BAB - 14: Ancaman Kecil

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Astaga, sungguh tidak tahu diri orang itu."

Satya menoleh pada Terry yang berdiri di sebelahnya secara tiba-tiba dengan melongo. "Lho, sejak kapan kamu di sini, Ter? Kamu dari mana saja? Bukannya tadi antre di loket vallet?"

"Aku tadi sembunyi di balik pilar situ. Pas kamu tendang si Begal yang di belakangku langsung deh lari-lari."

Suara terengah-engah bercampur ketakutan Terry bikin Satya paham, siapa yang tidak takut jika kena kasus pembegalan? Belum lagi dengan hukum yang tidak pernah memihak korban, baik laki-laki maupun perempuan. Satpam menawarkan mereka berdua untuk ke kantornya untuk memberikan saksi. Satya sudah ingin menusukkan benda tajam itu tepat ke jantung begal. Dia menahan diri sampai-sampai mengabaikan panggilan dari satpam.

"Pak Satya baik-baik saja?"

Pria itu mengangguk.

"Ada yang mau Bapak sampaikan kepada dia?" Satpam itu menunjuk ke keparat itu dengan kepala.

Satya berjalan pelan lalu menyejajarkan tubuh pada si Begal, senyumnya menunjukkan cemooh. "Saya curiga, Anda tidak mau membegal teman saya, bukan? Tadi arah pisaumu itu tertuju pada pinggang Terry. Pertanyaan saya, apa yang anda cari?"

Begal itu tidak merespon.

"Jawab nggak." Suara Satya berubah jadi datar dan dingin. "JAWAB."

Gebrakan tangan pada meja itu bikin semua orang tersentak, termasuk si Begal. Namun, ia tetap bertahan dalam diam.

"Terus apa maksud Anda dengan Bos Besar?" Satya mengganti pertanyaannya. Mulutnya terbuka dengan alis terangkat, tanda Satya paham suatu pola. Kepalanya mendarat tepat di telinga si Begal. "Siapa yang kirim lo? Jawab, atau leher lo gue tebas dalam satu sayat."

Tubuh si Begal gemetar, tetapi tidak ada raut ketakutan sama sekali. Justru malah senyum kejam yang ia tunjukkan. "Cari Bos Besar sama dengan lo cari mati, gue cuma mengingatkan saja." Suaranya tidak kalah pelan, sehingga satpam hanya bisa bingung.

Mata Satya justru tertuju pada tato Yin dan Yang kecil di belakang telinga. Wajah mereka berhadapan dengan satu alis Satya terangkat. "Lo komplotan nya Danang, kan?"

Kini ekspresi si Begal justru berubah.

"Pak Edi yang ngirim lo buat bunuh gue?"

Bibir Si Begal gemetar, kepalanya menatap lantai ubin putih begitu juga dengan rambut bagian depan yang menjuntai. Sedetik kemudian terangkat dan berkata. "Lo salah, bukan Pak Edi yang ngirim gue buat bunuh lo dan pacar lo yang kayak anak kecil itu. Bagaimana bisa orang di penjara bisa mengirim anak buah untuk melakukan pekerjaan kotor? Anda berhalusinasi."

Tawa angkuh si Begal langsung terkunci oleh tangan Satya yang menekan lehernya. Dua orang Satpam yang di belakang Satya berusaha memisahkannya, tapi badannya kaku seperti lem. Dua tangan Begal itu menahan tangan Satya, memukulnya seakan memohon. Namun, pria itu tidak peduli. Kukunya sudah menancap di tangan Satya yang sayangnya percuma.

BUGH.

Pukulan itu melemaskan saraf di tubuh Satya sehingga cengkramannya lepas begitu saja. Si Begal mengambil napas sebanyak mungkin dan batuk-batuk.

Tepat saat dua orang berseragam coklat dengan lencana di bahu menghampiri si Begal kemudian membawanya pergi dari situ setelah bicara panjang lebar dengan Satpam dan Satya. Polisi itu menjelaskan bahwa Begal tersebut biasanya melakukan aksinya di pasar, bukan di Mall. Ini semakin menguatkan Satya akan keanehan yang terjadi.

"Ayo kita pergi dari sini."

Terry berdiri ketika mobil honda Jazz warna hitam berhenti di pelataran lobi beberapa menit setelah perempuan itu melakukan transaksi di loket. Kali ini, Satya yang nyetir karena sudah sepakat akan bergantian.

Baru kali ini Terry melihat bagaimana Satya di ambang kemarahan.

Pantesan aja dia jarang marah, ternyata bukan orang kalem aja yang marahnya mengerikan. Orang model Satya juga, dan kayaknya gue harus lebih hati-hati.

"Kenapa lo ngelihatin gue melulu, Ter? Naksir, ya?" tanya Satya dengan senyum tengil.

Wajah Terry kelabakan, tapi kembali ke mode senyum imut. "Nggak nyangka lo kalau galak lebih parah. Geer banget lo."

Satya mengedikkan bahu. "Ya beginilah gue. Namun, itu berlaku buat orang tadi, bukan buat Terry tersayang."

Terry terbahak dengan wajah merahnya yang muncul sedikit. "Masih ada masalah lo masih sempet-sempetnya ngegombal."

Ketika mobil berhenti di lampu merah, Satya menumpukan kepala pada pintu mobil menghadap Terry seutuhnya dengan wajah penuh minat. "Buat lo sih, gue nggak gombal, ya? Gue emang tertarik sama lo."

"Gile seorang Satya." Terry bertepuk tangan. "Lo emang sungguh bunglon, tadi jadi pemberani sekarang malah kembali ke habitat secepat itu."

Satya mengangkat alisnya bergantian. "Itulah gue."

***

Satu Jam sebelum Kejadian Begal

Tangan Sarah masih berkutat pada line art untuk koleksi pakaian kerja terbaru Devina Boutique di aplikasi gambar. Ini adalah hasil penyaluran rasa stressnya karena semua relasi dan pelanggannya tidak beri jawaban bagus. Mereka bilang tidak tahu dan tidak kenal dengan sosok badan dari atas.

"Lagipula kenapa malah tangan doang sih, yang muncul? Nggak becus emang," gumam Sarah.

Ia mengecek penampilannya hari ini. Kemeja pink pastel dengan celana pensil warna biru muda biasa saja. Namun, kenapa mata orang-orang di restoran tertuju padanya? Tatapan mereka terlihat aneh. Mungkin anting emas putih model lurus saat menyingkap anak rambut di belakang telinga jadi sorotan. Sarah tersenyum tipis, anting ini tidak dijual dimanapun dan beli dari hasil kerja kerasnya.

Ah biarin lah, ya? Bodo amat. Toh gue tetap cakep hari ini, riasan gue juga pas tidak tebal sama sekali. Toh mereka cuma sirik sama gue.

Seorang pria duduk di hadapan Sarah, berdehem. "Nak Sarah, kalau dari tadi kamu pegang ipad terus kapan mau ngomong sama saya? Capek lho diabaikan itu."

Sarah meletakkan ipadnya di tas lalu mendesah berat. Kemudian ia menopang dagu dengan meja sebagai tumpuan. "Bapak sendiri juga genit sama anak-anak Mami, padahal servis mereka sudah bagus masih minta lebih, mana nggak izin pula. Manusia memang nggak pernah puas."

Om Sarwo – si pelanggan Mami yang genit dan hobi melecehkan – terdiam. Pikirannya berkecamuk, dia pikir Sarah dan Mami Zee sudah memaafkannya ternyata tidak.

"Mana masih ampun-ampun ke Mami pula, nggak tanggung jawab lagi. Emang, ya, laki nggak becus gini. Emang pantas Om di black list sama Mami dan teman-temannya, kami para perempuan juga punya kuasa atas tubuh sendiri dan Om melanggar itu. Ah sudahlah, buat apa ngomong masa lalu? Saya ke sini ada tujuan aja sih, Om. Bukan buat kerja melayani Om," lanjut Sarah. Ia yang tidak sabar langsung membereskan barang dan meminum pesanan. "Kalau nggak ada yang penting saya permisi dulu."

Om Sarwo buru-buru berdiri lalu menahan tangan Sarah. "Baik baik, Sarah. Ayo duduk dulu. Kita bicarakan."

Sarah kembali duduk kemudian menceritakan kasus temannya tanpa menyebut Satya. Om Sarwo mendengarkan dengan seksama dan sesekali memperhatikan raut wajah Sarah yang tidak penuh riasan kayak biasa tapi masih memancar aura seksinya.

"Jadi gitu ceritanya, Om." Sarah kemudian menunjukkan foto pemberian Satya dari iPad mininya. "Om kira-kira punya relasi dengan tangan kayak gini nggak?"

Lamunan Om Sarwo buyar seketika. Ternyata benar tujuan Sarah memang menanyakan foto sosok tangan dan badan dari samping. Om Sarwo berpikir sejenak, mengingat-ingat seluruh relasi yang model begitu. Namun, ia menggeleng sekaligus mengembalikan tablet PC Sarah.

"Maafkan Om, Sar. Om beneran tidak tahu siapa sosok ini."

"Nggak apa, Om. Makasih sudah bantu Sarah."

Mereka tidak banyak bicara karena sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sarah mengabari Satya soal posisi dan hasil pencarian dari versi dirinya. Namun, ia tersadar sesuatu ketika selesai pencet kirim.

Apa urusannya sih, Sar? Kenapa kayak lapor pacar saja?

Sarah kemudian memerhatikan lagi foto dari cctv kasus Satya, benar-benar tidak bisa diprediksi antara cewek dan cowok. Hanya terlihat bahu dengan muncul titik hitam, kira-kira siapa dia?

"Nak Sarah, ayo Om antar pulang."

Sarah ikut berdiri dan menggelengkan kepala. "Nggak usah Om, saya bisa naik taksi online."

Om Sarwo mau bicara tapi tidak jadi karena ada panggilan telepon.

Sarah membereskan barang-barang lalu membungkukkan badan untuk permisi. Begitu melewati Om Sarwo saat menutup telepon, saat itu mata Sarah menangkap sesuatu di lockscreen si Om mesum ini.

Itu kan ... kok sosok itu ... badannya persis di foto pemberian Satya? Siapa dia? Apa hubungannya dengan Om Sarwo? Duh, sialan malah buru-buru tuh ponsel masuk kantong. Gimana gue nanyanya?

Namun, Sarah menghentikan dirinya sendiri, dia tidak boleh gegabah. Masih ada waktu untuk mencari sosok bertitik hitam di bahu yang tetap saja tidak kelihatan dari lockscreen. Soalnya cuma sekilas saja.

Begitu keluar, dia melihat orang-orang berkerumun di lobi luar mall. Sarah ingin maju, tapi tidak jadi begitu melihat sosok Satya bersama ...

Perempuan lain.

Rasa marah bercokol di diri Sarah, tapi ia tenangkan diri lalu pergi dari situ.

***

Aziz menatap langit gelap dari jendela, bulan sabit beradu terang-terangan dengan lampu jalan dengan hasil seri. Sebelum itu ia menyelesaikan rekaman tentang ulasan permainan masak-masakan buatan salah satu studio lokal. Aziz sungguh suka dengan visual makanan yang disajikan realistis, tapi mengedepankan estetika. Walau kontrolnya seperti permainan ala diner dash, tapi tidak apa-apa. Setidaknya tidak mengalami banyak bug mengganggu.

"Ah iya, oke lanjutkan investigasi kasus Satya." Aziz berkata sambil menaruh ponselnya di holder dan melanjutkan pencarian sosok.

Kali ini Aziz mengerucutkan pencarian pada sosok tanpa jenis kelamin kemudian mencocokkan dengan wajah-wajah para warga. Aziz menyeringai, tidak percuma ia memperbaharui aplikasi face recognition buatannya sebelum keluar dari kantor lama. Hal terbaru ini adalah peningkatan kecepatan pencarian, dari yang tadinya dua puluh menit bergeser jadi sepuluh menit. Ini benar-benar menguntungkan pekerjaan mencari seseorang yang sejauh ini menggendutkan buku tabungan.

Pengacakan wajah itu berhenti pada satu wajah ...

Mata Aziz melebar.

"Ini ... ini."

TOK TOK.

Kepala Aziz tertuju pada pintu. "Siapa di sana?"

Tidak ada jawaban.

Ini adalah pertanda buruk. Aziz mengerang, dan suara gedoran itu ditambah dengan senjata pukul.

Aziz buru-buru memasukkan tangkap layar ketika gedoran pintu jadi tiga detik sekali. Namun, itu malah membuyarkan semua fokusnya sampai ia lupa memasukkan ke badan surel yang tertuju pada alamat surel pribadi Satya. Jadi, ia buru-buru mengambil laptop dan tas ransel daruratnya di lemari.

Aziz menoleh lagi, terdengar pecahan kaca. Untung jarak pintu dan tempatnya sekarang dibuat model foyer.

Tangan Aziz mengaitkan tali tebal lalu diikat pada pengait kursi. Begitu datanya sudah ditransfer dengan selamat ke SSD external, dua orang berpakaian hitam ditutupi slayer warna-warni muncul dan berteriak kencang.

"Gue masih baik hati sama lo, serahkan benda itu." Salah satu dari mereka berkata sambil menengadah tangan.

Aziz menyeringai, "Jangan harap. Mau enaknya aja lo, ya?"

Orang di sebelahnya nodong pistol. Aziz yang seharusnya takut malah keberaniannya keluar. Itu karena diam-diam dia mengaitkan tali di pinggang, untung saja warna talinya menyatu dengan pakaian Aziz sehingga tidak diketahui. Tidak lupa juga memasukkan SSD eksternal penting itu ke bagian dalam baju, menyatu sedikit dengan bagian atas celana dalam.

Aziz berjalan mundur. "Ah, cupu lo nggak nembak gue. Sekalian aja matiin gue biar pada tenang orang-orang yang gue retas data pribadinya. Ah, gue tahu lo kiri–"

DOR.

Aziz cepat-cepat memiringkan badan ke kanan, dan peluru itu mengenai dinding dekat jendela. Sejenak, ia bernapas lega. Namun, ia tahu bahwa tembakan peringatan bukan bahan candaan.

"CEPETAN, ANJING. LO BIKIN KESABARAN KITA HABIS," jerit si penembak.

Langkah Aziz berhenti, punggungnya menabrak jendela. Seringainya keluar lagi, kali ini mengeluarkan sesuatu dari tas yaitu SSD eksternal berukuran 256 gigabyte.

"Tangkap." Aziz melempar benda itu pada salah satu dari mereka. Si temannya menangkapnya lebih dulu. Kemudian ia menyemprot mereka pakai spray merica ke segala arah sambil menutup mata. Mereka berteriak perih, dan ini kesempatan bagus.

Aziz menaiki ujung jendela, dan ia terjun bebas sampai belakang rumah susun. Kemudian melompat dinding tanpa cat – untung tidak ada duri – dengan pendaratan tidak terlalu mulus. Setidaknya pendaratan menggulingkan badan ala tentara tidak bikin seluruh badannya encok. Pria kurus itu terjun ke lapangan luas – yang sorenya dipakai anak kecil main sepak bola. Aziz buru-buru memotong tali di pinggang pakai gunting khusus kemudian lari-lari sambil menghubungi seseorang.

Tidak ada jawaban.

Aziz berhenti lari di trotoar ketika keluar dari gang tempatnya berpijak, panggilan kedua ini seseorang merespon tapi tidak ada suara sama sekali. "Ko, lo di rumah, kan? Gue ke tempat lo."

***

Di area rumah susun Aziz banyak sekali warung makan pinggir jalan yang baru buka serta para ojek yang melepas penat. Aziz meminta tolong untuk mengantarkannya ke rumah orang dimaksud. Bayaran lebih – termasuk uang rokok dan uang makan – jadi alasan si pelanggan yang tukang ojek biasa mau mengantarkan pria kurus dengan tampilan mau kemping di gunung.

Jarak rumah susun Aziz dan apartemen Koko Tian tidak begitu jauh, langit gelap dan berkurangnya kendaraan bermotor bikin perjalanan terasa lancar. Sesekali Aziz menengok ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.

Motor berhenti di jalan masuk apartemen, tidak sampai lobi. Setelah memberi uang yang dimaksud, Aziz berlari melewati orang-orang di lobi. Resepsionis yang kenal dia dan sudah diizinkan masuk oleh Koko Tian memberinya kunci cadangan.

Apartemen Koko Tian terletak di lantai sepuluh, dan Aziz lagi-lagi menengok ke belakang. Seumur hidup bekerja di depan komputer, dia jarang dapat ancaman aneh begini. Otaknya berputar, siapa mereka? Apa yang mereka incar?

Atau jangan-jangan ... aksinya selama ini tercium aparat?

"Tidak, tidak mungkin," sangkal Aziz, "Selama ini gue sudah siapkan keamanan berlapis selama beraksi. Gue yakin nggak bakal ketahuan."

Aziz menempelkan kartu ke gagang pintu apartemen Koko Tian, mendadak ia merasa aneh. Biasanya selalu terdengar suara dia teriak-teriak setiap terdengar bunyi bip atau protesnya.

"Ko ... Ko, lo di rumah, kan?"

Tidak ada respon.

Malah sayup-sayup ada suara berisik dari dekat yang kemudian berhenti. Apartemen satu kamar yang minimalis itu sungguh sepi, bahkan lampu yang nyala hanya di lorong dapur dan kamar mandi saja. Aziz menyalakan lampu ruang televisi setelah menaruh tasnya di kitchen island.

Aziz  tutup mulut.

Begitu juga dengan Koko Tian yang lagi pakai singlet putih dan sosok di sampingnya yang tadi ikut ketawa-ketawa di sofa dan kepala bergelayut di bahu Koko Tian. Sungguh pemandangan yang tidak disangka sama sekali.

"Lo ... Lo ....." Aziz tidak sanggup berkata-kata lagi.

2200++ kata
(03 April 2022)
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro