Pangalengan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Tak usah terlalu dipikirkan, cukup jalankan sesuai kehendak Tuhan. Memasrahkan semua permasalahan, dan biarkan Dia yang mengambil peran."

°°°

Nuansa Riung Gunung Pangalengan, menyuguhkan pemandangan hijau perkebunan teh yang sangat menakjubkan. Apalagi dengan latar belakang berupa Gunung Tilu yang tampak gagah menyapa pandangan.

Nama 'riung' dalam bahasa Sunda berarti berkeliling dan berkumpul. Riung Gunung bisa diartikan gunung-gunung yang berkumpul atau saling berhadapan dengan jumlah bisa lebih dari satu.

Hijaunya perkebunan teh yang menghampar serta sejuknya udara dari ketinggian membuat kawasan ini menjadi lokasi yang pas untuk menenangkan diri setelah lelah beraktivitas menjalani rutinitas.

Bukan hanya itu saja, di lokasi wisata alam ini juga terdapat aliran sungai dengan airnya yang jernih, seakan menambahkan kesempurnaan dalam berwisata alam.

Selain melihat pemandangan yang eksotik, wisatawan bisa menyusuri perkebunan teh yang hijau di atas jembatan kayu. Pengunjung juga bisa duduk-duduk santai pada jembatan tersebut.

Pangalengan, menjadi tempat pelarian seorang Anindira Maheswari dari kemelut hati yang tak berkesudahan. Berharap bisa sejenak rehat dari rasa penat, dan pulang dengan langkah ringan tanpa beban.

"Aaakkkhhhh!"

Dia berteriak kencang dengan tangan yang direntangkan. Menyalurkan rasa sakit yang merongrong dan sulit untuk dienyahkan.

Beruntung tempat ini tidak terlalu ramai, karena memang merupakan hari kerja. Jika weekend tiba, sudah pasti akan dipenuhi oleh pengunjung. Maka dari itu Anin merasa bebas dan tenang, hanya ada beberapa orang yang duduk-duduk santai, berfoto, atau bahkan berjalan menyusuri setiap sudut tempat tersebut.

Udara dingin menusuk hingga ke tulang-tulang, tapi hal itu justru terasa sangat menenangkan. Dia benar-benar butuh kesegaran, dan kota Pangalengan bisa memberi apa yang dia butuhkan.

Gamis hitam serta khimar segiempat berwarna senada begitu kontras di tengah hijaunya kebun teh yang membentang indah. Dia mendudukkan diri di jembatan kayu atau kerapkali disebut tea walk, dan membiarkan kakinya menggantung di tengah permadani hijau.

Menikmati luasnya hamparan perkebunan teh, tak lengkap tanpa mendokumentasikannya melalui lensa kamera. Seluruh area menjadi tempat yang menarik dan cocok untuk diabadikan, baik berupa foto ataupun video.

Dan tentu saja Anin tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut, sebuah kamera sudah melingkar apik di lehernya. Siap sedia untuk bertugas dan menghasilkan karya terindah.

"Masya Allah, Tabarakallah," gumamnya terkagum-kagum melihat mahakarya Tuhan yang begitu mengagumkan.

Kepenatan seketika hilang, dan tergantikan dengan udara yang begitu segar menyejukkan.

"Sejauh mata memandang, hanya keindahan yang disuguhkan. Semoga aku selalu bisa mengunjungi tempat-tempat indah seperti ini," katanya dengan diakhiri sebuah senyuman.

Anin membiarkan matanya terpejam rapat, menikmati setiap embusan angin yang menyapa wajah dan mengibarkan khimarnya. Dia sangat menikmati, bahkan tak sadar kedua sudut bibir itu selalu terangkat lebar.

Anin mengambil novel berjudul Pangeran Hati karya Mellyana Dhian yang sengaja disimpan di dalam tas punggung kecil, berbahan kulit, serta berwarna abu-abu. Tak ketinggalan sebuah bolpoin pun diambilnya.

Pangalengan, aku datang!

Luka yang kukemas rapi di dalam tas, pasti akan selalu berbekas. Begitupun dengan rasa cinta yang mungkin takkan bisa saling berbalas. —Anindira Maheswari—

Anin tersenyum, tak lama dari itu dia pun menjadikan novel Pangeran Hati sebagai objek utama yang diabadikan dalam lensa kamera.

Setiap tempat yang didatangi pasti memberi kesan serta pengalaman yang berbeda-beda. Alam memang selalu menyajikan keindahan, tapi tak semua selalu memberi kebahagiaan. Adakalanya tempat yang disinggahi hanya untuk sekadar mengobati luka hati.

Begitupun dengan novel yang selalu setia menemani, memuat banyak kisah dan cerita yang berkaitan dengan isi hati. Tinta hitam dan buku menjadi saksi, tentang perjalanan hidup seorang Anindira Maheswari.

"Untuk sekarang, aku belum mampu membawa pangeran hati dalam wujud nyata ke tempat ini. Tapi aku sudah berhasil membawa pangeran hati berwujud fiksi. Semoga Allah meridai dan berkenan mendatangkan pangeran hati untuk membersamaiku setiap hari," gumamnya diakhiri dengan senyum tipis.

Memutuskan untuk healing di tengah rasa pusing. Menghilangkan kejenuhan akibat hati yang dilanda kegundahan. Mungkin selepas pulang, dia bisa berpikir jernih dan menemukan titik terang.

Langkahnya begitu riang menyusuri jembatan kayu yang membentang di tengah-tengah hijaunya perkebunan teh, sesekali bibirnya bershalawat dan menengadah ke langit yang kini cerah membiru. Alam selalu membuatnya tenang sekaligus senang.

"Jika saja tempat ini buka sampai malam, mungkin aku akan menikmati senja di tengah permadani hijau. Pasti akan sangat indah dan mengagumkan," gumam Anin seraya terus menyusuri jembatan.

Anin, si gadis penikmat duha dan senja. Sebelum berangkat dia menunaikan ibadah sunnah-nya terlebih dulu, dan dia berharap sebelum pulang dirinya bisa menikmati senja sebagai penutup.

Namun, sayang itu hanya sebatas keinginan yang tak bisa direalisasikan. Selain itu, dia juga sudah berjanji pada sang ibu tidak akan terlalu lama dan sebelum magrib sudah sampai di rumah.

Anin memilih duduk di undakan tangga yang menjadi jalur lalu lalang orang di jembatan. Dia ingin sejenak melihat hasil jepretannya, dan juga sedikit mengistirahatkan tungkai yang kesemutan.

"Hasil fotonya bagus, cantik."

Anin menoleh ke belakang kala mendengar suara seseorang yang kini sudah duduk nyaman di sisinya.

"Terima kasih," ungkap Anin seraya tersenyum ramah.

"Giandra," katanya seraya mengulurkan tangan dan tersenyum lebar.

Anin menyambut hangat tangan tersebut. "Anindira."

"Sudah sejak kapan jadi fotografer?" tanyanya penasaran.

Anin menggeleng lantas berujar, "Hanya sekadar hobi, tidak dijadikan sebagai profesi."

"Kenapa? Sayang lho, padahal jaman sekarang hobi juga bisa dijadikan sebagai ladang cuan," sahut Giandra.

Anin terkekeh pelan. "Tidak terlalu berambisi."

Giandra manggut-manggut. "Padahal saya sangat suka fotografi tapi sayang tidak mempunyai bakat yang mempuni."

"Oh ya?"

Perempuan berambut panjang dengan setelan kaus hitam polos, yang dipadukan dengan kemeja berwarna mint motif salur itu mengangguk. "Ya, maka dari itu saya mendirikan sebuah studio foto."

Mata Anin seketika berbinar. "Saya sudah lama ingin mendirikan sebuah studio foto, tapi qodarullah belum kesampaian."

Giandra tertawa kecil lalu berujar, "Bagaimana kalau kita bekerjasama? Saya belum menemukan fotografer yang pas untuk studio foto saya."

"Terima kasih untuk tawarannya, tapi maaf saya tidak bisa menerima tawaran tersebut," tolak Anin selembut mungkin.

"It's okay, santai saja."

Giandra bangkit dari duduknya lantas berkata, "Sendirian aja?"

Anin pun melakukan hal yang sama. "Ya seperti yang kamu lihat."

"Senandika Cafe, apa itu kafe milik kamu?" seloroh Giandra saat melihat gantungan kunci yang sengaja Anin pasang pada resleting tasnya.

"Iya, hanya kafe kecil-kecilan saja," sahut Anin seraya tersenyum tipis.

"Tak usah merendah seperti itu, Senandika Cafe sangat diminati kaula muda sebandung raya. Kafe kekinian yang instagramable," ungkap Giandra.

"Aamiin," sahut Anin mengaminkan.

"Saya sangat penasaran dan ingin berkunjung ke sana, tapi belum kesampaian. Eh, sekarang malah bertemu langsung dengan pemiliknya," tutur Giandra begitu antusias.

"Masya Allah, semoga bisa disegerakan yah."

Giandra mengangguk semangat. "Mau melihat studio foto saya? Jaraknya tidak jauh dari sini."

"Mungkin lain waktu, saya tidak bisa berlama-lama di sini. Mama saya sudah berpesan untuk segera pulang."

Giandra mengangguk paham. "Boleh bertukar nomor ponsel? Siapa tahu kita bisa menjadi teman."

"Boleh," katanya menyetujui.

Mendapatkan kenalan baru di tempat-tempat yang dikunjungi bukanlah sesuatu yang baru. Anin tak merasa keberatan, dia justru senang bukan kepalang.

Saling bertukar nomor ponsel jika sesama perempuan pasti dilakukan, terlebih jika di antara mereka ada sebuah kecocokan dan enak jika diajak berbincang. Lain hal jika pada lawan jenis, sekadar memberi tahu nama saja urung dilakukan.

"Jika saya ke Braga, saya akan hubungi kamu," tutur Giandra setelah mendapatkan nomor ponsel Anin.

"Saya tunggu kedatangannya," sahut Anin sembari tersenyum lebar.

—BERSAMBUNG—

Padalarang,
Rabu, 07 Desember 2022

Mau healing bareng Anin ke mana lagi nih?😉

Jangan lupa vote dan komennya yah 😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro