Bab 33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pakin mematikan ponsel ketika ia masuk sebuah restoran di daerah Senopati. Aroma daging asap langsung menyeruak, diikuti bebauan manis vanilla, dan wangi khas kopi. Orang-orang yang tengah menikmati makan malam terlihat mengisi bangku-bangku yang tersedia. Lokasinya tidak terlalu mencolok, bahkan termasuk dalam hidden gem, dengan suasana tidak terlalu ramai. Cocok dengan situasi yang ia inginkan. Ia mengedarkan pandang, dan melihat Gemini tengah duduk bersama Ganesha di dekat jendela dengan view Astha 8. Pakin melangkahkan kaki mendekati mereka.

Ganesha menatapnya dalam selama beberapa detik, sebelum menyapa, menanyakan kabar dan menjabat tangan Pakin.

"Gimana kabar lo, Kin? Ada setahun, ya, kita nggak ketemu sejak malam mendebar-debarkan itu?"

Pakin tersenyum kecil. "Kabar gue tergantung dari seberapa bermanfaatnya lo buat gue malam ini, sih."

Derai tawa Ganesha pecah. Ia menyorongkan bir untu membakar suhu tubuh. "Bisa kita makan dulu sebelum lo menginterview gue? Gemini cerewet banget saat maksa gue bertemu lo. Dan kalau lo mau tahu, kebetulan tadi gue sedang dalam meeting bersama para rekanan, sih, ketika Gemini memasuki ruang dan menatap gue kayak monster di ambang pintu. Gue sudah rugi secara materi dan performa di hadapan para klien gue, seharusnya gue berhak mendapatkan jatah makan malam gue sebelum bekerja."

"Kamu sudah libur bekerja sepanjang tahun ini, Ganesha. Mau meminta jatah libur berapa lama lagi supaya kamu bisa melaporkan reportase yang seharusnya sudah kamu laporkan dari dulu?" Gemini menyilangkan kedua tangan di depan dada. Mata hitamnya berpijar tajam di balik bingkai kacamatanya. "Dan saya menyeretmu ke sini bukan untuk menikmati makan malam. Kamu bisa mendapatkan seratus potong steik jika kalau kamu telah menyelesaikan semua tanggung jawab kamu. Kamu sudah pernah mengecewakan saya sekali, jadi jangan berani berharap bisa mengecewakan saya kedua kalinya. Kamu tahu siapa saya."

Ganesha mendengus, melucuti dua kancing kemeja teratasnya, lantas melepaskan suit hitam yang membungkus tubuh rampingnya. Ia bersandar di kursi, kemudian menatap Pakin. "Lemparkan apa pun yang ingin lo tanyakan, Kin," katanya serius.

Bitterballen dan grilled gudeg sengkel yang mereka pesan akhirnya hanya bisa menjadi kembang meja seperti ornamen. Baik Gemini maupun Ganesha lebih memilih minum bir dengan kadar alkohol rendah untuk menemani ruang dialog mereka. Pakin mulai menyulut batang rokoknya. Berita yang dia terima dari Ohm jujur begitu mengejutkan. Ia sampai ngeblank beberapa saat sebelum ingatannya memutar memori percakapan antara Gemini dan Fourth di dekat instalasi laundry beberapa waktu lalu. Detik itu juga, Pakin menghubungi Gemini dan entah bagaimana caranya ia memaksa Gemini untuk dipertemukan dengan Ganesha malam ini juga. Maka selagi menanti balasan dari Gemini, mengabaikan panggilan bertubi-tubi dari Neo dan Andrew, Pakin memutuskan menanti di parkir kafetaria. Mungkin panggilan dari kedua orang itu bisa mencapai angka ratusan ketika pada akhirnya Gemini mengiriminya kabar sedang ada di Senopati bersama Ganesha. Tidak butuh waktu lama buat Pakin mengendarai CB guna membelah jalanan Ibukota menuju ke daerah Kebayoran itu. Ia jelas harus mematikan ponsel sebab tidak ingin diganggu oleh kehadiran Neo maupun Andrew.

"Moving to Heaven itu persekutuan keparat yang apabila lo memutuskan untuk masuk, maka nggak akan ada pintu keluar buat lo. Memang Force dan Book nggak meminta upeti kepada anak-anaknya. Tapi sumbangan yang diberikan anggota setiap acara digelar sanggup untuk membiayai pulau-pulau tak bertuan di penjuru dunia. Benar mereka nggak melakukan money laundry," Ganesha menjeda kalimat, kembali mereguk bir untuk membasuh lidah, sebelum melanjutkan, "tapi keberpihakan yang dimiliki Moving to Heaven adalah sebenar-benarnya kejahatan paling nyata di Indonesia, Kin. Uang hasil sumbangan itu mereka gunakan untuk membeli semua jabatan, semua hukum, semua kesempatan. Kasus terakhir yang melibatkan korupsi gila-gilaan oleh seorang menteri pun bahkan bisa dikandaskan kendati KPK memiliki semua buktinya. Bayangkan jika satu dari anggota menyumbang paling kecil lima miliar, dikalikan berapa ribu anggotanya, sudah berapa triliun duit dikumpulkan hanya dalam satu malam?" Ia tertawa kecil, menatap Gemini dan Pakin yang tampak serius mendengarkan ucapannya. "Di mana sampai sekarang. hampir nggak ada lagi yang menyumbang nominal sekecil itu. Sebab semakin tinggi sumbangan, semakin hebat juga pride yang diterima."

Rokok dalam jepitan tangan Pakin mendedas. Apinya merekah kecil, menghanguskan tembakau dan menimbulkan asap tidak sedap dari sana.

"Dan lo tahu hal gila apa yang diciptakan pasangan edan itu di sana? Dia melakukan praktik seksual paling biadab yang pernah ada. Gue sampai merinding sewaktu melihat adegan persetubuhan yang melibatkan satu anggota keluarga penuh. Ayah menggauli anak gadisnya sampai darah dari pecahnya hymen terlihat dan ditonton ratusan orang, kakak menyusu ibunya, dan Ibu melumat bibir anak gadis, abangnya meremas payudara adiknya. Itu pameran paling gila, sih. Tapi setelah itu si Ayah sukses menjadi seorang gubernur, istrinya menjadi kepala dinas, dan kedua anaknya memenangkan saham properti dengan nilai nominal tinggi."

Pakin menarik napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan. Rokok itu ia isap dalam-dalam, sementara pikirannya saling cekcok di balik tempurung kepala. Dari penuturan Ganesha, sama sekali tidak ada celah untuk menyerang Force dan Book. Mereka terlihat begitu kukuh dengan perlindungan paling pagan yang pernah ia bayangkan.

"Yang paling keji dari itu semua, ada sesi pameran masturbasi di beberapa kesempatan. Para perempuan disatukan di atas panggung, lantas diminta — karena sekalipun ini cerita paling keji yang pernah lo dengar, sama sekali nggak ada paksaan di sana kecuali semua ritual seks dilakukan dalam konsensus antara kedua belah pihak — menunjukkan performa masturbasi masing-masing. Mereka ditonton ratusan laki-laki, yang apabila sudah dipilih pemenangnya, maka perempuan itu akan melakukan seks dengan semua laki-laki di sana sementara para perempuan lain melakukan persanggamaan sebagaimana lesbian."

Bulu kuduk Pakin meremang. Isi kepalanya semakin ribut dan tidak terkendali. Ia harus bisa membalas dendam pada kedua pasangan keparat tersebut, sebab jika sakit hatinya tidak ia tuntaskan, mereka yang akan memberangus dirinya sendiri. Dan setelah apa yang menimpanya dalam setahun belakang, kembali berada di titik paling nelangsa itu tidak mampu Pakin bayangkan lagi. Rasa-rasanya ia kali ini bisa dikalahkan oleh para hantu. Pandang mata Pakin menembus dinding kaca di hadapannya, menimpa lautan lampu kota malam hari yang bercampur lampu-lampu kendaraan bermotor. Sejauh ini, ia sudah menyiapkan satu hukuman setimpal yang menguntungkan baginya dan layak untuk diberikan kepada Force dan Book. Hanya saja ia butuh celah, butuh satu saja lubang kesempatan. Ia menggigit kuku jempol karena bingung harus lewat dari jalan mana.

Gemini mengulurkan tangan, menceraikan jempol dari mulut Pakin, sebagai gantinya ia sodorkan satu potong kentang goreng yang langsung Pakin terima dengan dengusan kecil. Sampai sekarang putra keraton tersebut masih tidak paham kenapa sepupunya meminta dipertemukan dengan Ganesha. Oke, dia memang memperkerjakan Ganesha untuk mengawasi Pakin di malam ia mendatangi perhelatan ritual seks itu. Tapi kemudian dia teledor dengan membiarkan Pakin pulang sendiri sehingga bertemu dengan Neo yang berujung penganiayaan. Gemini sudah sangat enggan bertemu kembali dengan ia sebenarnya, tapi permintaan Pakin jelas bukan sesuatu yang bisa ditolak. Lebih-lebih Pakin menumpahkan amukan di chat sewaktu membordirnya agar tidak mengulur waktu lama.

"Apakah nggak ada CCTV yang merekam pergumulan itu?" Pertanyaan tiba-tiba Pakin membuat Gemini dan Ganesha melempar tatapan padanya.

"Apa yang ingin kamu lakukan, Pakin? Kamu tidak sedang ingin membuat masalah dengan Force, kan? Saya memang membencinya sebab mengikutsertakan kamu ke acara mereka, tapi saya tidak akan membiarkanmu melakukan apa pun isi di kepalamu seorang diri."

"Rasanya sangat nggak mungkin Force dan Book yang secerdas itu nggak memegang kartu as anggotanya agar nggak ada satu pun dari mereka yang kabur," lanjut Pakin, sama sekali tidak menghiraukan ucapan sang sepupu. "Apalagi dengan perputaran uang sehebat itu setiap tahunnya. Apabila lo memiliki video persetubuhan seorang gubernur daerah yang tengah mencabuli anak gadisnya, atau video kepala dinas tengah dientot anak laki-lakinya, lo nggak hanya merusak karier mereka. Tapi menghancurkan hidup mereka sampai jadi debu hanya dari satu remukan tangan."

Ganesha menyeketsa Pakin atas sampai bawah, lalu menarik sebuah kesimpulan kenapa pemuda berambut keriting ini memiliki posisi istimewa dalam hubungan Force dan Book di antara ratusan anaknya di Moving to Heaven. Bahkan dia bukan merupakan anggota. Pakin tidak lebih dari seorang tamu, dan dalam sejarahnya, tidak pernah ada satu tamu pun yang diizinkan memasuki pesta. Pengecualian itu ada di diri Pakin. Jelas sosoknya akan menjadi incaran anak-anak Moving to Heaven.

"CCTV itu bahkan bisa menunjukkan luka kecil yang mungkin lo sembunyikan di tubuh lo. Dan memang itu adalah kartu as Force dan Book selama ini di luar fantasi seksual yang mereka tawarkan dan kemampuan persuasi keduanya yang tidak akan mampu ditolak."

Senyum Pakin terkembang. Ia memajukan tubuh, mengembuskan asap rokok di muka Ganesha. "Gue minta satu klip yang menunjukkan setiap anggotanya ketika bersetubuh dan muka Force dan Book terpampang di dalamnya. Lo adalah pengurus acara. Nggak mungkin lo nggak memiliki akes ke sana."

Ganesha mendecih, mengadang tatapan Pakin berani. "Siapa lo sampai berani menghunuskan pedang untuk menyerukan perang? Jangankan lo, bahkan jika Presiden berlutut di hadapan gue, nggak akan gue berikan."

"Sebab Force dan Book telah mampu menginisiasi istana, lo bisa berkata seperti itu." Ia menegakkan punggung, membaui aroma kemenangan. Pembalasan itu akan ia lakukan malam ini juga, agar dendam Bunda tertuntaskan. Tidak peduli jika musuhnya adalah orang semengerikan Force dan Book, jika ia mati, maka matilah ia. Setidaknya rasa bersalah kepada Bunda tidak terus menghantui dan menggerogoti rasa amannya selama ini. "Selama ini mereka belum bisa menjamah keraton, kan? Untuk itulah Pangeran ada di sini bersama kita."

"Kalau kamu ingin membalas dendam, caranya tidak seperti ini, Pakin. Saya memiliki strategi yang lebih aman. Sekali video itu keluar dari penjagaan, maka perang saudara akan pecah dan akan mericuhkan pertahanan. Saya nggak ingin kamu terlibat dalam kegilaan seperti itu."

"Tapi sampai sekarang lo nggak bisa membalaskan dendam lo, kan, Pangeran?" Tatapan Pakin memang tidak pernah bersahabat sejak ia mengundangnya di acara pementasan sandiwara. "Force dan Book adalah orang di balik gelombang pembullyan netizen yang menyerang gue sejak pentas teater gue pertama kali di GMM. Gue sampai melakukan aksi bunuh diri karena hantu-hantu dari risakan itu menghilangkan kewarasan gue. Apakah lo bisa melihat gue menderita lagi kalau gue nggak bisa balas dendam? Well, gue nggak pernah tahu juga nasib gue ke depannya gimana, tapi keberanian gue jelas bukan sesuatu yang bisa lo ragukan, Pangeran. Gue bisa melakukan hal yang lebih mengerikan dari semua skenario di dalam kepala lo."

Gemini mendesis, mendedel dua kancing teratas kemeja hitamnya, dan melonggarkan simpul dasi.

"Apakah lo pikir karena mereka nggak bisa menginisasi keraton artinya kalian bisa memaksa gue? Gue memang pernah bekerja untuk Gemini agar menjadi pengawas buat lo, tapi bukan berarti gue bisa dibeli oleh keraton dan mengkhianati organisasi gue."

"Ketika lo bisa dimanfaatkan Pangeran hanya untuk mengawasi gue saja, itu sebuah pertanda bahwa lo telah menjual isi kepala lo padanya, sih, Nesh." Pakin tertawa kecil, menikmati bagaimana pahit tembakau memenuhi lubang mulut. "Kita lihat saja apa yang bisa Pangeran lakukan untuk sepupu kesayangannya ini. Asal lo tahu, Nesh, gue selalu mendapatkan apa pun yang gue mau. Dan gue adalah batas semua iya dari putra keraton di hadapan lo ini." Gelak tawa Pakin benar-benar mampu mengundang permusuhan kepada siapa pun yang mendengar. Ganesha mengepalkan tangan di atas meja melihat ketengilan laki-laki itu.

"Perusahaan pertambangan keraton akan berhenti bekerja sama dengan perusahaan keluargamu kalau kamu tidak memberikan klip itu, Ganesha. Saya tidak peduli dengan pinalti yang harus saya bayar. Tapi jelas perusahaanmu tidak akan bisa bertahan tanpa sokongan dari pertambangan saya. Bahan baku mineral saya di pasaran menurut survei yang paling terjangkau. Apalagi setelah kita menjadi mitra beberapa dekade terakhir, kalian tidak akan bisa mencari pembanding harga yang lebih rendah dari kami. Kita bekerja sama sudah puluhan tahun. Apakah sekarang saatnya Ganesha Manufacture Group mencatat dalam sejarah sebagai hari kebangkrutan mereka?"

Ketika Ganesha mengumpat dan menenggak bir dalam botolnya sekaligus, kemenangan itu sudah berada dalam genggaman Pakin. Ia keluar dari restoran dengan langkah ringan. Aroma wangi dari pembalasan menenangkan isi kepala. Bahkan ia bisa melihat senyum Bunda saat ujian membacanya mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Bunda telah menderita di sepanjang hidup. Bahkan kematiannya adalah kematian paling sunyi yang tidak dihadiri sanak saudara. Makamnya merupakan tempat peristirahatan paling nelangsa yang pernah Pakin ingat. Jadi malam ini Pakin akan mempersembahkan sebuah kemenangan buat Bunda. Kemenangan yang akan membuat tidur panjang Bunda lebih nyenyak di surganya Tuhan. Ou, Bunda tentu akan masuk surga kendati selama hidup menjadi pelacur di lendut kemiskinan. Tuhan jelas tidak akan setolol itu memberikan penghakiman kepada seorang perempuan yang berjuang untuk menghidupi jabang bayinya. Di mata tetangga ia memang perempuan culas, tapi dia sebaik-baiknya ibu yang Pakin miliki.

Pakin menjalankan CB di salah satu apartemen mewah di Gandaria City. Mengetuk pintu apartemen Force ketika sudah sampai setengah jam kemudian, lalu memberikan senyum lebar kepada sepasang kekasih yang sama sekali tidak mengira bahwa Pakin kecil mereka akan berkunjung tengah malam begini. Force dan Book memberikan pelukan kilas kepada Pakin dan mempersilakannya duduk di sofa. Book langsung melenggang ke dapur untuk meracikkan tiga cangkir kopi sementara Force menemani mahasiswanya ini mengobrol.

"Kangen banget sama kamu, Kin. Bagaimana kuliahmu? Ini hari pertama, bukan?" tanya Force. "Saya pikir kamu akan bertemu dengan kami beberapa hari ke depan. Tapi saya sangat tidak mampu menghilangkan kebahagiaan saat melihatmu di depan pintu. Kamu kelihatan segar sekali sejak terakhir kali kita bertemu secara langsung."

"Apakah ini saatnya kamu ingin bergabung dengan ritual malam panas kami? Hanya melihatnya lewat videocall nggak seru, kan?" Book sedikit menaikkan volum suara di balik meja dapur.

Pakin tergelak, lantas mulai mengisap batang rokoknya setelah mendapatkan izin dari Force. Pemuda itu berjalan untuk mematikan aircon dan membuka pintu balkon supaya angin masuk menggantikan udara di dalam ruangan.

"Kuliah saya baik banget, sih, Mas, walaupun agak sulit mengejar ketertinggalan. Wajar lah saya meninggalkan kampus setahun utuh. Tapi untungnya saya masih mampu mengimbangi ritme pelajaran yang diberikan dosen."

"Senang banget mendengarnya. Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa menghubungi saya. Sekarang saya dosen tetap di sana, jadi kans pertemuan kita lebih banyak."

"Dan aku mendapatkan tawaran menjadi guru salah satu sekolah dasar di Kemang. Jadinya, kita bisa setiap hari bertemu, Kin." Book membawakan nampan berisi kopi. Ia meletakkannya dengan hati-hati di atas meja, kemudian duduk di samping Pakin. "Bagaimana kabarmu? Semuanya baik-baik saja, kan? Apa yang membuatmu datang ke sini tengah malam? Kamu nggak lagi bertengkar dengan Neo, kan?"

Pakin menggeleng geli menerima berondongan tanya dari Book. Ia lantas kembali mengembuskan asap rokok. "Kabar saya sama Neo baik banget. Kami sibuk mengisi hari-hari kami dengan cinta. Saya sendiri juga aman banget, sih. Kuliah tadi sungguh menyenangkan. Apalagi Nanon mendatangi saya dan mengundang saya ke pertunjukan teaternya di Yogya. Saya juga melakukan konversasi dengan Ohm dan meluruskan permasalahan di antara kami."

"Hidup kedengarannya sudah berjalan sebagaimana sebelum insiden itu, ya, Kin? Senang mendengarnya." Force berkomentar, menarik cangkir kopi, dan meniup perlahan sebelum menyesapnya pelan-pelan. "Lingkungan yang baik sangat mendukung penyembuhan luka-luka kita. Baik yang tampak maupun yang tersembunyi." Ia meletakkan kembali wedang di atas permukaan meja, lalu mengelap sisa kopi di sudut bibir menggunakan jempol.

"Tadinya saya pikir begitu, Mas. Setelah mendapat perawatan intensif di negara orang, melakukan terapi fisik dan psikis, menelan ratusan butir obat, saya berharap pulang ke Indonesia dengan pikiran tenang. Capek banget rasanya kalau terus bergelut dengan masalah tiap harinya."

"Tadinya?" Book menghadapkan seluruh badannya ke arah Pakin. "Maksudnya apaan, tuh? Kamu sedang nggak baik-baik saja? Terapi-terapi yang kamu ikuti mengalami kegagalan? Obat-obat itu nggak manjur? Atau kenapa?" Ia membasahi bibir ketika menyadari bahwa Pakin terlihat jauh dari kata baik seperti yang ia udarakan. Matanya menyelisik mencari tahu lebih detail. Dan ia agak tidak suka dengan cara Pakin menatap mereka.

"Nggak ada yang salah dengan terapi saya. Sejauh ini obat-obatan yang saya konsumsi berhasil meredam suara-suara hantu di kepala saya." Ia bangkit, berdiri di hadapan sepasang kekasih tersebut, menyedot kuat batang rokok, lalu meluapkan asapnya yang langsung bertengkar dengan udara Jakarta malam hari. "Sampai ketika Ohm memberi tahu saya bahwa... kalian berdua adalah backingan dari seluruh hate comment yang saya dapatkan sejak pentas monolog pertama kali di GMM."

Beliak mata Force dan Book mengindikasikan efek kejut yang seharusnya memang ada sesuai rencana Pakin. Ia menimang strategi supaya tidak dikalahkan oleh perjudian yang ia gelar di atas tanah musuh. Ia harus hati-hati apabila tidak ingin salah langkah. Ia jelas tidak akan melakukan serangan tiba-tiba mengingat dua orang ini memiliki segalanya di atas mimbar. Menyentilnya di saat tujuannya bahkan belum bisa ia luaskan merupakan kegagalan paling memalukan.

"Agak sakit dengarnya sebab selama ini kalian sudah saya anggap sahabat yang menemani hari-hari saya di Belgia. Kecewa juga, sih. Tapi kalian seorang pemimpin dan Luna adalah anggota setia. Saya hanya orang luar yang kebetulan pernah berkunjung. Jadi walaupun kalian pernah berjanji tidak akan menyakiti saya, saya pikir wajar kalian lebih memilih anggota daripada orang luar. Apalagi seorang Mark Pakin."

Kedua pemuda di hadapannya terdiam, sebelum Force menanggapi kalimat retorisnya. "Karena memang seperti itu hukumnya, Pakin. Luna menyusu di penis kami, jadi kami memberikan kehidupan yang layak agar dia bisa tumbuh menjadi perempuan hebat yang bisa meraih segala sesuatu dalam hidup. Kamu pasti tahu latar belakang keluarganya yang begitu ketat. Saya berjanji akan memberikan kursi di parlemen melalui fraksi orang tua Neo agar dia memiliki jalan untuk dipandang sejajar oleh orang tuanya."

"Saya nggak pernah menyangka keberpihakan kalian menyerang laki-laki yang nggak tahu apa-apa selain kemiskinan di muka bumi ini." Pakin mendengus, tertawa kecil, memainkan batang rokok di antara ruas-ruas jari.

"Keberpihakan kami bahkan melawan keluarga yang nggak memiliki hidup hanya untuk membebaskan tersangka pembunuh anaknya di meja pengadilan, Pakin. Jadi menghadapi kamu bukanlah suatu hal besar buat kami."

"Bahkan bukan sesuatu yang bisa masuk dalam perhitungan."

Kalimat Book benar-benar mampu menyakiti Pakin di titik terendah. Ia tertawa kecil lagi. Berjalan mondar-mandir sementara dua pendosa itu terlihat begitu tenang menikmati jamuan kegelisahan seorang badan dini hari.

"Selain membackingi aksi perundungan itu, apa lagi yang kalian lakukan buat Luna terhadap saya?"

"Kami menutup semua aksesmu memasukkan cerpen-cerpenmu ke koran-koran sebab Luna tidak menginginkan kamu memiliki potensial. Ia hanya ingin kamu merasa rendah diri dan berkubang dalam kegagalan paling hina sehingga kamu nggak memiliki kepercayaan diri untuk bersanding dengan Neo, dan keinginan merebutnya dari Luna nggak pernah ada."

Jawaban Force sungguh mampu mengepruk kepala Pakin hingga pecah berkeping-keping. Mendadak perutnya terasa mual ketika mengingat bagaimana lihainya Luna menelanjangi Perempuan Pukul Empat Pagi dalam sekali embusan napas. Ia pikir Luna memilik bakat tersembunyi, tapi ternyata ia mengencinginya melalui kelamin orang lain. Keparat! Ujung-ujung jari Pakin bergetar sewaktu memegangi batang rokok. Demi Tuhan ia tidak akan membiarkan perempuan itu merayap dengan kebanggaan di muka bumi. Akan ia hancurkan seluruh egonya di titik paling hina, sebab di sanalah ia berdiam selama ini ketika semua cerpennya ditolak dan ditolak.

"Jika saja Luna tidak meminta keberpihakan, masa depan literasimu bahkan mampu bersaing dengan Ohm, bahkan mengunggulinya. Sewaktu saya membaca anak-anakmu, tidak ada komentar lain selain kekaguman setengah mati. Apalagi Perempuan Pukul Empat Pagi-mu, Pakin, dia terlalu indah untuk dinafikan. Dia selayaknya diabadikan supaya manusia — paling tidak — bisa memiliki akses membacanya sekali dalam seumur hidup."

Dada Pakin panas bukan main mendengarnya. "Tapi pada akhirnya dia masuk ke Jawa Pos."

"Dan itulah kenapa aku bersedia meninggalkan Surabaya hanya untuk melihat siapa profil Mark Pakin sebenarnya. Sebab itu kali pertama Force menentang keberpihakan di Moving to Heaven."

"Lalu apa yang menyebabkan pemimpin Moving to Heaven melanggar peraturan yang sudah didirikan dan dipatuhi para petinggi Indonesia?"

"Saya hanya terlalu terkejut melihat semua kejujuranmu sewaktu kita melakukan BDSM. Seluruh tubuhmu bercerita tentang keindahan dan rasa sakit dalam desahan paling polos dari seorang laki-laki yang pernah saya temui. Saya tidak berbohong ketika saya berkata bahwa kamu indah, Pakin. Kamu terlalu indah untuk orang-orang seperti saya. Dan saya tidak sanggup melawan hati saya yang sudah saya buat mati selama beberapa tahun sejak saya dan Book mendirikan Moving to Heaven."

"Tapi keindahan saya tidak mampu menarik atensi kalian untuk melindungi saya."

"Karena tidak pernah ada perlindungan di luar anggota, Kin. Semua orang di luar lingkar perserikatan kami, kami perlakukan sebagai lawan. Secinta apa pun kami padanya, jika keberpihakan itu hadir untuk melawannya, kami bahkan siap memberikan kematian paling pedih. Itulah yang kami berikan kepada Luna. Anak itu terlalu kecil untuk menerima kekejaman dunia. Dia terlalu baik untuk diabaikan orang tuanya dari kecil bahkan sampai sekarang. Hati kami luluh padanya, sehingga kami memberikan keberpihakan itu seutuh-utuhnya pada dia."

"Yang mana apabila Luna menginginkan kematianmu malam ini, Pakin, kami bisa langsung memberikannya tanpa tawar-menawar," pungkas Force, menatap Pakin dengan lembut. "Tapi pada akhirnya saya menerima keputusan Luna yang nggak mau memperkarakan kepergian Neo dari hidupnya, dan lebih memilih karier untuk mengembangkan potensi dirinya. Anak saya sudah dewasa. Ia layak mendapatkan kehidupan sempurna. Neo mungkin laki-laki baik dan terlalu lugu buat perempuan semandiri Luna, tapi ketika gadis kami sudah tidak menginginkannya, maka ya sudah, saya nggak mengganggu kepemilikan kamu."

"Tapi jika suatu hari Luna mengharapkan Neo balik ke dalam hidupnya," Book menimpali penjelasan, menumpukan kedua tangan di atas lutut, tersenyum manis, "kami terpaksa akan mengambilnya lagi dari kamu dan memberikannya kepada Luna. Kecuali kamu masuk menjadi anggota dan meminta keberpihakan kepada kita, semuanya bisa berubah."

Pakin mendengus, tertawa kecil lagi. Apa yang dikatakan Neo tentang kedua orang ini benar-benar tepat. Mereka mimiliki tabir hitam yang menutupi zona gelap di dalamnya. Seharusnya Pakin mengikuti saran Neo untuk menjauh dari keduanya. Tapi kemudian sebuah kenyataan menggelikan menepuk punggung otaknya. Dia bahkan belum mengenal Force dan Book sedekat itu saat mereka menyerang Pakin di acara pentas monolognya dua tahun silam. Jadi dengan atau tanpa dia mendekat, jika para anggota meminta keberpihakan untuk menyerang, Pakin akan berdarah-darah juga pada akhirnya.

Ia melihat jam dinding, dan waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Itu berarti sejak lepas magrib sampai sekarang, ia memutus komunikasi dengan Neo dan Andrew. Pakin tidak tahu bagaimana respons mereka ketika dia kembali. Dia bahkan bisa merekam reaksi mendramatisasi ayahnya yang mampu melambungkan emosi. Tanpa sadar tawanya berubah hangat mengingat Andrew dan Neo. Apabila dalam pertikaian ini ia kalah dan mati di tangan kedua orang di hadapannya, setidaknya Pakin pernah memiliki orang yang memiliki cinta tulus padanya.

Kalimat-kalimat yang dikeluarkan Force dan Book memang sangat halus, dan diekspresikan dengan raut tenang bersama ulasan senyum. Tapi itu justru menunjukkan seberpengalaman apa para pendosa ini dalam menghadapi musuh. Isi dialognya memberikan serangan penuh tanpa sedikit pun jeda. Pakin hampir-hampir terseret arus yang diciptakan keduanya. Ia harus tetap tenang dan tenang atau semuanya yang ia susun di kepala kacau balau.

"Saya mau menceritakan satu kisah pada kalian. Ini pengalaman dari kenalan saya yang nggak ada satu pun orang tahu selain saya sebagai teman dekatnya." Pakin menenggelamkan ludah lamat-lamat. Matanya tajam menatap Force dan Book. "Suatu hari ada anak presiden kaya raya yang diusir dari rumah sebab ketahuan hamil di luar nikah dengan laki-laki yang nggak sudi dikenal orang tuanya. Seluruh fasilitas perempuan itu dicabut, dan dia dibiarkan tinggal dan hidup bersama anak di kandungan dalam sebuah kemiskinan paling melarat yang nggak pernah mampu diimajinasikan siapa pun termasuk saya. Teman dekatnya. Perempuan tersebut melakukan segala macam cara untuk bertahan demi melahirkan dan membesarkan anaknya. Kalian tahu, berperang melawan kemiskinan di barak kemiskinan adalah peperangan paling hina yang tanpa sadar membuatnya menjadi perempuan tangguh yang pernah diciptakan dunia."

Keretek itu Pakin isap lamat-lamat. Ia menengadah, lantas menyemburkan asapnya ke atas dengan mata tertutup. Ia mengurut pangkal hidung setelah itu. Ditatapnya kembali kedua pemuda di hadapannya dengan tatapan paling tidak mampu ia jabarkan dengan narasi. Sebab sedih, dendam, dan sakit hati itu meremukkan batang pertahanannya sekali lagi dalam hidup. Sial! Ia belum meminum haloperidol dan sertralinenya dua hari ini.

"Kalian tahu, bahkan di tahap kemiskinan paling rendah, perempuan itu masihlah menginginkan yang terbaik buat anaknya. Pada hari-hari gajian ia akan membuatkan bayam kocok supaya anaknya tumbuh sehat dan kuat, yang mana ketika duit gajiannya habis ia akan menyajikan air gula agar otak anaknya tidak kekurangan gula. Ia bersikeras untuk mengentaskan anaknya dalam kebodohan, maka yang ia lakukan setiap hari adalah mengais koran bekas di tumpukan sampah di perkampungan kumuh agar bisa ia berikan kepada anaknya untuk dijadikan bahan bacaan." Pakin mendesah, menikmati ceritanya sambil mendengarkan suara makian Bunda di dapur. Padahal ia sudah menghabiskan bayam kocok pagi ini, tapi Pakin tidak tahu kenapa Bunda selalu mengomel dan mengomel. Rumah mereka agak-agaknya hanya akan sunyi ketika waktu tidur tiba, sebab malam rasanya masih riuh oleh desah persetubuhan Bunda dengan kliennya.

"Perjuangan perempuan itu mendapatkan gizi baik untuk anaknya di limbah kemiskinan sampai pada tahap berjuang mendapatkan sebungkus nasi Jumat berkah yang disediakan musala terdekat rumahnya. Yang apabila jatah Jumat berkahnya diberikan kepada si miskin lainnya, perempuan itu akan menyalak dan bertarung melawan marbot musala."

Pakin jelas seorang storry teller ulung. Ceritanya yang runut, dan dijabarkan dalam intonasi jelas, dengan tarikan napas di waktu tepat seperti memberi dinamika untuk menarik ulur emosi dalam ceritanya. Force tidak pernah bisa meragukan Pakin dalam gelanggang kesustraan. Walaupun ia tidak tahu ke mana muara dari semua dongeng itu, ia takzim mendengarkan. Di sampingnya, Book menyamankan posisi duduk sebab narasi yang diriwayatkan Pakin mengisi kebutuhannya akan literasi.

"Nggak ada yang bisa mengalahkan perempuan itu, bahkan ketika dia direpresi pabrik tempat dia bekerja. Kalian tahu apa yang terjadi di sana? Tiga puluh enam laki-laki keparat memerkosanya hanya karena dia protes tentang pemotongan pajak yang besarannya melebihi peraturan pemerintah. Tiga puluh enam laki-laki menunjukkan kekuasaan tanpa konsensus. Hidup perempuan itu tetap berjalan kendati anaknya nggak sengaja melihat dubur dan vaginanya mengeluarkan banyak darah di kamar mandi. Kalian harus tahu, malam di mana anak itu melihat darah keluar dari lubang pembuangan ibunya, adalah malam paling mengerikan yang pernah ada. Ia menangis sambil membekap mulut sebab takut Bunda mendengarkan suaranya. Ia takut Bunda akan mati, karena ia nggak memiliki siapa-siapa selain Bunda dan kemiskinan terkutuk itu."

Pakin kecil itu tengah merangkum air ke dalam gelas ketika dia mendengar suara rintihan Bunda di kamar mandi. Dengan langkah besar tapi pelan, Pakin Kecil mendekat, dan mengintip dari lubang tirai. Bunda ada di sana. Darah keluar banyak dari selangkangan. Perempuan itu terisak-isak sambil memukul-mukuli kepala. Betapa itu adalah malam paling menakutkan yang pernah ada. Ia sering melihat bundanya menangis sendirian di kamar mandi, tapi tidak pernah melihat tubuh Bunda bisa mengeluarkan darah sebanyak itu. Itu adalah kali pertama bagi Pakin merasakan sakit yang sebenar-benarnya. Pertama kali bagi Pakin mengenal bahwa penderitaan paling hina adalah ketidakberdayaan melawan kemiskinan. Karena bahkan ketika nyawa dalam keadaan sekarat, Bunda tetap tidak berdaya mengobati kemaluannya kepada para profesional.

"Dia dikeluarkan di pabrik itu tanpa pesangon, dan menjadikannya beralih profesi sebagai pelacur untuk menghidupi si kecil yang masih butuh dia buatkan bayam kocok." Cerita Pakin berlanjut. Rasa sakit yang selama setahun ini telah mampu padam pun, meliuk-liuk sebagaimana api unggun di bumi perkemahan. "Tapi yang nggak pernah perempuan itu sangka adalah, pemerkosaan itu melahirkan penyakit mematikan yang membuatnya kesulitan membedakan alam nyata dan imajinasi. Penyakit yang membuatnya melihat sosok kekasih di tubuh anak laki-lakinya. Penyakit yang membuatnya mencium dan mengajak bersetubuh kekasihnya. Ketika anaknya berontak dan mendorong Bunda dengan keras, perempuan itu barulah sadar bahwa dia telah melecehkan anak kandungnya sendiri." Suara Pakin tersendat. Air mata berembun di korneanya. Rahangnya mengetat menahan emosi. Ingatan malam di mana ia berseteru hebat dengan Bunda terpaksa ia hidupkan demi sebuah balas dendam. Dan rasanya, demi Tuhan, sakit sekali. Sakit sekali sampai rasa-rasanya Pakin tidak kuasa. "Perempuan itu tersentak, merasa bersalah luar biasa. Kemudian memutuskan bunuh diri sebab hantu-hantu yang datang membersamai penyakitnya justru menuduh ini dan itu, terus menghakimi ini dan itu, terus memaksanya ini dan itu. Ia mati dengan gantung diri. Dan kematian paling menyedihkan itu turut mengubur kisah pemerkosaan 36 laki-laki di pabriknya. Sampai sekarang bahkan nggak ada yang tahu tubuh kurus itu pernah dirusak 36 laki-laki."

Force menoleh ke arah Book karena merasa pernah mendengar kisah ini entah di mana. Keningnya mengerut melihat Pakin yang kini membakar rokok keduanya.

"Yang bisa dilakukan anak itu adalah mematung ketika hari ia berkunjung untuk mengantarkan makanan di rumah sakit jiwa, yang ia lihat justru tubuh bundanya sudah membeku dengan kepala tergantung seprai rumah sakit. Hidup anak itu benar-benar hancur luar biasa. Tapi ia terus hidup sebab dia nggak memiliki keberanian bunuh diri sebagaimana Bunda." Pakin melemparkan tatapannya ke arah balkon. Lampu-lampu kota terlihat seperti kumpulan bintang yang tumpah ke dalam periuk. Itu mengingatkannya pada jalan pulang. Jalan pulang yang telah lama hilang. Pakin kangen Bunda. "Yang nggak pernah disangka anak laki-laki itu adalah, dia tumbuh menjadi manusia nggak memiliki hati pada siapa pun. Ia tumbuh menjadi penjahat. Dan penjahat yang dilahirkan oleh kemiskinan adalah sebenar-benarnya keburukan yang pernah ada."

Pakin mengeluarkan ponsel dari dalam saku, mengaktifkan kembali ponselnya, ratusan pesan juga panggilan tidak terjawab membanjiri layar gawainya. Ia tidak menghiraukan itu semua. Fokusnya ke arah penyimpanan. Membuka sebuah folder, lalu memencet video yang ia dapatkan dari Ganesha saat makan malam tadi. Ratusan orang yang terdiri dari pejabat, artis, pimpinan partai, pemuka agama, dan para petinggi negara lainnya tampak tersyuting jelas sedang melakukan persetubuhan ramai-ramai. Kamera itu juga menampilkan Force dan Book tengah menyodomi entah siapa dengan begitu nyata. Ia meletakkan ponsel itu di meja di hadapan Force dan Book, membuat kedua orang itu kontan berdiri dalam keterkejutan rupa-rupa.

"Cari 36 laki-laki yang sudah memerkosa bunda saya. Remukkan hidup mereka sampai tak tersisa. Sebarkan beritanya ke media massa sampai seluruh Indonesia gemetar sewaktu menyebut Annelies Kartika Paraningrat dengan lidah mereka. Saya nggak peduli apakah keturunan mereka akan menderita dengan perbuatan orang tua yang sama sekali nggak ada sangkut pautnya dengan mereka. Saya hanya ingin memberikan keadilan kepada Bunda agar Bunda berisitirahat dengan tenang. Negara ini adalah seburuk-buruknya penegak keadilan, apalagi jika kamu anak perempuan miskin. Maka, sayalah yang akan memberikan keadilan kepada Bunda dan memberikan penghakiman kepada 36 manusia keparat itu."

"Apa maksudmu, Pakin? Kamu dapat dari mana video ini? Kamu mau memeras saya hanya dari video seperti ini? Kamu salah besar, Pakin. Saya bisa mengcounter berita video ini dengan narasi yang bisa berbalik menuduh ke arah kamu. Kamu salah mencari musuh. Saya memiliki banyak anak di banyak sektor. Bahkan jika pun saya salah, saya bisa meludahi hukum di sini. Tapi jelas kamu tidak akan pernah bisa lepas dari tangan saya."

"Dan apakah Mas pikir Mas sudah menginisiasi pakar IT di seluruh dunia untuk mengelabui orang-orang bodoh di Indonesia? Kalau-kalau Mas lupa, saya adalah Pangeran Brussels. Hal-hal untuk mengetahui apakah ini video asli atau bukan, bukan suatu perkara sulit bagi saya." Pakin berbisik keji. Suara desisannya serupa dengan ketika ia melakukan monolog tahun lalu. Barulah saat itu genta seperti di tabuh di kepala Force kenapa ia seperti mengenal cerita yang dibawa Pakin. Itu jelas Perempuan Pukul Empat Pagi yang berbulan-bulan dia gauli. "Kenapa kalian nggak bertanya sudah saya kirim ke mana saja video ini? Kita lihat seberapa chaosnya jika video ini sampai di tangan yang tepat. Para pejabat itu akan terseret. Gelombang simpatisannya akan memberikan dukungan penuh, tapi para oposisi akan menggoreng narasi paling keji untuk menghancurkannya. Dan jika ada satu saja dari anggota Moving to Heaven ketahuan tentang ritual seks ini, maka seperti orang tenggelam, ia akan menarik siapa pun untuk tenggelam bersama-sama." Mata Pakin berpijar menakutkan. Dendam dan benci itu menyalak-nyalak seperti anjing kelaparan. "Lalu apabila itu terjadi, apakah sudah saatnya saya menyiapkan pesta kehancuran buat Moving to Heaven? Mas belum pernah merasakan kehancuran, kan? Saya tunjukkan, Mas. Saya akrab banget sama mereka."

Force meninju udara dengan kesal, kemudian mengacak-racak rambut dan berjalan mondar-mandir. Di sampingnya, Book mulai menggigit-gigiti kuku jempol. Sama sekali tidak mengira, laki-laki manis yang ia pungut ketika dilanda kesulitan membayar UKT, justru membawakan keranda kepada mereka — hal yang sampai sekarang tidak pernah mampu dilakukan para pejabat yang menjadi anggota.

"Keluarkan Luna dari Moving to Heaven, dan segera cari 36 orang itu. Remukkan keduanya sampai mereka merasakan hidup segan, mati pun tak mau. Saya nggak sudi orang-orang seperti Luna dan 36 laki-laki itu melata bebas di atas bumi di saat saya dan Bunda meraskan kehancuran di sepanjang kami hidup. Anggap ini hukuman buat kalian karena telah berani menghancurkan saya. Kalian tidak pernah tahu kekuatan yang bisa dilahirkan dari limbah kemiskinan itu akan semengerikan apa. Maka mulai sekarang lebih baik kalian berhati-hati dengan saya. Saya bisa menjadi murid paling penurut di hadapan kalian. Tapi saya juga bisa menjelma tuhan yang menentukan nasib kalian. Jangan sampai gemilang Moving to Heaven hancur di tangan mahasiswa menyedihkan seperti saya. Betapa itu merupakan sebuah kemalangan berkepanjangan." Pakin mematikan rokok di dalam asbak, kemudian tersenyum lelah menatap kedua seniornya dengan sayang. "Sudah subuh. Saya pulang dulu. Saya tunggu kabar baiknya. Terima kasih."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro