2 - Blending

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Our hardened relationship
Our unsolved fights
The opening door is becoming the focus point
As we turn our heads
Let's talk next time

(I Don't Know - Seventeen)

***

Jarum jam menunjuk angka dua belas lewat sedikit saat Ares terbangun di atas sofa. Ia bangun dari posisi baring sambil memalingkan matanya ke arah jam dinding.

"Astaghfirullah, telat zuhur!" serunya sedikit tersentak.

Kakinya segera melangkah cepat ke arah kamar mandi. Ia belum mandi sejak pagi karena sibuk merapikan rumah dan memasak. Meski kemarin masih dapat penolakan ketus dari kakak sambungnya setelah pertemuan tak terduga di masjid, Ares tidak ambil pusing. Vany—ibu sambungnya—menelepon subuh tadi dan mengatakan bahwa Johan akan datang, pasti akan datang. Ares sedikit tidak percaya mengingat semalam Johan terlihat jengah karena terpaksa menerima saran takmir masjid untuk tinggal bersama.

"Apa ditelepon aja, ya? Biar dapet kepastian gitu dari Mas Mahaprana," gumamnya pada diri sendiri. Jemarinya mengamini gumaman barusan dan langsung mengetuk layar ponsel beberapa kali untuk menyambungkan panggilan ke tujuan.

Satu detik ... Lima detik ... Tak lama panggilan terputus.

Ares tidak menyerah. Ia mencoba menghubungi Johan lagi tepat saat sebuah pesan masuk menggetarkan ponselnya.

From: Johan
Bilang sama nyokap lo kalo lo udah sama gua. Jgn telpon gua lagi dan urus hidup lo sendiri

Ares menghela napas panjang, "This will be a long time journey, Res. Just keep it up!" Lelaki berhidung mancung itu hanya mampu melirih sendiri dan menepuk pundaknya sendiri.

Sudah terbiasa hidup sendiri membuat Ares begitu menghargai orang-orang yang datang dalam hidupnya. Meski hanya sekadar lewat dan meninggalkannya lagi, setidaknya ada teman untuk bercengkerama dalam kesendiriannya karena ia tidak suka sendirian. Terlebih, di rumah yang cukup besar pemberian ayahnya. Katanya, dia akan tinggal bersama kakak laki-laki—anak dari sang ibu sambung—sehingga dirasa lebih baik membeli rumah baru daripada tetap tinggal di rumah lama milik orang tuanya.

Sebenarnya Ares lebih senang tinggal di rumah lama karena membuatnya merasa dekat dengan ibu kandungnya yang sudah tiada. Selama lima tahun belakangan, ia mulai nyaman hidup bersama kenangan yang ditinggalkan sang ibu. Kehangatan, kelembutan, dan perhatian mengisi hari-hari remajanya. Namun, sejak sang ibu tiada, ia terpaksa mendewasa sendiri karena ayahnya sibuk bertugas di luar negeri. Memorinya melayang membawanya kembali ke saat ia dikenalkan pada ibu baru.

"Res, ini Tante Vany. Insyaa Allah bakal jadi ibu sambung kamu."

Ares yang sebenarnya ingin menghabiskan weekend di perpustakaan kota diminta ayahnya untuk datang ke restoran elite itu. Meski usianya baru enam belas tahun, ia sudah cukup dewasa untuk mengerti kondisi sang ayah yang memerlukan pendamping hidup. Ia masih diam dan melempar senyum canggung pada wanita berambut panjang bergelombang di depannya. Cantik. Secantik para turunan priayi.

"Salam kenal, ya, Ares. Semoga kita bisa saling menerima dengan baik," ujar sang wanita begitu lembut.

"Salam kenal, Tante."

"Oh, ya. Tante Vany punya anak laki-laki juga. Sama-sama kelas 11 kayak kamu. Ares ini sempat masuk kelas akselerasi waktu SMP, Van. Berarti anakmu setahun lebih tua, ya, dari Ares?" Netra sang ayah menatap wanita pilihannya untuk memastikan.

"Iya, nanti Tante kenalin ke kamu ya, Res."

Ares hanya mengangguk. Tak terbersit sedikit pun dalam benaknya bahwa perkenalan yang dijanjikan akan membawa benang merah baru dalam hidupnya.

Saat tersadar dari memori itu, Ares lagi-lagi menghela napas panjang. "Yaudahlah, inget kata Bunda dulu, yang penting berbuat baik aja terlepas gimana tanggapan orang lain. Sabar, sabar, siapin sambutan sebaik-baiknya aja," lirihnya pada diri sendiri yang kemudian melangkah menuju dapur, melanjutkan hal-hal yang belum selesai dipersiapkan.

***

"Johan! Di sini!"

Suara seorang perempuan yang sangat familier di telinganya sontak membuat senyum kembali muncul tanpa permisi. Di tambah lagi, saat memalingkan pandangan ke arah suara sang perempuan ada sosok lain yang sangat ia rindukan.

"Woi, Bro! Piye kabare?" teriak Johan sambil menyodorkan salam tinju pada sahabat-sahabatnya. Logat jawa yang dipaksakan itu terdengar aneh saat keluar dari mulut Johan. Apalagi suaranya begitu keras dan bergema di dalam kafe yang sedang ramai siang itu.

Sebuah pukulan mendarat di punggungnya, "Hush! Santai dikit napa," tegur sang perempuan yang tadi memanggilnya.

"Baik, Bro! Di Jogja juga lu akhirnya." Jun, sahabat yang begitu dirindukannya membalas sapaan dan salam tinju, lalu menyeruput capuccinno yang terhidang.

"Yoi! Wah gila. Nggak nyangka juga kita beneran bareng lagi satu kota. Ya, walaupun beda-beda tempat, masih bisalah ya kongkow-kongkow kayak dulu. Iya, nggak, Dee?" sahut Johan bersemangat dan berpaling ke Dee—perempuan yang memanggilnya tadi.

Ketiganya melepas rindu setelah beberapa bulan terpisah dan hanya bisa bertukar kabar lewat media sosial. Temu kangen itu sedikit mengalihkan pikiran Johan dari telepon yang mengganggunya sejak pagi.

Namun di tengah obrolan, ponsel Johan kembali bergetar beberapa kali dan hanya direspons dengan penolakan oleh sang penerima panggilan.

"Kenapa di-reject terus, Han?" Jun tidak bisa lagi menahan rasa penasaran setelah melihat sahabatnya itu berulang kali menolak panggilan masuk di ponselnya.

"Bentar, gua matiin aja dulu." Johan menekan tombol power dan membiarkan ponselnya mati.

"Lu angkat juga nggak apa-apa. Kali aja penting."

"Nggak ada yang lebih penting selain habis ini gua bisa dapet tempat kos termurah dan terenak. Atau ...." Johan memberi tekanan pada kata terakhir karena ia melihat kerutan di dahi dua sahabatnya. Ia menimbang-nimbang karena enggan merepotkan dua orang di depannya. "Nggak jadi. Gua cari kosan sendiri aja deh," lanjutnya.

"Masih nggak mau nerima tawaran saudara kamu, Han? Siapa itu namanya—"

"Nggak!" tegasnya memotong kalimat Dee. Air es yang tersaji di meja langsung ia teguk setengahnya. "Gua nggak mau bergantung lagi sama apa yang mereka kasih, Dee. Lu berdua ngerti kan gimana kondisi gua sama mereka?"

Tatapan sayu terpancar dari mata Jun. Ia ingin berargumen, tetapi saat ini hanya bisa mengangguk. "Oke, gua tau lu mau nyari sendiri dan nyelesein semuanya sendiri," ujar Jun setengah menyindir, "Tapi daripada lu nyasar dan malah jadi gelandangan yang ketangkep Satpol PP, mending gua bantu. Gimana?"

Johan ragu. Keinginannya untuk bisa membuktikan bahwa ia mampu hidup sendiri—benar-benar tanpa bantuan orang lain—membuatnya selalu menolak bantuan orang lain. "Santai, Jun. Gua bisa sendiri. Ada google maps, selo."

"Mahaprana! Bisa nggak, sih, kamu kesampingin dulu ego buat ngelakuin semuanya sendiri? Kamu itu hidup nggak—" Suara Dee meninggi.

"Oke, oke, daripada gua diceramahin Dee," sergah Johan dengan kedua telapak tangannya mengarah ke perempuan berkucir kuda itu. "Sorry ya, gua baru dateng malah ngerepotin."

Jun tertawa, "Santailah, kayak sama siapa aja lu. Nah, sekarang, coba jelasin dulu apa rencana lu ke depannya. Jangan ngalihin pembicaraan lagi. Gua yakin lu ke Jogja bukan cuma mau ngikut gua sama Dee aja," tegas Jun.

Seringai tipis terlihat dari wajah Johan. "Tadinya gua cuma mau cerita ke Dee karena nggak mau nambah beban lu yang juga masih berproses sama keluarga lu. Mana habis ini ngerepotin lagi buat cari kos-kosan. But, okay. Gua ceritain."

***

Mobil biru berpelat AB melaju memotong jalanan ringroad Yogyakarta dan mengarah ke daerah Condong Catur. Di dalamnya dua sahabat itu asyik dengan dunia masing-masing—Johan yang terlihat takjub dengan kerapian lalu lintas yang tidak pernah ia temukan di Bogor dan Jun yang mengetuk-ketukkan jarinya ke kemudi mobil mengikuti alunan musik.

Setelah mendengar rencana Johan, Jun menepati janjinya untuk menemani Johan mencari tempat tinggal di Yogyakarta. Tidak ada permintaan khusus, yang penting indekos atau apartemen impian Johan adalah yang memiliki dapur besar dan biayanya tidak lebih dari satu juta rupiah per bulan. Maka, mobil itu melaju ke beberapa tempat yang menyediakan kos eksklusif.

"Mau coba ke sini?" tawar Jun saat mobilnya berhenti di sebuah bangunan bercat cokelat.

Johan melihat-lihat sekilas dari luar. "Dari empat tempat yang udah kita datengin, kok kayaknya yang ini sama aja ya? Paling dapurnya standar."

"Ya, gimana, Bro. Namanya juga kos-kosan, dapur bersama mah standarlah."

"Cari apartemen deh. Nggak ada budget minimal. Babat aja."

Jun tidak mengelak, meski dalam hatinya sedikit kasihan dengan sahabat di sampingnya itu. "Yaudah, coba ke daerah Seturan atau ke Jakal, deh."

Johan hanya mengangguk. Pikirannya sedang penuh hingga keributan yang biasa keluar dari mulutnya seketika tenggelam begitu saja.

"Lu nggak apa-apa, Han?" Jun sebenarnya tahu, jika Johan yang cerewet dan ramai mendadak diam artinya banyak yang berkecamuk dalam pikiran maupun perasaannya. Mungkin juga, lelaki di sampingnya itu sedang lelah untuk mengeluarkan energi positif yang biasa dihadirkannya. Lelah berpura-pura.

"Sebenernya gua bingung," gumam Johan sambil menegakkan posisi duduknya yang mulai merosot. "Menurut lu, mending gua babat aja serumah sama anaknya suami nyokap gue itu, apa gimana?" Matanya menatap lurus ke jalanan.

"Kalo lu nanya menurut gua gimana, ya, mending lu tinggal sama sodara lu itu aja. Nggak ribet. Gua juga tinggal anter jemput sampai mobil lu dikirim ke sini." Jun tertawa.

"Ah elah, itu mah elu aja. Tega lu sama gua. Lu yang nawarin nganter cari kosan, eh, elu juga yang ngeluh."

"Bukan ngeluh. Sekarang gini deh...." Jun memalingkan wajahnya ke samping kiri sambil menunggu lampu lalu lintas berubah hijau. "Lu kan pernah bilang juga ke gua, masalah keluarga nggak bisa diselesein sendirian. Nah, kenapa sekarang lu masih saja keras kepala sama kebiasaan lu? Kenalan noh sama sodara lu. Siapa tau dia beneran ada niat baik. Nggak enak cuy, niat baik mau bantuin tapi ditolak mulu. Kalo gua sih udah biasa ama elu yang loneholic, maunya serba sendiri. Lah sodara lu itu—"

"Ya, selama bisa sendiri ngapain nyusahin orang, sih," potong Johan dengan dahi yang mengerut. Dua alis tebalnya hampir menyatu karena kerutan itu.

"Bro, kadang lu butuh bantuan orang kalo lagi kepepet gini. Kepepet kan lu sekarang? Daripada jadi gelandangan Jogja. Kali aja rumahnya gede kayak yang lu pengen—ada dapurnya," jelas Jun panjang lebar.

Pelipis yang tidak terasa gatal itu digaruk perlahan sambil menguap. "Anjir!" Kata sakti Johan akan selalu keluar saat ia kembali waras. "Bener siah! Dia kan dapet duit banyak juga dari nyokap gua sama bapaknya. Apa gua cek rumah dia dulu kali ya?"

Jun mengangkat kedua bahunya dan bersiap menyambut lampu hijau, "Jangan lama-lama dihindari. Suatu saat lu juga bakal tetap ngadepin kenyataan yang nggak sesuai kemauan lu. Kalo nggak dari sekarang, ntar malah lebih parah kayak gua kemaren. Keseringan lari dari kenyataan, malah makin parah. Jangan tunggu parah dululah, Han."

"Gua cuma mau manfaatin dapurnya buat keperluan gua sendiri," respons Johan datar seolah omongan Jun hanya masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Tangannya pun mengambil ponsel yang ia simpan di saku jaket dan membuka daftar panggilan terakhir. Tombol hijau ia gulirkan untuk menyambungkan panggilan ke nomor yang belum ia simpan meski sudah beberapa hari lalu menghubungi dan berkenalan dengannya.

"Assalamu'alaykum, Mas Mahaprana! Akhirnya—"

"Gua Johan. Kirim alamat lu sekarang!" ketus Johan tanpa basa-basi.

"Lho, kan kemarin udah saya kirim di whatsappnya, Mas Maha—eh Mas Johan."

"Ilang. Gua apus. Buru. Nggak pakai lama."

Panggilan pun diputus.

"Buset dah, galak amat, Bro!" Jun tertawa kecil.

"Bodo! Nih, alamatnya." Johan meletakkan ponselnya di phone holder dekat kemudi mobil lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

Mau tidak mau, sepertinya ia perlu menelan ego dan kebiasaannya. Bodo amat dah. Habis ini, cukup gua sendiri yang repot. Jangan sampai nyusahin orang dan bergantung sama orang lagi. Sekarang, yang penting gua bisa dapet dapur bagus dan tidur nyenyak dulu malem ini, batin Johan menenangkan kecemasannya.


Sesampainya di rumah Ares, Johan menekan bel yang ada di samping pintu, meski pintu itu sudah terbuka lebar—seolah sang tuan rumah memang sedang menantikan tamunya datang. Ia sesekali melirik ke arah Jun dengan tatapan melarang pergi. Badannya pun diarahkan ke halaman depan rumah—membelakangi pintu—dan memandang apa pun yang tertangkap indera penglihatannya. Sesekali ia mengulum dan menggigit bibir. Kakinya pun tak berhenti bergerak, entah itu mengetuk-ketukkan ke lantai, bergeser ke kanan dan kiri, atau mondar-mandir di depan pintu.

"Selow, Bro! Cemas amat," ujar Jun menepuk pundak sahabatnya itu.

Johan hanya mengangkat alisnya tanpa ekspresi. Saat terdengar langkah kaki yang semakin dekat, ia membalikkan badannya.

"Mas Mahaprana, ya?" tanya sesosok laki-laki berhidung mancung dengan alis tebal yang muncul dari dalam rumah.

"Johan. Mahaprana Johan." Ia mengoreksi panggilan yang dilontarkan.

Mata lelaki di depan Johan menyipit dan membentuk seperti bulan sabit saat tersenyum, "Mari, silakan masuk. Oh, ya, itu temannya Mas Maha, eh, Mas Johan?" tanya Ares saat menyadari kehadiran Jun di belakang Johan.

"Kenalin, saya Arjuna Narendra. Panggil aja Jun." Tangannya terulur dengan sopan ke arah tuan rumah, tetapi mengundang decak malas dari Johan yang memutar bola matanya.

"Ah, iya. Saya Ares Purnama Semesta. Bisa dipanggil Ares, Mas. Mari masuk."

Ketiganya pun melangkah memasuki rumah dan disambut dengan sebuah ruang tamu bersofa. Di tengahnya terdapat meja kayu berwarna putih yang berdiri di atas rumput sintetis. Rumah yang dimasuki cukup unik karena separuhnya berlantai kayu halus, separuhnya ke dalam baru berlantai keramik. Di antara dua lantai yang berbeda itu, terdapat sekat ruangan terbuat dari kayu yang bisa di geser.

Ares menggeser sekat kayu yang ternyata memisahkan antara ruang tamu dengan dapur. Ia pun mengajak kedua tamunya langsung ke meja marmer panjang di tengah dapur—seperti meja bar. Di atasnya terdapat tudung saji menutupi hidangan yang memenuhi meja dan aromanya begitu harum.

"Mas Johan sama Mas Jun udah makan siang? Ini saya masak udang asam manis, tumis kangkung, sama pisang goreng." Ares membuka tudung saji bak waiters restoran.

"Kok nggak nyambung menunya?" Johan mencibir.

"Maaf, Mas, saya nggak tau Mas Johan sukanya apa. Jadi saya masak makanan kesukaan saya aja," jawab Ares sambil tertawa kecil.

Anjir, kalo ada makanan enak gini, gua mau nolak juga nggak bisa, batin Johan.

"Saya kira datengnya sebelum zuhur. Ini saya masak udah dari pagi jadi agak dingin. Apa mau saya panasin dulu, Mas?"

"Gua mau liat dapur." Johan tidak menanggapi pertanyaan Ares dan langsung berjalan melihat-lihat dapur yang ada di belakang meja marmer.

"Gede noh dapurnya," bisik Jun yang ikut berjalan di samping Johan.

"Njir, gimana gua bisa nolak...."

"Ya, terima aja. Ribet amat."

"Harga diri gua, Bro!" ketus Johan dengan nada rendah. Ia tak mau Ares mendengar percakapannya dengan Jun.

"Lebih penting mana, harga diri apa masa depan lu? Lagian sodara lu kayaknya baik kok. Jangan skeptis gitu lah, Han."

"Saya panasin dulu aja, ya, Mas. Biar lebih mantep!"

Johan dan Jun tersentak dengan suara Ares yang tiba-tiba ada di samping mereka. Keduanya hanya memandangi tuan rumah yang sibuk memasukkan makanan ke oven. Suasana semakin canggung tatkala hening melingkupi. Tiada satu patah kata terucap. Hanya suara langkah kaki dan peralatan makan yang menggema di sana.

"Mari, Mas. Makan dulu."

Ketiganya menempati meja makan setelah hidangan kembali tersaji. Johan dan Jun duduk bersebelahan, sedangkan Ares di hadapan Jun. Sebagai tuan rumah, Ares benar-benar memuliakan kedua tamu dengan mengambilkan nasi dan lauk pauk di piring masing-masing.

"Kalo kurang, nambah sendiri, ya, Mas. Saya nggak tau porsinya mas-mas seberapa," ujar Ares sambil memamerkan deretan gigi putih indah miliknya.

Gua sih biasa porsi kuli, apalagi makanan enak kayak gini, batin Johan. Ia sebenarnya ingin blak-blakan seperti biasa, tetapi masih menjaga citra diri di hadapan adik tirinya itu. Di bawah meja, kakinya menendang pelan kaki Jun karena ia merasa risi dengan lirikan sahabatnya yang terkesan meledek.

Usai makan siang yang penuh keheningan itu, Johan sibuk mengelilingi rumah dan meninggalkan Ares yang membereskan sisa makanan sendiri—mencuci piring dan membersihkan meja seperti sedia kala. Ia juga membiarkan Jun mengangkat panggilan masuk yang ternyata sudah berkali-kali menderingkan ponsel. Mulutnya sudah gatal ingin banyak bicara, tetapi hanya jendela dan tembok yang siap sedia karena ia pun belum tertarik mengobrol dengan Ares.

"Han, gua balik, ya!" teriak Jun dari arah ruang tamu.

"Eh, ngapain cepet-cepet? Ntaran ajalah!" balas Johan tak kalah nyaring teriakannya dan menggemakan seisi rumah.

"Mobil mau dipake Mbak Jen. Udah, ah! Gua cabut, ntar diamuk. Koper lu ada di ruang tamu ya, Han! Btw, Ares, makasih makan siangnya! Assalamu'alaykum!" Jun berlalu tanpa menunggu jawaban salam dari dua orang di dalam rumah itu.

Tinggallah Johan dan Ares dalam sebuah kecanggungan suasana tanpa ada yang memulai percakapan. Hingga Johan mendekat ke dapur dan bersandar di dinding dengan kedua tangan ia masukkan ke saku celananya.

"Asal lu tau ya, gua mau ke sini dan tinggal sama lu karena dapur lu bagus. Gua butuh dapurnya aja."

Ares yang sejak tadi memasang telinga agar tetap awas dengan suara-suara di sekitar, akhirnya mendengar suara yang diharapkan. Ia tidak langsung menjawab. Tangannya menyelesaikan kupasan kulit udang yang terakhir, lalu mencuci tangan dengan cepat.

"Oh, iya. Biar saya bawakan koper Mas Johan ke kamar. Naik dulu aja, Mas. Kamarnya di lantai dua," jawab Ares dengan senyum lebar dan mata yang persis seperti garis lurus.

"Udah, koper gua yang bawa." Lagi-lagi karena Johan tidak suka dibantu, ia bergegas mengambil koper di teras dan langsung naik ke lantai dua.

Meski tidak seluas lantai bawah, di sana terdapat dua kamar dan satu pojok baca. Rak-rak buku berjajar di dinding dengan fomasi huruf U, lalu di tengahnya terdapat sebuah sofa dengan satu meja lingkaran. Tak ketinggalan, sebuah AC hadir menghiasi sisi dinding bagian kiri.

Ares tetap tersenyum dan sudah menunggu di depan kamar. "Di sini kamarnya ya, Mas. Sudah saya bersihkan. Furnitur lengkap dan kamar mandi dalam ada showernya juga. Silakan dilihat dulu. Tapi kalo ada yang kurang, bilang saya aja, Mas. Saya biasanya ada di kamar. Itu kamar saya," terang Ares panjang lebar sambil menunjuk kamar di seberang. Ia sudah seperti seorang agen properti yang mengharapkan closing.

Johan tidak menanggapi. Ia melangkah masuk dan melihat-lihat ke sekeliling kamar, termasuk mengecek kamar mandi.

"Mas Johan, saya mau tanya boleh?"

"Apa?"

"Mas Johan di sini kuliah, atau...."

"Pengangguran."

Ares mengerutkan dahi, "Tapi, kenapa butuh dapur gede?"

Tarikan dan embusan napas panjang keluar dari saluran pernapasan Johan, "Gua capek. Nggak usah kepo."

Ares tertegun.

"Dan asal lu tau, jangan sekali-kali ikut campur urusan gua. Sana pergi."

Hening melingkupi seisi rumah. Ares yang masih berusaha memahami kekesalan kakak sambungnya itu mengalah dan beranjak ke kamarnya di seberang. Helaan napas panjang mengiringi tubuhnya yang merebahkan diri.

"Baru juga hari pertama, kenapa energi udah terkuras habis gini?"

Ia pun memejamkan mata dan membiarkan jiwanya terbang ke alam mimpi.

***

Halo, salam kenal dari Ares yang baik hati dan tidak sombong!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro