3 - Infuse

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

My poison grows into a deep painful night

Why does my heart deny the truth?

-Fear, Seventeen-

***

Jika disuruh memilih, sebenarnya Johan lebih ingin meringkuk dalam selimut dan melanjutkan tidurnya. Hanya saja, ia masih malas untuk berinteraksi dengan adik tirinya yang, entah, atas alasan apa kemalasan dan keengganan itu hadir. Mungkin karena ia tahu bahwa Ares akan mengganggu kenyamanannya dalam sendiri. Pikirannya juga sudah membentuk skema bahwa Ares menjadi salah satu orang yang merebut kebahagiaan dan kehangatan keluarganya—meski ia tahu itu bukan sepenuhnya salah Ares. Berulang kali logikanya melawan, tetapi hati terus saja enggan. Sampai akhirnya dipertemukan, lelaki berbibir tipis ini memerlukan waktu untuk mencerna dan menerima keadaan. Lantas inilah pilihannya.

Sebisa mungkin tidak banyak interaksi sebelum logika mengalahkan rasa cemburu dalam hati. Tentu, selama masih bisa sendiri, untuk apa berdua atau ramai-ramai?

Setelah sarapan, Johan memilih berjalan-jalan. Kalau tidak ada hambatan yang menyebabkan keterlambatan, harusnya mobil yang dikirim dari Bogor sampai hari itu. Maka, ia habiskan penantian akan kedatangan mobil dengan ke mana-mana berjalan kaki. Ada keinginan untuk mengajak Jun menjadi supir pagi ini, tetapi kebiasaannya untuk terus sendiri sudah terpatri. Enggan mengajak jika tidak diajak.

"Apaan sih, Han. Lu kayak cewek aja, ngegalau di pinggir jalan. Sendirian pula," gerutu Johan pada diri sendiri. Pendar matanya masih redup karena menahan kantuk dan mulutnya menguap beberapa kali.

Johan tidak sadar bahwa kakinya telah melangkah cukup jauh. Ia pun tak begitu memerhatikan ke mana kaki membawanya. Kesadarannya penuh kembali saat ia tiba di bundaran sebuah universitas dan mendapati banyak orang jogging di sana.

Tertarik dengan pemandangan baru, Johan berbelok memasuki lingkungan universitas itu dengan tubuh yang sesekali berputar agar mampu melihat sekeliling dengan jelas. Lalu, sampailah ia di sebuah lapangan luas, seluas lapangan sepak bola, dengan tiang bendera berada di ujung utara lapangan. Kursi-kursi batu berdiri kokoh di pinggir lapangan. Sadar bahwa kakinya butuh diistirahatkan, Johan duduk di salah satu kursi batu.

"Johan?"

Sebuah suara muncul di belakangnya. Begitu familier, hingga pendar mata yang redup kini cerah dan penuh binar. Sontak, Johan bangkit dari duduknya—yang belum sampai lima menit beristirahat—lalu menyeringai ke sumber suara.

"Ngapain lu?"

"Olahragalah! Jogging pagi-pagi sehat daripada ngegalau kayak lu," ledek lelaki di depannya.

"Anjir, lu, Jun!"

Johan langsung melingkarkan lengannya ke leher Jun dan berlaga mengunci leher itu. Enggan diam saja, Jun membalas serangan Johan, hingga akhirnya mereka berdua berjalan beriringan mengelilingi lapangan.

"Ngape dah pagi-pagi duduk sendiri kayak habis diputusin cewek? Cewek aja nggak punya kan lu! Orang hobi sendirian kayak elu mana bisa punya cewek." Masih saja ledekan dilontarkan oleh Jun.

Johan berdecak kesal. Langkah kakinya lambat dan diseret seolah malas untuk berjalan. Rasa gusar itu terpampang jelas di wajah dengan kerutan di antara alis dan bibir yang maju beberapa senti.

"Kenapa? Ribut lu sama Ares?"

"Kagak." Akhirnya Johan bersuara setelah mengembuskan napas panjang. "Biasalah, gua pengen sendiri. Nyaman aja gitu jalan sendiri. Ya, lu tau kan gua lebih suka sendiri dan kalo pun butuh temen, cuma lu sama Dee yang bisa gua gangguin. Eh, emang ya... jodoh nggak ke mana, malah ketemu di sini," cerocosnya disertai kedipan nakal pada Jun.

"Ih, najis!" Jun bergidik. Matanya mengedar ke sekeliling, khawatir ada khalayak yang melihat kelakuan sahabatnya dan mengira mereka tidak normal. "Jadi lu jalan dari rumah?"

"Yoi."

"Buset dah!"

"Gua numpang mandi tempat lu dong. Abis itu anterin gua daftar sekolah masak."

"Mandi di rumah lu aja napa? Tumbenan amat nggak pakai basa-basi sok bisa sendiri."

"Nggak apa-apa, biar sekalian lu nganter gua. Sekalian juga ketemu sama Mbak Jen. Kangen nih," celetuk Johan dengan cekikikan kecil. Sontak, Jun memukul pelan kepalanya.

"Susul gua. Kalo lu menang, gua iyain!" Langkah kaki Jun mendadak cepat dan ia berlari meninggalkan Johan.

Johan tersenyum tipis, lalu menyusul sahabatnya itu. Rasa gusar yang melingkupinya di pagi hari sedikit terlupakan. Ia pun tak ingin terlarut dalam kegusarannya karena saat ini bahagia lebih utama, menurutnya.

Selama ada yang bisa diketawain dalam hidup, walaupun hidup lu menyedihkan, ketawain ajalah! Sing penting bahagia dulu, batin Johan sambil mempercepat ritme larinya menyusul Jun.

***

Menang atau kalah, Jun akan tetap mengantarkan sahabatnya itu. Dalam hati ia benar-benar tidak tega membiarkan sahabatnya sendiri. Terlebih mengingat kejadian saat Johan benar-benar mau loncat dari rooftop apartemennya di Bogor.

"Gua nggak ada harganya Jun buat mereka! Percuma emang ngarepin punya keluarga yang harmonis dan selalu hadir. Lu sih beruntung masih ada kakak sama bokap lu. Kalo gua jadi elu, nggak bakal gua tinggalin mereka!"

"Han, tenang dulu," sergah Jun memegang pundak Johan yang sudah berdiri memanjat pagar rooftop.

"Sumpah gua nggak tahan lagi! ANJIR! Gua nggak mau bergantung lagi sama mereka. Biar aja gua mati dan nggak jadi beban buat siapa pun. Nggak buat lu, nggak juga Dee. Biarin gua sendiri, anjir!" Teriakan dan umpatan terus keluar dari lisan Johan.

Jun menarik tubuh Johan dan meremas kerah jersey basketnya, "Denger, Han! Mati nggak nyelesein segalanya. Lu juga bakal kehilangan kesempatan buat ngebuktiin kalo lu lebih baik dari mereka. Gua bisa ngerti apa yang lu rasain walaupun masalah keluarga gua beda sama elu! Tapi lu masih punya gua, punya Dee. Lu masih punya hidup yang bisa diperjuangin!" Jun melepas genggamannya pada kerah jersey itu, "Sekarang gua tanya, apa tujuan hidup lu sekarang?"

Johan diam dan jatuh terduduk. Kakinya ia tekuk di depan badannya dan dipeluk oleh kedua lengannya. "Gua... gua mau lepas dari mereka. Gua nggak mau bergantung lagi sama mereka. Gua mau hidup sendiri."

Sebuah pukulan keras menyadarkan lamunan Jun.

"Heh, Arjuna! Lu ngelamun? Kelewat noh tempatnya. Gua stop dari tadi, lu-nya ngegas terus," ujar Johan setengah berteriak. Mereka baru saja melewati Jalan C. Simanjuntak dan berhenti tepat di dekat lampu lalu lintas yang kini berwarna merah.

"Eh, sorry. Yaudah, muter lagi aja bentar."

Jun menyalakan lampu sein ke kiri dan terus mengendarai motornya. Ia tidak bisa putar balik karena itu adalah jalan satu arah. Mau tidak mau, mereka memutar agak jauh untuk sampai ke tempat kursus memasak yang ingin didatangi Johan.

"Gua harap, setelah gua bisa jualan sendiri, seenggaknya black card ini bisa gua buang," tawa renyah mengikuti kalimat harapan yang Johan ucapkan pada Jun.

Jun hanya tersenyum dan mengamini dalam hati.

***

Tempat kursus memasak itu menyediakan bermacam paket kursus memasak, seperti Pastry Class, Western Food Class, Indonesian Food Class, dan beberapa kelas lainnya. Mata Johan menyipit saat melihat paket-paket kelas yang ditawarkan. Soal harga, ia tidak perlu ambil pusing selama masih memiliki akses black card dengan limit seratus juta per hari dari ibunya. Hanya kartu itu satu-satunya penghubung—yang amat terkutuk tetapi juga menguntungkan—Johan dengan ibunya. Mengikuti kelas memasak dan membuka bisnis di bidang Food & Beverage menjadi jalan yang dipilih Johan untuk lepas dari ketergantungan pada perempuan yang telah mengkhianati keluarganya.

"Wanjir, nggak salah keputusan gua buat nggak kuliah. Mending ikut beginian bisa langsung cari duit sendiri," cerocos lelaki berambut hitam kecokelatan itu.

"Iye dah, asal kalo lu sukses duluan jangan lupain gua yang masih berjuang kuliah."

Johan tertawa lepas, "Gua ambil yang mana, ya, paketnya?"

"Kalau Mas mau buka usaha, mending ambil paket Food Bussiness juga. Selain belajar masak beberapa resep makanan Indonesia dan western, ada juga kurikulum terkait manajemen dan bussiness planning untuk buka usaha juga," ujar perempuan petugas meja pendaftaran dengan senyum merekah.

"Berapa lama kursusnya?"

"Kalau ambil private, jadwal bisa terserah Mas Johan. Kalau setiap hari kursus, bisa selesai paling cepat satu setengah bulan. Chef yang mengajari juga bisa datang ke rumah, jika Mas Johan mau seperti itu."

"Oke, private class saja, Mbak."

Johan pun diminta mengisi formulir dan menyerahkan fotokopi KTP sebagai bukti identitas. Tinggal tahap akhir, yaitu pembayaran.

"Untuk Professional Cooking Private Class biayanya 42 juta, ditambah enam materi food bussiness class biayanya sembilan juta, totalnya 51 juta sekian, Mas. Mau dicicil atau bagaimana?" terang petugas pendaftaran.

Johan mengeluarkan black card yang sedari tadi sudah ia genggam, "Saya bayar lu—" ucapannya terpotong karena ia tersentak dengan bunyi nada dering ponselnya. "Sebentar, Mbak." Johan pun menyingkir dari meja pendaftaran untuk menerima telepon.

"Assalamualaikum, Mas Johan di mana?"

"Waalaikumsalam, siapa nih?"

"Ares, Mas."

Johan menurunkan ponsel dari telinganya dan melihat ke layar, oh, pantesan, nggak gua simpen nomor dia, batinnya, "Ngapain lu? Kepo banget."

"Mas beneran nggak ada pegangan uang? Barusan Mama telepon, saya disuruh nyamperin Mas Johan." Suara di seberang sana terdengar panik.

"Alah, ngada-ngada. Nggak, gua ada uang. Udah sana lu urus urusan lu sendiri."

Johan mematikan panggilan itu dengan ekspresi bingung. Bisa-bisanya ia dibilang tidak memiliki uang padahal black card selalu ampuh di tangan. Paling juga akal-akalan perempuan itu biar terus ganggu hidup gua. Johan pun kembali ke meja pendaftaran untuk menyelesaikan pembayaran.

"Ini, saya bayar pakai ini, Mbak." Johan menyerahkan black card andalannya dan memberi seulas senyum manis pada petugas pendaftaran.

Namun, wajah perempuan yang berulang kali menggesek kartu kredit berwarna hitam itu tidak terlihat baik. Bibirnya maju beberapa senti, dahinya mengerut, dan matanya sesekali melihat ke arah Johan.

"Kenapa, Mbak?" tanya sang pemilik kartu.

"Ehm, Mas. Ini kartunya nggak bisa dipakai."

"Maksudnya?"

"Tulisannya, kartu ini diblokir."

Dua pasang mata menatap Johan penuh tanda tanya. Sedangkan yang ditatap pun lebih tak karuan lagi ekspresinya. Segera ia keluarkan ponsel dan membuat panggilan.

"Apa-apaan! Sejak kapan kartu saya diblokir?" Suara kemarahan Johan menggelegar di dalam ruangan setelah panggilan teleponnya diangkat.

"Oh, hai anak Mama yang ganteng. Apa kabar Mahaprana? Baik-baik kan sama Ares?"

"Nggak usah basa-basi! Maksudnya apa ini?"

"Kenapa? Kartu kamu diblokir, ya? Iya. Mama alihin semuanya ke Ares. Kan kamu sekarang tinggal bareng dia. Jadi kalo butuh apa-apa minta dia aja, ya, sayang. Mama sibuk. Nanti Mama telepon lagi, ya!"

Sambungan telepon terputus.

"BANGSAT!"

Teriakan dan umpatan yang keluar dari mulut Johan membuat seisi ruangan tersentak dengan bola mata yang sama-sama membulat. Mereka tidak tahu bahwa lelaki yang berteriak sejak tadi benar-benar sedang di puncak kemarahannya.

Jun yang ada di samping Johan tidak berusaha angkat suara karena ia tahu, kemarahan sahabatnya ini sulit untuk diredam, terlebih ketika zona nyamannya di ganggu. Ia pun hanya meminta maaf pada seluruh manusia yang hadir di ruangan dan bernegosiasi dengan petugas pendaftaran agar menunda proses sebentar.

Ada yang sesak dalam hati Johan. Ia tidak suka keinginannya untuk menyelesaikan dan mengatur seluruh hidupnya sendiri terusik oleh campur tangan orang lain tanpa diminta. Ia tidak suka kenyamanannya dalam melakukan sendiri semua rencananya kacau dengan keharusan untuk bergantung pada orang lain. Ia benci dibantu. Ia benci merepotkan orang lain.

Johan hanya ingin bisa melakukan semuanya sendiri karena ia merasa mampu hidup sendiri dan ingin terlepas dari bayang-bayang ketergantungan pada mereka yang memiliki kuasa atasnya—selain Tuhan. Namun kini, ia terdesak. Ia pun membuat panggilan lain setelah terdiam beberapa saat, "Heh, anjir! Sini lu sekarang!"

Tidak sampai sepuluh menit, seseorang yang ditelepon Johan itu sudah sampai. Tatapan yang ia tujukan pada Johan tak berbalas karena yang ditatap hanya duduk di kursi tunggu sambil melipat kedua tangan. Jun menghampiri lelaki berkemeja kotak-kotak itu dan menjelaskan permasalahan yang terjadi. Mau tak mau, biaya pendaftaran kursus akhirnya dilunasi oleh Ares. Meski tidak memakai black card keramat, Ares ternyata menolak saat ibunya menawarkan fasilitas itu dan lebih memilih menggunakan kartu debit biasa.

"Biar hidup tenang pakai uang yang beneran ada, bukan berhutang," ujar Ares dulu saat memberi alasan akan penolakannya.

Johan masih bergelut dengan rasa kesal, tidak enak, malu, dan beragam perasaan campur aduk lainnya hingga hanya mampu terdiam saat Ares datang dan menyelesaikan pembayaran. Gua cuma bisa jadi beban hidup. Susah amat sih mau lepas dari orang-orang itu, batinnya terus menyalahkan diri dan keadaan.

"Han, gua habis ini ada kuliah. Lu mau balik lagi ke kampus apa gimana?" tanya Jun setelah mereka keluar dari gedung utama tempat pendaftaran kursus.

"Yaudah, lu ke kampus aja. Gua mau jalan sendiri."

"Mas Johan mau ke mana? Biar saya antar," tawar Ares yang tidak lelah berusaha mengajak kakak sambungnya itu bicara.

Lelaki yang mendapat pertanyaan itu hanya diam dan menatap sinis sang penanya, lalu mengalihkan pandangan ke sahabatnya, "Gua duluan," tukasnya lalu berpamitan.

"Eh, Mas Johan nggak mau saya antar?"

"Udah, kalo dia bilang mau sendiri, nggak usah di ganggu gugat. Biarin aja dia sendiri dulu. Itu zona nyamannya yang nggak mau diutak-atik sama sekali." Tangan Jun meraih pundak Ares dan menepuknya pelan. Ia pun melangkah ke parkiran motor, meninggalkan Ares yang masih berusaha mencerna keadaan.

***

Semoga suka dengan update hari ini!

Kayaknya kemarin panjang banget ya chapternya, jadi pengen tanya...

Kalian tim yang suka baca chapter panjang atau chapter pendek? 😁


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro