BAB - 15: Tipu Daya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo ... Lo ..." Aziz kembali menutup mulut.

Koko Tian buru-buru menghampiri. "Ziz, dengerin gue ..."

Aziz mundur seketika, memeluk diri sendiri. "Seketika gue merasa jijik dengan ini semua. Gue pikir lo tuh yang paling normal di antara kita semua, ternyata ...."

Sebelum Koko Tian maju lagi, seseorang yang dari tadi mengamati langsung berdiri dan menengahi mereka berdua. Baik Aziz dan Koko Tian terpana, tapi tidak lama bagi Aziz lalu menoleh pada Koko Tian dengan mata terpicing serta dua jari bergantian.

"Sepertinya ada tamu tidak terduga." Tamu itu menyentuh bahu Koko Tian penuh sensual. "Saya permisi dulu, terima kasih atas waktunya."

Mulut Aziz tetap menganga saat menyaksikan perempuan itu memasang sepatu hak datarnya yang diikuti kacamata dan jaket sebelum pintu apartemen tertutup sempurna. Aziz tidak memungkiri bahwa perempuan itu pasti usianya sudah berada di pertengahan empat puluhan. Namun, dia mengingat-ingat, sepertinya sosok itu familiar,

Aziz langsung menyerang Koko Tian dengan menarik kerah kaos dan menabraknya ke punggung. Dia tidak peduli dengan lehernya yang linu akibat harus bicara dengan sahabatnya dengan mendongak. Matanya melotot dan giginya menggigit bibir dalam, agar amarahnya terkendali. "Lo .... ANJIR. BISA-BISANYA LO YA? Bisa-bisanya lo ngomong ke kita soal perjuangan hidup dan bisnis bla bla bla tapi nyatanya sumber modal lo dari bobo sama Tante-tante?"

Koko Tian masih diam, tetapi tangannya berusaha keras melepas cengkraman Aziz. "Ziz, lepas ... nggak?"

Aziz menggeleng. "Nggak, gue belum salurin amarah gue dengan totalitas, Ko." Kali ini, cengkraman Aziz sudah mengenai leher Koko Tian.

Rintihan Koko Tian terdengar, tapi Aziz belum mau melepasnya. Koko Tian menggunakan sisa tenaganya untuk menendang selangkangan Aziz. Triknya berhasil, dia membiarkan Aziz mondar-mandir sambil teriak kesetanan. Koko Tian sendiri mengatur napas dengan melipat tangan di dada untuk mengendalikan rasa takut.

Aziz duduk di kursi panjang, memijat dahi. Koko Tian duduk di hadapannya sambil menuang air mineral dari teko transparan yang terletak di tengah meja. Kemudian mendorong gelas pendek itu ke sahabat lamanya.

"Minum dulu," ujar Koko Tian.

Aziz meminumnya dengan gerakan cepat. Sepuluh detik kemudian gelasnya sudah kosong dan menimbulkan bunyi kuat di meja makan.

"Kok ... lo santai banget sih nanggepin gue kek gini?" Aziz bertanya bingung sambil ngos-ngosan.

"Lo mau gue apa, Ziz? Jujur apa bohong?" Koko Tian balik bertanya.

"Anjir lo," umpat Aziz tapi tidak bermaksud marah. "Sekarang lo jujur sama gue, cepetan sebelum gue berubah pikiran."

Koko Tian menyesap air mineral untuk menetralkan kegugupannya.

"Cepetan," desak Aziz sambil mengeluarkan peralatan elektroniknya dari tas ransel.

Koko Tian tidak memedulikan desakan Aziz, lalu ia bersandar pada kursi dengan kepala menghadap lampu bergantung. Harus mulai dari mana kah semua ini?

Namun, Koko Tian kembali duduk tegak dan menyatukan kedua tangan di meja kayu jati berpelitur itu. Aziz yang merasa diliatin langsung berhenti beres-beres. Mata Aziz lurus pada sahabat dari SMA tersebut seakan siap untuk mendengar penjelasan.

"Gue tuh ...." Koko Tian memainkan kedua tangan, mengatur napas. "Lo tahu, kan, waktu kuliah dulu gue juga sambil ikut lomba model."

Aziz tetap penasaran. "Terus?"

"Singkatnya gini ..." Koko Tian memajukan badan. "Gara-gara dunia modelling di kuliah, tapi itu tidak diiringi kebahagiaan gue. Nyokap gue kena kanker payudara – waktu itu masih stadium pertengahan. Gue yang mau berhenti kuliah buat fokus ngurus beliau malah nggak dibolehin. Gue kelahi parah ... sampai saking stresnya gue akhirnya jarang pulang. Kita akhirnya mengalah karena sama-sama sepakat. Nyokap tetap berobat dan segala hal, untung aja selama ini beliau sendiri rajin bayar asuransi kesehatan pemberian pemerintah."

"Lo kalau cerita berbelit-belit," komentar Aziz.

"Ya sabar dong," balas Koko Tian gregetan. Bibir dalam Tian sedikit tergigit, berpikir untung menyusun cerita jujur tapi cepat. "Gue ngos-ngosan antara dua kerjaan, mana hasilnya kurang banyak untuk biaya yang nggak ditutupin asuransi. Sampai ada seseorang yang nawarin gue pekerjaan dengan uang cepat. Gue mau aja, karena demi Nyokap sembuh. Ya ... awalnya disuruh nemenin Tante-Tante kesepian dengan berbagai peran. Kebanyakan berperan jadi Adik atau keponakan, dan lama-lama ... gue ketagihan."

Aziz berpikir, kemudian otaknya berputar ke masa-masa kuliah. Hanya dia yang satu kampus dengan Koko Tian walau beda jurusan. Aziz paham kenapa Koko Tian selalu menolak diajak jalan kemana-mana. Hal itu bikin hubungan pertemanan mereka renggang.

"Terus ... lo ... sampe gituan juga?" Aziz agak malu-malu bertanya.

"Maksud lo seks gitu?" Koko Tian memastikan. Anggukan Aziz bikin ia melanjutkan perkataan. "Tergantung kesepakatan gue sama klien. Kalau mau temenin ke restoran atau karaoke ayo, seks juga nggak apa. Kalau seks sih, peraturan gue cuma satu ... gue harus pakai kondom. Untungnya mereka memperbolehkan."

"Gigolo rada bener rupanya lo." Bulu kuduk Aziz berdiri, penyebabnya bukan pendingin ruangan melainkan betapa santainya Koko Tian menceritakan pekerjaan gigolo nya seakan tidak ada beban.

"Ziz, kalau disuruh milih pun gue sebenarnya nggak mau. Namun, apakah gue ada jalan lain untuk bertahan? Duit dari mereka bikin Nyokap bisa sembuh dan modal bisnis bengkel gue sampai sekarang."

"Lo nggak ada niatan berhenti, gitu?" Aziz bertanya sambil menunggu laptopnya nyala sempurna.

Koko Tian mendengus. "Ada, Ziz. Tapi susah rasanya, gue udah nyoba berkali-kali, dan kayak sakau gitu rasanya. Seharusnya gue berhenti ketika bisnis toko kelontong Nyokap gue sudah banyak pembeli dan kankernya nggak terdeteksi, tapi ...." Koko Tian menggantung kalimat. Dia menjambak rambutnya sekeras mungkin diiringi teriakan, perlahan bahunya bergetar dan terdengar sesenggukan. Sebisa mungkin pria itu menahan tangis, baginya menangis hanya bikin dia tidak berdaya.

Namun, kali ini Koko Tian menyerah pada pertahanan diri.

Aziz hanya menatapnya dari seberang meja. Ia kembali fokus pada laptop, memasang SSD yang dikeluarkan dari balik saku celana.

Tiga menit kemudian Koko Tian merasa lega setelah membuang enam tisu pada tong sampah model keranjang plastik yang diseret dari kamar mandi.

"Sudah lega?" Aziz kembali tanya, tapi matanya tidak tertuju pada Koko Tian sama sekali.

Koko Tian mengangguk lemah. Penasaran, ia berpindah posisi ke sebelah Aziz. Ternyata pria itu benar-benar mengerjakan kasus Satya.

"Jadi gara-gara ini lo ngabarin gue?"

Aziz memelotot sekaligus pasang ancaman bogeman udara. "Baru pekanya sekarang, capek deh Hayati."

Koko Tian hanya menanggapi dengan senyum kecil. "Tapi lo harus janji sama gue kalau cerita tadi nggak usah dibawa kemana-mana, oke?"

"Beres, Ko. Tapi kalau ada yang kesebar tiba-tiba jangan salahin gue," balas Aziz. "Segini-gininya gue, nggak bakal sebar aib sahabat sendiri."

Koko Tian tidak menjawab, kemudian pria itu mengamati Aziz yang fokus bekerja pada laptop. Di sela-sela waktu istirahat kerja bengkel, sesekali ia menonton konten video permainan yang Aziz mainkan. Walau tidak pernah kasih komentar, konten videonya mendidik dan menghibur. Aziz selalu kasih peringatan jika ada salah satu permainan video untuk usia dua puluh satu tahun ke atas. Kini, tangan dan mata Aziz bekerja secepat kilat, dia lagi mencari-cari sesuatu yang katanya mau ditunjukkan.

"Lo kenapa nggak lapor ke Satya dulu? Kan ini kasusnya dia, bukan gue."

Pertanyaan Koko Tian seperti durian runtuh. Aziz menepuk dahi, "Goblok banget gue, Ko. Duh gini nih saking paniknya. Kebiasaan juga sih, apa-apa mesti ke tempat lo."

"Ya sudah hubungi Satya sana, mentang-mentang dia jarang main sama kita kayaknya."

"Dia tuh ngelupain kita, Ko," ralat Aziz. "Datang ke kita kalau butuhnya doang. Senengnya malah main ke kelompoknya Obi. Sahabat macam apa itu pilih kasih? Dia lupa kali, ya, sahabat yang bantu dia adaptasi akibat diketawain dan dimanfaatin anak sekelas."

Kalimat penuh sindiran ditanggapi Koko Tian dengan kepala dingin. "Sudahlah, yaudah gue hubungin Satya dulu. Lo lanjut kerja aja sana."

Koko Tian bergerak menjauhi meja makan dan menghubungi Satya via panggilan aplikasi – sungguh keberuntungan dia tidak pernah ganti nomor – terdengar nada sambung, tapi tidak ada jawaban. Ia mengulang hal yang sama – sambil mondar-mandir – tapi tetap tidak ada respon.

"Kemana sih ini anak?" gumam Koko Tian resah.

Saat mencoba panggilan ulang yang ketiga kalinya terdengar suara deburan.

"ANJING ANJING SIALAN."

Koko Tian menghambur ke ruang makan, ternyata mejanya berantakan dengan barang-barang elektronik Aziz yang berceceran. Aziz sendiri mencoba perangkat penyimpanan lain, dan hasilnya juga sama. Umpatannya makin jadi bersamaan dengan pukulan-pukulan di meja diiringi teriakan serta bulir-bulir air di pelipis. Tubuh Koko Tian membeku, semua kemarahan ini sedikit mengingatkannya pada Ibunya di kala fase penyangkalan waktu sakit dulu.

Aziz terduduk lemas di karpet, diikuti Koko Tian. Aziz menggunakan pose sila, sedangkan Koko Tian berpose lurus kaki.

Hela napas Aziz terdengar nyaring. "Bego banget gue. Bego bego bego, hopeless abis."

"Tenangkan diri lo dulu, Bro." Koko Tian berkata sambil memperagakan teknik pernapasan yang ia sering lihat di youtube.

Aziz menurutinya, dan perlahan napasnya teratur. Begitu juga dengan kemarahannya.

"Makasih Bro," balas Aziz. "Goblok dan teledor banget gue, ternyata pas unduh penyimpanan halaman tuh nggak komplit. Wajah pelaku utama yang bikin nama Satya jelek jadi nggak kelihatan sama sekali. Terus gue cari di SSD eksternal sama flashdisk ternyata semua belum sempat gue cadangkan di situ."

Tangan Koko Tian perlahan menepuk bahu Aziz. "Bro, tidak apa-apa. Hidup nggak selalu sesuai ekspektasi, yang penting usaha."

Aziz tertawa hambar, tapi tidak memungkiri bahwa ucapan Koko Tian sedikit menghibur. "Motivator mode on lo keluar banget. Ya sudahlah." Aziz berdiri dulu lalu membereskan barang-barangnya, diikuti oleh Koko Tian.

"Sorry sudah bikin apartemen lo berantakan. Sebagai gantinya gue nginep deh semalam di sini dan tidur di sofa," tutur Aziz santai sambil membereskan peralatan komputernya di tas.

"Santai lah, Ziz," balas Koko Tian sambil melilit kabel SSD eksternal yang pada kusut.

Koko Tian menyimpan kelegaan dalam hati, setidaknya rahasianya aman di tangan Aziz. Namun, seperti kata ibunya bahwa waspada tetap dibutuhkan dalam konteks apa pun. Maka Koko Tian harus mempersiapkan beberapa hal jika rahasianya tersebar walau entah kapan. Sambil melap meja dan Aziz masih memasukkan laptopnya ke tas, mata Koko Tian melirik pada notifikasi pesan di ponselnya sendiri.

Titi: Mw lnjt bsok mlm mumpung msh akhir pekan? Tenang sj, sy tidak kesal. Mlh mw selesaikan sisa playanan yg tertunda. Pembayaran ttap kok, bgmana?

***

Kerja dengan Terry benar-benar menyenangkan, apalagi kesibukan bikin Satya sejenak lupa dengan kasus dan permintaan Mas Anton untuk membuktikan bahwa dia bisa kembalikan nama baik secara mandiri.

Hari Minggu yang seharusnya dipakai buat rebahan malah jadi kerja untuk mengawasi Terry syuting iklan produk tas hiking. Senyum Satya mengembang saat Terry melakukan pose ceria dan garang bergantian. Terry adalah kombinasi imut dan seksi, Satya tidak tahan meliriknya terus menerus setiap Terry memeriksa hasil ide-idenya yang menghibur.

Sebuah getaran di saku celana membuyarkan angan Satya, ia menjauh dari kerumunan yang sedang membenarkan riasan Terry untuk terima telepon tidak terduga.

"Ketemuan di tempat biasa, penting."

"Ta–"

Raut Satya berubah keruh ketika panggilan itu tertutup begitu saja. "Memangnya dia siapa sih? Papi bukan, Mas Anton juga bukan? Gitu bilang gue nyusahin, Sar."

Dia bersyukur pemotretan tetap berjalan sesuai waktu yang ditentukan. Bahu Satya dicolek seseorang dari belakang.

"Jadi, kan, makan malam bareng anak-anak?" tanya Terry santai.

Ekspresi Satya terlihat sedih. "Aduh, Ter, maaf banget. Gue ada janji sama teman lama, next time aja, ya."

"It's ok, Sat." Suara tidak rela Terry terdengar jelas, dan diam-diam Satya menyukai hal tersebut. "Oh, ya, kalau ada kesulitan hubungi gue, ya."

"Oke, Ter." Satya mengacak rambut Terry pelan.

Hal ini tentu saja bikin pipi perempuan mungil itu memerah.

"Lo kok kayak ... nggak ikhlas gitu gue pergi?" goda Satya.

"Ah, apaan sih Sat," sangkal Terry. Perempuan itu mendorong punggung Satya. "Sana pergi, ditunggu temanmu lho."

Satya menoleh sedikit. "Bilang aja mau kencan sama gue, Ter. Nggak usah sok-sok jual mahal."

"Kapan-kapan aja."

Jawaban Terry bikin Satya berhenti mendadak. "Apa? Apa? Nggak denger." Padahal perasaan membuncah dari tadi memenuhi diri Satya.

"Nggak usah, cepetan sana," usir Terry tegas.

Satya meninggalkan studio lebih dulu dengan senyum lebar, bangga akan pancingannya kali ini. Setidaknya itu pertanda bahwa orang-orang dan Terry mulai percaya dengan dirinya lagi seperti dulu.

***

Apartemen Sarah ternyata di daerah Tomang. Satya dari tadi mengikuti pergerakan Sarah yang lepas sepatu, taruh tas di meja makan, dan menggerai rambut lurus hitamnya yang kayak iklan shampo. Samar-samar, wangi lavender melewati hidung Satya. Kemungkinan dia pakai sampo merek herbal yang sering dipakai Nira waktu di New York dulu.

"Lo mau ambil cemilan, ambil aja di kulkas," tutur Sarah sebelum masuk ke kamar tidur. Lima detik kemudian sudah pakai bath rope lalu menghilang lagi di kamar mandi.

Satya duduk di meja makan sambil membuka dua kancing teratas kemejanya, udara Jakarta sore hari kombinasi lembab dan panas. Hal itu juga menampakkan kalung belati emasnya yang terpantul cahaya matahari dari pintu kaca geser balkon. Mata Satya kemudian menyebar ke seluruh apartemen Sarah yang bernuansa krem dan pink – atau bisa dibilang Rose Gold. Apartemennya campuran berantakan di sisi foyer dan ruang televisi – yang mana meja kopinya penuh kertas-kertas berisi desain baju dan laptop, sedangkan dapurnya yang minimalis terlihat rapi.

Ketahuan banget Sarah cuma menanak nasi doang, lauknya beli. Peralatan dapurnya kinclong gitu.

Sesuai saran Sarah, Satya berjalan ke kulkas dua pintu buka samping kayak pintu masuk mall.

Ternyata kulkas utama isinya banyak roti Tous Les Jours yang asin dan manis serta bahan-bahan masakan yang setingkat bikin nasi atau bakmi goreng. Satya mengambil roti Frankfurt Sausage Roll karena lagi malas makan manis-manis. Begitu menutup pintu sambil menempelkan ujung roti di mulut selepas buka plastik – untung tidak basi, ternyata ada mesin kopi Dolce Gusto dan kumpulan keping-keping dengan tutup warna-warni.

Satya memutuskan untuk bikin kopi hitam di situ lalu kembali ke meja makan sambil menghabiskan roti mewah tersebut. Tepat saat Sarah keluar dari kamar mandi yang masih mengenakan bath rope dan rambut basahnya yang digelung handuk. Satya mendadak telan ludah dengan gigit bibir, membayangkan gimana rasanya menghidu leher jenjang Sarah yang mulus itu.

Entah ada gerakan dari mana selepas membuang bungkus roti ke tong sampah dan mengabaikan bunyi kopi dolce Gusto yang sudah selesai, Satya mengetuk pintu kamar Sarah yang terbuka karena dia masih keringin rambut.

"Boleh gue masuk?"

Sarah menoleh dengan santai, "Masuk aja kali."

Kemudian perempuan itu kembali menghadap kaca rias untuk membaurkan vitamin rambut ke seluruh batang rambutnya yang masih baca.

Sampai satu tangan melingkar di pinggangnya.

Sarah berhenti mengelus rambutnya, dan senyum kecil muncul dari bibir ranumnya di mana tak terpulas produk bibir apa pun. Namun, tidak dengan hati dan logikanya yang saling bertarung harga diri.

Ini, kan, yang lo mau dari dulu bertahun-tahun, Sar? Ini, kan, yang lo rindukan selama ini? Gue senang itu terwujud, mana perlakuannya halus banget lagi nggak kayak waktu SMA dulu.

Pelukan itu semakin erat, ditambah dengan kecupan-kecupan kecil pemberian Satya dari tengkuk belakang yang bebas dari rambut. Hembusan napasnya bikin Sarah menahan napas.

Lo emang makin nggak ada harga diri, Sar. Katanya nggak mau berhubungan sama Satya, mana buktinya?

Kecupan Satya terhenti, bikin libido perempuan itu turun seketika. Pelukannya terlepas dan Sarah berbalik menghadap Satya dengan senyum angkuh.

"Gue memang hard to resist banget kayaknya," olok Satya. Namun, ia buru-buru menghentikan reaksi Sarah. "Nggak usah ngelak, Sar. Terima aja lagi lo masih kangen dan cinta ke gue. Makanya, jangan selingkuh dong waktu itu."

Mulut Sarah terkunci, tapi tidak dengan tubuhnya yang mengambil alih kendali dalam permainan liar dengan Satya. Seperti dulu, saat mereka masih remaja di mabuk cinta tetapi sudah berani melakukan hal dewasa sebelum waktunya. Satya pun kali ini membalas pagutan itu sedalam mungkin, dan tangannya sudah bergerak melepas tali bath rope Sarah. Kaki mereka bergerak mundur lalu mendarat halus di tempat tidur Sarah dengan posisi Satya berada di atasnya.

Sarah sedikit mengangkat tubuhnya untuk melepas bath rope-nya dengan sempurna, sedangkan Satya membuka lapisan kemeja sehingga tubuh bagian atasnya terekspos – meninggalkan kalung belati emasnya yang tergantung.

Sarah teralih oleh benda sakral itu. "Kalungnya bagus."

Suara seduktif Sarah mampu bikin Satya ingin melakukan permainan yang tertunda, ia berbisik di leher jenjang perempuan itu. "Jangan godain aku seperti itu, Sar. Kamu nggak tahu kalau gairah pria sudah naik bagaimana?"

Bibir perempuan itu mengeluarkan desahan, kecupan dan embusan napas Satya bergerak satu linier. Desahan itu meningkat seiring pria itu memainkan payudara dengan mulutnya bergantian. Rintihan Sarah menggumam akibat Satya menggigit pelan ujung puting. Hal itu bikin dia bersemangat mencumbu seluruh tubuh Sarah sampai tetesan cairan keluar dari bagian kewanitaan Sarah.

Mata Sarah mulai berkabut, kini giliran posisinya di atas. Tangan Sarah menekan kulit Satya sedikit dalam, bikin pria itu mendesis dan bangun tiba-tiba. Sarah menyeringai lalu mendorongnya kembali ke kasur. Tangan Sarah cekatan membuka kancing celana dan undies-nya lalu terlempar ke segala arah.

Saat wajah mereka mendekat, Satya menggumam sesuatu. "Gerakanmu jauh lebih luwes dari pada belasan tahun lalu, Sar. Aku ..."

"Iya, aku selalu berusaha mengalihkan bayanganmu dengan pria-pria pelanggan yang setia."

Ucapan Sarah bikin logika Satya terdobrak, ia duduk bersandar seketika dengan Sarah yang masih di pangkuan. Masih merasakan hangatnya kelitan kaki mulus di pinggangnya dengan gesekan sedikit antara kejantanan dan kewanitaan masing-masing. "Lo ... ngelonte selama ini?"

Seruan heboh Satya bikin Sarah memainkan kedua telinga, pupus sudah harapan permainan seksnya sesi ini. "Kalau iya kenapa? Masalah buat lo?"

Satya tidak bisa berkata apa-apa, dugaannya selama ini benar. Sungguh tidak masuk akal Sarah mendapatkan semua kekayaan dan bisnis sukses di usia muda. Seharusnya dia senang bukan, hidup Sarah sudah sengsara seperti sumpah-sumpah yang ia lafalkan selama bertahun-tahun?

"Gue bukan simpanan siapa-siapa, ya. Duit para Om-Om itu gue gunakan buat bertahan hidup asal lo tahu. Gue benci terikat sama mereka," ujar Sarah seolah membaca pikiran mantan kekasihnya. Giliran dia tidak memberi kesempatan Satya bicara, sambil melingkarkan tangan di leher Satya. "Hanya lo, Sat ... yang bisa kayak gini sama gue tanpa protokol aneh-aneh. Gue juga selama ini sehat-sehat saja berkat Mami Zee yang selalu disiplin soal kesehatan reproduksi."

"Gue –"

"Ya, gue rasa doa jelek-jelek lo ke gue waktu putus dulu itu terkabul sama Tuhan. Nyokap kandung gue menghilang dan gue gantiin bayar utang-utangnya ke Mami Zee selama belasan tahun. Caranya, ya, jadi penjaja seks ke mereka selepas lulus kuliah mode dan tepat di umur gue yang legal. Sisanya gue kerja di beberapa desainer rekomendasi mereka, dan malam sama Bapak-bapak yang rata-rata mengeluh istrinya nggak bisa muasin dirinya terus yang kadang pengen gue getok pakai pentungan. Pas utang lunas, ya gue berhenti – barusan aja."

Ini sungguh di luar sikap Satya, dia yang biasanya balas dengan omongan hanya terpaku saja.

Sarah beranjak dari pangkuan Satya untuk mengambil pakaian dari lemari kemudian membereskan bathropenya. Sedangkan Satya kembali mengenakan dalaman dan kemejanya lalu mengambil kopinya yang mendingin. Kini mereka sudah berada di ruang televisi dan Sarah menghadapnya dengan duduk sila. Suasana canggung memenuhi udara apartemen mantan kekasihnya tersebut.

"Oke, tujuan gue ngajak lo ke sini adalah ..." Sarah kemudian menceritakan kejadian dengan Om Sarwo dan penemuan badan bahu yang ciri-cirinya yang sesuai di rekaman CCTV.

Satya mengambil ponsel, menelan ludah untuk menetralkan kegugupannya. "Siapa namanya? Nama lengkap, Sar?"

"Sarwo Wijaya seinget gue."

Maka dengan laptop Sarah dengan layar mesin pencari, mereka berdua mencari sosok Sarwo Wijaya di situ. Dari hasil penelusuran kebanyakan berisi kegiatan pertemuan dan bisnis perhotelan yang sudah menggurita di dalam dan luar negeri.

Namun, keduanya menutup mulut dengan terkejut. 

3000++ kata.
(21 April 2022)
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro