4 - Palate

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Having zero thoughts of consideration, 
Just be aware of those charms that aren't noticeable
Even if you always work hard to look good

(No F.U.N - Seventeen)

***

Berjalan kaki menyusuri jalanan Yogyakarta tidak perlu khawatir ada angkutan kota atau kendaraan umum lain yang berhenti sembarangan seperti di Bogor. Selain karena selalu tersedia trotoar untuk pejalan kaki, di Yogyakarta tidak ada angkutan umum selain TransJogja. Memang sesekali lewat bis-bis kecil seperti mikrolet yang mengangkut penumpang, tetapi mereka hanya lewat di jalan tertentu saja.

"Untung tadi sempet makan di tempat Jun, jadi gua masih ada cadangan energi sampai sore nanti," bisik Johan pada dirinya sendiri.

Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa ibunya benar-benar memutus akses keuangan satu-satunya yang dimiliki? Ya, memang kemauannya untuk membuktikan bahwa ia mampu melakukan semuanya sendiri membuatnya ingin mandiri juga secara finansial. Akan tetapi, ada tahapan yang perlu Johan lewati untuk bisa benar-benar lepas ketergantungan. Ia membutuhkan modal usaha dan tidak mungkin baginya meminta kemurahan hati dari Ares.

"Gila, dibayarin kayak tadi aja harga diri gua berasa diinjek-injek. Walaupun semua fasilitas dan bahan masak buat kelas dikasih dari tempat kursus, kalau gua mau jualan kan tetep kudu beli bahan sendiri. Apa gua jual sesuatu aja ya biar dapet cuan?"

Johan terus memutar pikiran dan tidak sadar bahwa langkahnya sudah membawa ia ke daerah Tugu Jogja. Sedikit lelah karena telah berjalan lumayan jauh membuat Johan akhirnya memilih duduk di salah satu kursi yang tersedia di trotoar. Tepat saat ia duduk dan menyandarkan punggungnya, ponsel dalam saku berbunyi nyaring.

"Assalamualaikum." Sebuah keajaiban akhirnya Johan menjawab telepon dengan salam terucap pertama kali.

"Waalaikumsalam, dengan Mas Mahaprana Johan Arrayan?"

"Iya, benar. Ini siapa?"

"Saya petugas kargo. Ini mobilnya Mas Mahaprana sudah sampai Jogja. Mau diambil atau diantar?"

Manik mata Johan membulat beriringan dengan seulas senyum yang muncul di wajahnya, "Wah, pas banget. Kalo bisa dianter boleh, Pak!"

"Posisi di mana, Mas?"

Johan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia masih belum sadar kalo dirinya tepat berada di seberang monumen khas Yogyakarta itu. "Ah, saya ada di tugu, Pak. Tugu Jogja!"

Setelah mendapat jawaban bahwa mobilnya akan sampai dalam lima belas menit, rasa lelah yang ada pada diri Johan mulai berangsur hilang. Pikirannya menyusun berbagai rencana dan hal-hal yang akan dilakukan setelah ini.

Jemarinya terus menggulir dan mengetik beberapa hal dalam mesin pencarian di ponsel. "Wah, ternyata ada di deket sini. Yah, nggak apa-apalah merelakan mobil. Semoga hasil penjualan mobilnya bisa gua pakai buat beli motor seken dan sisanya gua pakai buat modal jualan."

Johan pun bergegas mendatangi salah satu cabang penjualan mobil yang ia temukan lewat mesin pencari. Tak perlu membayar iklan, ia hanya perlu membawa mobil beserta persuratannya untuk diinspeksi, lalu penjualan akan terjadi. Nantinya, petugas dealer dari cabang penjualan itulah yang akan mencari dan menjual mobilnya ke pembeli langsung.

Beruntung, proses penjualan mobilnya tidak terlalu rumit. Setelah mendapat harga yang pas untuk mobil kesayangannya, Johan dan petugas penjualan mobil saling sepakat dan pembayaran yang diterimanya langsung ia gunakan untuk membeli motor seken.

Tepat saat azan isya berkumandang, seluruh proses Johan untuk mendapatkan uang pegangan selesai. Ia ingin segera pulang, mandi, dan merebahkan diri di kasur untuk bersiap menjalankan rencana selanjutnya di hari esok.

Keesokan harinya, Johan sudah siap menyusuri Kota Yogyakarta untuk survei tempat-tempat yang sekiranya bisa dijadikan inspirasi makanan untuk jualan. Ia pun sudah dihubungi oleh tempat kursus dan kelas privat akan dimulai dua hari lagi. Saat kelas nanti, Johan bisa menawarkan masakan-masakan yang ingin ia duplikasi sehingga sebelum kelas mulai ia akan banyak menyiapkan calon makanan yang akan dijual. Selain itu, ia pun akan survei tempat-tempat yang menjadi sasaran tempat penitipan makanan. Sasaran utamanya tentu kampus-kampus Yogya.

"Di mana ada mahasiswa, di situ pasti ada yang lapar." Itulah prinsip survei yang Johan tanamkan dalam rencananya, rencana kemandirian paripurna.

Mengingat para sahabatnya berkuliah di kampus yang sama, Johan pun menjadikan itu sebagai tujuan pertama. Setelah memarkirkan motor bebek berwarna hitam biru pilihannya kemarin, ia berjalan menuju Fakultas Psikologi—tempat Dee berkuliah. Sebenarnya ia bisa saja menelepon Dee dan menanyakan letak kantin fakultas, tetapi bukan Johan jika ia tak melakukan segala sesuatu sendiri.

"Selama bisa sendiri, ngapain rame-rame?" Begitulah prinsip yang ia pegang sejak membulatkan keinginan untuk tidak bergantung pada siapa pun.

Dengan strategi cerdasnya—mengikuti kerumunan mahasiswa yang ia temui—akhirnya kedua bola mata menangkap suasana kantin yang dicari sejak tadi. Setelah melewati selasar fakultas, menuruni beberapa anak tangga, dan lorong gedung utama, ia dapat melihat meja-meja kantin yang penuh terisi mahasiswa.

"Jam sebelas. Apa lagi pada jeda kuliah, ya?" ujarnya sambil berjalan pelan menuju kantin. Matanya ia edarkan ke seluruh sudut bangunan, mencari sesuatu selain kantin.

"Johan?"

Suara yang familier menggelitik telinga kanannya. Ia pun berbalik dan...

"Yo! Kapten Dee!" teriakannya disambut tangan Dee yang menutup mulutnya segera.

"Sst, aku bukan lagi kapten, woi!" lirih Dee, "Masih mahasiswa baru nih, jangan bikin ribut, ah," lanjutnya meminta.

"Siapa, Dee?" Seorang lelaki yang memegang gelas plastik berisi minuman hitam muncul dari balik punggung Dee.

"Kenalin, ini Johan. Temenku dari Bogor."

Lelaki yang membawa minuman itu hanya mengangguk.

"Siapa, nih? Udah dapet gebetan aja lu!" Johan tertawa meledek Dee dan disambut oleh pukulan melayang ke lengannya.

"Bukan, ih!"

Tawa masih keluar dari mulut Johan. Ia pun ikut gerombolan Dee dan teman-temannya untuk menumpang makan siang di kantin.

"Eh gimana kemarin? Beneran dibayarin saudara kamu itu?" Dee membuka obrolan dengan Johan saat teman-temannya bergantian memesan makanan.

Kini tawa miris yang keluar dari mulut Johan, "Yah, taulah. Sok banget tuh anak. Mana tadi pagi heboh banget liat motor gua. Padahal dia juga punya motor sendiri." Ia tidak perlu menjelaskan banyak hal lagi karena semalam group chat mereka sudah ramai dengan sambatan dari Johan dan berita mengenai penjualan mobil Mercy juga motor barunya.

"Kamu ini, masih aja."

"Eh! Ares! Gimana-gimana? Masjidnya mau jadi tempat distribusi daging kurban?" Lelaki yang membawa minuman hitam itu kembali ke meja tempat Dee dan Johan dengan tangan kanan memegang ponsel di telinga dan tangan kiri yang membawa piring berisi nasi pecel.

Ares? Dia kenal Ares? Johan membatin.

"Eh, nama saudaramu Ares juga, kan, Han?" tanya Dee setelah teman laki-lakinya duduk.

Johan hanya mengangguk.

"Oh, jadi kamu saudaranya Ares yang bikin dia pusing gara-gara kamu maunya selalu sendiri dan nolak segala bantuan?" Laki-laki itu sudah selesai berbicara di telepon. Ia mendengar perkataan Dee dan menyambar dengan satu tarikan napas tanpa aba-aba.

Dahi Johan berkerut, "Maksud lu apa?"

"Iya, kamu kan kakak tirinya Ares yang dateng dari Bogor itu? Wah, nggak nyangka kamu temennya Dee. Kok kamu bisa sih temenan sama orang kayak dia?" Matanya beralih menyelidik ke Dee. "Bukannya dia anti sama orang lain ya? Maunya sendiri mulu."

"Aksa, ih!"

"Anjir, ada masalah apa lu sama gua?" Gebrakan meja terdengar bersamaan dengan Johan yang bangkit dari duduknya

Suasana kantin mulai memanas. Lelaki yang dipanggil Aksa itu hanya tersenyum sinis pada Johan, enggan menanggapi kemarahannya seolah tahu itu adalah hal yang biasa.

Anjirlah si Ares. Berani ngomongin gua di belakang. Awas aja lu nanti!

"Han! Johan! Mau ke mana?" Dee memanggil dan berusaha mengejar Johan yang tiba-tiba meninggalkan meja.

"Udahlah, Dee. Biarin aja orang yang nggak tahu terima kasih kayak dia! Paling mau nyari tempat buat menyendiri lagi."

Dee hanya menengok sekilas dengan wajah kesal ke arah temannya yang tertawa dengan tawa meledek itu. Ia terus mengikuti Johan—yang kini sudah berhenti berjalan cepat—hingga gerbang fakultas. Namun, pemandangan yang hadir di depannya membuat ia terkejut dan refleks menepuk dahi.

"Eh, Mas Johan lagi di sini?" Sapa lelaki dengan senyum lebar hingga matanya menjadi segaris.

Johan terlalu malas menanggapi. Asumsinya sedang menguasai diri dan melihat Ares tiba-tiba ada di hadapan membuat kekesalannya semakin menjadi. Kedua tangannya terkepal kuat dan rahangnya menegang, menjaga agar gemeretuk gigi tidak melanjutkan aksinya. Ia langsung menghindar dan berjalan menuju tempat parkir motor. Agaknya, ia harus mencari tempat lain untuk survei harga dan makanan kampus. Namun, suasana hatinya memburuk, ia jadi tidak bersemangat untuk menjalankan rencananya.

***

Btw, Palate itu salah satu istilah di dunia masak yang kurang lebih artinya kompleksitas reseptor tubuh (penciuman, perasa, sentuhan) yang pada kemampuan seseorang untuk menghargai sebuah rasa (makanan). 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro