BAB - 12: Rival & Nostalgia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mulut Satya terbuka sempurna, untung saja cairannya sudah lolos di kerongkongan. Terry benar-benar di luar dugaan sekali. Namun, Satya tidak akan menyerah gitu saja. Kepalanya ia angkat dengan bangga. "Memangnya mau gajiin gue berapa, Ter?"

"Lima juta perbulan, dengan tunjangan dan bonus kalau kinerjamu bagus." Terry juga kaget sendiri, bisa-bisanya kalimat itu keluar dari mulutnya. Namun, sudah kecebur ya sudah sekalian berenang. "Gaji ini juga masih masuk area UMR, ya? Gue juga bukan pebisnis kejam kayak di sinetron-sinetron."

Satya masih belum memberikan jawaban, ia masih menikmati raut Terry yang imut bila panik begitu. Blus dengan lengan pendek warna kuning bervolume sungguh mendukung aura anak kecilnya. Dia mengira-ngira tinggi badan Terry masih di bawah Nira, karena waktu jalan berdampingan beberapa menit lalu ujung kepalanya hanya sampai lengan atas Satya.

Satya sendiri tahu tentang dunia pemasaran digital, tetapi ia belum pernah terjun langsung jika menyangkut blogger. Ia memajukan badan, mempersempit jarak wajahnya dengan wajah Terry. Kelihatan sekali Terry sedang berusaha keras menetralisir rasa malu yang mendera.

"Sungguh tawaran yang manis sekali, Nona." Senyum manis Satya bikin Terry makin jumpalitan. "Namun, akan saya pikirkan kembali karena sedang menunggu hasil dari lamaran sebelumnya. Sambil menunggu ...." Satya menggantung kalimatnya untuk mengeluarkan sesuatu dari tas slempang model lebarnya berupa salinan CV dan portofolio dalam bentuk hard copy lalu mendorongnya pakai lima jari bergaya cakar. "Silakan Anda mengamati kinerjaku melalui ini dulu, sekalian mengenal gue lebih dalam."

Terry juga melakukan hal sama, bikin tangan Satya nyingkir otomatis. "Tentu saja gue mempelajari kelayakan lo."

"Yakin bukan karena saya ganteng tapi ngenes gara-gara nama baik saya hancur?" Memancing ini bahkan lebih baik daripada mancing ikan di danau bareng Papi dan Mas Anton sebulan sekali.

Terry menggeleng cepat-cepat, "Gue nggak percaya kalau lo itu pembunuh, Sat. Aneh aja gitu tampang lo itu rapi dan cenderung keren gini malah bacok-bacokan. Medsos lo juga aktif dan sering ramah balesin komentar followers lo itu."

Lagi-lagi ekspresi imut itu bikin Satya menahan diri untuk tidak mencubit pipi gembulnya. Ia mengingatkan diri bahwa ini tempat umum, bukan bar apalagi kamar.

"Makasih sudah percaya sama gue, Ter." Satya merasa terharu. Akhirnya ada di luar lingkar pertemanannya yang percaya. "Kalau boleh tahu, apa yang bikin lo percaya sama gue?"

Terry memajukan bibir, tampak berpikir. "Reputasi lo di kalangan sosialita tuh sudah kemana-mana, Sat. Ya gonta-ganti cewek lah, ya skandal tentang lo mabuk dan tengkar sama keluarga lo gara-gara jarang muncul di pesta-pesta Grup Anggara. Mereka tuh mikir nggak mungkin lo sampek bunuh orang, sama media suka melebih-lebihkan berita."

Di tengah-tengah hangatnya nasi goreng roa, Satya mengunyah makanannya sambil angguk-angguk pelan. Sebenarnya ia menahan tawa, tidak hanya Terry yang bilang begitu. Sahabatnya di Moon Rise pun juga seperti itu, bedanya adalah mereka saling menggelengkan kepala. Serta Satya mengirimkan hasil tangkap layar caci maki warganet pada mereka sebagai bahan lelucon.

"Sekarang medsos lo nggak aktif?" Terry memecah keheningan dengan topik baru. Lagi-lagi ekspresi bertanya Terry bukannya bikin bosan malah betah.

Ia menggeleng. "Hanya log out aja, bukan deaktif. Gue lagi jadi adminnya akun Moon Rise di Instagram, cuma nggak posting hanya balas komentar sih."

Terry menyesap lagi suapan terakhir pencuci mulutnya.

"Digital Marketing tuh bukan something new buat gue sih, Ter. Kantor lama juga gitu, waktu wawancara sama Bokap lo langsung sih dikasih pertanyaan gini gue bisa jawab dong. Tebak pakai apa? Pengalaman gue jadi adminnya Moon Rise. Ya, bisa dibilang gue ngonten, manajer keuangan, dan pemasarannya. Langsung dong, Bokap lo dan orang HRD ngecek dan nontonin vlog serta respon yang beragam." Satya membanggakan dirinya sendiri.

Terry tidak berhentinya kagum dengan percaya dirinya Satya. Bahkan saat pelayan bawa bill, ia menunjukkannya pada Satya. "Lo hitung dulu bayaran makan berapa?"

Satya menatap bill tersebut. "Gampangannya gini aja, Ter. Gue bayarin ntar lo ganti dengan yang lain? Entah nonton atau makan kayak gini lagi, bagaimana?"

Kepala Terry menggeleng. "Gue paling anti dibayarin cowok kalau belum pacaran. Gue minta Mbaknya split bill aja gimana?"

Tidak hanya Sarah saja yang punya sisi keras kepala, Terry juga. Bedanya perempuan mungil ini mainnya lebih halus. Perlahan, Satya mengatur napas sekaligus menawarkan solusi lain. "Sebelum debat terjadi, gue punya satu solusi. Kita bagi dua totalannya, nanti lo bayar sesuai ini aja. Bagaimana?"

Terry agak berpikir lama sebelum mengangguk.

Satya langsung semangat menghitung, tapi pikirannya mengatakan bahwa ia berhasil. Dari gerak-geriknya Terry yang setengah gelisah, jantungnya yang terus berpacu, hingga sesekali mengangkat rambut lurus sebahunya ke atas sambil bersandar pada kursi.

Namun, dari lima kursi mereka ada seseorang yang memotret mereka dan mengirimkannya ke bos besar.

***

"Ini laporan terbaru untuk Anda."

Si orang tersebut mengamati foto Satya dan Terry makan siang bersama di Cafe Batavia dari ponsel. Ekspresinya tidak terbaca, tapi matanya menunjukkan seringai. Kemudian mengembalikannya ke lawan bicara.

"Awasi mereka terus, jangan gegabah dan tetap bermain cantik. Kasus Sintia tidak boleh terulang."

"Baik, Pak."

***

Sarah sungguh terheran-heran dengan selera masyarakat. Sejak pemberitaannya jadi saksi Satya di kasus pembunuhan, penjualan baju Devina Boutique meningkat drastis. Bahkan para wartawan majalah mode sampai booking tempat untuk melihat desain terbaru yang katanya lebih ready to wear.

Sarah di belakang panggung mengamati asistennya yang memastikan para model sudah memakai koleksinya. Sesekali ia maju untuk membenarkan blazer yang belum terkancing, gaun selutut yang resleting belakangnya belum tertutup sempurna hingga teriak bantu model ganti celananya yang kebesaran.

Sarah menghampiri salah satu pekerjanya. "Kamu ini gimana? Sudah saya kasih moodboard sama susunannya lho. Kok bisa ketukar begini? Sudah berapa kali kamu kayak gini, Sari? Kerjamu dulu nggak gini padahal."

Nada tinggi Sarah bikin Sari kalut. Belum ada respon Sarah bersuara lagi, "Berta mana Berta? Berta."

Berta lari terbirit-birit menghampiri sang desainer setelah diberitahu salah satu kru. Dandanannya sudah rapi, tinggal tatanan rambut Berta yang masih belum sempurna akibat belum dikasih hairspray.

"Ini celana kain kamu yang benar." Sarah menyodorkan celana kain coklat yang langsung diterima Berta dengan raut lega. Ia dan model tersebut langsung ganti celana di depan Sarah dan model-model lain saat itu juga -- tentu saja mereka sudah pakai dalaman warna putih. Kemudian mereka berdua langsung ke bagian tatanan rias dan rambut.

Sarah langsung melipir dari Sari tanpa berkata apa pun. Namun, Sari tahu bahwa ini petaka. Keteledorannya pasti bakal dapat peringatan, ia menggerutu pada diri sendiri. Dia berharap tidak dipecat saja.

Kehebohan itu berakhir ketika Sarah bersama koordinir model mengabsen para model satu persatu. Hari ini ada dua puluh model masing-masing memeragakan tiga gaya pakaian dinamakan work, life, fun. Work untuk busana kerja yang didominasi blazer, kemeja putih, dan celana kain menggunakan warna tanah. Life untuk busana santai semiformal yang didominasi blus berwarna kuning bunga matahari berbahan kain katun dan celana jins warna biru terang. Sedangkan fun adalah pakaian kasual seperti kaus yang dipadu cardigan atau overall dan kaus tebal lengan panjang warna lilac.

Peluncuran koleksi Devina Boutique kali ini menimbulkan obrolan dari pengamat fesyen dan editor majalah mode bergengsi. Mereka tahu butik ini konsisten pada haute couture-nya, tetapi kali ini malah didominasi ready to wear. Spekulasi mereka mengatakan bahwa Sarah sang desainer ingin menjajal pasar kalangan menengah. Buktinya bahan-bahan yang dipakai kali ini kain daur ulang dan kain perca.

Musik berdentum adalah tanda model satu persatu memasuki runway. Kali ini berbeda, mereka akan berjalan dikelilingi para tamu yang duduk di meja bundar, tanpa panggung hanya lantai karpet. Tentu saja media mode dan penonton undangan ditaruh di bagian belakang, sedangkan tamu penting duduknya lebih dekat. Sarah bergabung dengan tamu dari majalah Dewi dan Femme.

Bibirnya tersenyum atas pancaran kagum dari mereka.

Dua jam kemudian, acara sudah selesai. Setelah mengucapkan selamat pada para tamu undangan yang akan ke bagian ramah tamah, Sarah melakukan evaluasi cepat pada model, asisten, tim tata rias dan rambut, serta kru lain.

"Acaranya sukses, dan saya suka dengan kinerja kalian," ujar Sarah pada mereka yang melingkarinya. "Saya minta maaf jika tadi sebelumnya kasar pada kalian. Saya melakukan ini agar kalian bisa gerak lebih gesit. Acara seperti ini menuntut ketelitian dan kecepatan, jadi tidak bisa sembarangan. Untuk Sari."

Sari menatap nanar tepat di iris Sarah.

"Kamu sudah berapa kali melakukan kesalahan ini?" Nada suara Sarah sungguh menancap tepat di ulu hati. "Kemarin sepatu yang tertukar, sekarang celana. Padahal sudah dijelasin lho di gantungan pakaian, apa perlu sampai saya besarkan gambar dan tulisan cuma buat kamu saja, ha?"

"Ma ... Maaf Bu Sarah," balas Sari terbata.

Sarah melipat tangan di dada, menunggu perkataan sang asisten selanjutnya.

"Saya ... beberapa hari ini hilang konsentrasi karena ... Ibu saya sakit dan ... sekarang lagi kritis."

Sarah menghela napas. "Kenapa kamu nggak bilang dari minggu-minggu kemarin, Sari?" Nadanya masih tinggi, tetapi tidak separah tadi. "Saya bisa kasih kamu cuti beberapa hari. Coba berapa cuti yang sudah kamu ambil tahun ini?"

"Baru ... tiga, Bu. Saya ... tidak mau mengecewakan Bu Sarah dan tim lain."

"Ya sudah, saya kasih kesempatan kamu lagi untuk memperbaiki diri." Kini suara Sarah terdengar seperti perintah. "Habis ini kamu ambil cuti untuk pulang kampung. Kamu jangan khawatir, masih ada penggantimu."

Sarah kemudian mengomentari bagian-bagian pada tim lain, semuanya variatif. Namun, mereka mampu beri alasan logis pada Sarah. Kemudian semua berpisah pada divisi masing-masing untuk beberes, sementara Sarah menghubungi bagian keuangan untuk bagian pencatatan keuangan agar lebih rapi untuk pertemuan di Senin pagi dan bisa dipertanggungjawabkan untuk evaluasi tahunan di akhir tahun nanti.

Begitu Sarah ingin ke area ramah tamah, sebuah pesan menghentikan langkahnya.

Satya: Sar, gw minta bantuan lo. Mau, ya, jadi psangan gw buat makan malam di hotel mewah besok malam? Mas Anton yg ngajak dn makan gratis.

Sarah mendesis kesal sembari menggenggam erat benda pipih itu. "Bisa nggak sih ini orang nggak ngerepotin aja? Pakai jasa escort, kan, bisa. Kenapa gue lagi sih?"

***

"Ngapain sih lo ngajak gue? Ada angin apa?" protes Sarah dengan bisikan setelah reservasi dengan nama Kakak Satya.

"Mas Anton kepo sama lo, Sar. Awalnya gue mau ngajak Terry, tapi dia lagi sibuk rapat buat postingan terbaru sama timnya. Nah, gue tahu lo nganggur di akhir pekan setelah jam tiga sore lewat jam tutup butik lo. Lagi pula ada Nira juga," jawab Satya dengan bisikan juga, sembari berjalan mengitari meja demi meja bulat mencari reservasi atas nama Mas Anton sesuai petunjuk dari resepsionis.

Sarah tertegun mendengar nama Nira, sahabat Satya sekaligus Kakak kelas paling ia segani. Bukan karena Sarah takut, melainkan Nira punya aura intimidasi yang kuat. Sarah malah justru diam-diam kagum pada Kakak kelas yang jutek itu. "Tumbenan juga Mbak Nira mau ikut ginian."

"Ya ini, kan, ucapan terima kasih Mas Anton ke Nira karena sudah bantuin nama Grup Anggara naik lagi setelah kasus sabotase waktu itu."

Di meja tersebut sudah ada Mas Anton dan Mbak Tyas, mereka berdua saling jabat tangan. Syukurlah Sarah mengenakan gaun tanpa lengan selutut warna merah darah dengan anting besar gantung emas putih. Gaun ini masuk dalam rancangan pribadi, digunakan untuk acara semi formal. Sementara Satya lagi-lagi tampak gagah dengan jas hitam tanpa dasinya tersebut, sialnya Sarah menelan ludah untuk mengenyahkan pikiran kotor.

Untung saja kehebohan Satya atas kedatangan Nira cukup membantu.

"Mbak Nira." Sarah berdiri saat Nira hadir dengan pasangannya yang menurut pengamatan Sarah cocok untuk mengisi lima halaman spread mode di majalah mode pria atau model koleksi Ralph Lauren.

"Sarah apa kabar kamu?" tanya Mbak Nira sambil cipika cipiki dua kali.

"Baik dong, Mbak." Sarah melepas pelukan lebih dulu. "Sudah lama nggak ketemu, Mbak. Tahu-tahu sudah jadi orang keren aja gitu. Apalagi waktu kasusnya Bu Panca, gagah berani kalau kata karyawanku."

Mbak Nira tertawa kecil. "Kamu masih nggak berubah, ya, Sar? Kalau muji berlebihan gini."

"Ih, aku nggak berlebihan, Mbak. Kenyataannya gitu, sekalian aja hajar aja media nggak berguna gitu." Sarah mengepalkan tangan sampai ke wajahnya sendiri.

Mbak Nira berdecak lalu memundurkan tubuhnya ke kiri. "Oh, ya, kenalin ini Mas Danar. Dia ini --"

"Pacar tuh," potong Satya tanpa beban karena lagi duduk bersandar. "Kebiasaan lo tuh gue apal banget, tiap lo bawa cowok ke kita kan ada indikasi maju jadi pacar. Kalau enggak, buat apa repot-repot ngenalin palingan langsung lo hempas." Lelaki itu mengibaskan tangan seperti mengusir nyamuk menggunakan raket listrik.

Tawa terbahaknya bikin Sarah langsung pukul bahunya dengan keras, bikin sekitarnya nahan tawa.

"Sakit, hey. Masih nggak ilang juga siksaan lo," desis Satya dengan pelototan.

"Mulut lo nggak pernah disekolahin emang," bisik Sarah tajam setelah berkenalan dengan gebetannya Mbak Nira.

"Sudah sudah," lerai Mas Anton yang duduk di seberang mereka berempat. "Tapi kalau dilihat-lihat kalian cocok juga, ya. Pantesan Mami terkesan sama kamu, Sarah."

"Terima kasih atas pujiannya, Mas."

"Kayaknya acara dinner gini jadi ajang take me out, Pap," tambah Mbak Tyas. "Atau acara termeheng-meheng di televisi dulu waktu kita kuliah sarjana."

Mas Anton manggut-manggut dengan wajah ceria. "Ah iya, Ma. Jadi kangen ya masa-masa dulu."

Empat orang di hadapan mereka -- terutama Nira dan Satya -- langsung pasang tampang malas karena dongeng lama zaman mereka nongkrong di studio band-nya Mas Anton -- sekarang sudah berkembang jadi studio rekaman -- belasan tahun lalu. Syukurlah tidak jadi diucapkan karena makanan pembuka sudah dihidangkan.

Acara makan malam memang berlangsung lancar, sampai Mas Anton memanggil salah satu relasi bisnis dan Sarah tahu istrinya salah satu pelanggan butiknya. Saat semua larut dalam suasana, Sarah mengamati bagaimana perubahan pasangan di depannya ini. Dia mencolek paha Satya di balik taplak meja.

"Apaan?"

Sarah berusaha agar gerak-geriknya tidak diketahui. "Bener katamu, Sat. Tuh Masnya jatuh cinta abis sama Nira."

Satya perlahan mengeluarkan kamera untuk memotret Nira dan pasangannya yang lagi bingung secara diam-diam kemudian mengunggahnya ke laman percakapan Moon Rise. Reaksinya sesuai dugaan mereka berdua.

Obi: Beneran ini anak pacaran lagi? Wah mantap Nira dah move on, kumat kali ini anak ga blg.

Balasan Tio munculnbeberapa menit kemudian.

Tio: Ha? Seriusan ini? Wah Nira, kebiasaannya ...

Satya: Lo telepon gw, sekarang. GPL. Nnti gw jlasin.

Tio: Iya Iya Sat.

Obi: Sat, gw ga ikut"an masih mantau jurnal bru.

Satya menghitung mundur dalam hati, begitu pada angka satu. Aksinya dimulai dan ia sudah berprediksi bahwa ini adalah acara makan malam paling epik dalam hidupnya.

***

Mas Anton sungguh berbaik hati kasih satu kunci kamar untuk mereka berdua nginap malam ini. Misi mereka berdua sukses, dan Nira dirudung kekagetan saat Satya bilang sebenarnya.

Begitu sampai kamar, Sarah langsung melepas perhiasan yang melekat di tubuh sambil teleponan dengan asistennya terkait pakaian mana yang harus dipajang di manekin display butik. Sedangkan, Satya membersihkan diri di kamar mandi. Tentu saja mereka bawa baju cadangan sebelum itu.

Begitu Sarah berdiri, tahu-tahu Satya sudah di belakangnya. "Ngapain buru-buru sih?"

Sarah melipat tangan di dada, menahan diri untuk tidak melihat Satya habis mandi yang menghilangkan sisi tengilnya. "Sebenarnya lo tuh maunya apa sih sama gue? Heran, cewek banyak yang lo cari tetep aja gue. Masih belum bisa move on dari gue?"

"Idih GE TO THE ER." Satya berseru heboh. "Gue tuh mau damai ama lo, Sar."

Kini Sarah yang malah melongo lalu tertawa keras. "Lo? Gue? Damai?" Ia menunjuk pada diri sendiri. "Ini kuping gue nggak salah denger apa gimana, ya?"

"Damainya sementara, sampai gue ketemu pelaku sebenarnya. Pelaku yang bikin nama gue ancur." Kemudian, pria itu bercerita tentang kasusnya yang ditutup begitu saja sama polisi dua hari lalu.

"Kasihan." Sarah pura-pura menatap iba sambil elus pipi Satya kemudian menepuknya. "Stok karma lo banyak juga ternyata."

"Lo dihubungin susah amat sih." Satya menggosok pipinya yang sakit.

"Gue mah sibuk nggak kayak lo pengangguran tapi harta nggak habis." Sarah bergerak sedikit mundur. "Terus kenapa lo minta bantuan gue? Setelah ketemu pelakunya bakal lo apain?"

Selain kasus ditutup begitu saja, Satya menceritakan tentang pertemuannya dengan Aziz beberapa hari yang lalu terkait sosok dari dalam kamar yang tidak terekam di kamera pengawas mana pun. "Alasan utama gue setelah ketemu pelakunya sih gue bakal bikin dia nyesel lalu bertekuk lutut di kaki sebelum ke polisi. Oh, ya, kira-kira lo sempet lihat nggak sih gimana orangnya?"

"Mana gue tahu astaga, lha gue cuma ngintip sekilas." Sarah mengedikkan bahu, tiba-tiba sebuah rasa iba beneran menggugahnya. "Begini aja deh, gue bantuin lo tapi dengan satu syarat."

"Name it." Satya tahu, permainan negosiasi adalah favoritnya, dan Sarah selalu suka itu.

Entah ada dorongan dari mana, Sarah perlahan mendekat. Satu tangannya sudah ada di tengkuk mendorong kepala Satya, mengikis jarak di antara mereka. Bibir mereka bertemu selama beberapa detik.

"I want this, I mean my body wants this, to you," bisik Sarah tepat di tengkuk Satya. 


A/N:

Danar adalah karakter dari valloria jangan lupa cek karyanya ya, SANG PETARUNG dan JAKARTA VIGILANTE (yang ini sudah terbit). Tentu saja ada di EMBRACING DAWN, novel kolaborasi kami di mana Nira dan Danar jadi karakter utama dan ini adalah teaser-nya. novelnya sudah tamat dan masuk ke Daftar Pendek The Wattys 2021. Doakan kami bisa menang ya.

2600++ kata
(17 November 2021)
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro