BAB - 13: Di Balik Refleksi 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tubuh Satya mematung beberapa detik.

"Apa lo bilang?" Bukannya Satya tidak percaya, ia hanya ingin Sarah melafalkannya lebih jelas. Ia mendekati perempuan galak itu.

"Gue pengen sama lo, itu syaratnya. Bukan dalam konteks perasaan ... " Sarah berusaha menjelaskan dengan susah payah. Namun, lidahnya terlalu kelu. Ini lebih sulit dari ujian akhir zaman kuliahnya dulu yang memakan banyak euro.

"Teman seks lo, gitu?" Bibir Satya menyeringai.

"Pokoknya, badan gue itu mau sama lo, ini bukan kemauan gue langsung." Sarah cepat-cepat berkilah, daripada lawan bicaranya ini salah paham.

Tangan kiri Satya terulur untuk mengelus tengkuk Sarah, kebiasaan yang ia lakukan dulu kala melakukan sesi ciuman. Bibir perempuan itu masih sama, masih nikmat dan terasa penuh. Sarah pun perlahan terhanyut dalam lidah Satya yang bermain di langit-langit mulut. Dia tidak mau kalah, kedua tangannya sudah melingkari leher mantan kekasihnya sambil mulai adu lidah sambil bergerak, perlahan tingkat permainan jadi intens.

Satya mendorong Sarah ke dinding perlahan, kali ini tangannya jadi penumpu kepala Sarah agar tidak terbentur. Perempuan itu sedikit terenyuh akan perlakuan si pejuang cinta cap kardus ini, padahal waktu SMA dulu dia tidak peduli bila kepala Sarah sedikit nyeri saat bertumbukan dengan dinding kamar mandi. Namun, tangan Sarah sudah memainkan rambut dan mencengkram pundak Satya hingga pria itu sedikit menggigit bibir dalamnya.

Mereka berjauhan sejenak untuk ambil napas, ujung hidungnya saling bersentuhan.

"Kenapa dari dulu ... lo nggak kayak gini sih? Lebih halus dan lembut." Sarah berusaha bicara di sela-sela deru napasnya.

"Kan ... kita lakuinnya di kamar mandi. Ya durasi ... dong. Emangnya ... mau kita digrebek satpam sekolah ... terus dipaksa nikah," balas Satya konyol.

Tangan Sarah menepuk keras kepala pria itu. "Kesempatan dalam kesempitannya nggak usah totalitas gitu napa. Kan bisa lo lakuin di rumah gue waktu itu."

"Keburu ketahuan gue jadi selingkuhan lo, Sar." Satya memutar bola mata dengan malas, mengingat kembali kenangan pahit yang sulit enyah tersebut. "Makanya nggak usah jadi ratu drama deh. Gue juga nggak punya harta melimpah dari Bokap pula."

"Curhat banget nih. Sudah ah lanjut," cetus Sarah kembali memainkan bibir mantan kekasihnya tersebut.

Irama mereka berdua kembali menyatu, perlahan kaki Sarah mendarat di pinggang Satya. Pria itu membawa Sarah ke tempat tidur, tetapi Sarah bangun sejenak untuk melepaskan kemeja Satya, lalu tangan Satya menarik resleting gaun merah Sarah hingga pinggang, menampakkan lingerie berenda warna hitam. Senyum Satya mengembang beberapa detik sebelum hanyut dalam leher dan tulang selangka, aroma white musk-nya Sarah makin menaikkan gairah pria itu.

Kepala Satya bergerak ke bawah, tangannya terselip ke punggung Sarah untuk melepas kaitan lingerie lalu menciumnya dengan semangat. Tangan Sarah bergerak pada pinggang Satya untuk melepas tali pinggang dan mendorong celana panjangnya ke bawah bersamaan dengan lapisan terakhir, menampakkan kejantanannya yang sempurna. Sedangkan Satya menarik sisa gaun Sarah lalu melemparnya sembarang arah sebelum menendang celananya juga.

Satya perlahan merangkak hingga Sarah terjepit. Namun, Sarah menyukainya. Lubang kekosongan itu terisi oleh sesuatu yang ia nanti-nanti. Namun, Satya terkesan malas-malasan saat sorot mata nakalnya sejajar dengan wajahnya, bikin Sarah meronta-ronta tidak karuan. Sarah membalasnya dengan membalikkan posisi lalu mencumbu leher, dada, dan perut sekencang mungkin. Hal ini bikin tubuh Satya menegang dan menjambak perlahan rambut Sarah, lekukan tubuh polos perempuan itu benar-benar ingin ia kuasai sepenuhnya.

Tidak boleh ada orang lain, hanya dia.

Namun, hal itu tidak mampu diutarakan karena lagi-lagi Satya larut dalam permainan. Posisi mereka sekarang duduk, dan remasannya di dada Sarah sungguh lembut. Desahannya adalah irama yang ingin ia dengarkan semalam suntuk.

Hati kecilnya menyukai permainan halus seperti ini. Sarah bingung, apa karena prosedur Mami Zee? Atau paling parah ... mencintai orang aneh ini. Sarah mengelak, itu sungguh konyol. Mantan terindahnya masih dipegang Rio, sayang beda negara bikin mereka tidak bisa mempertahankan hubungan. Sarah melanjutkan pendidikannya di ESMOD setelah lulus sarjana, sedangkan Rio bekerja di Malaysia.

Bisa nggak sih film nostalgia ini hilang di otak gue? Ganggu aja. Coba dulu Rio mainnya seenak Satya gini.

"Sekarang .. . Sayang," lirih Sarah tidak sabar. Kakinya membelit pinggang Satya untuk terus mendekat. Sampai-sampai dua tangan Satya bertumpu pada dipan tempat tidur.

"Tunggu dulu, Sar." Satya memicingkan mata. "Lo bawa kondom, kan?"

Sarah memutar bola mata, berusaha mati-matian untuk tidak memukul kepala orang ini. "Ada di tas gue, merek premium nggak bergerigi."

Tawa renyah Satya mengisi kamar remang-remang, ia mundur sejenak untuk melaksanakan perintah teman seksnya ini.

Mata Sarah terus terpaku pada caranya memasang pengaman, ia ingin memastikan bahwa tidak ada hal-hal aneh terjadi.

"Gue males bikin lo hamil, Sar. Jangan khawatir gitu ah. Ini pelumasnya oke, semoga lo betah," kata Satya setelah memasangnya dengan sempurna.

"Nggak usah banyak bacot, gue nggak sabar." Sarah setengah berdiri di kasur lalu mendorong Satya kembali di atasnya.

Kewanitaan Sarah kini terasa penuh, dorongan Satya terasa pas. Dia benar-benar hanyut dalam permainan, seperti tahu apa yang Sarah inginkan. Iramanya perlahan jadi cepat dan Sarah menuntut semakin cepat di tengah desahannya.

Satu tangan Satya memegang tengkuk Sarah, mencium bibir perempuan itu sejenak. Lagi-lagi tanpa perintah, saat menuju puncak, perempuan itu menyebut nama Satya berkali-kali sampai irama itu selesai. Ketika terlepas, rasa kosong itu tidak ada karena kejantanan Satya masih berada di dinding luar.

Kepala pria itu mendarat di tulang selangka Sarah, deru hangatnya malah menenangkan relung diri Sarah.

"Lo nggak usah jaim kalau pengen lagi, Sat," lirih Sarah sambil mengelus rambut tebal mantan kekasihnya.

Kepala Satya bertumpu, dagunya menancap pada atas dada Sarah, menciumnya sebentar. "Lo kenapa bisa baca pikiran gue sih?"

Sarah mendengkus. "Gue tahu pikiran pria-pria macam lo, dan gue yakin ini bukan pertama kali."

Senyum di mata Satya adalah jawaban sesungguhnya.

"Sama lo tuh justru paling enak, Sar. Entah kenapa." Bibir Satya sedikit manyun.

"Baiklah, dua ronde untuk kali ini." Kedua tangan Sarah menangkup pipi Satya.

Cumbuan itu menandakan permainan kembali berlanjut. Tidak peduli waktu mau pun ruang, hanya mereka berdua saja.

***

Cahaya matahari membangunkan Satya, tangan kirinya meraba kasur sebelah tapi sudah tidak ada. Matanya terbuka sempurna, bertanya-tanya. Masih setengah bangun, kepalanya bergerak ke segala arah hingga berhenti pada sosok yang sedang melakukan sesuatu di pinggir jendela.

"In case lo tanya, akan gue jawab lagi kerja." Sarah berkata sambil melanjutkan pekerjaannya. Kemudian ia berkata lagi. "Gue lagi bikin sketsa baru, cuma yang ini entah kapan gue wujudin."

Sambil mengenakan kolor dan celana kainnya, Satya mendekati perempuan itu dari belakang kursi. Ternyata sketsa Sarah berbasis digital, kali ini sedang membuat line art.

"Desainnya terlalu sederhana, bukan selera lo banget. Tumben," komentar Satya dengan menumpukan tangan kanannya pada sandaran kursi sambil berkacak pinggang.

Sarah menoleh. "Lo lama-lama kayak komentator bola. Sudahlah lo lamar kerjaan kayak gitu aja." Suaranya terdengar ketus.

"Bercanda kali, Sar." Satya nyengir. "Kenapa sih setiap ketemu gue muka lo ditekuk melulu kayak Paman Gober lagi sensi aja."

Sarah mengernyit dengan satu pipi terangkat. "Lo nggak sadar pembawaan lo bikin kesel orang tahu." Jari lentiknya menutup iPad Mini terbaru lalu meletakkannya di meja.

"Baiklah baiklah, Sar." Satya berjengkat mundur sambil angkat tangan.

Posisi mereka sekarang terhalang oleh kursi sebelum Sarah kembali angkat bicara. "Gue bisa bantu apa buat kasus lo?"

"Gue pengen tahu tentang sosok ini." Satya menunjukkan hasil tangkap layar buram dari penelusurannya dengan Aziz dan Rahman. "Nah, apakah dari relasi lo atau gimana? Atau siapa tahu lo kenal gitu."

Sarah menyipitkan mata, alisnya menyatu. "Gue nggak tahu, nggak jelas."

Tepat saat itu ponsel Satya berbunyi yang berisi pesan dari Aziz yang menampakkan foto versi HD walau tampak samping. Saat menunjukkannya pada Sarah, kembali perempuan itu menggelengkan kepala. "Gue masih kurang familiar ama ini orang. Namun, dari badannya sih ini cenderung ke cowok, ya. Eh menurut gue lho ini. Anehnya, jari lentiknya juga lebih ke cewek."

"Lo ahli menikur pedikur, ya?"

Sarah menjitak kepala Satya. "Serius dikit napa elah ini anak."

Satya menggosok kepala bekas jitakan. "Eh Sar, ini tuh kepala tempat hasil ide-ide. Kalau lo jitakin nanti inspirasi rusak gimana?"

"Lebay lo." Sarah mendengus. "Begini aja deh, ya. Lo kirim foto orang itu ke ponsel gue. Nanti biar gue cari lewat foto sama daftar pengunjung butik."

Tanpa respon lagi, Satya langsung mengirimkan foto itu ke laman percakapannya dengan Sarah.

"Sudah ah gue mandi dulu." Sarah melewati tubuh Satya untuk ambil handuk. Belum Satya ngomong, perempuan itu mengangkat jari telunjuk. "Nggak ada ronde lanjutan di kamar mandi, gue nggak mau kepleset."

"Iye iye, Sar." Satya berkata malas.

Matanya menelusuri gaya berjalan Sarah menuju kamar mandi. Bahkan hanya pakai pakaian handuk saja sudah berbicara elegan. Orang-orang yang tidak mengenal Sarah luar dalam pasti bakal mengira begitu, Satya mendengus.

Iya sih, dia seksi. Tapi nggak seseksi Vika sama sekali haduh.

***

"Jadi bagaimana? Kalian setuju postingan minggu ini terkait kegiatan mendaki saya?"

Semua tampak bergumam satu sama lain, ada juga yang mengangguk setuju termasuk Satya yang duduk di bangku nomor dua dari ujung kiri. Kemudian, tidak ada pertanyaan lagi sebelum pertemuan dibubarkan.

Satya berdiri untuk menemui Terry yang memainkan tablet pc. "Jadi beneran dong lo hobi mendaki?"

"Jelas dong," jawab Terry dengan senyum ceria. "Tujuan gue sebenarnya adalah menaklukkan puncak Mahameru, Sat. Gue capek orang-orang dan pembaca terus nantangin tentang gunung itu."

"Memangnya sekeren apa? Setahu gue sejak jadi lokasi syuting film keindahannya jadi berkurang menurut sebagian orang."

Satya berjalan keluar dari ruang rapat bersama Terry di sampingnya. Perempuan itu lebih mungil dari Nira, dan blus kuning serta bando warna senada memperkuat kesan anak kecilnya.

"Mahameru bukan sekadar puncak gunung buat gaya-gayaan, gunung itu menyihir gue untuk terus berusaha lebih baik. Sebenarnya waktu kuliah dulu gue hampir menaklukan puncak, tapi gagal gara-gara kalah sama udara dingin di hutannya."

Satya manggut-manggut. "Jadi, postingan terbaru lo kali ini nunjukkin aktivitas preparasi lo buat mendaki ke Semeru?"

Terry mengangguk. "Nah, tugas lo adalah pastikan pembaca gue terus hepi sama kegiatan yang masuk ke akun story media sosial khusus blog. Engagement rate sama impresinya mantap banget, terutama buat cewek-cewek modelan gue ini."

Sejak ditolak di perusahaan Grup Mahendra minggu lalu, Terry dengan senang hati menyambut kedatangan Satya di tim. Tentu saja melalui prosedur lamaran kerja pada umumnya, Terry menerima dua orang di tim termasuk Satya. Jadi, dia menempatkan Satya di bidang pemasaran sedangkan pelamar satunya lewat iklan. Satya baru tahu ternyata Terry punya studio blognya sendiri, tempatnya berupa rumah lebar dua tingkat berpagar tinggi. Namun, kesan cerianya berasa melalui warna-warna cerah seperti kuning dan krem. Satya makin bahagia karena di kantor barunya tidak harus pakai kemeja dan celana kain setiap hari.

Langkah keduanya berhenti di ruang kerja Terry.

"Lo mau makan siang bareng gue?" tawar Terry.

"Gue amat tersanjung." Satya menaruh satu tangan di dada dengan muka kagum. "Boleh deh, ya. Setahu gue rekomendasi makanan lo tuh enak-enak semua."

Mereka berdua memilih restoran jepang yang menyajikan sushi dan sashimi di salah satu mall. Satya tahu, sebelum pergi para karyawan Terry menatapnya aneh dan menjijikkan. Namun, ia tidak peduli karena Satya tidak menyakiti siapa-siapa.

"Karyawan lo rese semua sumpah. Masa ngeliatin gue kayak lihat pembunuh, padahal kasusnya sudah selesai agak lama," keluh Satya sambil memasukkan salmon sashimi ke mulutnya.

"Lo tenang aja kali, Sat." Terry menyesap ocha hangat. "Mereka cuma lihat satu sisi doang. Belum tahu kinerja lo gimana?"

Satya bicara lagi setelah makanannya masuk kerongkongan. "Sekali lagi, terima kasih sudah percaya sama gue."

"Sama-sama."

Obrolan tentang pekerjaan kembali mengalir di sela-sela makan siang, Terry juga sesekali menerima panggilan dari teman-teman sesama pengelana. Satya sendiri sampai dikenalkan ke mereka. Keceriaan itu sirna saat mata Satya menangkap Sarah yang dari kejauhan sedang menggandeng seorang pria tua seusia Papi-nya sedang duduk dan bercengkrama.

Dada Satya bergemuruh entah kenapa.

Kenapa gue harus emosi sih? Toh Sarah cuma mantan pacar, gue nggak berhak cemburu. Namun, kenapa tangan gue rasanya ingin mencakar muka Om-om girang itu? Hidih genit pula sama Sarah. Dia nggak inget sama istri dan anak apa, ya?

Apa jangan-jangan .... Bener lagi dia ngelonte?

"Wah, gue baru tahu kalau ada perempuan macam gitu berkeliaran di siang hari."

Suara Terry membuyarkan amarah kecil Satya.

"Sudah yuk, habisin aja makanannya." Kepala Satya kembali ke makanan, berusaha mengenyahkan kesebalannya tersebut. Untung saja Terry setuju, mungkin perempuan itu sedang dikejar waktu untuk kembali ke kantor.

Saat berjalan di etalase toko pakaian di lantai dasar, Terry membuka pembicaraan. "Lo kayaknya kenal sama dia. Dari tadi ngelihatinnya ngeri, kayak mau makan orang." Bahu Terry pura-pura bergetar.

Bibir bawah Satya tergigit sedikit, berusaha menahan diri untuk tidak buka mulut. "Gue nggak kenal tuh, cuma kesal aja ada cewek kegatelan gitu."

Terry memiringkan kepala sampai langkah Satya berhenti, rambut sebahu Terry sedikit berkibar. "Eits, lo jangan ngeremehin orang kayak gitu, Sat. Siapa tahu ada hal lain yang bikin dia begitu."

"Muka lo sok imut banget," goda Satya perlahan menyingkirkan tubuh Terry. Dia terpaksa melayani guyonan perempuan imut tersebut.

"Gue emang imut dan menggemaskan." Dua tangan Terry bertopang di dagu dengan posisi segitiga terbalik. Mulutnya kembali maju dengan mata mengerjap beberapa detik.

Satya menanggapi dengan senyum tipis, matanya menangkap belati yang ia kalungkan. Sinar merahnya meredup, tanda amarahnya mereda. Keduanya melewati pintu utama lobi, saat Terry sedang berbicara dengan petugas vallet, Satya menangkap sosok berjaket hitam berjalan ke arahnya sambil mengeluarkan gagang pisau dari saku.

Tanpa berpikir panjang, Satya berlari dan menendang perut orang itu sampai jatuh terlentang. Orang-orang di sekitar terkejut dan lari ke segala arah, dan tim keamanan langsung menuju area. Terry langsung menyingkir ke pilar, menyembunyikan diri.

"Masih zaman aja begal-begal," seru Satya saat dua tim keamanan menahan tangan sedangkan satu dari mereka mengangkat tubuh si Begal lalu mendorongnya pergi.

Namun, satu kalimatnya berhasil bikin Satya melongo.

"Bos nggak akan tinggal diam. Lo jangan cari-cari dia atau lo bakal ngalamin hal lebih gila dari ini."

2100++ kata
(25 November 2021)
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro