Bab 5 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pakin mengunci pintu begitu masuk ke kamar Ohm. Dibiarkannya Neo menunggu di emperan. Untuk sekarang, ia masih belum bisa berhadapan langsung dengan Neo. Dan ketika ia mengudarakan keinginan tersebut, Neo tidak memiliki jawaban selain terdiam, mengangguk, membiarkan Pakin masuk, lantas membakar sebatang rokok guna menemaninya yang dikepung angin subuh. Pakin ingin menenteramkan batinnya yang tiba-tiba mengamuk akibat utara yang Neo loloskan. Barang satu atau dua jam saja. Ia tidak ingin meluaskan suasana hatinya kepada Neo, itu akan berakhir buruk. Lidahnya ketika marah adalah musibah. Ia bisa mendatangkan kematian, dan Pakin tidak ingin kehilangan Neo kendati manusia keparat itu telah mampu menghalai-balai hidupnya.

Pakin pikir berita yang dibawa Drake sudah cukup mampu menggegarkan otak, tapi ternyata ia keliru. Keegoisan yang dilemparkan Neo lebih dari cukup menghancurkan dunianya. Ayolah, ini bahkan bukan bulan April, kenapa hari-hari terisi penuh dengan kekonyolan? Tidak cukupkah Neo menyakiti Pakin dengan berita pertunangannya yang entah kapan itu? Dia masih mau memaksa Pakin untuk tidak meninggalkannya? Lalu bagaimana dengan Pakin?Bagaimana dengan Si Keriting? Apakah selamanya ia tidak pernah bisa dipandang sama tinggi selain hanya menjadi pelengkap seperti ornamen dalam hidupnya?

"Kok kamu nggak ngajak Neo mas—"

Sebelum Ohm pungkas menyerukan kalimatnya, mulutnya yang bau tembaku Pakin renggut dalam sebuah ciuman. Tidak pernah, di sepanjang ia berkenalan dengan penulis itu, Pakin memiliki keberanian sesinting ini. Ia memang beberapa kali memimpikan secara erotis keberadaan Ohm, tapi menyentuhnya lebih dari seorang teman, adalah musibah yang harus dia jauhi.

Tapi ketika bibir itu ia kulum, segala angkara yang bergulung-gulung layaknya buih ombak di dalam dadanya, pecah, tergantikan gairah yang meletup-letup. Mungkin satu atau dua detik berikutnya Pakin akan mendapatkan hantaman keras dari Ohm. Itu hal yang wajar. Pria tolol mana yang sudi dicium secara mendadak oleh—sialnya—sesama pria? Tapi yang mengejutkan adalah, Pakin tidak mendapat pukulan itu.

Sebagai gantinya, Ohm menangkup rahang Pakin, lantas memperdalam pagutan yang si keriting mulai. Tekstur bibir Ohm terasa kasar, tapi ciumannya begitu lembut. Menyentuh titik-titik yang tidak pernah Pakin rasakan sebelumnya. Ia melumat bibir Pakin tanpa sungkan, lantas menggigitnya, dan membuat Pakin melenguh kecil. Hal itu Ohm gunakan untuk memasukkan lidahnya ke liang mulut Pakin.

Man, rasanya benar-benar seperti ekstasi. Apa yang baru saja Ohm makan dan minum, kenapa ada perisa vanilla dari lidahnya? Lidah itu Pakin isap kuat, berharap ia mampu mencicipi makanan yang Ohm santap.

Ludah mereka saling bertubrukan seiring dengan ciuman yang semakin mengganas. Dingin yang menggantung di pucuk subuh seolah meranggas. Dan gairah yang terbakar akibat ciuman sialan ini merontokkan biji-biji keringat dari masing-masing badan.

Ohm mendorong tubuh Pakin hingga bersitatap dengan lemari. Ia tidak tahu efek dari berciuman dengan sang sahabat bisa begitu dahsyat. Ou... jika memungkinkan ia ingin bersembahyang di atas ciuman ini. Mulut Pakin yang ada di dalam pagutannya, lidah kenyal Pakin yang memenuhi ruang kosong di dalam mulutnya, napas panas Pakin yang menampar wajahnya, membuat Ohm kehilangan kewarasan. Semua kata cinta yang ia sulam di cerpen-cerpen maupun novel-novelnya bahkan tidak layak disebut cinta. Mereka semua murahan, semurah bagaimana ia meruntuhkan akal demi memerjuangkan nafsu yang secara mengejutkan membelai keegoisannya.

"Engh...." Sewaktu Pakin mendesis keenakan, ribuan endorphin seperti membanjiri tulang-tulang Ohm. Apa-apaan itu? Kenapa laki-laki yang kehadirannya tidak pernah ia pandang, mampu melucuti segala kesopanan yang ia junjung tinggi selama ini? Ke mana hadirnya pria menyebalkan yang selalu mengganggu ketenangannya? Kenapa ia tiba-tiba menampakkan diri dan menawarkan secawan racun semenggairahkan ini?

Ohm tersesat. Dan ia bertawadu di dalam ketersesatannya ini. Ia tidak pernah mengimajinasikan mampu salah jalan dalam mimbar semenggiurkan ganja sebelumnya. Tapi apa yang Pakin tawarkan dalam ciuman subuh ini, sepertinya melebihi apa yang ganja miliki.

Tangan Ohm menekan leher Pakin ketika ia mulai mencium rahang sang kawan. Demi Tuhan, itu adalah keputusan yang salah. Sengatan panas dari berahi yang membabi buta Pakin di tangan Ohm, mendengkingkan nafsu purba yang selama ini rebah di dalam hidupnya. Kulitnya terasa melepuh, tapi gelenyar nikmat yang diakibatkannya menikam dalam-dalam.

Apa ini Tuhan? Kenapa rasanya begitu enak? Apalagi ketika Pakin mengeluskan selangkangannya di paha Ohm, cerpenis asal Solo tersebut benar-benar lengar dibuatnya. Sensasi tersebut memantulkan keberanian Ohm. Ia semakin sinting menjamah kulit Pakin. Pundaknya, lengannya, rahangnya, kulit kepalanya, dan senggolan-senggolan itu benar-benar melonyotkan hasratnya.

"Enggh... Ohm... apa yang lo lakukan?"

Pakin tidak pernah dipermainkan seperti ini. Persetubuhannya selama ini adalah brutal dan beringas. Ia tidak pernah dimanusiakan siapa pun selama ngentot. Dan Pakin pun enggan memandang sama tinggi laki-laki yang mengerami lubang pembuangannya. Selalu ada perbudakan di setiap sanggamanya. Entah ia atau lawan main, akan menempati posisi itu. Tapi, lihat Ohm sekarang. Ia memperlakukannya seperti sebuah tembikar yang begitu rapuh. Sentuhan-sentuhannya sangat lembut, seolah berkata bahwa ia memang pantas disentuh sedemikian intim. Seolah berkata bahwa memang sejatinya seperti inilah manusia diperlakukan. Penuh nafsu, tapi tidak diperbudak. Begitu bergairah, tapi layak dipandang sama lurus.

Pakin ingin menangis rasanya. Setelah pengakuan yang diutarakan Neo dan keegoisannya yang meremukkan tempurung kepala, mendapati masih ada satu manusia yang menyetubuhinya begitu lembut, ingin Pakin berzikir kepada sang pencipta, bahwa ia telah mencapai titik itu. Titik cukup dalam hidup. Ia tidak ingin lagi mencari, sebab apa yang ia miliki telah cukup mengisi kekosongan yang melompong di sudut hatinya.

Ohm mencium kening Pakin, seperti menjatuhkan fatwa bahwa jidat ini adalah miliknya. Ia lantas mencium kedua kelopak mata Pakin yang tertutup, seakan-akan mengabarkan pada dunia, bahwa mata-mata itu tidak akan menatap ke lain orang selain dirinya. Bibir Ohm menibani pucuk hidung Pakin yang bangir, seolah-olah ingin menunjukkan kepada sang empu, bahwa ia tidak akan mampu membaui siapa pun selain aroma tubuhnya. Ciuman itu merambat ke pipi bundarPakin. Ia menekan kuat, mencecap beringas, tapi begitu hati-hati, seolah takut pipi semulus porcelain tersebut mampu hancur dari kecupannya.

Ouh... Pakin mengaduh, merintih nikmat. Ia mengalungkan kedua tangan di leher Ohm, dan melesakkan jari-jarinya di antara rambut sang penulis. Ia lantas menarik semakin dekat, dan ciuman itu seumpama biji kenari yang jatuh tersenggol angin kering kemarau. Begitu lekat, begitu akrab, begitu sensual. Pakin menginginkan lebih, tapi ia bertafakur atas sentuhan tangan Ohm yang terasa beribadah di atas tubuhnya.

Lidah Ohm terjulur, lantas meliuk di lubang kuping Pakin. Sensasi geli yang diakibatkan membuat Pakin terasa panas. Ia mendesah tidak keruan. Apalagi sewaktu Ohm mengeluar-masukkan lidahnya di telinga, rasanya seperti menelan sebiji kecubung. Pakin belingsatan. Ia semakin menekan kemaluan di paha Ohm, membuat nafsunya meledak bak kembang api tahun baru.

Menyadari bahwa mungkin ini adalah kelemahan sang kawan, Ohm semakin bergembira. Keinginan bersetubuhnya sekonyong-konyong mendeking layaknya anjing. Ia membawa tangan Pakin ke atas, dan mengunci mereka di sana. Lidahnya kian gencar menyetubuhi liang kuping tersebut. Nakal, ia menggigit daun telinga Pakin. Teksturnya yang lunak, meleleh di dalam mulutnya. Kuping itu seperti tidak memiliki harga diri. Lidah Ohm memorandakannya—mencecap, mengisap, menyedot, merasakan, lebih dalam, lebih dalam—seperti gulingan angin lesus.

Tuhan. Ini nikmat. Pakin merasa berantakan. Tidak pernah, di sepanjang lintasannya di dunia persetubuhan, ada orang yang memanjakan kupingnya. Dan lagi, apa yang indah dari kuping, coba? Putingnya yang berwarna merah muda jelas lebih menggiurkan daripada daun kupingnya. Tapi coba lihat laki-laki ini. Ia menjamah setiap inci wajah Pakin. Ia hancurkan pertahanan kuping Pakin. Hal itu kian menggembungkan nafsu Pakin. Perutnya seperti terasa keram. Kelaminnya berdenyut-denyut hebat, yang ketika menyenggol paha Ohm, gairah itu berserakan seumpama dandelion.

"Ohm...." Pakin memohon, layaknya bayi yang membutuhkan susu.

Kesadaran Ohm terpelanting ugal-ugalan. Cokelat mata kue pan yang menatapnya penuh harap itu, benar-benar tidak pernah ia lihat. Matanya yang bulat, bibirnya yang basah, wajahnya yang berpendar akibat lelehan ludahnya, dan pantulan lampu tidur kuning keemasan yang menyiram permukaan tubuhnya, menjadikan sosok itu adalah gatra penuh pesona yang sedang ditelanjangi oleh sensualitas.

Demi Tuhan, ini indah. Ini indah. Ini indah.

Jika diizinkan, Ohm ingin melakukan sakramen terhadap tatapan mata penuh damba itu dan mengabadikannya dalam barisan puisi paling cabul yang pernah dia buat. Tidak pernah ada yang memohon sebegitu rapatnya dalam hidup Ohm. Dan mendapati ada manusia yang meminta kehadirannya—kendati dalam prosa erotisme—membuat Ohm merasa ia adalah sebenar-benarnya manusia. Ia menangkup rahang Pakin, dan kembali memagutnya dalam. Dihirupnya aroma tubuh Pakin. Ada perpaduan melon, tembakau, dan mentol yang menyeruak di sana, yang kesemuannya membuat Ohm seperti hilang ingatan. Ia melenguh, memperdalam ciuman. Ya, Tuhan. Ingin ia merangkum kata permohonan tadi dalam mulutnya yang kering. Ingin ia mengabadikan setiap momen yang begitu ajaib dalam hidupnya ini dan membingkainya dalam kenangan. Kenapa ada manusia indah senakal ini? Kenapa ada gairah polos seberingas ini?

"Gue mohon, Ohm. Sentuh gue."

Mulai detik ini... dia adalah miliknya. Milikku.

Tangan Ohm menyingkap kaus Pakin, lantas menjatuhkan sentuhan di kulit perut Pakin. Apa ini? Kenapa tangannya terasa terbakar begitu menyentuh perut sang kawan? Ohm menyembunyikan kelemahannya dalam ciuman di leher Pakin. Ia mengakui bahwa ia tidak sanggup. Tidak sanggup untuk menarik apa yang telah ia runtuhkan. Ia telah tercebur dalam luapan bernama nafsu. Yang secara menggembirakan nafsu itu bernama Pakin. Hasrat itu bernama Pakin. Keinginan itu bernama Pakin. Sial. Kenapa hanya dengan membatinkan namanya, Ohm seolah-olah sanggup menyerahkan harga dirinya di telapak kaki laki-laki itu?

Ia hidu tiap jengkal daging sang kawan, dan ia biarkan dirinya larung dalam erotisme yang paling binal, erotisme paling banal.

Pakin kembali merintih. Apalagi sewaktu Ohm mengisap kuat kulit lehernya, mencecapnya rakus, kemudian menggigitnya kuat, Pakin seperti berserak-serak di tempat. Rasanya sakit, tapi gelenyar nikmat yang diakibatkannya membuat sakit itu menjadi candu. Ia menengadah, memberi akses semakin leluasa kepada Ohm guna mencabuli lehernya. Menggigit bibir sebab tidak kuasa menahan berahi, Pakinmenekan keras kepala Ohm di lehernya. Napasnya terengah-engah. Darahnya seperti mendidih. Keringat semakin gencar berselancar.

Sewaktu jari-jemari Ohm menyenggol putting Pakin, ia tidak pernah mengira respons sang kawan bisa semenggiurkan ini. Pakin memekik, melaungkan namanya secara cabul dan begitu memikat. Tidak memedulikan suara desahannya didengar oleh penghuni kos kamar sebelah, Pakin seolah-olah ingin menunjukkan sejatinya manusia purba seperti apa.

"Lo... mau ngebunuh gue?" Pakin meracau tidak jelas ketika Ohm mempermainkan putingnya secara tidak senonoh. Ia memijit, lantas menjepitnya di antara ruas-ruas jari. Pakin kalang kabut. Napasnya tidak keru-keruan. Perpaduan dari ciuman, gigitan, dan cecapan dilehernya dengan peluntiran putingnya telah benar-benar membuatnya seperti orang sinting.

Penulis ini sepertinya tahu bagaimana cara menyenangkan lawan ngentotnya. Karena gerah yang memeluk terasa seolah-olah bisa membakarnya secara harfiah, Ohm membantu Pakin melepaskan kaus yang ia kenakan. Ia mematung sejenak, lantas memejamkan mata.

Sial, jika dosa bisa terasa senikmat ini, maka izinkan Ohm menggauli dosa itu di sepanjang hidupnya. Setuntas napasnya. Kembali Ohm mendaratkan ciuman. Tulang selangka Pakin ia nodai dengan gigitan yang begitu merangsang. Celana dalamnya terasa sesak. Penisnya berdenyut-denyut memohon pelepasan. Ia adu kelaminnya dan kelamin Pakin yang masih sama-sama terbungkus celana. Dan ini benar-benar membuatnya kentir. Ledakan euphoria itu tidak mampu Ohm definisikan, bahkan ketika ia telah menghabiskan hampir seumur hidupnya dengan seni menulis. Di mana ia bisa menjumpai diksi yang mampu mengejawantahkan apa yang ia rasakan saat ini?

"Kamu... indah banget, Kin. Apalagi waktu manggil namaku."

Pakin bisa gila dipermainkan seperti ini. Orang sinting mana yang menyebutnya indah ketika ingin melakukan kawin? Tidak ada. Hanya penulis sialan ini, yang lebih sialannya, mendengarnya dipuja seperti itu, membuat Pakin semakin terangsang. Ia mengalungkan kedua kakinya di pinggul Ohm ketika laki-laki itu mengajaknya untuk merebahkan diri di kasur.

Ohm lantas meluncurkan aksinya. Ia tidak pernah benar-benar mengingat bagaimana rasanya menyusu. Tapi ketika lidahnya menjilat putting Pakin, Ohm seperti orang kesurupan. Sensasinya membuyarkan seluruh kewarasan. Tumitnya terasa melayang. Darah seperti berkumpul di kepala penisnya, dan meledak penuh gula-gula di sana. Seperti orang sinting ia mencecap putting kiri Pakin, sementara tangannya terus memijit dan memilin putting kanan sang kawan.

Nikmat macam apa yang kaudustakan ini, Tuhan? Ohm menggerung nelangsa. Ia tidak pernah merasakan lezat paling cabul dari makhluk bernama manusia. Jika kegembiraannya selama ini terbatas dari melihat namanya di halaman koran-koran, maka ia tidak tahu gembira macam apa yang kini meletup-letup di tubuhnya akibat menggauli sang kawan.

Aroma tubuh Pakin membuatnya khawatir. Khawatir apabila ia kecanduan, ia tidak bisa memilikinya. Khawatir apabila ia menyembahnya, berhala itu tak mampu ia rengkuh. Khawatir apabila ia terlalu sayang, ia tidak lagi ingin menghancurkannya—selain melindunginya sebagaimana ia melindungi otaknya untuk tetap berakrobat di dunia literasi. Ia sangat mencintai aroma ini. Ada keringat di sana, bebauan melon yang menggugah selera, asam yang berkelindan dengan nafsu.

Ini bahaya, ia tidak bisa menghentikan seluruh hiruk pikuk dalam tubuhnya; dalam kepalanya.

Gigi Ohm yang beradu dengan tonjolan mungil itu mungkin sekarang membentuk kawan. Teman baru yang saling mengenal, lantas membentuk ikatan bernama gairah. Ohm seperti gelap mata. Ia mencumbui putting Pakin seolah tidak ada hari esok, seolah subuh yang sekarang bertempiar adalah subuh terakhir di sepanjang hidupnya.

"Enghhh... Ohm... Enak banget."

Ou.... Dan dengar bagaimana laki-laki itu memohon, seluruh keegoisan Ohm bernama laki-laki roboh di tungkai kakinya. Ia mengelus selangkangan Pakin, dan mata berkabut yang penuh harap itu adalah kado terindah yang pernah fajar titipkan.

Pakin semakin membuka selangkangan, merasakan kedutan nikmat di penisnya akibat elusan tidak wajar yang Ohm berikan. Ia merintih, rasanya sangat sesak sebab jeans yang masih membalut seperti memerangkap batang penisnya laksana buih dalam botol bir. Perutnya menegang. Rasanya sakit, tapi denyutan kemaluannya menggantikan sakit itu.

Tangan Ohm benar-benar tidak manusiawi. Ia terus mengelus kemaluan itu dengan tatapan yang begitu meremangkan bulu kuduk. Hitam yang begitu menawan, dingin tapi memberikan keteduhan, kejam tapi memberikan perlindungan. Pakin tidak bisa menarasikan bagaimana ia termangu dengan tatapan itu. biasanya, ketika ia bersetubuh, laki-laki yang mengelus kelaminnya akan menggenapi tindakan cabul itu dengan menciumnya. Tapi tidak dengan laki-laki itu. Tidak dengan Ohm. Ia biarkan pria di bawahnya menggelinjang kenikmatan. Kulitnya yang seputih pualam merekah merah, cokelat matanya menatap sayu, dan bibirnya yang bengkak melumerkan ludahnya.

Bagaimana ia tidak terpesona dengan pemandangan seindah ini, coba?

"Apa yang terjadi padamu, Kin?" tanyanya pilu. Masih terus mengelus tempat di mana Pakin berantakan dalam sekali sentak. "Kenapa kamu menunjukkan ketelanjanganmu pagi ini? Nggak bisa dimungkiri kalau aku terkejut, Kin. Kamu nggak pernah serapuh ini. Semua kesakitanmu yang aku nggak pernah tahu karena apa, selalu mampu kamu tutupi rapat-rapat di balik matamu. Kenapa kali ini kamu... menyerah? Kesakitan apa yang mengganggumu kali ini, Kin?"

Pakin... tertegun. Matanya nanap menatap Ohm. Laki-laki itu... telak menghancurkan dirinya. Dalam satu detik yang begitu menyesakkan, ia menangis tanpa air mata; terisak-isak sangat sesak sebab air mata yang meranggas sejak 16 tahun itu benar-benar lupa caranya jalan pulang. Ia tersedu sedan seperti bayi kehilangan putting Bunda.

"Oh... Kin." Ohm mencium kelopak mata Pakin. "Bagi sakitmu padaku, Kin. Aku nggak peduli kalau aku nggak pernah ada dalam pilihanmu selama ini, tapi kamu bisa memercayaiku, Kin. Kamu bisa memercayaiku."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro