1 - Bloom

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

As time goes by
My attitude towards everything is whatever
I'm sick of trivial hangouts and conversations
I don't like having to live up to other people's expectations

-Still Lonely, Seventeen-

***

Pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Kota Pelajar, Yogyakarta. Meski awalnya hanya ingin mengikuti jejak dua sahabat yang resmi menjadi mahasiswa dan berkuliah di sini, agaknya ada alasan lain yang bisa ia jadikan pegangan untuk bertahan.

Hampir saja dirinya menyerah untuk hidup karena perceraian dua orang yang paling dinanti kehadirannya demi sebuah pelukan pelepas rindu. Pertengkaran di teras kala itu, ternyata menorehkan kekecewaan hingga ia tak tahu lagi hidupnya untuk apa. Sedari kecil ditinggalkan, hidup sendiri, hanya ditemani asisten dan sopir rumah bayaran kedua orang tua.

Apa enaknya jadi anak diplomat yang lebih mencintai pekerjaannya di luar negeri ketimbang anaknya yang hidup sendiri? batinnya selalu memberontak setiap ada yang mengatakan bahwa ia begitu beruntung memiliki orang tua yang mampu membiayai dalam segala hal. Tidak perlu khawatir besok makan apa karena sekali gesek, kartu hitam itu bisa menebus apa pun yang ia inginkan.

Ya, apa pun. Kecuali, kehadiran dan belaian sayang kedua orang tua.


"Hm?" Tak ada salam yang saling berbalas saat ponsel ia letakkan di telinga kanannya.

"Udah sampai Jogja? Mama udah telepon Ares buat jemput kamu." Suara wanita yang sedikit nyaring langsung menyambar telinga.

Lelaki bersweter biru itu mendengus. "Udah dibilangin nggak usah. Kenapa maksa sih?"

"Johan, kamu itu nggak pernah pergi jauh sendiri. Di Jogja kan ada Ares, adik kamu. Mama lebih tenang kalo-"

"Hah, adik? Sejak kapan saya punya adik?" Nada suaranya terdengar sangat sinis. "Suruh aja balik itu si... siapa tadi namanya? Ah, otak saya memang nggak mau diajak buat inget nama orang yang ngerebut keluarga saya." Ia tertawa miris. "Saya udah ada tempat tinggal. Jadi, nggak usah ikut campur lagi. Urus aja keluarga Anda yang baru."

"Mahaprana!"

Sontak jempolnya menekan tombol merah untuk memutus telepon. Jika nama depannya sudah terucap, otomatis hanya akan ada nasihat demi nasihat terlontar untuknya. Ia malas mendengar ocehan wanita yang sok tahu akan hidupnya-meski itu adalah ibunya sendiri. Hati Johan selalu memberontak dan menolak apa pun perkataan wanita itu sejak ia tahu bahwa keretakan keluarga dua tahun lalu disebabkan oleh ketidaksetiaan sang ibu pada ayahnya.

Johan kembali menatap layar ponselnya dan menekan tombol tiga. Panggilan cepat itu segera diikuti nada sambung telepon dan berbalas setelah tiga nada tunggu berbunyi.

"Assalamu'alaykum," sapa suara di ujung sana.

Senyum mengembang di wajah Johan. "Yo! Kapten Dee! Sibuk nggak nih? Traktir gua dong! Baru nyampe Jogja, nih."

"Lah, tumben! Biasanya nggak pernah ngajak-ngajak kalo nggak diajak. Pergi sama Jun aja sono!"

"Ngapain gua nelpon lu kalo bisa sama Jun. Dia ada acara sama keluarganya. Kirim alamat kosan lu, yak! Gua samperin." Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Johan mematikan sambungan telepon dan segera membuka aplikasi taksi online setelah mendapatkan alamat tujuan dari sahabatnya, Adeera.

***

"Buset dah, jauh-jauh ke Jogja makannya KFC lagi," celetuk Johan setelah mereka duduk di meja dekat jendela besar.

Dee tidak menanggapi. Ia hanya meletakkan tas selempangnya di kursi dan mengambil dompet. "Mau pesen apa?"

"Sini, gua aja yang pesen!"

Tangan Dee mendorong Johan untuk duduk, "Kamu tau, kan? Kalo lagi sama aku atau Jun, nggak usah berlagak sok bisa semuanya sendiri. Buruan, mau apa?"

"Mocca Float sama rice box teriyaki," jawab Johan sambil tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Mengikuti gerak-gerik kendaraan di luar saat lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.

Perempatan depan Manna Kampus di Jalan C. Simanjuntak tidak pernah sepi, terlebih saat itu adalah hari Sabtu di awal bulan Agustus. Banyak mahasiswa dan juga calon mahasiswa yang sibuk berbelanja kebutuhan harian atau hanya sekadar jalan-jalan menikmati langit sore.

Kursi dekat jendela selalu menjadi favorit Johan di mana pun ia menghabiskan waktu-untuk makan, ngopi, atau hanya merenungi hidup. Terkadang ia tersenyum sendiri jika melihat pengguna jalan yang juga tersenyum bersama teman, orang tua, atau pasangannya. Seolah ada kehangatan yang bisa ia dapatkan semata-mata dari kegiatan observasi jalanan. Sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan sampai bertemu dengan kedua sahabatnya di masa SMA dulu.

"Serius amat, Mas Bro!"

Bahunya sedikit tersentak saat sebuah suara menggelitik kupingnya, "Heh, maen bisik-bisik kuping aja. Bukan muhrim, ya, ukhti," gerutu Johan, tetapi dengan nada bercanda.

Dee meletakkan nampan berisi pesanan mereka di atas meja. "Makan dulu, ntar lanjutin ngelamunnya."

"Lu suka mikir nggak, Dee-"

"Sukalah! Nggak mikir ntar otak aku berhenti berfungsi kan bahaya."

Johan mendengus, "Ye, belom kelar gua ngomong udah diputus aja." Ia meneguk mocca float pesanannya dan membiarkan es krim di atas minuman itu tetap utuh.

Perempuan berkucir kuda di hadapan Johan tak bergeming. Ia sibuk membuka bungkus nasi organik, lalu melahapnya bersama ayam krispi yang sedikit pedas.

"Pernah nggak, sih, lu mikir hidup lu itu buat siapa? Apa lu hidup buat nyenengin orang lain doang, atau buat jadi perpanjangan mimpi orang lain yang nggak kesampaian, atau buat ngeduplikat hidup orang, atau hidup lu ya buat bebas aja gitu? Bebas terserah lu mau dipake buat apa." Johan mengulangi pertanyaannya dengan kalimat yang lebih lengkap dan jelas.

"Kamu masih disuruh jadi diplomat sama mamamu?"

"Wanjir! Lu kalo ngerespons jangan tepat sasaran gitu dong. Kan gua berasa kalah dapet poin."

Dee tertawa, "Dikira main basket apa pakai poin segala."

"Iye dah. Jawab dulu napa. Makannya ntar lagi habis lu jawab," desak Johan sambil meraih rice box dan menyantap isinya dengan lahap.

"Gini ya, Mahaprana-"

"Jangan pakai nama itu. Berasa mau diceramahin gua, males."

Dahi Dee berkerut. Bibirnya sedikit cemberut, "Banyak mau dasar! Gini, ya, Johan...." Ia menjeda sejenak untuk menelan hasil kunyahan di mulutnya. "... Kalo kamu nggak mau jadi duplikatan orang tuamu, ya bicarain baik-baik. Kalo kamu mau lepas ketergantungan dari mereka dan belajar mandiri kayak yang sering kamu lakuin, usahakan dan buktikan. Hidup kita ini tujuannya jelas sebenernya, cek lagi aja di Al-Qur'an. Kita berhak milih mau dibawa ke mana hidup ini. Selama nggak bertentangan sama agama, kamu bisa ngapain aja."

"Termasuk balas dendam? Atau loncat dari atap kosan?"

Tangan Dee sigap memukul lengan Johan, "Mulut dijaga, woy!"

Tawa renyah keluar dari lisan Johan, "Iya tau. Gua cuma butuh dikuatin aja kok."

"Lakuin apa yang kamu mau selama itu hal baik. Tapi, tetep inget. Kamu nggak hidup sendiri. Jangan sungkan minta bantuan orang lain. Terus... seburuk-buruk orang tua, mereka tetap orang tua yang perlu dihormati. Jangan di-anjir-anjir-in."

"Anjir! Diceramahin lagi kan gua mah kalo nanya elu."

Manik mata cokelat tua milik perempuan di hadapannya membesar.

Johan tertawa. Logikanya membenarkan perkataan sahabatnya itu, tetapi hatinya masih menolak untuk menerima apalagi merealisasikan perkataan sahabatnya itu. Perceraian dan pernikahan kedua yang dilakukan masing-masing orang tuanya membuat Johan benar-benar merasa terbuang.

Ah, tidak sepenuhnya terbuang.

Finansial dan segala fasilitas yang dibutuhkan oleh Johan selalu siap sedia. Bahkan, orang tuanya memberikan black card-kartu debit salah satu bank negeri yang warnanya memang hitam-dengan limit transaksi mencapai seratus juta per hari, agar kebutuhan anak laki-laki mereka terpenuhi dengan maksimal. Meski awalnya enggan, ia tetap menggunakan fasilitas dari orang tua secukupnya karena ia pun belum mandiri secara penuh.

Rasa kecewa itu masih membekas. Saat ia harus bertahan hidup sendiri di akhir masa SMA, media sosial orang tuanya memperlihatkan bahwa keduanya sudah bahagia bersama keluarga baru mereka di negara yang berbeda. Mamanya di Perancis, papanya di Inggris, dan ia sendirian di tanah kelahiran-Indonesia. Bergelut bersama tuntutan, impian, dan hidup yang penuh ketidakpastian.

Di tengah santap sorenya, ponsel Johan bergetar dan menampilkan sebuah nomor tak dikenal. Alisnya sedikit terangkat, lalu ibu jarinya menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan setelah makanan dalam mulutnya tertelan dengan sempurna.

"Halo," sapanya.

"Assalamu'alaykum, benar ini Mas Mahaprana?"

"Iya, saya Mahaprana Johan. Maaf ini siapa?"

"Kenalin, Mas. Saya Ares. Saya diminta Mama jemput Mas Mahaprana di Jogja. Sekarang Mas di mana ya?"

Debar jantung Johan mendadak cepat. Ares? Anjir. Udah dibilangin nggak usah ikut campur! Kenapa maksa, sih?

Johan menarik napas panjang agar kemarahannya tertahan. "Lu pulang aja. Gua nggak butuh kasihan dari elu!" Sambungan telepon diputus tanpa basa-basi lebih lanjut.

***

Kepulan asap dari gelas besar berisi teh dan kopi panas menari di tengah keramaian angkringan dekat stasiun Tugu. Semakin sore jalanan sekitar stasiun justru semakin ramai karena banyak keluarga maupun pemuda yang menghabiskan malam minggunya di sudut-sudut angkringan Kota Yogyakarta. Ada yang duduk di dalam tenda angkringan. Banyak pula kelompok-kelompok pemuda memilih untuk lesehan santai di tikar-tikar pinggir jalan yang disediakan. Mereka saling bercengkrama hangat, terkecuali dua lelaki yang sedari tadi hanya diam menatap lalu lalang manusia di jalanan.

"Gua cabut."

Sekalinya ada kata yang terucap, Johan memilih mengucapkan dua kata perpisahan itu. Pertemuannya dengan Dee siang tadi menjadi sangat terganggu karena ibunya menelepon berulang kali. Hingga akhirnya, keputusan bertemu Ares pun diambil meski baginya pergi bersama Dee atau mengganggu Jun yang sedang ada acara bersama keluarga tentu menjadi pilihan yang lebih baik untuk suasana hatinya sore ini. Toh, akhirnya ia mengiyakan ajakan Ares bertemu hanya untuk membuat ibunya diam dan berhenti menghujaninya dengan telepon dan pesan beruntun-seolah meneror hidupnya.

"Kopinya belum diminum, Mas." Ares sedikit kebingungan, tetapi berusaha untuk tampak tenang melalui suaranya.

"Lu minum juga gua nggak peduli."

"Mas, kata Mama tinggal sama saya aja di rumah saya. Nggak jauh kok dari sini," tawar Ares hati-hati.

Johan yang masih membawa koper-karena sebenarnya belum memiliki tempat singgah-sudah siap pergi tanpa sedikit pun berpaling. "Mending gua tidur di jalanan dari pada satu atep sama lu. Udah! Jangan ganggu gua lagi!"

Ares menghela napas panjang. Ia tahu dari cerita ibu sambungnya bahwa Johan akan sulit untuk dibujuk karena kemarahannya atas keputusan sang ibu untuk menikah kembali. Namun, ia tidak tahu bahwa situasinya akan serumit ini meski sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Penolakan kakak sambungnya itu sudah masuk dalam simulasi penjemputan dalam benak, tetapi ternyata emosi yang dirasakan dalam situasi nyata lebih berat daripada prediksinya.

"Ah, satu lagi!" Johan sedikit memutar badannya dan menatap Ares dengan mata menyipit. "Bilang sama nyokap lu kalo lu udah ketemu gua dan semua baik-baik aja. Gua bisa cari tempat tinggal sendiri jadi jangan berisik lagi. Gua males ditelponin terus kayak buronan," ujarnya dengan ketus dan jari telunjuk yang mengarah ke Ares.

Sosok yang ditunjuk hanya mampu mengangguk lemah sebagai jawaban atas permintaan Johan yang lantas berlalu setelah melemparkan seringai padanya.

Sebegitu nggak sukanya dia sama gue. Alamat diteror telepon Mama lagi abis ini. Duh, gusti, hidup gini amat sih, batin lelaki berhidung mancung dan landai layaknya perosotan anak TK itu. Ia tidak lantas pergi. Kopi joss-kopi hitam yang dimasukkan arang panas khas angkringan Yogyakarta-di hadapannya terlalu berharga untuk ditinggalkan tanpa memberi hak lidah mencecap nikmatnya.

"Sayang banget, sih, kopinya nggak di minum," ujarnya berbincang pada diri sendiri. Ia sudah terbiasa menarasikan pikirannya secara verbal dan terkadang tanpa sadar. "Gue minum aja apa ya? Kan dibolehin juga sama Mas Mahaprana."

***

Entah bisa disebut turis nyasar atau gelandangan, begitulah kondisi Johan di malam minggu. Saat banyak muda mudi yang kumpul-kumpul dan berpacaran, dia hanya berjalan menarik koper di trotoar sepanjang jalan Malioboro.

Ke mana... ke mana, ke mana...
Kuharus... mencari ke manaa...

"Buset dah! Berasa dikasih backsound khusus gini jadinya," celetuk Johan saat melewati sebuah angkringan gerobak yang memutar lagu dangdut milik Ayu Ting-Ting.

Kakinya yang mulai terasa lelah akhirnya melangkah mendekati sebuah bangku besi di sisi trotoar dekat jalan. Kopernya diletakkan di depan dan ia jadikan tarikan koper sebagai penyangga kepala. Baru saja akan memejamkan mata, ponsel di saku celananya bergetar.

"Yo!"

"Assalamu'alaykum! Salam dulu napa. Di mana lu? Jadi tinggal sama sodara?"

"Waalaikumsalam, ya, akhee! Apa kabar Mbak Jen?"

"Ah, males gua. Kalo mau ketemu Mbak Jen, sini! Mau nginep di rumah gua kagak? Mbak Jen mau ada acara sama temennya, jadi lu bisa aja kalo mau nginep, Han. Paling ketemu Mbak Jen besok."

Johan tersenyum. Di satu sisi hatinya berdesir karena sahabatnya, Jun, masih mengingatnya meski hari ini sedang sibuk dengan keluarganya. Namun di sisi lain, hatinya menolak untuk merepotkan. Prinsipnya kembali mengekang, kalau bisa sendiri, ngapain rame-rame?

"Woi, gua tau lu pasti mau nolak. Tapi, Han, sinilah dulu, besok kalo mau cari kosan atau apartemen gua temenin."

"Nggak, Jun. Thanks! Gua masih bisa ngejalaninnya sendiri. Lagian...." Mata Johan menjelajah cepat dan beruntung, ia melihat sebuah masjid di tengah-tengah pertokoan Malioboro. "Lagian gua udah dapet tempat nginep kok. Sans aja!" lanjut Johan santai setengah tertawa.

"Yaudah kalo mau lu gitu. Tapi seriusan nih, telpon gua kalo butuh apa-apa!"

"Iye, iye! Besok jadi kan? Kirimin gua alamatnya yak. Ntar gua naik ojek online aja."

Johan menyimpan kembali ponselnya di saku celana. "Masjid ungu penyelamat. Semoga gua boleh nginep semalem di situ."

Ia pun menyeberangi jalan Malioboro dan melangkah ke masjid tujuannya. Setelah berwudu dan sholat Isya, lelaki bersweter biru itu mencari takmir masjid dengan bertanya pada beberapa penjaga.

"Takmirnya ada di kantor atas, Mas. Mari saya antar," ujar salah seorang penjaga masjid.

Kelegaan mulai mengisi hati Johan, tetapi tiba-tiba sirna setelah ia melihat seseorang yang ada di dalam ruang takmir.

"Loh? Ngapain lu di sini?"

***

Happy 1st Anniversary buat Anfight! 🎉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro