami tahun lalu, atau barangkali karena pengaruh obat-obatan dan antidepresan yang lo konsumsi setahun utuh ini. Kita sama-sama nggak tahu, Kin. Dan apakah kita akan terus seperti ini? Tolong gue untuk bisa menolong lo. Kita jalan bareng-bareng, ya, Kin. Jangan malu untuk urusan ini, Kin, karena gue bangga banget memiliki lo dalam hidup gue. Gue nggak peduli walaupun sampai sekarang lo belum juga menyatakan cinta ke gue, tapi gue anggap semua perhatian lo selama ini adalah sebenar-benarnya cinta. Gue sangat ingin hubungan kita berkembang, Kin, karena ini pertama kalinya buat gue."

"Tapi gue takut, Nyo. Gue takut lo kecewa sama gue. Gue takut lo nggak puas dengan sentuhan-sentuhan gue yang berakhir penyesalan telah memilih gue. Gue takut nggak bisa disembuhkan dan akhirnya lo meninggalkan gue lagi."

"Ya, Tuhan, Kin." Neo menepikan piring sandwichnya dan menggenggam kedua tangan Pakin erat. "Gue udah pernah melihat ketelanjangan lo lebih dari siapa pun, di setiap sudut di setiap inchi. Dan gue benar-benar bersyukur pada Tuhan sebab mereka seindah itu. Gue bahkan bisa menangisi setiap lekuk tubuh lo karena mereka akhirnya menunjukkan kepada gue bahwa Tuhan itu sempurna. Lo indah, lo cantik, lo menawan, Kin. Lo nggak perlu takut mengecewakan gue karena penerimaan yang lo berikan ke gue melebihi semua ekspektasi gue dalam hidup. Kalau lo mengkhawatirkan masalah alat reproduksi lo, atau kalau lo terganggu dengan setiap ciuman dan sentuhan gue, atau barangkali gue melakukan kesalahan dalam tahapan seks kita, ayo kita sembuhkan bareng-bareng untuk mendapatkan kenikmatan sama-sama. Kita belajar lagi dari awal. Nggak usah ada kecanggungan sebab kita melaluinya berdua. Gue ingin berbahagia sama lo, Kin. Gue bersungguh-sungguh dengan ucapan gue."

Pakin meremas jari-jari Neo, dan kekasihnya memberikan pijatan-pijatan menenangkan di sana. Pakin menggigit bibir lagi, kemudian berujar, "Akan gue pikirkan, tapi please jangan paksa gue. Ini hal baru buat gue, dan cukup mencederai ego gue sebab selama ini gue sangat membangga-banggakan keahlian persetubuhan gue kepada siapa pun. Gue harap lo sedikit bersabar menunggu gue, Nyo."

Neo bangkit, berdiri di sisi Pakin dan memeluk laki-lakinya dengan sayang. Ia jatuhi kecupan-kecupan ringan di keriting rambutnya penuh haru.

"Nggak ada batas waktu untuk bersabar dengan lo, Kin. Hampir sepuluh tahun kita bersama, dan tak ada satu hari pun dari hari itu yang gue lewatkan dengan tergesa-gesa. Gue akan menemani dan menanti lo sampai kapan pun, Kin. Gue hanya ingin lo jujur pada gue. Apa pun halangan lo, please, ajak gue untuk bekerja sama menyelesaikan masalah ini bersama. Gue nggak ingin lo berjuang sendirian di dalam hubungan kita, Kin. Ajak gue untuk ikutan memikul masalah lo biar kita bisa keluar dari konflik ini bersama pula."

Pakin menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia tenggelamkan kepala di perut Neo yang berlekung-lekung. Ia pun tidak tahu apa yang terjadi padanya. Maksudnya, kenapa ada Luna dalam setiap pergumulannya dengan Neo? Padahal persanggamaan terakhirnya dengan Luna berujung memuaskan. Bahkan ketika melakukan thressome walaupun itu pengalaman pertama yang melahirkan kembali hantu-hantu, itu adalah seks yang indah. Baik ia, Neo, maupun Luna sama-sama merasakan kenikmatan sampai lewah. Tidak ada yang menakutkan dari diri Luna. Justru ia mampu menampar Luna dalam sebuah balas dendam paling epik di sepanjang ia hidup. Seharusnya ia terbebas, sebagaimana kebebasan yang ia berikan kepada Neo, Gemini, dan Fourth. Tapi kenapa Luna meninggalkan jejak begitu dalam begitu kuat? Apa yang salah dalam dirinya?

Mereka akhirnya merampungkan sarapan dan keluar apartemen bersama. Pakin membiarkan Neo mengendarai mobilnya sementara ia menuju kampus menggunakan CB. Ia akan berjumpa dengan Nanon hari ini. Kemungkinan sampai sore jadi dia tidak ingin mengganggu Neo dengan urusan pertumpangan.

Segala administrasi Pakin sebelum balik ke Indonesia sudah dirampungkan oleh Neo. Jadi sewaktu ia pulang kampung, semuanya sudah terselesaikan, sehingga waktunya tidak habis tersisa di unit-unit kampus. Jujur Pakin belum terbiasa dengan versi Neo yang sekarang. Memang ia berubah banyak satu tahun ini. Ia mulai belajar memberi ruang buat Pakin dalam hubungan mereka untuk berkembang dan mengeksplor diri. Ia tidak mengekang Pakin lagi secara kuat. Kedua telinganya akan sedia mendengarkan seluruh keluhan Pakin tanpa protes maupun gugatan. Perhatian-perhatian kecil akan ia berikan untuk membantu pekerjaan Pakin, seperti menemani Pakin dalam sebuah sambungan panjang telepon di malam ia overthinking akan dinobatkan sebagai pangeran. Dan dengan segala perubahan itu, sebenarnya lebih dari cukup buat Pakin menjatuhkan setulus-tulusnya cinta. Tapi entah kenapa hal tersebut sukar bukan kepalang. Bimbang itu seperti menggerogoti usus, bekerja sama dengan takut dalam proses penciptaan imajinasi-imajinasi liar yang tidak bisa dibendung. Bayang Neo kembali ke Luna dan mengatakan kalimat-kalimat jahat padanya selalu bisa merangkai alur di kepala Pakin, di mana alur itu mulanya hanya sebuah potongan prolog, yang pada malam-malam ketika ia belum tertidur, ia membentuk rangka utuh sampai ending. Rasanya memuakkan sekali, tapi Pakin juga bingung harus melakukan apa pada hati dan perasaan. Neo sangat baik. Versinya yang sekarang adalah sebenar-benarnya ia di semua imajinasi cabul Pakin selama ini. Tapi ketika Tuhan memberikan akses menjamah sesajian di atas nampan, giliran Pakin yang tidak memiliki daya guna menikmati ketelanjangan.

Pakin menepikan motornya di tempat parkir FIB, dan melenggang menuju perpustakaan sebab jam pelajaran pertamanya masih satu jam lagi. Setiap mahasiswa yang ia lewati menatapnya penasaran, diikuti dengung gosip yang tidak mampu ditahan. Mungkin karena mahasiswa yang menggegerkan kampus dengan aksi bunuh dirinya dan viral di media sosial sampai luar negeri pada akhirnya kembali ke GMM, atau berita pengangkatannya sebagai pangeran dari Kerajaan Brussels — sekaligus diakuinya sebagai keturunan raja — di bulan keenamnya tinggal di Belgia tersebar ke sudut-sudut dunia dan begitu menggemparkan bumi GMM? Pakin tidak begitu ambil pusing. Ia biarkan bisik-bisik itu menyertai langkah kakinya.

Semenjak sertraline dan antidepresan lainnya rutin ia minum, segala kemungkinan yang bisa menindih pertahanannya tidak lagi merisaukan kepala Pakin. Itu membuatnya sedikit lebih bersemangat menjalani hidup kendati ganjaran yang ia dapatkan harus meminum obat di sepanjang sisa usia. Awalnya memang berat, apalagi malam-malam di pengangkatannya sebagai pangeran, segala rasa takut itu kembali datang dan para hantu bermunculan di setiap sudut kastil. Beruntung ia memiliki Oma, Nenek, Andrew, dan Neo (yeah kau bisa menambahkan Gemini dan Fourth yang menjadi pendukung pertamanya di acara itu) yang senantiasa memerkosa sela-sela jemarinya dengan jari-jari mereka, menjadikan sunyi yang selama ini mendengking bak anjing menjelma obrolan-obrolan hangat dari mereka, dan menggantikan suara-suara hantu oleh gelak tawa keluarganya yang karib.

Pukul tiga sore Pakin keluar dari kampus, dan menjalankan CB-nya menuju kafe terdekat. Nanon sebenarnya mengajak Pakin untuk berkunjung ke gedung teater. Awalnya ia bersedia, sebab kangen pula dengan suasana panggung. Tapi ketika ia berkunjung ke sana, bahkan untuk melihat pintu teaternya saja Pakin tidak kuasa. Tubuhnya menggigil, dan jantungnya berseloroh tidak tenang. Keringat dingin mulai bermunculan sementara bibirnya bergetar hebat. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel lalu menghubungi Nanon untuk mengganti tempat bertemu. Saat itulah Pakin sadar, bahwa obat-obatan serta dukungan dari lingkungan terdekat, tidak sekonyong-konyong sanggup menghapus semua rasa takutnya. Dan ketakutan itu sendiri pun ternyata selama ini tidak pernah pergi ke mana-mana. Ia hanya berperam entah di mana, yang ketika ada satu atau dua stimulus, akan menggeliat dan berceceran di depan mata. Demi Tuhan, apakah kehadiran Luna di setiap pergulatannya dengan Neo memiliki hubungan itu?

Café yang disebut Nanon tidak jauh dari GMM. Pemuda berlesung pipi menggemaskan itu menyambut kedatangan Pakin dengan pelukan panjang. Ia menciumi kedua pipi Pakin untuk mengabarkan rindu yang menggebu-gebu. Pakin tergelak melihatnya. Meskipun hubungan mereka tidak pernah lepas dari jaringan pribadi, bertemu langsung tetap memiliki esensinya tersendiri.

"Apakah sekarang gue harus manggil lo Your Highness?"

"Ngentot lo!"

Kedua pemuda itu tergelak. Nanon sudah memesankan makan siang buat Pakin sebab Pakin memintanya demikian. Serius, dihantam kajian teori sastra dari kontemporer sampai poststrukturalisme cukup membuat otot-otot otaknya keram, dan perutnya meraung jatah makanan. Jadi daripada menunggu pesanannya dibuat, jauh lebih baik ketika ia datang menemui Nanon, porsi makan siangnya sudah tersuguh.

"Gimana kabar lo, Kin? Nggak nyangka banget setelah kejadian itu ada saat-saat gue bisa bertemu dengan lo lagi. Gue pikir malam itu adalah malam terakhir gue melihat lo tampil di atas panggung."

Pakin mengunyah potongan ayamnya sebelum menjawab, "Puji Tuhan gue masih hidup. Padahal gue udah berharap aja mati di malam itu. Semuanya serba berantakan. Orang-orang kepercayaan gue satu per satu menikam gue dari belakang, dan satu-satunya harapan gue untuk percaya pada orang justru membunuh due depan belakang. Apa yang lo harepin dari gue selain menyerah, kan?"

"Keren juga cara lo mengakhiri hidup. Gue jadi ingat sama kalimat lo yang menjadikan penampilan lo sebagai tanda titik di akhir pertunjukan. Sebab lo benar-benar mewujudkannya. Nggak ada satu pun dari pertunjukan teater yang digelar seminggu utuh itu yang membicarakan pentas selain lo. Spotlight benar-benar jatuh di tangan lo, Kin."

Pakin tertawa keras. Ia melongsorkan jus jeruk untuk melegakan kerongkongan. "Coba kalau gue berhasil mati, sampai tahun-tahun berikutnya penampilan para seniman di sana akan disangkutpautkan dengan gue. Iya, nggak?"

"Lo bisa, nggak, nggak usah bahas mati-mati di sini? Ngeri gue anjeng."

"Lo yang mulai?"

"Ya, tapi nggak usah menjurus ke sana." Nanon memutar bola mata. "Tapi lo tahu, nggak, sih, kalau lo bisa menyajikannya dengan artifisial, penampilan lo mampu menjadi sebuah gebrakan untuk dunia teater kita? Gila, di sepanjang gue hidup, monolog Bunda lo waktu itu satu-satunya yang membuat gue nggak memiliki pujian selain sempurna. Oke gue emang ngeri parah sewaktu melihat lo melakukan aksi berdarah-darah itu, tapi anehnya gue justru menjumpai kesempurnaan di setiap rasa sakit lo, Kin. Sebut gue nggak normal, creepy atau apa, Kin, tapi gue nggak bisa membohongi diri gue sewaktu gue hanya mampu melihat aksi lo yang pecah abis malam itu."

"Gue sudah mempersiapkan semuanya, Non. Mulai dari cerita sampai penampilan. Walaupun gue melakukan itu untuk balas dendam, ada dalam diri gue yang menginginkan sebuah kesempurnaan agar orang-orang nggak bisa melupakan gue. Gue juga sama anehnya sama lo."

"Tujuan lo sukses besar, sih, kata gue." Nanon mengulum senyum, merasa tercubit dengan obrolannya bersama Pakin. Edan apa ia mengabaikan eksistensi psikis Pakin saat sedang dalam pertunjukan? Hanya saja Pakin melarang pemuda itu membawa segala sesuatu obrolan berisi empati apalah-apalah dalam pertemuan pertama mereka. Pemuda berambut ikal tersebut sudah terlalu capai menanggapi rasa sesal dan iba orang-orang terhadapnya. Maka ia meminta Nanon jujur tentang perasaannya akan pementasan Pakin alih-alih menyumbang lumbung permintaan maaf Pakin yang hampir meledak.

"Gimana Teater Payung Hitam? Sejauh ini lo bisa berbaur di sana?"

"Keren banget, seriusan. Gue memiliki kesempatan untuk semakin mengeksplor kemampuan gue dalam berakting di atas panggung. Pemiliknya bahkan sering memberikan latihan-latihan yang nggak pernah gue temui sebelumnya, yang mampu membuat gue memiliki dinamika suara lebih banyak dan dalam. Mereka juga mengajari gue membuat naskah lebih bernyawa. Bulan depan kami ada pentas di Yogya. Lo dateng, ye? Lo pasti suka banget sama mereka."

"Gue sesuaiin sama jadwal kuliah nanti."

"Wih, lo bisa juga jadi mahasiswa teladan."

"Sialan lo. Lo dan anak-anak lain sudah lulus, sudah sama-sama bekerja, ya kali gue nggak lulus-lulus. Kelamaan di GMM bisa mati otak gue."

Mereka tertawa lagi. Nasi ayam geprek Pakin telah habis. Jus jeruknya juga ludes. Dia siap dengan obrolan yang akan dibawakan Nanon yang membuat pemuda manis itu rela melakukan perjalanan Bandung — Jakarta di hari kerja hanya untuk bertemu dengan Pakin. Sebenarnya Pakin agak mampu menebak ke mana arah perbincangan ini, tapi yang ia lakukan hanyalah diam sebab ia ingin kawannya itu menuturkan langsung apa pun yang ingin ia ceraikan dari balik tempurung kepalanya. Pakin mengeluarkan bungkus rokok, dan mulai mengisapnya guna menemani obrolan mereka.

"Ohm ada di sini, Kin," kata Nanon tiba-tiba. Pakin sedikit mendengus mengendarnya. Ia sudah menduga hal ini terjadi. Jadi, ya, sudah, tanpa berpikir panjang, ia akhirnya mengangguk kecil sebagai respons. "Dia memiliki alasan nggak menghubungi lo sejak malam pentas monolog lo entah karena apa. Dia akan bicara sendiri pada lo tentang itu. Gue nggak punya pandangan apa-apa, dan gue nggak punya hak untuk memberitahukannya ke lo."

Pakin hanya mengangguk sebagai respons.

"Gue panggil dia, ya?"

Pakin mengangguk lagi. Nanon melambaikan tangan, dan Pakin baru menyadari pemuda itu sudah ada tidak jauh darinya entah sejak kapan. Penampilan Ohm sedikit berbeda dari terakhir kali ia mengingat. Rambutnya panjang yang ia ikat serampangan, membuat beberapa anak rambutnya berantakan di sisi-sisi kuping. Ia juga menumbuhkan cambang dan kumis. Sungguh penampilannya kali ini jauh lebih mendekati anak mapala ketimbang ketika dia menjabat sebagai ketua.

Semua komunikasi dengan Ohm memang telah ia putuskan begitu saja — sebenarnya ia memberangu ssegala bentuk hubungan dengan para keparat itu, hanya saja kegigihan Neo, Gemini, dan Fourth membuat mereka kembali berada di jangkauan — jadi Pakin sama sekali tidak memiliki gagasan tentang keberadaan Ohm. Apakah ia lulus tepat waktu? Apakah ia meneruskan menjadi penulis? Ataukah ia memilih profesi baru? Bergabung secara aktif dengan Wanadri mungkin?

"Aku balik ke Solo selepas lulus untuk bergabung secara aktif di Wanadri." Ohm membuka obrolan, seperti paham arti tatap mata Pakin yang menyelisik. "Sekaligus menulis di sana sebagai caraku mempertahankan kewarasan."

Pakin sampai lupa bagaimana mengerikannya Ohm dengan kemampuan membaca mata orang ketika dia mau. Yang Pakin lakukan hanya mengangguk kecil dan kembali mengembuskan asap rokok. Tidak tahu harus merespons apa. Ada canggung yang beriak di dasar kantung celananya dan membuat kedua tungkai kakinya memberat dan menimbulkan perasaan kikuk.

"Aku pikir dengan kembali ke alam, melakukan persetubuhan dengan goresan pena, aku akan kembali berjumpa dengan Rengganis." Ohm menarik napas besar. Ia pernah berada di titik telanjang Pakin paling nista yang pernah ada, mencumbunya sampai seluruh kemolekan itu tidak tersisa. Tapi kenapa sekarang untuk mempertemukan kangen yang meresahkan degup jantung harus berhantaman dengan rikuh di hadapan? Ohm tidak pernah benar-benar berpikir akan ada hari di mana ia kembali asing dengan orang yang pernah dia puja dalam proses persembahyangan paling cabul. "Tapi akhirnya aku keliru, Kin. aku keliru besar." Ia memainkan jari-jarinya tidak tenang. Kedua matanya memandang Pakin dengan tatapan nelangsa. "Aku nggak pernah berpikiran diamku dalam menyimpan semua kebohongan itu akan menyakitimu sedemikiannya, Kin. Kupikir selama ini asal kamu aman dan terlindungi, semuanya baik-baik saja. Tapi aku salah besar. Aku dan kesoktahuanku salah kaprah. Di saat aku meluaskan pelukan kepadamu, tanpa sadar aku menyiapkan duri-duri dalam dekapanku yang melukaimu, Kin. Aku sungguh minta maaf, Kin. Aku sungguh minta maaf."

Pakin menutuk batang rokoknya supaya abu di ujung rompal di atas asbak. Mungkin ini alasan Nanon mencarikan tempat makan yang tidak ber-AC, sehingga hal itu tidak menghalanginya untuk merokok. Dengan obrolan seberat ini, bisa sinting jika tidak ditemani tembakau beserta dengan zat-zat adiktif di dalamnya.

"Ketika aku melihatmu melakukan penusukan-penusukan itu, Kin, secara perlahan-lahan Rengganis ikutan terbunuh. Ia berdarah-darah dan tak bisa kuselamatkan. Aku menguburkannya di selasar rumah sakit ketika aku menunggumu di depan ICU. Rasanya menyakitkan ketika hidupku harus kulepas, tapi lebih baik aku menikamnya dalam-dalam daripada aku kehilanganmu, Kin. Caraku melindungimu memang salah, tapi aku tulus mencintaimu, Kin. Perasaan ini nggak pernah berbohong kepadamu. Sedikit pun."

Ada yang memberati dada Pakin, dan itu sesak sekali. Tiga orang pendosa dalam hidupnya telah menyatakan dosa mereka dalam sebuah penyesalan panjang, tapi di antaranya tidak ada yang semenyakitkan penuturan Ohm. Ia terlalu sederhana, terlalu bersahaja, terlalu lugu. Tidak ada tuntutan apa pun dalam kalimatnya. Ia hanya bercerita, meminta maaf tanpa memedulikan Pakin memberikan atau tidak, lalu terus melanjutkan ceriteranya dalam kesopanan yang tidak mampu Pakin sanggah.

"Dan sejak hari itu yang tersisa hanyalah kemampuanku bertahan hidup. Puncak-puncak gunung kehilangan Rengganis. Sunset maupun sunrise nggak lebih dari proses alamiah yang bisa dijelaskan dengan teori fisika. Kopi-kopi yang kurebus sembari menunggu pendaki terakhir bahkan nggak pernah mendidih, jadi aku meminumnya dalam kebekuan paling pilu. Yang lebih menyedihkan dari itu adalah ketika aku dengan pemikiran naif mendaki Argopuro untuk bisa menjumpai Rengganis, tapi bahkan Dewi Rengganis telah mati di pangkuan ibu. Puncak itu kosong, Kin, dan aku kebingungan bagaiman harus berjalan turun sementara hatiku telah mati dimakan ekspektasi."

Pakin mengembuskan napas besar. Di sampingnya, Nanon hanya mampu mendengar dalam diam. Tidak ada keinginan untuk menyanggah sebab kejujuran Ohm terlalu menyakitkan. Dosa yang ia lakukan bahkan tidak sebanding jika disandingkan dengan Neo, Gemini, Fourth, maupun Luna, tapi di antara mereka hanya Ohm-lah yang terlihat begitu menderita. Terlebih sampai kehilangan Rengganis, betapa itu sebuah kehilangan mahaedan.

"Tapi rasa-rasanya itu sebanding dengan kehadiranmu saat ini. Aku memang menangisi kematian kekasihku, tapi aku merayakan kehadiranmu dalam kenduri yang kukidungkan cinta setulus-tulusnya. Kamu berhak mendapatkan kebaikan seperti yang selalu aku ucapkan, Kin. Dan aku berbahagia melihatmu demikian." Ohm menjeda kalimatnya. Matanya menatap Pakin dalam pandangan paling menyedihkan. "Setahun aku nggak menghubungimu bukan karena aku nggak ada penyesalan, Kin. Tapi aku nggak memiliki wajah yang bisa kupertemukan denganmu. Selagi aku mencari-cari keberanianku, aku mengunjungi puluhan gunung dalam satu tahun itu guna menemukan Rengganis. Tapi dia nggak ada, Kin, seiring dengan harga diriku yang nggak lagi ada di hadapanmu."

"Lo nggak seharusnya membunuh Rengganis, Ohm," sahut Pakin, dalam. "Gue hanya marah pada lo dan memberikan ganjaran setimpal. Bukan untuk membunuh lo dalam-dalam. Lo tahu bagaimana gue ketika marah, jadi seharusnya lo bersabar lebih lama menunggu kesadaran gue."

"Bagaimana jika kamu nggak kembali? Aku nggak hanya kehilangan Rengganis, tapi seluruh aku, Kin. Bagiku ini adalah judi. Dan Rengganis aku korbankan sebagai bentuk kaul supaya kamu bisa balik kepadaku." Ohm terdiam sejenak, kemudian tersenyum kecil. "Kamu telah membuktikan omonganmu, Kin."

"Omongan yang mana?"

"Dulu kupikir aku meletakkanmu di dalam hasratku yang berisi ego semata. Tapi ketika kamu nggak ada, aku bahkan membunuh Rengganis. Aku nggak menyadarinya selama ini sebab aku telah mampu merasa memilikimu dan Rengganis dalam satu waktu. Puncak-puncak Rengganis yang aku temui tiga tahun ini selalu ada kamu di dalamnya. Itu membiaskan pandanganku. Apakah aku mengagumi Rengganis karena dia masihlah memiliki pesona yang sama sewaktu pertama kali aku menjumpainya di Argopuro, atau keindahan yang aku bisikkan itu kualamatkan padamu di dalamnya? Aku benar-benar egois. Maafkanku, Kin, maafkan aku yang telah egois pada diriku sendiri."

Pakin menatap Ohm dengan getir. Persetubuhan dengan Ohm seperti usikan daun meranti di sekujur tubuh. Setiap sentuhannya yang lembut sanggup melahirkan debar kejut. Di alam Ohm tahu bagaimana cara menghormati mereka, kepada para mahasiswa Ohm tahu bagaimana caranya menundukkan ego, dan di atas tubuhnya Ohm sanggup memanusiakan Pakin seluhur-luhurnya. Ia memenuhi semua hak berahi Pakin, bahkan ciumannya adalah ciuman paling membuat Pakin merasa rapuh dan mengharapkan perhelatan jimak dengan begitu nelangsa. Ohm adalah sosok yang sangat sempurna dilabuhkan cinta. Seluruh keseriusannya tatkala menyetubuhi pena untuk melahirkan tulisan seperti acara moksa yang menjadikannya sanggup melihat setiap manusia sama tinggi tanpa melihat siapa ia. Dan Pakin tidak memiliki alasan untuk tidak mencintainya.

"Kamu tahu, nggak, Kin, bahkan rasa ini terlalu kuat sampai aku nggak mampu menghadapinya. Aku terlalu kecil, Kin. Terlalu kecil sampai aku merasa ketakutan melukaimu lagi. Malam-malam yang aku gunakan untuk mencintaimu, kusibukkan untuk menulis keburukan-keburukanmu agar rasa ini mati sebagaimana Rengganis. Tapi sampai subuh terjatuh, kertas di hadapanku kosong, dan penaku mengering bahkan sebelum tintanya mampu kugoreskan. Ini adalah sebuah kekalahan menyakitkan, sebuah kehilangan penuh sesal."

Pakin mematikan cendet di asbak ketika rokoknya telah tuntas. Ia lantas mencoba menyalakan sebatang lagi sewaktu Nanon melarang. Pakin menatapnya dalam, kemudian kembali ke arah Ohm yang masih terlihat sendu.

"Bagiamana kalau untuk mengisi lembar itu lo cukup mampu menuliskan sesuatu yang nggak pernah lo bayangkan selama ini?" tanya Pakin, meletakkan bungkus rokok di sisi ponselnya. Ia memijat pangkal hidung dan melanjutkan, "Jika lo bertanya cinta, mereka ada. Tapi mereka nggak pernah setara untuk lo, Ohm. Ada jenjang tinggi sekali yang terbentuk saat gue melihat lo, dan apabila kita memaksakannya, yang terluka nggak hanya lo, tapi juga gue. Bukan sesuatu yang ada di dalam diri lo, tapi mereka jujur datangnya dari kepala gue. Gue mencintai lo, Ohm, tapi bentuk mereka nggak pernah sepadan untuk disandingkan dengan lo. Pada akhirnya mereka akan menimbulkan banyak perbedaan dalam memandang cinta di kemudian hari. Dan apa yang kita harapkan jika untuk sebuah persepsi akan cinta saja kita nggak bisa satu bangku?"

Ohm menatap Pakin dalam sebelum mengangguk. "Aku akan mencoba menuliskannya seperti katamu. Itu cukup membantuku untuk membuat satu keburukan untuk membunuh satu sisi cinta itu." Ia kembali mengambil napas panjang yang kemudian diembuskan perlahan-lahan. "Aku nggak minta apa pun darimu, Kin. Aku hanya ingin jujur bahwa aku mencintamu, dan aku menyesal telah menyakitimu saat itu. Terima kasih karena pada akhirnya kamu bersedia kuajak ngorbol bahkan setelah aku menyakitimu sedemikian rupa. Aku akan selalu merindukanmu, Kin, dan akan kuabadikan namamu sebagaimana Rengganis di cerpen-cerpenku agar dunia tahu kamu indah dan kamu terlalu mudah untuk dicintai."

Pada akhirnya Ohm dan Nanon pamit ketika magrib telah lewat di persimpangan obrolan mereka. Tapi ketika Pakin membereskan barang bawaan di atas meja, Ohm kembali datang dan menyentuh lengannya untuk mendapatkan atensi.

"Aku baru ingat untuk memberitamu ini. Kamu masih ingat obrolan kita tentang Force yang sepertinya memiliki lubang hitam yang kita nggak tahu isinya apa?"

Pakin menegakkan tubuh memberikan seluruh perhatian.

"Setahun ini aku sibuk mengulik latar belakangnya dan semua yang berhubungan dengan dia. Kamu pasti tahu dia mendirikan Moving to Heaven dan segala sesuatu ceritanya. Hari di mana Luna menerima kekalahan sebagai Putri Indonesia adalah hari di mana dia akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Moving to Heaven. Di sana dia melakukan kaderasasi untuk mendapatkan keberpihkan."

Tubuh Pakin menegang rupa-rupa. Ia sampai menjatuhkan macis di atas meja sebelum sempat ia kantongi.

"Dan dia mendapatkan keberpihakan mereka. Semua jalannya di dunia model dan artis terbuka lebar sejak saat itu, bahkan terlalu mulus untuk ukuran artis pendatang baru. Tapi poin utamanya bukan di sana. Entah bagaimana cara dia mendapatkan pekerjaan, itu nggak pernah menjadi sebuah tanya di kepalaku. Tapi yang dia lakukan padamu jelas akan menjadi sangkutanku."

"Apa maksud lo, Ohm?"

"Kamu pasti tahu bahwa Luna ada di balik semua pembullyan padamu. Tapi yang menjadi pendukung utamanya sampai bullyan itu bertahan berbulan-bulan adalah dia. Force Jiratchapong Srisang. GMM sudah dia inisiasi, jadi pihak kampus nggak memiliki satu pun daya untuk menghalau gelombang hate comment itu selain membiarkan mereka tumbuh menjadi pembunuh di balik akun-akun medsos. Aku nggak tahu apakah kamu masih membutuhkan informasi ini atau enggak. Aku hanya ingin kamu tahu yang sebenarnya sebab kupikir kamu berhak mengetahuinya. Selamat malam, Kin, aku pergi dulu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro