26. Kembali Berdiri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rindu ini kian menumpuk, membentuk sebelanga luka yang memuakkan. Membuatku menunggu dalam ketidakpastian. Meraba masa yang bergerak, mengharap kamu kembali pulang.

"Tapi, Bapak tidak bisa membuat kebijakan mendadak seperti ini. Bagaimana mungkin SPJ dan LPJ dimajukan dan kami hanya diberi waktu satu dua minggu? Sangat tidak masuk akal, belum lagi pihak PUMK selalu menyalahkan pekerjaan kami. Dana sebesar itu bagaimana mungkin bisa, Pak?"

Aika menatap lurus Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan yang tiba-tiba memanggilnya untuk membicarakan masalah SPJ dan LPJ. Semenjak perginya Darja, tampuk kepemimpinan diambil alih oleh Aika. Kepergian Darja tidak boleh membuatnya lemah, ia masih memiliki tanggung jawab di sisa masa jabatan mereka.

"Ini sudah keputusan kampus, dan kita memang harus segera melaporkan jumlah dana yang terpakai, Aika. Bapak tidak memiliki pilihan lain."

Aika mendesah, memegangi kepalanya yang mendadak pening, bagaimana bisa dalam waktu dua minggu laporan SPJ dan LPJ bisa diselesaikan, dengan jumlah dana yang mencapai ratusan juta?

"Bahkan ini belum masa akhir jabatan saya, Pak. Masih ada dua bulan lagi, kenapa mendadak? Seharusnya Bapak memberi kami waktu satu bulan."

Pak Samsul—wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan menepuk bahu Aika pelan, raut wajah pria itu cukup sulit diartikan. Rambut putihnya disisir menggunakan jari.

"Saya bangga padamu, bisa memimpin sampai hari ini sepeninggalan Darja. Bapak percaya denganmu, Aika."

Mendengar nama itu disebut membuat hati Aika mencelus, cewek itu tersenyum masam, tak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat. Ia gagal negosiasi dengan Pak Samsul, perdebatan selama satu jam itu tidak menghasilkan apa pun. Ia merasa gagal.

"Saya gagal, berdiskusi dengan Bapak pun saya kalah. Saya permisi, akan saya usahakan," pungkasnya lantas pergi meninggalkan ruangan Pak Samsul yang berada di lantai dua gedung rektorat.

Bahu cewek itu turun ke bawah, matanya mendadak memerah. Rindu itu menyusup dengan kurang ajar, membuatnya kembali lemah, meski ia tampik, rasa kehilangan Darja masih menjadi bayangan kuat yang menghantui kepala. Sudah berbulan-bulan semenjak kepergian Darja—yang entah dibawa kemana, namun rasa kehilangan itu masih melekat kuat.

Aika berjalan dengan menunduk, mencoba untuk tidak menjadi lemah lagi. Banyak orang yang bergantung padanya, ia memiliki tanggung jawab. Kehilangan sekali lagi tidak akan membunuhnya.

"Aku cariin, ayo makan sama Mikha."

Mendongakkan kepalanya, mata Aika bertemu dengan wajah Karyo. Cewek itu tersenyum masam.

"Kenapa tahu gue di sini?"

"Tadi nanya sama anak Ormawa. Ayo makan, laper iki."

"Traktir!"

Karyo mendengus, tapi demi mengembalikan senyum Aika, tidak masalah dompetnya kempes. Ia sudah menganggap Aika adik sendiri, lagipula Aika masih sepupunya.

"Ya udah, ayo."

***

"Eh, Ka. Kemarin anak Akuntansi, temen gue minta nomor WA lo," seloroh Mikha setelah menelan penyetan ayam yang ia pesan. Aika menaikkan sebelah, kembali sibuk dengan ayam penyet sambal tempong yang terasa nikmat di lidah—sambal segar berpadu dengan ayam goreng yang cukup kering.

"Buat apaan?"

"PDKT kali. Mau nggak lo? Daripada jomlo."

Berhenti mengunyah dan meminum es tehnya, Aika memandang datar kea rah Mikha, membuat wajah Mikha mendadak pias. Semenjak Darja pergi, Aika memang menjadi tertutup, tidak seceria dulu.

"Gue kan masih punya pacar," kata Aika pelan.

"Lo mau sampai kapan kayak gini? Iya kalau Darja balik, kalau enggak? Lo mau jadi perawan tua?"

Aika menatap tajam ke arah Mikha. "Dia bakal balik."

Mikha mendengus, ia tidak mau melihat Aika terus-terusan seperti ini. Aika seperti kehilangan jati dirinya sendiri.

"Lo kayak bukan Aika yang gue kenal beberapa bulan ini, lo tahu nggak? Kalau lo kayak gini bukan Darja aja yang bakalan sedih, gue, Karyo dan keluarga lo juga. Lo nggak bisa terus-terusan kayak gini, Ka."

Segaris senyum sedih menghiasi wajah oval Aika, mata cewek itu memerah. Ia hanya masih teringat akan kenangannya dengan Darja.

"Dulu gue pikir, perasaan gue sama Darja Cuma obsesi semata, dan setelah gue berhasil dapetin dia. Semuanya selesai, tapi gue salah, gue beneran cinta sama dia. Gue minta maaf kalau kalian ngerasa kehilangan gue belakangan ini, gue Cuma butuh waktu."

Karyo yang semenjak tadi diam, mengelus rambut panjang Aika yang dikuncir satu. "Ambil waktu sebanyak yang kamu perlukan, tapi janji bakal bangkit lagi, jadilah Aika yang ceria seperti dulu."

Menteska air matanya, Aika mengangguk. Ia merasa beruntung memiliki dua sahabat seperti Mikha dan Karyo yang tak meninggalkannya saat sedang terpuruk.

***

Cowok itu menatap kosong jendela kamarnya yang menampilan pemandangan halaman hijau yang ditumbuhi beberapa Pohon Akasia dan rerumputan yang tampak rapi. Memasuki musim semi, setelah musim dingin menghantam selama kurang lebih tiga bulan membuat siapa pun akan betah melihat pemandangan itu.

"Papa sudah bawakan kamu makan, Papa suapi?"

Bryan datang dengan nampan berisi makanan yang cukup banyak. Darja diam, tak mengatakan apa-apa. hanya memandang kosong halaman itu dengan dua matanya yang masih berfungsi dengan baik.

"Makan ya, setelah itu kita berangkat untuk terapi."

Bryan menundukkan tubuhnya, menatap tubuh ringkih anaknya dengan nanar. Kedua kaki dan tangan Darja tidak bisa berfungsi dengan normal akibat kecelakaan itu, cowok itu memerlukan beberapa terapi untuk bisa kembali seperti semula.

"Saya nggak berguna, Papa nggak perlu merawat saya seharusnya."

Darja berkata dengan pelan, setelah beberapa kali terapi bicaranya sudah kembali dengan normal.

"Kamu anak Papa, kebanggaan Papa. Kamu mau apa? ke kamar mandi? Papa mandikan?"

Darja menggeleng, jiwanya masih terguncang. Ia bahkan harus menjalani banyak terapi untuk pemulihan syaraf di tubuhnya juga kejiwaannya. Tapi, kali ini cowok itu tidak sendiri, ada papa yang bersamanya, juga ibu tiri yang sangat baik dan adik tirinya yang masih berusia sepuluh tahun.

"Ayo Papa mandikan."

Darja benar-benar menjelma menjadi selayaknya bayi yang tidak bisa melakukan apa-apa. setiap hari Bryan yang mengurusnya, terkadang juga ibu tirinya. Bryan selalu berkata, ini sebagai penebusan dosanya yang besar terhadap Darja.

Pria itu mendorong kursi roda Darja hingga mencapai pintu kamar mandi, lantas mengangkat tubuh anak laki-lakinya dan mendudukannya di sebuah kursi khusus yang biasa digunakan Darja untuk mandi. Dengan telaten Bryan memandikan anaknya, Darja sendiri hanya diam, ia merasa sangat tidak berguna di usianya yang seharusnya bisa merawat papanya malah kebalikannya.

"Saya tidak berguna, Pa."

Bryan mencengkram bahu Darja kuat. "Kamu anak laki-laki Papa, kamu berguna. Jangan jadi lemah, apa kamu tidak ingin kembali dan memperjuangkan seseorang yang sudah menunggu?" tegas Bryan, lalu mengusap air matanya sendiri. Teringat almarhumah istrinya.

"Kamu bisa kembali jalan dan memegang, Nak. Ayo, Papa, Bunda dan adikmu ada di sini, bersamamu."

Bryan berkata dengan tegas, ia lalu memakaikan baju pada Darja dan menggendongnya di belakang punggung, membawa Darja menuju kasur di dalam kamar Darja. Pria itu menyisir rambut cokelat tua Darja dengan sisir berwarna hitam, memakaikannya jel agar tampak rapi.

"Papa suapi," tawarnya.

Darja mengangguk pelan, memakan nasi yang disodorkan oleh Bryan. Dulu, sewaktu ia balita, Bryan tidak pernah menyuapinya seperti ini. Kecelakaan itu memang membawa hikmah, sakitnya membuat ia tahu bagaimana rasanya diperhatikan, bagaimana rasanya disayangi dengan benar oleh ayahnya. Dalam dua puluh satu tahun ia hidup, baru beberapa bulan belakangan ini, ia bisa memeluk papanya dengan bebas, merasakan jemari tua itu menggenggam tanganya dengan erat.

"Papa yakin kamu bisa sembuh, kamu anak Papa yang kuat. Maafkan pria tua ini yang selalu mengabaikanmu, Nak."

Bryan memeluk anaknya dengan kuat, seakan mengatakan bahwa ia tak lagi berjuang sendiri, ada keluarga yang ia miliki sekarang. Penyesalan itu memang terlambat, tapi bukankah selalu ada waktu dan kesempatan untuk menebusnya?

***

Aika duduk termenung memandang langit malam di apartemen milik Darja, sebelum pergi, Bryan menyerahkan kunci tersebut pada Aika, meminta cewek itu untuk mengurus apartemen dan usaha milik Darja. Tidak ada yang Bryan percayai untuk mengurus properti milik Darja kecuali Aika. Tugas Aika hanya sesekali mengecek laporan penjualan dari beberapa gerai distro milik Darja.

Subjek: Darja

Dia sudah lebih baik, masih semangat menjalani terapi. Dia baik-baik saja, tidak perlu khawatir.

Aika menangis terharu saat menerima sebuah email dari Bryan, dan beberapa foto Darja yang terlampir. Ini kali pertama Bryan mengiriminya email, entah mendapatkan alamat emailnya darimana, yang jelas, Aika bahagia mendapatkan kabar bahwa Darja sudah lebih baik. Walau masih tampak duduk di kursi roda.

Cewek itu memandangi foto Darja cukup lama, merapalkan beberapa doa untuk kesembuhan Darja, ia bersyukur Bryan masih bermurah hati untuk memberinya kabar tentang Darja.

"Kangen, Ja. Cepet pulang."

Aika berkata lirih, angin malam memeluknya lebih erat, membuat rindu itu menumpuk kian banyak, menyerang dengan kejam. Kehilangan memang selalu menyakitkan.

Suara bel apartemen membuyarkan lamunan cewek itu, Aika mengeryitkan dahinya. Apakah itu Erka? Hanya Erka satu-satunya keluarga Darja yang tahu jika kunci apartemen Darja ia pegang. Tapi, Erka tidak pernah memberinya kabar jika akan datang.

Diiringi rasa penasaran, Aika melangkah untuk membukakan pintu. Kedua matanya berserobok dengan tatapan milik sosok yang ia kenal. Eogan.

"Jadi bener apartemen Darja lo yang bawa kuncinya?"

Aika mengangguk, "kenapa?"

"Gue mau minta waktu buat ngomong, boleh?"

"Udah malam," jawab Aika ketus, ia malas berurusan dengan Ega, setelah tahu bagaimana keegoisan Ega terhadap Darja.

"Baru jam delapan, nggak lama. Ngopi di kafe bawah."

Mendengus, Aika akhirnya mengangguk. Ia masuk sebentar, mengambil jaket dan dompetnya, lalu menutup apartemen milik Darja dan pergi bersama Ega.

***

"Lo pasti marah banget sama gue ya?"

Aika tersenyum miring, "Mas, dulu lo bilang mau bantu Darja buat lebih deket sama keluarga kalian, lo bilang lo peduli sama Darja, tapi apa? lo malah orang yang bikin Darja tambah jauh dari keluarga kalian, lo itu egois. Paham?"

Ega menunduk, kepulan asap di cangkir kopinya sama sekali tidak membantu membangun suasana yang tenang. Aika masih tampak marah dengannya.

"Sori. Gue emang mau bantu Darja buat lebih dekat sama keluarga kami, mungkin cara gue yang salah."

"Bahkan Darja kecelakaan gara-gara mau nemuin jenazah orang yang udah bikin hidupnya menderita. Gue miris, kenapa hidup sebegitu kejamnya buat Darja, salahnya apa?"

"Maaf..."

"Harusnya lo minta maaf sama Darja."

"Gue nggak tahu dia di mana," ujar Ega.

Darja, dan Bryan menghilang tanpa memberi kabar. Tidak ada yang tahu keberadaan mereka, bahkan urusan perusahaan pun dilimpahkan sementara pada kaki tangan Bryan. Dua orang itu menghilang tanpa jejak.

"Menurut lo gue tahu?"

Menghela napasnya, Ega menggeleng. Raut wajahnya pias, cowok itu menyesali atas apa yang terjadi pada Darja.

"Kecelakaan itu membuat Darja nggak berdaya, merenggut kehidupannya. Membuat dia harus mundur dari jabatannya sebagai Presiden BEM, kuliahnya berhenti. Dia kehilangan banyak hal yang sudah diperjuangkan selama ini. Hidupnya benar-benar hancur, kalau lo mau tahu."

Aika menggenggam cangkir kopi hitamnya dengan kuat. Patah hati membuatnya berteman dengan kopi hitam belakangan ini. Seperti pekat dan pahit, hatinya benar-benar di dominasi kesedihan.

"Sedangkan lo dan keluarga lo masih bisa melakukan hal-hal yang kalian suka dengan bebas, Darja enggak. Darja nggak berdaya sekarang."

Air matanya kembali meluruh, ia teringat dengan beberapa foto yang dikirim Bryan tadi. Membuat hatinya mendadak kembali perih.

"Gue nyesel, Ka. Maafin gue."

"Penyesalan itu datangnya selalu telat kan? Silakan nikmati rasa bersalah lo sampai akhir. Lo nggak perlu minta maaf sama gue, nggak ada yang harus dimaafin."

Aika beranjak, membiarkan separuh kopi hitamnya tidak mendingin. Ia meninggalkan Ega yang menundukkan kepalanya lemah. Aika menghapus air matanya, cukup sudah. Ia harus menjadi kuat untuk Darja, tidak boleh lagi lemah. Aika akan kembali menatap dunia, sambil menunggu Darja kembali.

"Aku percaya kamu bakal pulang. Mulai sekarang, aku baik-baik saja."

santai, belum end kok.

btw kalau kalian berminat, ayo ikut kampanye mental health di SaveYourSelf_ID ditunggu ya.

kuy komen

habis ini, kalian mau gue tetep nulis dengan tema mental health gini apa ganti tema?

ig: aristavstories

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro