25. Sementara Waktu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kehilanganmu sekali lagi, tidak akan membuatku mati. Karena aku percaya, di garis terakhir, semesta akan mempertemukan kita sekali lagi.

"Ja..."

Darja menoleh, ia mendapati Aika tengah menatapnya. Seperti biasanya, mereka duduk di atas balkon apartemen Darja, menyaksikan langit malam dan lampu-lampu gedung yang saling berlomba mengeluarkan cahaya di tengah kegelapan.

"Kalau lo boleh minta sesuatu sama Tuhan, apa yang pengin lo dapetin sebelum lo pergi?"

Darja tersenyum tipis, kursi panjang yang ia duduki dengan Aika tampak terasa nyaman. Cowok itu menggenggam tangan Aika, menyandarkan kepalanya di bahu cewek itu, lalu berbagi headset dengan Aika.

"Gue pengin Papa sayang sama gue dan keluarga gue menerima kehadiran gue."

Tubuh Aika sempat menegang sejenak, ia paksa untuk mengulas sederet senyum tipis yang akhirnya keluar seperti sebuah ringisan prihatin. Kenginan Darja terlalu sederhana, tapi kenapa sulit untuk dilakukan?

"Apa nggak cukup gue aja yang sayang sama lo?"

"Lo segalanya buat gue, tapi keluarga memiliki kasta yang berbeda dengan kehadiran lo, Aika. Gue pengin kayak anak-anak lain yang bisa dengan bebas meluk orang tuanya tanpa ada satu pun sekat yang jadi penghalang."

Air mata menumpuk di kedua mata Aika, mati-matian cewek itu menahan sesak yang menghantam dadanya. Jantungnya terasa diremas dengan kuat oleh tangan-tangan tak kasat mata.

"Ja...ada gue, ada gue yang bakalan terus sayang sama lo kok."

"Gue tahu, gue juga sayang sama lo."

Darja memejamkan matanya, menikmati semilir angin malam yang menusuk kulit. Malam tanpa bintang yang selalu kelabu, mereka duduk dalam diam, tak lagi saling berbicara, membiarkan suara musik klasik yang diputar Aika dari ponsel menyelimuti keheningan yang semakin menjadi.

"Nanti pas gue magang, gue titip ormawa ya? Jadi pemimpin yang baik, jangan kecewain gue."

Aika terkekeh, mencubit tangan Darja gemas. "Apaan deh, magang cuma tiga bulan juga, kepotong libur semester lagi."

"Ya, siapa tahu gue magangnya nambah bulan, atau tahun mungkin?" jawab Darja sekenanya, lalu terkekeh, membuat Aika mendengus malas.

"Idihh....ogah ah kalau lo ngomongnya gitu, males banget gantiin lo."

Aika mencibir, sedangkan Darja masih tergelak. Darja suka melihat wajah cemberut Aika, itu sesuatu yang menghiburnya di kala suntuk.

***

Aika memejamkan matanya, mencoba menghirup oksigen lebih banyak. Arus ingatan membawanya terlalu jauh, mengungkit hal menyakitkan tentang Darja. Cewek itu berjalan pilu menuju ruangan mengerikan yang menampung Darja. Cowok itu masih berbaring dengan tenang di sana. Ini hari keenam semenjak Darja kecelakaan, dan belum ada perubahan berarti dari cowok itu, Darja masih betah untuk menutup mata. Aika menatap nanar lantai rumah sakit, ia tak tahu harus berbuat apa selain berdoa.

Beberapa hari ini, ada seorang pria paruh baya yang selalu datang menjenguk Darja setiap hari. Namun ketika ia datang, orang tersebut memilih untuk pergi. Pria yang sebagian wajahnya mirip dengan Darja, kemungkinan itu adalah papa Darja.

"Boleh saya duduk?"

Seseorang berdiri di depan Aika, dengan wajah tegas dan sorot mata yang tampak menggambarkan kelelahan. Pria itu adalah pria yang sama yang setiap hari datang ke ruangan Darja.

"Saya Bryan, Papa Darja."

"Saya tahu," balas Aika singkat. Sejujurnya, ia sama sekali tidak berminat berbicara dengan Bryan, pikirannya selalu mendoktrin bahwa orang inilah yang menjadi pihak paling bersalah atas kisah hidup Darja selama ini.

"Kamu pasti sangat istimewa untuk anak saya."

Aika hanya menatapnya sekilas, tidak berniat untuk menjawab pertanyaan pria itu.

"Darja memang belum pernah bahagia dari kecil."

Pria itu kembali bersuara, pelan nyaris tidak didengar oleh Aika. Cewek itu memilih diam, menunggu pria itu kembali melontarkan kalimatnya.

"Saya belum pernah membuatnya bahagia, sekalipun, dia anak pertama saya dan kenyataan itu tidak akan berubah."

"Bagus kalau Anda sadar."

Aika menutup hatinya, ia tidak peduli jika dipandang kurang ajar oleh ayah kandung Darja. Hatinya seolah berubah menjadi batu ketika berbicara dengan pria berambut cokelat itu.

"Saya ingin membuatnya bahagia, membawanya pergi menjauh, meninggalkan tempat yang menyakitkan buatnya, mengajaknya menemui hidup baru bersama saudaranya yang lain dan ibu barunya."

Aika menoleh, matanya yang telah berhenti menangis tiba-tiba kembali menumpuk air, kedua tangannya bergetar, bibirnya seakan kelu untuk mengucapkan sesuatu.

"Anda mau membawanya pergi?"

Bryan mengangguk, ia pun sudah meminta izin pada istri keduanya untuk membawa Darja berobat keluar negeri. Dengan kata lain, mereka semua pindah ke luar negeri, memulai lembar kehidupan baru setelah kematian Marie.

"Anda masih punya hati?"

Bryan menatap Aika dengan wajah pias. Ia mungkin menjadi seseorang yang sangat egois jika membawa Darja pergi disaat ada seseorang yang benar-benar mencintai Darja di sini. Tapi, itu adalah pilihan yang dirasa paling tepat untuk memulihkan psikologis Darja.

"Kalau nanti Darja sudah sembuh, saya tidak akan melarangnya untuk kembali ke sini. Saya hanya ingin menebus dosa saya, Aika, saya ingin menjadi ayah yang benar untuk Darja."

Aika tidak kaget jika seorang Bryan mengetahui namanya, orang kaya, selalu bisa berbuat apa saja dengan uang bukan? Uang seakan-akan memang mampu membeli kehidupan.

Aika tertawa masam, kepalanya mendadak pening. Di satu sisi, ia ingin Darja tetap tinggal dan berjuang bersamanya, tapi di satu sisi, otaknya seperti kaset rusak yang memutar keinginan Darja tempo hari. Egoiskan ia jika menahan Darja untuk tetap tinggal?

"Saya mencintai Darja, kami saling mencintai," katanya dengan nada bergetar. Otaknya tidak bisa berpikir lebih jauh.

"Saya tidak akan menghalangi itu. penyembuhan Darja butuh waktu yang lama, dan mungkin ia akan kembali menjadi selayaknya anak kecil untuk beberapa waktu ke depan. Tidak bisa melakukan apa pun seperti biasanya, saya hanya ingin menebus kesalahan saya di masa lalu, saya ingin merawat Darja tanpa bayang-bayang masa lalu, Aika."

Air mata Aika mengucur, yang dikatakan oleh Bryan memang benar. Penyembuhan Darja akan memakan waktu yang sangat lama, bahkan mugkin bisa bertahun-tahun. Luka cowok itu cukup berat, Aika menutup matanya, ia menangis tersedu-sedu.

"Saya pernah berpisah dengan Darja, dan itu rasanya sakit sekali. Apakah harus dengan cara seperti ini, saya berpisah lagi dengan Darja?"

Bryan menatap dalam ke bola mata Aika, "maafkan kalau memang saya egois, Nak."

Aika menggeleng, ia berdiri dari duduknya. Mengusap air matanya dengan kasar, ia ingin melihat Darja bahagia, kalaupun harus merelakan Darja pergi untuk sementara—yang entah Darja akan kembali atau tidak. Bukankah sekali lagi Aika harus ikhlas?

Cewek itu berjalan gontai menuju ruangan Darja, tangannya gemetaran membuka pintu bercat putih, di atas ranjang rumah sakit, Darja tampak berbaring tidak berdaya dengan bantuan alat penunjang kehidupan. Bunyi kardiograf menggaung di telinga, Aika bersyukur alat itu tidak menunjukkan garis lurus yang mengakhiri segala kehidupan Darja.

"Ka—mu apa kabar?" katanya lemah.

Cewek itu memegang tangan Darja yang ringkih, air matanya kembali berhamburan, sakit itu kembali menggelayuti hatinya. Ia sungguh tidak mengenali Darja saat ini.

"Kamu tahu nggak sih, Ja? Aku tuh sayang banget sama kamu. Kamu juga kan ya?"

Aika bermonolog, tidak ada tanggapan dari Darja. Cowok itu masih terlelap dalam tidur tanpa jedanya.

"Aku udah menunggu kamu bertahun-tahun, Ja. Menunggu sekali lagi, nggak akan membunuhku kan?"

Aika mengecup tangan lemah Darja. "Waktu kita nggak banyak, Sayang. Papa kamu minta izin aku buat bawa kamu ke luar negeri, aku harus izinin kan? Katamu, kamu pengin ngerasain gimana dicintai sama papa kamu, Ja...doa kamu terkabul."

Mengusap air matanya, Aika mencoba tersenyum di depan Darja. "Tapi janji ya, kamu harus kembali. Jangan lama-lama, aku di sini, nungguin kamu pulang. Saat ini, aku bebasin kamu, Ja. Kamu boleh ikut papa kamu, asal jangan ikut mama kamu, ya?"

Bunyi kardiograf menjadi alunan menyakitkan yang menghiasi ruangan itu. Aika mencoba tegar di atas hancurnya segenggam harapan yang sempat ia pelihara bersama Darja.

"Tenang aja, aku bakal gantiin tugas kamu jadi Pres BEM. Aku bakal jadi pemimpin yang baik, kamu jangan khawatir ya. Baik-baik di sana nanti, berjuang ya, Ja. Buat aku, biar kamu cepet pulang."

"Kamu tetap pacar aku, Ja. Borjodoh enggak berjodoh, kamu akan tetap punya tempat istimewa di hatiku. Aku bakal nunggu kamu kok, sayang kamu, Ja. Aku nggak mau ngucapin selamat tinggal, karena kita nggak pernah udahan."

Aika tersenyum miris, ia menangis dalam senyumnya. Usianya memang belum dewasa, baru akan menginjak usia dua puluh, tapi perasaannya untuk Darja tidak pernah main-main dan sekadarnya, perasaan itu tumbuh semakin kuat setiap hari.

"Aku pulang ya, Ja...aku bakal kangen kamu."

Aika melepas tangan Darja, dengan langkah berat ia meninggalkan kamar itu. mencoba untuk tidak lagi menangis, ia harus menjadi sosok yang kuat, sekarang semua tanggung jawab Darja di Ormawa menjadi urusannya, ia harus bisa membuat Darja bangga. Menunggu sekali lagi, tidak akan membuatnya mati.

***

Aika duduk merenung di kamarnya, membiarkan kamarnya diselimuti gelap. Ia tak ingin melakukan apa-apa, hatinya masih tak baik-baik saja selepas ia membiarkan Bryan membawa Darja pergi, hanya gelang pemberian Darja di tangannya yang menjadi penguatnya saat ini. Besar harapannya untuk Darja sembuh lalu kembali bersamanya, meskipun mungkin semua itu tidak pernah terjadi di kemudian hari, setidaknya Aika akan selalu memelihara harapan itu sampai ia lelah sendiri.

"Seperti bukan anak gadis Papa."

Jiver menyalakan lampu kamar Aika, sepulang kerja, ia mendapat laporan dari istrinya jika anak gadisnya itu mengurung diri di kamar sejak pagi. Aika sama sekali tidak keluar, bahkan makanan yang dibawakan sang mama pun tidak tersentuh sama sekali.

"Paaa...sakit."

Aika mengadu seperti anak kecil, membuat sang papa memeluknya dengan erat. Seorang ayah tidak akan pernah rela melihat anak gadisnya tersakiti seperti ini, pun dengan papanya.

"Papa besarin kamu bukan untuk disakiti, Aika. Kehilangan memang sesuatu yang menyakitkan, tapi jika ikhlas, Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik."

Jiver mengelus kepala anak gadisnya penuh sayang. Pria itu mencoba memberi pengertian pada Aika.

"Papa pernah ada di posisi kamu, Nak. Awalnya, semua itu memang tampak sulit, tapi akhirnya Tuhan bermurah hati dengan menemukan Papa dan Mama. Kamu tahu kan Tuhan selalu adil?"

Aika mengangguk, kisah papa dan mamanya, ia sudah tahu itu sejak lama. Keluarganya adalah keluarga yang terbuka, di hari sabtu dan minggu, mereka kerap berkumpul untuk menghabiskan waktu bersama, menceritakan segala hal yang pernah dilalui.

"Ikhlas itu sulit ya, Pa?"

"Sangat, tapi jika kamu tidak mau mencoba, terus kapan ikhlasnya?"

"Papa benar. Aku harus jadi kuat seperti dulu kan?"

Jiver terseyum, ia lalu mengangguk. "Tentu, anak gadis Papa yang hebat, harus menjadi lebih kuat."

"Aku bersyukur punya Papa kayak Papa. Terima kasih ya, Pa?"

"Itu sudah kewajiban Papa sebagai orang tua. Sekarang, anak Papa harus bangkit, kita liburan ya? Ke Jawa Timur, sekalian ke rumah kakakmu."

Jiver menghapus air mata Aika, membuat cewek itu mengangguk, mencoba menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. Ada keluarganya yang selalu memunculkan kehangatan, yang selalu mendukungnya. Ia akan tetap kuat, menjalani hari-hari seperti biasa.

Cepet balik ya, Ja....

end

mamvus, digantungin kek Memories of the Alhambra :v  *digebukin *kagakendwoicanda

gue belum ngedit ini cerita, tolong tunjukkan typo-typo durjana.

btw, gue orangnya mudah depresi, jadi tolong kalau komen jangan bikin down. Nggak sedrama apa yang kalian bayangkan kok, santai aja.

IG: Aristavstories

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro