Bab 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika kalian sampai di bab ini tapi belum baca ulang bab 1 - 5 better kalian reread kos bab 1 - 5 beda banget selain hanya tokoh-tokohnya saja. dan itu sambung menyambung dengan alur di bab 6 sampai tamat. terima kasih. selamat membaca


"Kenapa wajah lo bonyok? Habis diseruduk banteng mana lo, Fourth?" Pakin mengeluarkan tanya begitu mobil van yang ia naiki bersama rombongan mapala GMM Collage sampai di pos perizinan Gunung Arujuno –Welirang.

Fourth Nattawat, mahasiswa DKV tingkat dua, hanya berdecih seraya memutar bola mata. "Lucu banget lo, Bang. Makasih, deh. Kita naik kereta bareng dari kemarin sore, dan bisa-bisanya lo baru nanyain kabar gue. Cukup tahu aja sih gue sama tabiat lo, Bang."

Pakin tertawa lepas. Ia beristirahat bersama belasan anggota pendakian lainnya sementara Ohm mengurusi simaksi anggota yang ia bawa. Sebenarnya kasihan juga membiarkan Ohm mengurusi keperluan sendiri. Tapi melihat ada Neo Trai yang gabung membantunya, menarik kembali keinginan Pakin mengulurkan pertolongan.

"Biasa, Bang. Menang balapan tapi musuhnya nggak terima dikalahkan sama bocil ini. Jadi deh, dia dihajar rame-rame pas lagi di Petra." Winny, teman seujurusan Fourth, menjawab pertanyaan sang kating. Ia menerima pemberian nasi kotak dari seorang porter dan, bersama yang lain, menyantap menu nasi rames tersebut sebelum acara pendakian dimulai. "Gue sebenarnya udah khawatir, Bang. Malam itu rencananya gue mau nemenin dia kerja. Tapi tai lah, adik lo keras kepalanya kayak apa. Bisa-bisa dia kabur kalau gue atau Satang nemein dia."

"Sok jagoan lo, Cil," salak Pakin, menggigit gemas ayam bakar yang bumbunya begitu menendang.

"Please, deh, kalian. Gue nggak sekecil yang kalian kira." Fourth mengambil sayuran yang Pakin pinggirkan di bungkus nasinya. "Dan gue bisa berdiri di atas kaki gue. Cuma luka kecil kayak gini, gue nggak bakal mati dengan mudah. Gue udah pernah mendapatkan yang lebih buruk dari ini, omong-omong."

Ada sesuatu yang sepertinya tercebur dalam cawan kekhawatiran ketika sang adik tingkat mengudarakan kalimat barusan. Pakin melarikan pandangan pada seniman cilik tersebut—sebenarnya tidak cilik seperti yang Fourth aklamasikan, tapi di antara jajaran teman-temannya, tinggi tubuh Fourth yang tidak mampu mengejar mereka, membuat para kawan sering meledeknya kecil. Ia mengenal Fourth ketika sang adik tingkat meminta pertolongan di hari pertama dia mengikut ospek kampus. Cowok tersebut melupakan name tag yang merupakan hal wajib dibawa ketika ospek. Dan Pakin yang saat itu tengah sibuk mengantre fotocopy di seberang kampus, membantunya begitu saja.

Sebenarnya Pakin tidak begitu mengenal Fourth. Laki-laki itu memang ceria jika berada di lingkungan yang ia kenal. Tapi di luar itu, Pakin bahkan menyangsikan diri bahwa ia tidak ingin berurusan dengan Fourth. Karena percayalah, Fourth Nattawat ketika dalam mode diam adalah musibah. Diamnya begitu mengerikan. Diamnya menguarkan aura mencekam. Mata cokelatnya akan menatap tajam, dan hunusan dari pandangan itu mampu menggetarkan keberanian siapa pun yang menatap.

Pakin tidak tahu apa yang sebenarnya disembunyikan di balik cokelat matanya yang berair laksana embun pukul setengah lima pagi. Tapi rupa-rupa apa pun yang matanya pancarkan, selalu mampu membuat Pakin memiliki keinginan untuk merengkuhnya dalam dekapan perlindungan. Pakin sangat yakin, seperti kata Fourth barusan, ada luka entah apa yang membuat pemuda tersebut begitu menakutkan.

"Lo baru keluar dari rumah sakit minggu lalu, Fourth. Apakah nggak bahaya kalau lo ikut pendakian ini?" Satang bertanya. Seperti Winny, Satang satu rumpun dengan Fourth. Ketiga pemuda itu sering mengusili kenyamanan Pakin menikmati kampus tahun ketiganya. Mereka bisa datang ke kos-kosan pemuda berambut keriting tersebut tanpa pemberitahuan, dan nginep di sana bahkan sampai berminggu-minggu. Membuat persediaan sabun dan samponya sering habis sebelum waktunya. Emang anak setan.

"Gue udah bilang, kan? Gue nggak akan ngebiarin lo mendaki Arjuno seorang diri. Lo baru aja mendaki gunung. Dan bagaimana gue bisa ngelepasin lo begitu saja?" Fourth memutar bola mata. Maksudnya, ayolah. Tidakkah Satang sadar bahwa eksistensinya berharga bagi orang lain? Dan memang pendakian ini dipantau penuh oleh Mapala, tapi sahabat mana yang tega membiarkan temannya mendaki sendiri sementara dia memiliki waktu dan tenaga untuk menemani? "Kalau lo nggak ngotot ikut pendakian kali ini, gue juga ogah ikutan. Lebih baik rebahan di rumah."

"Lo nggak suka ketika lo disebut bocil, tapi kelakuan lo seperti ini seolah-olah lo meremehkan kemampuan bertahan gue." Satang tidak terima. Di sampingnya, Winny memutar bola mata dengan lelah. Drama opera sabun jilid keberapa lagi ini dari pasangan tolol itu? Ia melirik Pakin, dan sang kakak tingkat geleng-geleng kepala melihat lakon dua pemuda tidak tau diri tersebut. "Gue selama ini bisa bertahan tanpa kehadiran lo, Fourth. Jadi bisa, kan, menatap gue sebagaimana lo menatap orang lain seperti biasa? Gue risih, jujur saja, dengan sikap lo yang protektif ini."

"Karena lo bukan orang lain. Dan karena selama ini gue nggak ada dalam hidup lo, makanya lo ke mana-mana sendiri. Sekarang ada gue, jadi bisa tolong nggak memperdebatkan hal seremeh ini dengan gue? Gue cuma ingin melindungi lo, demi Tuhan. Lo cukup beradaptasi menerima gue dalam hidup lo. Nggak perlu ngapa-ngapain lagi."

"Dah, berhenti kalian berdua. Lama-lama gue kawinin ke KUA juga kalian, biar memenuhi spesies pasangan goblok di Indonesia." Winny meremas bungkus nasi ramesnya yang tandas, lantas membuang ke tempat sampah. Ia menyambar air mineral gelas, dan menggelontorkannya dalam kerongkongan. "By the way, gimana kabar lo, Bang? Gue belum ketemu semenjak insiden lo dan Drake viral di base kampus. Kemarin aturan gue sama Satang mau jemput lo kalau lo mau nonton Fourth balapan. Tapi lo nggak jadi ikut, makanya kita nggak ketemu."

"Emang admin base tolol. Sudah tahu ada menfess berisi bullying, masih aja diloloskan," Satang memberi komentar, turut meminum air kemasan. "Seharusnya lo nggak tinggal diam, Bang. Cari dan kejar siapa yang sudah membeberkan kebohongan di base."

"Itu nggak bohong, sih, Tang," jawab Pakin. Ia menatap Ohm yang masih sibuk dengan check list peralatan pendakian di loket pendaftaran, sementara Neo di sampingnya terlihat tengah ngobrol bersama Luna. Semenjak kejadian beberapa hari lalu di mana ia meninggalkan Neo dan menggauli sang ketua mapala, belum sekali pun Pakin membuka obrolan dengan Neo. Pria keturunan China tersebut memang terus mencoba mengajaknya ngobrol, memang terus mengiriminya pesan singkat, masih terus berusaha meneleponnya ketika ia sibuk di basecamp mapala, tapi Pakin tidak menggubris semuanya. Bahkan makanan-makanan yang Neo belikan pun, tidak ia sentuh. Ia akan memberikannya kepada teman kampus atau teman kos-kosan.

Rasa sakit itu benar-benar menjerit gempita di balik dadanya yang sempit. Bahkan ketika proses persanggamaan yang luar biasa dengan Ohm pun, rengap yang diakibatkan dari pernyataan Neo yang akan melamar Luna dan memintanya untuk bertahan dalam hubungan mereka, tidak benar-benar mampu meninggalkannya.

Gue capai.

Pakin tergugu di dalam kamar mandi. Membiarkan jutaan air shower menghunjam punggung telanjangnya. Ia memang sudah mewanti-wanti hari di mana Neo akan memasukkan lubang cincin di jari manis Luna apalagi setelah apa yang Drake katakan padanya sewaktu di Petra, tapi Pakin tidak pernah mengira bahwa laki-laki keparat itu masih terus menggenggamnya, masih terus mengerangkengnya, masih terus membelenggunya. Rasanya, man, suara-suara yang menemaninya selama ini, menampakkan wujudnya lebih jelas. Suara-suara yang dari dulu Pakin paksa minggat dari lubang kepala, semakin perkasa menyuruk kuping Pakin. Ketika ia makan, ketika ia mengetik naskah cerpen, ketika dia membaca, ketika dia ngobrol dengan teman sekos, bahkan ketika dia tidur, suara-suara itu terus di sana. Menetap dan tak pergi. Mengompori dan melumpuhkan. Memanipulasi dan menikam diam-diam. Pakin ingin berontak, ia berteriak lantang di rooftop gedung fakultasnya, tapi suara-suara itu kian banyak, semakin bising, menertawai Pakin, menyoraki ketololannya, menyemarakkan rasa sakitnya.

Pakin tidak tahu apalagi yang harus ia lakukan untuk mendiamkan suara-suara itu. please, gue butuh bantuan.

"Gue emang ngentot sama Drake, dan Neo membantu gue sebelum Drake sempat memanfaatkan gue," suara Pakin mengambang, terdengar bergetar. Ditatapnya Fourth yang menatapnya dalam. Sejak pemuda itu mengatakan bahwa ia mendengar semua kejadian di Petra, Pakin berusaha untuk tidak terlibat obrolan tentang peristiwa tersebut dengan Fourth.

Usikan hawa dingin kaki gunung Arjuna meremangkan bulu kuduk. Ia mengusap kedua lengan guna mendatangkan sedikit rasa hangat, lantas memutuskan berdiri sebelum dingin membebat tubuh dan meringkusnya dalam hipotermia.

"Tapi nggak dalam keadaan lo telanjang."

"Tang, kalau proses ngentot kami selesai dan Neo baru datang menolong, Drake pasti sudah menyelesaikan video pornonya, kan?"

"Tapi temen lo melecehkan privasi lo." Kini Winny memberikan protesan.

Dan Pakin tersenyum mendengarnya. Itulah hal yang sampai saat ini masih ia gugat. Privasinya. Tapi entah mengapa, di hadapan adik tingkat, ia tidak ingin turut menyalahkan Neo. Biarlah masalah itu cukup ia kobarkan di mimbar pertememannya dengan Neo. Orang lain tidak perlu tahu.

"Lebih baik privasi gue hilang daripada gue menjadi alat buat Drake memuaskan nafsunya. Gue terlahir bukan dari orang kaya, Win. Gue jelas nggak akan bisa mengabulkan semua permintaan Drake." Ia mendengus kecil. Untuk ucapannya barusan, seseorang patut mengarunianinya dengan trofi Oscar. Oh, ayolah, Pakin bahkan sanksi yang menjawab pernyataan Winny barusan dirinya atau bukan. Rasanya sungguh asing. Seperti orang baru yang belum ia kenal.

"Serius lo memiliki pemikiran seperti itu, Bang?" Satang menyipitkan mata. Fourth masih tampak enggan memberikan respons. Ia hanya berdiri di antara mereka dalam diam, sambil menatap kakak tingkatnya yang tengah melakonkan sandiwara menggelikan. "Gue bahkan bertaruh, lo nggak percaya dengan omongan lo barusan."

"Nggak peduli seberapa dekat lo dengan teman lo, Bang, kalau dia sudah melanggar privasi lo, dia sama saja nggak memanusiakan lo. Dan dalam sebuah hubungan, lo mengharapkan apa jika hak dasar lo sebagai manusia saja nggak diberikan?" Winny turut menggerak-gerakkan kakinya supaya hawa dingin tidak membuat hipotermia. Sekarang memang baru pukul sebelas pagi, tapi kabut sudah turun sampai ke pos perizinan. Mungkin di atas sedang turun hujan.

Pakin mendesah, tertawa kecil, tawa yang tidak sampai hati membuat bulat matanya turut berpijar. Kandil di dasar iris cokelatnya entah telah redup sejak kapan. Dua mata itu seolah-olah terkubur bersama ingar-bingar keinginan Pakin untuk hidup. Denyar mereka melindap seiring intonasi suara dalam kepalanya menggelegar.

Ia mengambil bungkus rokok dalam saku celana, dan menyulut sebatang untuk membantu tubuhnya menaikkan suhu badan. Fourth, Winny, dan Satang turut menyambar rokok Pakin. Dan sejurus kemudian, asap tembakau mereka melebur bersama usikan hawa dingin.

"Lo bicara seperti itu seolah-olah lo masih menganggap gue manusia, Win."

"Apa maksud lo, Bang?"

Menatap Satang, lantas melirik Ohm, Neo, dan Luna yang berjalan mendekat, Pakin kembali terkekeh. Ia mengepulkan asap rokok dari mulut, mengusap-usapkan kedua telapak tangan, lantas melompat-lompat kecil. Ia melihat beberapa anggota pendakian melakukan stretching seperti dirinya. Tidak lucu, kan, kalau harus tumbang di saat pendakian belum dimulai? Oktober memanglah bukan waktu yang bagus buat mendaki. Hujan bisa datang sewaktu-waktu bersama badai. Pemuda berambut ikal tersebut hanya mampu berdoa, seberat apa pun pendakian kali ini, ia tidak sampai menjumpa gempuran air dan angin. Karena, ayolah, mengadang badai di gunung bukan merupakan hal baik. Masih syukur kalau dia bisa membawa rombongan pulang, kalau sebaliknya?

Sebelum Ohm berdiri di sampingnya, dan Neo bersama Luna mengambil tempat di belakang Fourth, Pakin berkisik sambil tertawa dan kembali mengembuskan asap rokok. "Karena Mark Pakin sudah mati. Manusia itu sudah nggak ada. Yang sebenar-benarnya ada di hadapan kalian hanyalah jasadnya. Rangka tubuh yang nggak memiliki hati, perasaan, dan kemauan. Dia sudah mati."

"Teman-teman ngumpul dulu, yuk, sebelum pendakian." Suara bariton Ohm terdengar. Ia mengusap pelan bahu Pakin sebelum rombongan membentuk melingkar di hadapannya.

Fourth melarikan tatapan pada Winny dan Satang bergantian, dan bulu kuduk mereka meremang dalam satu tempo yang mengerikan. Yang mereka ketahui selama ini tentang Mark Pakin adalah kebalikan dari semua yang pemuda itu tuturkan. Pakin tidak pernah bisa dilepaskan dari celoteh dan tawa. Bahkan ketika Fourth hampir menyerah di pos 7 Gunung Slamet pada awal tahun dia mengikuti UKM mapala, Pakin tetap memegang tangannya, berkata berkali-kali dengan tawa jenaka yang menghangatkan perut. "Semuanya akan baik-baik saja, Fourth. Gue nggak akan ninggalin lo. Setelah badai ini, kita turun bareng-bareng. Persetan dengan puncak, persetan dengan uang yang telah kita keluarkan, lo jauh lebih berharga dari apa pun di sini, Fourth. Lo harus kuat." Tapi apa yang terjadi padanya sekarang? Kenapa tawanya justru memberikan embusan hawa tidak enak? Kenapa kalimat yang meminta Fourth berjuang menyambung hidup, kini meranggas dan hanya tersisa bisikan-bisikan putus asa tentang kematian? Sekali lagi Fourth menatap Pakin, dan pria tersebut kembali mempertemukan senyum tak sampai mata yang menyakitkan.

Fourth menelan ludah—apakah ini ada hubungannya dengan pertemuan dia di Drake kala itu?

"Pendakian kali ini memakan perjalanan 7 sampai 8 jam tergantung dari fisik kita. Kalau di antara kalian ada yang capai, langsung bilang break. Dan ketika ada yang break, maka semua istirahat. Jangan takut untuk meminta jatah rehat, apalagi malu. Lebih baik kita sering-sering break daripada kita menanggung rasa sakit. Karena percayalah, sakit ketika kita berada di gunung itu rasanya seperti di neraka. Sampai di sini paham?"

Pertanyaan Ohm disambut jawaban dari para anggota pendaki. Ia lantas melanjutkan, "Kita akan mendirikan tenda di Savana 2, di atas Lembah Kidang karena di sana lumayan luas dan dekat dengan sumber air. Setelah sampai di area camp dan merampungkan makan malam, semuanya tidur. Jangan ada yang bergadang. Besok jam 3 pagi kita summit. Pendakian saya hentikan ketika ada bencana alam, kita telah menyelesaikan pendakian, dan ada yang sakit di antara kita. Satu saja, saya ulangi, satu saja di antara kita ada yang sakit, maka pendakian ke Arjuna saya akhiri sampai di sana. Saya tidak peduli kita sudah mengeluarkan banyak uang untuk sampai di hari ini, nyawa kalian lebih berarti dari uang yang telah kita habiskan. Ingat, puncak tertinggi dari pendakian bukanlah Puncak Ogal-Agil atau apa pun itu. Puncak tertinggi itu ada di sini." Ohm menunjuk pelipis. "Kewarasan kita."

Memastikan adik-adik tingkat itu mampu menyerap informasinya, Ohm kembali melanjutkan. "Ada empat porter yang akan membantu kita selama pendakian. Mereka membawa kebutuhan grup berupa makanan besar dan keperluan membangun tenda. Guide leader saya ambil alih, middle akan ditemani Bang Pakin, sementara sweeper ada Bang Neo. Jangan jauh-jauh dari guide. Kalau ada yang mau buang hajat atau apa pun, langsung lapor ke guide supaya nggak ada yang ketinggalan. Kin, nanti lo atur speed ya supaya nggak ada rombongan yang tertinggal. Dan, Neo, tolong jangan terlalu tertinggal agar nggak jauh gap belakang dengan depan."

"Aman."

"Aman."

"Baik, semuanya, sebelum kita mendaki, kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Semoga kita berangkat dan pulang dalam keadaan selamat. Berdoa dimulai."

Satu jam dari pos perizinan, mereka masih menapaki jalanan bebatuan yang terus menanjak. Tidak sekali pun mereka menjumpai bonus—track landai yang biasa para pendaki sebut. Vegetasi hutan dengan pohon-pohon yang mengapit jalanan setapak itu menjulang tinggi, didukung kabut yang masih belum mau pergi, aura ganjil menemani pendakian mereka. Rasanya basah, lembab, dingin, dan begitu menggigit. Break sebentar kalau tidak diimbangi dengan aktivitas gerakan kecil, maka sergapan dingin itu bakal mendekap sekonyong-konyong. Sepanjang mata memandang, pemandangan hutan menginvasi penglihatan. Hijau dan berair, berselit-selit dengan abu-abu kabut, yang jika mereka memanjang jauh ke depan warna, gelap tampak mengerikan—perpaduan dari vegetasi hutan yang rapat dengan kabut.

Peluh menetes membasahi kaus, suara napas terengah-engah terdengar, uap tipis keluar setiap kali mulut mengambil dan mengeluarkan oksigen. Rasa pegal mendera pundak tempat tas keril dipanggul, dan pada lutut yang terus dipaksa untuk menanjak.

"Break, dong." Suara Luna mengudara.

Pakin berteriak, "Break!" Supaya Ohm mendengar. Di depan, Ohm menoleh ke belakang, lantas mengajak rombongan beristirahat di area lapang, sementara empat porter yang mereka sewa, sudah terlebih dulu jalan di depan.

Luna yang memang sedari awal masuk ke grup middle, mengambil duduk di samping Pakin berdiri. Ia meminta air pada Pakin untuk mengairi kerongkongannya yang kering.

"Jangan banyak-banyak, Lun, ntar perut lo kembung." Pemuda gemini tersebut kembali mengeluarkan bungkus rokok dan menyulut sebatang. Ia mengedarkan pandangan. Di belakang, ada Neo, Fourth, Satang, dan Winny. Rombongannya ada Luna dan beberapa adik tingkat. Ohm yang terampil mengawal grupnya, menatap Pakin untuk memastikan keadaan sang kawan aman. Pakin mengacungkan jempol, dan penulis cabul tersebut mengangguk mengiakan.

"Gila! Seharusnya gue ngikutin anjuran lo yang melarang gue ikutan naik. Lama nggak hiking dan olahraga bikin badan gue jompo."

Pakin tertawa mendengar ceracauan Luna. Ia mengisap rokok dalam-dalam, mengendapkan barang satu atau dua detik di dalam mulut, sebelum mengembuskannya dalam bentuk bulatan-bulatan kecil. Luna mendengus melihat Pakin menyemburkan asap rokok di mukanya.

"Makasih banget, lho, ya. Kalau Neo yang melakukan ini, bakal gue getok kepalanya."

"Coba getok kepala gue."

"Males."

Si anak bahasa itu tertawa kecil. Ia melihat Ohm yang tidak ada adab justru menjerang air untuk membuat kopi panas sambil ngobrol dengan orang-orang. Para pendaki lain yang naik di belakang mereka, turut beristirahat di tempat tersebut. Pakin menumpukan kedua tangannya di lutut, dan membiarkan tas kerilnya rebah di punggung. Napasnya terdengar satu-satu. Aliran darahnya menggeruduk kuping ketika mereka berkumpul di wajah. Jantungnya seolah bedebam-debam ke lantai. Kedua kakinya sedikit bergetar. Reaksi tubuh yang biasa ia rasakan ketika mendaki. Dengan posisi seperti ini dia bisa melihat Neo yang tertawa bersama Fourth, Winny, dan Satang. Sesekali pemuda itu melempar tatapan, dan entah disengaja atau tidak, pandangannya tertumbuk pada Pakin.

Pemuda itu membeku seketika. Bumi seakan-akan berhenti berotasi, dan meninggalkannya menjegil dalam keterpurukan.

Ya, Tuhan... Pakin ingin menangis. Melihat bagaimana biji hitam itu bertalian dengan penglihatannya, rasa rindu itu menggelinding dari puncak keegoisan, lalu luruh dan berserakan laksana kabut yang menggantung di hutan Arjuna. Ia tahu bahwa Neo benar-benar egois.

Sehebat apa pun emosi yang melecehkan kewarasannya, sesinting apa keegoisan Neo yang memintanya bertahan dalam sebuah hubungan, Neo Trai Nimtawat tetaplah sahabat pertama yang mengulurkan tangan ketika ia terjatuh, tetaplah sahabat pertama yang menegurnya ketika ia salah. Dalam tawa-tawa bahagianya masa lalu, ada gelak lepas dari seorang Neo Trai. Di waktu-waktu ia menjatuhkan tangis kesepian saat remaja, ada punggung Neo yang sedia menampung semua air matanya.

Ini begitu menyesakkan. Rasa sakitnya bahkan seperti tidak mampu lagi ia tampung.

Sampai suara Luna terdengar dan mengembalikan kewarasan Pakin yang melayang-layang di permukaan.

"Lo berantem sama Neo ya, Kin?" tanya Luna tiba-tiba.

Pakin otomatis menegakkan tubuh, mengernyit, mengisap batang rokoknya dalam lantas membuang asapnya pelan-pelan.

"These days Neo's all over the place. It seems like you've been ghosting all his messages."

Sebuah jeep bermuatan belerang dari Gunung Welirang melintas turun. Pakin dan beberapa pendaki yang ada di jalan utama menepi.

"Neo has spilled the beans about us getting engaged, hasn't he?"

Sudah, dan memang itu sebuah berita cukup menggemparkan. Tapi yang ditawarkan Neo setelah kalimat informasi akan meminang Luna dalam waktu dekatlah yang membuat Pakin menjadi seperti ini. Keinginan sinting Neo yang memintanya untuk tinggal sementara dia melangsungkan kehidupan pernikahan. Hahaha ngentot! Teman macam apa yang menginginkan keberadaannya dalam hubungan pernikahan dengan kekasihnya?

"Gue tahu lo cinta sama dia, Kin."

Pakin mengangguk kecil, mengembuskan asap rokoknya. Siapa pun yang dekat dengan Pakin juga akan paham bagaimana rasa yang ia miliki kepada sahabat. Mereka terlalu bodoh jika tidak mengetahui itu.

"Dan gue harap lo akan tetap mencintainya terlepas dari status kami apa pun itu."

"Maksud lo?"

"Lo sangat gue terima dalam hubungan gue sama Neo, Kin."

Bangsat!

"Karena ketika lo tetap mencintai Neo, rasa cinta yang dia berikan kepada gue sama besarnya."

"Lo nggak mencintai Neo?"

"Apa yang gue rasakan pada Neo sudah nggak lagi berbentuk cinta picisan ala anak puber, Kin. Rasa ini menjelma kebutuhan. Di satu waktu gue butuh dia manja, tapi di waktu berikutnya, gue butuh berantem dengannya. Pagi hari gue butuh ngeseks sama Neo dan membaui selangkangannya, tapi pada malam hari, gue butuh berdebat dengannya. Gue membutuhkan hubungan yang nggak memiliki pola dan melompat-lompat seperti ini. Dan itu terjadi ketika Neo mendapatkan rasa cinta dari lo. Beberapa hari ini ketika kalian berantem, jujur, gue kehilangan Neo. Gue kehilangan ekstasi dalam hubungan kami. Ciuman kami hambar, debat kami kentang, seks kami bahkan nggak memiliki rasa. Dan gue nggak ingin itu terjadi."

"Jujur, gue nggak tahu ke mana arah lo bicara ini, Lun."

"Gue tahu lo paham ke mana arah omongan gue, Kin. Lo mencintai Neo, dan gue membuka hubungan ini supaya lo bisa masuk ke dalamnya."

"Lo nggak sakit hati apabila gue having seks dengannya?"

"Gue malah pernah menawarkan Neo untuk mengajak lo trisam. Gue tahu lo nggak memiliki ketertarikan baik secara seksual maupun romansa dengan perempuan, tapi melihat lo bersanggama dengan Neo, merupakan salah satu keinginan gue." Perempuan itu terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Mungkin lo menganggap gue gila atau apa, tapi gue hanya ingin mempertahankan hubungan gue dengan Neo. Kalau lo nggak bisa memuaskan gue secara seksual, lo cukup menjadi teman ngobrol gue. Gue juga pengin merasakan bertukar pandangan dan pikiran dengan sahabat Neo. Apalagi lo penulis dan seniman, pemikiran lo bisa jadi lebih dalam dan luas daripada Neo. Itu sudah cukup buat gue. Gue nggak menginginkan apa-apa selain kehadiran Neo dan alurnya yang nggak bisa gue baca. Tiga tahun hubungan ini berjalan dengan metode seperti ini, dan rasanya hampa banget ketika gue menciumnya, tapi ekstasi itu nggak membuat gue mabuk kepayang."

"Lo sudah gila, Lun."

"Gue cuma sedang mempertahankan hubungan gue, dan gue tahu lo sama menginginkannya seperti gue. Kalau Neo kehilangan lo, itu artinya gue juga kehilangan dia, sementara Neo akan kehilangan kita berdua. Kita bertiga sama-sama hancur, sama-sama karam. Lo nggak mau, kan, itu terjadi? Gue selalu membebaskan apa pun pilihannya selama ini. Gue selalu melepaskannya ke mana pun dia pergi, tapi gue membutuhkan jaminan bahwa dia akan kembali ke gue dengan rasa yang sama. Gue kira ini win-win solution buat kita bertiga, Kin. Kita sama-sama diuntungkan di sini."

Pakin pikir April Mop sudah terlewati, dan jikapun ini hanyalah prank, ganjaran sehebat apa yang bakal diterima oleh orang yang tega mempermainkan perasannya? Haha! Benar, kan, apa yang ia ucapkan kepada Satang? Bahwa Mark Pakin bukanlah manusia. Bahwa sosok manusia dalam diri Pakin sudah mati, sudah terkubur dalam-dalam bersama kewarasannya. Tidak pernah, ia rasa, menjumpai manusia yang mampu memperlakukan manusia lain serendah ini. Rasanya sungguhlah keji. Bahkan hewan pun seakan lebih bermoral dari apa yang ia dengar dari Luna. Ia mengisap batang rokoknya, melempar pandangan ke arah Neo yang sekarang secara terang-terangan menatapnya dalam.

"Neo tahu dengan rencana gila lo ini?"

"Iya, Kin."

Bangsat!

"Dan dia menyetujuinya?"

"Dengan karakter Neo yang seperti itu, lo pikir Neo bisa menolak? Membayangkan lo mencumbu pria lain saja, dia bisa sekarat.Apalagi sampai lo memiliki komitmen dengan laki-laki selain dia, dia bisa mati pelan-pelan. Dia sangat mencintai lo, Kin, karena lo adalah satu-satunya sahabat yang dia miliki di dunia ini."

Anjing!

"Dan semua ini menguntungkan kalian berdua. Lo mendapatkan Neo dengan pola acaknya, Neo tetap bisa mengurung gue dengan keposesifannya, sementara gue hanya mendapatkan teman ngobrol dan tubuhnya saja." Pakin mendecih, membuang asap rokok. "Lo pernah berpikir, seegois apa lo dan cowok lo itu?"

"Jangan picik jadi manusia, Kin. Kita dilahirkan sendiri, dan dimakamkan dalam keadaan sendiri. Itu bukti kuat bahwa sejati-jatinya manusia adalah makhluk egois. Lo nggak bisa melemah dalam hidup ini, Kin, atau lo akan kalah. Ayok egois, Kin. Nikmati tubuh Neo paling cabul dari yang pernah lo bayangkan. Gue izinkan dengan ikhlas. Gue nggak peduli Neo memanggil nama lo dalam keerotisan paling seksi, yang gue butuhkan hanyalah hubungan gue dengannya berjalan lancar. Gue tahu lo mencintainya sedalam itu, dan jelas, lo nggak akan bisa menolak pesona tubuh telanjang Neo, kan? Ayo, egois, Kin. Gue mendukung lo."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro