Gundah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Seiman saja belum tentu dibersamakan, apalagi hanya seamin dengan besarnya sebuah perbedaan."

°°°

Arhan dan Haidar saling berpandangan di tengah keheningan. Keduanya membisu, tapi mata mereka seolah tengah berbicara sesuatu. Kecanggungan sangat kentara jelas dirasakan dua lelaki itu.

"Tentang Anin!" Keduanya kompak berseru.

Arhan mengembuskan napas singkat lantas berucap, "Bang Haidar duluan."

"Abang bertemu dia di Yogyakarta beberapa waktu lalu, dan setelah itu berlanjut bertemu di Braga, ternyata Anin pemilik Senandika Cafe. Narasumber yang harus Abang wawancara," terangnya tanpa sadar mengukir senyum manis.

Bayangan akan pertemuan pertama itu sangat amat berkesan, menghadirkan rasa bahagia kala diceritakan kembali pada orang-orang. Kisah manis, yang diharapkan bisa berakhir indah.

"Bang Haidar menyukainya?" tanya Arhan sebisa mungkin mengukir senyum terbaik untuk menutupi rasa sakit.

Haidar tak langsung menjawab, dia malah menarik lepas kedua sudut bibirnya. Terdiam beberapa saat, sampai akhirnya berucap, "Sepertinya begitu."

Dua kata yang singkat, tapi berhasil membuat dada Arhan sesak. Dipejamkan matanya rapat-rapat sebelum akhirnya berujar, "Anin gadis yang baik, in syaa allah shalihah. Bang Haidar tidak salah menjatuhkan hati padanya."

Haidar mengangguk setuju, tapi setelahnya dia tersenyum getir. "Tapi kita berbeda. Abang gak mau mengulangi kisah Ayah dan Mama."

Cinta beda agama itu taruhannya iman dan kepercayaan. Dia yang berpegang teguh pada agama tidak mungkin bisa dengan mudah berpindah hanya karena alasan cinta.

Jika dipaksakan untuk bersama, tidak akan baik untuk ke depannya. Harus selalu ada yang mengalah agar perbedaan di antara mereka terurai, menjadikan keduanya sama dan percaya pada satu Tuhan. Sekadar seamin tapi tak seiman, tidak cukup kuat untuk bertahan dan saling memperjuangkan.

"Kamu mengenalnya di mana?" tanya Haidar tak ingin terlalu larut dalam kegundahan.

"Di kereta yang akan mengantarkan kita ke Yogyakarta." Arhan tak banyak menjelaskan.

Haidar geleng-geleng tak percaya. Kota Yogyakarta menjadi perantara ketiganya berjumpa.

"Sepertinya kamu mengenal Anin cukup dekat," cetus Haidar.

"Hanya sebatas tahu, tidak lebih dari itu."

Arhan tak ingin mengecilkan hati sang kakak, dia pun tak tega jika harus mengakui rasa sukanya pada perempuan yang sama. Cukup dia saja yang didera kesakitan, tidak dengan Haidar yang kini terlihat sangat berbinar penuh kebahagiaan.

"Abang kira kamu suka sama dia," katanya di akhiri dengan tawa kecil.

Tubuh Arhan menegang beberapa saat, tapi dengan cepat dia pun tertawa. "Tidak lucu kalau sampai Arhan dan Bang Haidar menyukai perempuan yang sama, bukan?"

Bukan jawaban yang dia berikan, justru sebuah kalimat tanya yang dibalut dengan candaan. Dia tak ingin berbohong, tapi jika berkata jujur apa adanya dia takut malah merusak tali persaudaraan.

Keduanya saling melempar tawa. Haidar terlihat lepas menanggapi guyonan sang saudara, tapi tidak dengan Arhan. Tawa lelaki itu palsu dan menyimpan rasa sakit yang tak terbantahkan.

"Arhan ke kamar duluan, sudah larut malam. Mau istirahat," katanya seraya bangkit dari duduk.

Haidar mengangguk sebagai tanda persetujuan.

Langkah Arhan yang hendak menuju pembaringan urung dilakukan saat dirinya melewati meja yang berada dekat dengan pintu. Dua buah buku tergeletak di sana, berjudul Assalamualaikum Calon Imam dan juga Akad. Novel yang dia dapat dari Anin.

Arhan menarik kursi yang tersedia lantas duduk di sana. "Ternyata benar, hanya sekadar calon imam. Tidak sampai berakad sudah gugur duluan," gumamnya.

"Yogyakarta, Aku datang! Kuharap hanya kisah indahlah yang akan kau suguhkan, agar aku bisa menceritakan pada khalayak ramai, bahwa kota ini menyimpan begitu banyak kenangan. Apa yang kamu tulis menjadi kenyataan, Anin," katanya seraya meraba tulisan tangan Anin yang terdapat di buku tersebut.

"Novel ini yang mempertemukan kita," imbuhnya sembari memegang novel berjudul Assalamualaikum Calon Imam di sisi kiri, lantas tangan satunya beralih mengambil novel berjudul Akad. "Dan novel ini menjadi penutup kisah kita. Tapi sayang, tidak sampai berakad sebagaimana judulnya."

"Jangan terlalu terburu-buru, jika memang ditakdirkan untuk bersatu, Allah pasti akan mempermudah jalanmu menuju ke arahku." Arhan kembali membaca tulisan tangan Anin. Ada rasa sakit yang tak bisa dijelaskan.

"Sepertinya Allah tak mengizinkan kita untuk bersatu, langkahku tertahan di lampu merah yang tak kunjung menghijau," imbuhnya seraya tersenyum getir.

°°°

Di lain sisi, Anin tengah berbaring dengan pandangan menerawang ke langit-langit kamar. Novel berjudul Wa'alaikumusalam Pelengkap Iman berada di sisi kiri dekat kepala, dan novel Shaf di sisi kanannya.

Fakta yang didapatnya beberapa waktu lalu sangat amat mengganggu. Kebenaran yang membuat dirinya bingung sekaligus tak percaya, tapi yang terjadi kini benar-benar nyata.

Tangan perempuan itu memegang cincin yang dijadikan sebagai bandul kalung, matanya tertuju ke arah sana. Dadanya mendadak sesak, seperti ada bongkahan batu besar yang menghimpit dan sulit untuk dijauhkan.

"Semoga kebaikan selalu bersamamu, dan yang terbaik selalu menjadi milikmu," gumamnya teringat akan kalimat yang tertulis di novel Wa'alaikumusalam Pelengkap Iman, buku yang Arhan berikan.

"Untuk menjadi pelengkap iman, dan berdiri satu shaf di belakang kamu adalah sebuah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan," lirihnya seraya memeluk erat kedua buku tersebut.

"Ternyata mereka saudara," lanjutnya dengan mata terpejam.

Anin menyadari betul bahwa ada ketertarikan yang Haidar miliki untuk dirinya. Bukan bermaksud untuk percaya diri, tapi hal itu sangat kentara jelas dari pandangan, tindakan, dan juga perkataan Haidar.

Sedangkan Arhan sudah sangat terang-terangan menyatakan rasa sukanya, bahkan hendak meresmikan hubungan dengan sebuah lamaran, tapi sayang belum sempat terealisasikan.

Anin tak ingin menjadi sumber perpecahan dalam tali persaudaraan Haidar dan Arhan. Dia tak ingin menjadi duri dalam daging yang akan membuat keduanya terlibat pertengkaran. Dia cukup tahu diri untuk tidak semakin melukai keduanya.

Haidar memang tak seiman, tapi dia yakin Arhan takkan mungkin berani memperjuangkan dirinya dengan menggadai tali persaudaraan. Mau sebesar apa pun rasa cinta yang dimiliki Arhan, takkan sebanding dengan darah yang mengalir di tubuh dua saudara itu.

"Anin."

Mata yang sedari tadi sengaja dipejamkan mendadak terbuka saat mendengar suara sang mama yang baru saja masuk kamar.

"Ya."

Anin mengubah posisinya menjadi duduk berhadapan dengan Arini.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut.

Anin tertawa dibuatnya. "Memangnya Anin kenapa, Ma? Anin baik-baik saja, sehat wal afiat."

"Hati kamu."

Dua kata yang dilayangkan sang ibu menusuk tepat di ulu hati. Dia diam membisu.

"Mama bisa melihat dengan jelas pancaran cinta di kedua mata Arhan dan Haidar. Dan Mama baru sadar bahwa pria berkacamata yang tak sengaja kamu potret itu adalah Arhan, lelaki yang pernah mengatakan akan melamar tapi sampai sekarang belum kunjung datang."

Anin mengangguk lemah dan tak lama dia pun berhambur dalam pelukan sang ibu. Air mata yang sedari tadi ditahan meluncur bebas tanpa persetujuan.

"Mereka bersaudara," lirihnya di tengah isakan.

Arini mengusap lembut punggung sang putri, tanpa kata beliau mencoba untuk menenangkannya.

"Kamu mengenal Haidar kapan dan di mana?" tanya Arini saat pelukan di antara keduanya terlepas.

Anin menghapus kasar air matanya lalu berujar, "Di Yogyakarta pada saat Anin berlibur ke sana. Mas Haidar juga salah satu pelanggan kafe Anin, kami berteman."

"Mas?" cicit Arini terkejut dengan panggilan yang Anin beri untuk Haidar.

Anin menggigit kukunya gugup dan mengangguk singkat. "Anin kira Mas Haidar orang Yogyakarta, panggilan itu spontan Anin berikan saat kami beberapa kali bertemu dan terlibat perbincangan di sana."

"Apa kamu menyukainya?"

—BERSAMBUNG—

Padalarang,
Selasa, 06 Desember 2022

DUHHH! Anin makin galau nih😂🙈
Coba bantu bisikin Anin supaya gak galau lagi 🤭
Maaf baru sekarang bisa update, semoga ada yang nungguin yah 😁

#AninArhan atau #AninHaidar

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro