BAB - 16: Kecurigaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Masuk aja, nggak dikunci."

Si Pekerja muncul di balik pintu kayu, dan sang pemimpin menyambutnya dengan senyum ceria.

"Ada perkembangan tentang anak itu?"

Wajah si Pekerja lesu. "Maaf, Bos. Dia sudah mulai melacak pergerakan kita."

Reaksi Sang Pemimpin sudah diprediksi, tapi anehnya dia tidak melempar kotak berbentuk tabung berisi bolpoin parker dengan nip variasi. Malah Sang Pemimpin justru melempar tatapan dalam kemudian tersenyum.

"Bos ... Bos tidak apa-apa, kan?" gumam Si Pekerja takut-takut.

"Saya nggak apa-apa, kok."

Si Pekerja terlihat tidak percaya.

"Hei ... hei, lihat dan dengarkan saya." Sang Pemimpin menjentikkan jari. "Kamu nggak usah khawatir. Biarkan dia bermain dengan permainannya. Percaya sama saya, kita masih aman. Kejadian di rumah susun juga sudah kamu bereskan dengan baik, kan? Walau saya tahu hasilnya adalah kabur."

Anggukan cepat adalah jawaban si Pekerja, tapi dia tahu bahwa Sang Pemimpin akan membicarakan hal lain.

"Kamu tahu hal yang seru dari dia apa?" Sang Pemimpin bertanya seperti guru yang mengajar pada muridnya.

"Apa itu, Bos?"

"Dia bawa teman-temannya." Senyum Sang Pemimpin makin lebar.

"Terus ..." tanya Si Pekerja dengan nada pelan. "Apa hubungannya ... dengan wajah bahagia Bos? Bukannya Bos harusnya panik dan segera lakukan sesuatu."

Sang Pemimpin bertopang dagu pada meja kerja, tanpa menghilangkan senyumnya tadi. "Oh betapa naifnya kamu ... saya tetap lakukan sesuatu, kok. Ini akibatnya atas dia yang terus menyeret orang lain dalam permainan ini seperti orang pengecut. Jadinya saya akan menumbangkan teman-temannya sebelum dia."

"Caranya, Bos?" Diam-diam si Pekerja memainkan jarinya.

"Rahasia teman-temannya sudah saya pegang satu-satu, tinggal tunggu waktunya saya lempar bagaikan bom."

Jawaban elegan Sang Pemimpin bikin si Pekerja bisa tersenyum paham.

"Sini, saya kasih tahu tugas berikutnya untuk kamu," perintah Sang Pemimpin dengan lambaian tangan agar Si Pekerja mendekat.

***

Sarah angkat tangan lebih dulu. "Oke, gue nggak mau duga menduga. Namun, gue nggak menyangka akan hal ini."

Satya mengatup bibirnya. "Hal ini apanya? Bukannya orang kayak lo sebelum melayani klien harus tahu latar belakang? Makanya jangan kebanyakan termakan silau duit."

"Eh, Mami bodo amat sama latar belakang selama klien bisa gue puasin hasrat seksual dan sesuai sama persyaratan gue. Lha lo? Lolos aja kagak," balas Sarah ngotot.

"Yakin? Seharusnya lo minta bayaran ke gue dulu sebelum foreplay, Sar. Nggak perlu tuh yang namanya langsung maju dan pakai perasaan. Gue tahu lho mana seks yang biasa aja mana yang pakai perasaan," komentar Satya tidak mau kalah.

"Merasa si paling paham percintaan banget lo, ya," ejek Sarah dengan kacak pinggang ketika berbalik menghadap Satya.

Sementara itu siku Satya bertumpu pada bantalan sofa, dengan senyum menjijikkan yang bikin Sarah sedikit merinding. "Emang gue paham, kok. Gue belajar banyak dari lo dan drama-drama lo waktu SMA dulu. Thanks to you, gue nggak takut sama sekali dengan perempuan ular macam lo."

Jarak sedekat ini saja, Sarah bisa merasakan aroma permen ricola dari mulut Satya. Kebiasaan lama mantan kekasihnya tidak pernah hilang. Namun, ini bukan saatnya main-main. Jangan kira Sarah akan terpesona lagi dengan pria narsis macam Satya lagi, maka dengan sekuat tenaga kepalanya teralih pada layar laptop.

"Gue nggak nyangka, ponakannya Om Sarwo bisa lolos gitu aja kerja di Grup Anggara." Sarah berdecak.

"Gue masih nggak nyangka dunia kita tetap terus bersinggungan," komentar Satya. "Apa jangan-jangan ..."

Belasan tahun mengenal Satya bikin Sarah paham kapan laki-laki itu serius atau bercanda. Suara berat dan dalam diiringi menyipitkan mata pria itu adalah tanda temperamen Satya kembali. Dari dulu Satya selalu bermasalah dengan amarahnya yang selalu meledak hebat. Hal yang paling Sarah ingat dulu adalah saat Satya bertengkar dengan salah satu murid pria yang melakukan pelecehan seksual pada murid perempuan. Jika Obi dan Tio tidak menghentikannya waktu itu, si pelaku pelecehan seksual tersebut akan mati babak belur. Kekuatan Grup Anggara sebagai donasi terbesar SMA Saga Nusantara bikin kepala sekolah tidak berkutik sehingga Satya hanya dapat skorsing dua hari sedangkan pelaku langsung dikeluarkan saat itu juga.

Hal ini yang bikin Sarah sendiri tidak menyangka, pencitraan Satya bisa naik tingkat. Namun, kali ini dia bukan melihat Satya, tapi sosok lain.

"Sat, hei, halo." Sarah melambaikan tangan pada muka Satya yang tidak ditanggapi apa-apa.

"Anjing emang si Vika ini," ujar Satya tiba-tiba, bikin Sarah berjengit kaget.

Ini orang kenapa sih? Ya ampun begini, ya, rasanya menghadapi orang aneh. Pelangganku aja nggak gini tingkat keanehannya.

"Lo lihat sendiri, Sar." Tangan Satya tertuju pada layar laptop. "Bener kata lo, Vika selama ini kerja jadi bawahan gue karena mau mencuri resep rahasia produk makanan Bokap gue. Kali ini dengan cara bikin nama gue rusak serusak-rusaknya."

"Tunggu dulu tunggu dulu." Sarah angkat tangan, sulit mencerna skenario halusinasi Satya kali ini. "Gila aja, eh buktinya apa dulu? Lo nggak bisa asal nuduh orang begitu aja. Kalau nggak kebukti gimana?"

"Ya coba dong lihat sendiri, Sar. Om Sarwo pelanggan kesayangan lo tiada dua bin tidak berguna itu kerja di bidang yang sama dengan Grup Anggara. Vika minimal kerja di perusahaan lain atau luar negeri sekalian bila melihat kinerjanya waktu itu. Terus malah ngapain kerja di Grup Anggara?" Bacotan Satya kali ini berapi-api sambil terus memainkan tangannya yang masih di sekitar layar laptop.

"Siapa tahu Om Sarwo pengen Vika cari pengalaman kerja di sini dulu baru kerja di luar negeri." Sarah mengedikkan bahu, masih berusaha berpikir positif. Lagi pula dia tidak tahu siapa Vika, tadi dia hanya ikut-ikutan terkejut bareng Satya gara-gara suasana saja.

Laki-laki itu mendaratkan punggung di sandaran sofa, mengembuskan napas panjang. Sejujurnya dia kesal karena Sarah ada benarnya, tapi dia masih tidak bisa terima.

Panas menjalar di leher, Satya buru-buru memegang kalung belatinya dengan erat. Serangkain pola tersusun cepat di otaknya.

Oh jadi setiap gue marah kalung ini bereaksi? Pantesan anonim satu itu ngingetin gue melulu kayak Nyokap.

"Lo ngigau apa gimana? Bengong sampek mulut terbuka gitu." Sarah mengembalikan dirinya ke kenyataan.

Mata Satya bergerak reflek lalu mengelap sisa air liurnya dengan punggung tangan. Sarah yang gregetan menarik tisu lalu melap punggung tangan pria itu. "Gini aja manja banget," gumam Sarah ngomel.

Satya langsung menyingkirkan tangannya. "Lo nggak ikhlas amat bantuin gue."

"Ih ogah gue ngelayanin lo. Gue cuma niat bantu doang."

Satya menggerakkan mulutnya ke segala arah, menirukan pembicaraan Sarah yang tidak ada gunanya.

"Bodo amat deh ya." Sarah berdiri dengan hentakan kaki dan memunggungi Satya. "Sudah ah males gue bantuin lo."

Langkah Sarah ke kamar terhenti ketika Satya menahan lengan mulusnya. Sarah sungguh benci ketika wajah melas itu beraksi, pertanda bahwa mantannya sungguh-sungguh minta bantuan. "Lo tuh, ya, bisa nggak sih biasa aja gitu? Ekspresi melas lebay lo kebaca tahu nggak."

Mulut Satya sekarang maju satu sentimeter. "Iya deh, gue minta maaf, gue salah sudah curiga nggak jelas ke Vika dan bikin jorok lo. Kali ini gue janji bakal nurut sama lo."

Perlahan jemari Sarah meraba pelan tangan kekar hingga berhenti di leher Satya, lalu mendorong wajahnya setengah sentimeter. "Gue maafin lo kali ini, tapi sebagai hukumannya selama kerja sama lo wajib nurut ke gue. Hal yang paling gue nggak suka di dunia ini adalah gegabah. Mengerti, Sayang?" bisikan Sarah terdengar sensual sekaligus mendominasi.

Anggukan hanya jawaban bagi Satya, dia tidak bisa berkutik jika Sarah dalam mode begini. Menurutnya, inilah sisi asli Sarah. Sisi yang mampu bikin semua pria bertekuk lutut sekaligus beracun.

... racun yang bikin Satya ketagihan.

***

Sejak menumpang di tempat Koko Tian, Azis merasa aman sedikit. Namun, dia memutuskan untuk kerja dari rumah – atas izin atasan tentunya. Perubahan terasa sekali pada diri Aziz dalam beberapa minggu belakangan. Sapu, semprotan merica, dan remot listrik tidak pernah lepas dari tangan. Bahkan setiap ada tamu pengantar makanan, belanjaan, atau satpam dia nggak pernah tegur sapa langsung. Jadinya, Aziz langsung ambil makanan yang tergeletak di situ setelah bel bunyi.

Selepas makan siang, Aziz kembali membongkar semua diska keras lepas, diska lepas, mau pun SSD koleksinya. Kemungkinan pasti ada sisa foto orang itu dan akan ia kerjakan ulang. Ada rasa kesal menggumpal ketika menyebut Satya, tetapi Aziz sadar diri bahwa ini adalah bagian dari masa dewasa dan semua orang punya lingkaran pertemanan masing-masing.

Senyum Aziz berkembang.

Foto aslinya masih ada.

Aziz langsung membuka aplikasi edit foto untuk mengulang kerjaan sebelumnya, tidak lupa ia mengabari kekasihnya bahwa ia pindah ke apartemen Koko Tian sementara waktu karena ada hal yang mengganggunya. Sang Kekasih mengerti lalu ia mengajak makan malam nanti di restoran sushi rekomendasinya. Senyum penuh cinta terus bertahan sampai proses pengerjaannya selesai.

Kini ia membuka laman email dan mengirimnya ke Satya, tidak lupa isi subjek dan kata-kata informasi sebelum pencet kirim.

Tepat saat Koko Tian masuk ke rumah dengan seorang gadis mungil. Gadis yang bikin Aziz mati-matian menyembunyikan kagetnya.

"Lo kenapa, Ziz? Kayak lihat hantu aja padahal lo kenal sama dia." Koko Tian berdecak sambil jalan ke dapur untuk mengeluarkan makanan yang akan dipanaskan di microwave. Sedangkan si gadis tersenyum simpul lalu duduk di meja makan dan memainkan ponsel.

Perempuan itu familiar bagi Aziz karena ...

... masuk dalam rekaman cctv kejadian Satya.  

1400++ words
(20 Desember 2022)
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro