Part 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Rasa pusing menekan isi kepala Zea ketika kesadaran perlahan menguasai dirinya. Yang Zea ingat hanyalah rasa sakit yang teramat perih, darah, dan ... bau antiseptic yang menusuk hidungnya memberitahunya di mana dirinya sekarang.

Apakah ia di rumah sakit?

Dan siapakah yang menolongnya?

Pertanyaan itu segera terjawab. Zea tersentak keras menemukan wajah Zidan yang duduk di samping ranjang pasiennya. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Kau sudah sadar?"

Jangan bilang Zidanlah yang telah menyelamatkannya dan membawanya ke rumah sakit. Zea menolak mentah-mentah fakta tersebut.

"Minum?"

Zea menampar tangan Zidan yang mengulurkan segelas air putih. Gelas itu menghantam dinding dan jatuh berkeping-keping di lantai.

"Kau benar-benar orang paling tidak tahu terima kasih yang pernah kukenal, Zea."

Bibir Zea bergetar saking bencinya menghadapi fakta menjijikkan ini. Tekanan emosi tersebut memberinya rasa sakit yang menusuk di perutnya. Kemudian tangannya yang terpasang jarum infus, bergerak menyentuh perutnya. Yang entah bagaimana terasa begitu kosong dan hampa. Tak ada lagi kehidupan di dalan sini.

"Ya, bayimu tidak terselamatkan." Zidan menjawab pertanyaan yang tak mampu keluar dari bibir Zea. Dengan senyum yang tersamarkan di ujung bibir. Seolah mengejek penderitaan wanita itu.

Air mata Zea seketika tumpah. Menjerit dalam tangisan yang menyayat hati. Seluruh hidupnya sudah direnggut darinya. "Semua gara-gara kau, Zidan. Kaulah pembawa sial di hidupku," rintihnya di tengah isak tangis.

Zidan hanya mendengus tipis. "Jangan seperti anak kecil yang selalu melempar kesalahan pada orang lain. Jika dihitung-hitung, akulah yang sudah menyelamatkan nyawamu. Kau hampir kehabisan darah jika aku tidak segera membawamu ke rumah sakit."

"Kau membunuh anakku."

"Sejujurnya, aku ..." Zidan menempelkan ibu jari dan telunjukkanya ke depan wajah Zea. "Sedikit berharap. Meski aku sendiri tak keberatan membawa anakmu dalam pernikahan kita."

Tangisan Zea terhenti, ia mendongakkan wajah menatap wajah Zidan penuh tanya, dan mengulangnya. "Pernikahan?"

"Ya, kita akan menikah."

Zea seakan kehabisan kata-kata akan kegilaan Zidan. Baru dua hari yang lalu ia kehilangan Arion, dan dengan begitu tenangnya Zidan menerobos di hidupnya. Membawanya dalam sebuah komitmen yang konyol. "Jangan bermimpi, Zidan," desisnya penuh kebencian.

Senyum di bibir Zidan semakin tinggi, kemudian ia menggeleng dua kali. "Aku sangat sadar saat memutuskannya beberapa saat yang lalu."

Sekali lagi Zea benar-benar kehilangan kata-kata, oleh keputusan besar yang sangat gila, yang diambil beberapa saat yang lalu.

"Kau pasti tak sempat membaca berkas yang kuberikan padamu, kan? Aku akan menjelaskannya untukmu."

Selanjutnya, Zidan membeberkan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh Arion secara rinci. Semakin Zea mendengar, hatinya semakin diiris dan diperas. Hancur berkeping-keping hingga tak ada apa pun yang tersisa di dalam dadanya.

"Hentikan, Zidan," jerit Zea sambil menutup kedua telinganya. Tak ingin mendengar lebih. Karena setiap bukti yang dibeberkan oleh Zidan, kepercayaannya terhadap Arion meluntur. Dan ia takut seluruh kepercayaan itu akan lenyap dalam sekejap. Tidak, Zea lebih tak bisa menerima fakta buruk itu untuk ia kenang di seumur hidupnya. Akan sangat jauh lebih mudah menganggap bahwa semua itu adalah fitnah yang dibuat oleh Zidan demi memiliki dirinya.

"Apa yang kau inginkan, Zidan?"

"Kau yakin ingin mendengarnya?" Salah satu alis Zidan naik.

"Katakan apa pun yang kau inginkan selain merusak kepercayaanku terhadap Arion."

Zidan tersenyum penuh kemenangan. Sungguh wanita yang malang. Semudah itu menaklukkan Zea. Kemudian pria itu mengambil berkas lainnya yang ada di nakas, di bawah berkas yang baru saja Zidan baca dan menyerahkannya pada Zea.

"Apa ini?"

"Kau harus menyerahkan seluruh aset Arion yang sudah tercatat atas nama Arion, kau, ataupun kalian berdua."

Zea membelalak tak percaya. Membaca setiap aset yang tertera jelas di sana. Tak menyisakan satu pun dari kesemuanya yang mereka berdua miliki. Rumah, apartemen, dan bahkan mobil miliknya serta Arion.

"Bagaimana jika aku tidak melakukannya?" desis Zea penuh penantangan. Tak memedulikan wajahnya yang masih basah dan menyedihkan. Membuat penantangannya terlihat begitu konyol.

"Kami hanya perlu membawa kasus ini ke pengadilan. Membawa seluruh aset kalian berdua secara paksa. Apa kau tahu apa yang menunggumu di sana, Zea?"

"Kau pikir aku takut?"

Zidan menggeleng. "Kau jelas tak takut padaku, ya."

"Jika perlu, aku akan membayar semua keburukan Arion yang kau tuduhkan dengan nyawaku."

"Dan kau pikir kau akan mati begitu saja dengan mudah?" decak Zidan mengejek. Juga dengan kegigihan Zea yang begitu memercayai Arion. "Kenapa kita tidak menyelesaikannya secara diam-diam, Zea? Selagi aku memberimu kesempatan untuk memperbaiki semuanya."

"Kau memerasku, Zidan."

"Ah, begitu, ya," ejek Zidan. "Tapi ... menurutmu apa yang akan terjadi dengan nama baik yang selama ini sudah Arion bangun di hadapan publik? Apakah kau akan baik-baik saja jika reputasi suamimu yang sempurna itu tercoreng?"

Tanpa suara, air mata mengalir membanjiri seluruh wajah Zea. "Kau benar-benar berengsek., Zidan."

Zidan benar-benar mengambil seluruh kaki dan tangannya. Tak memberinya sedikit pun hal untuk bergerak. Bahkan udara yang berada di sekitarnya pun, rasanya semua atas kehendak pria itu. Sengaja membuat pernapasannya naik turun dengan tidak stabil, demi membunuhnya secara perlahan-lahan.

"Kau tahu aku bisa lebih berengsek daripada ini, Zea."

Hening selama beberapa saat.

Zea sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang baru saja diucapkan oleh Zidan. Ia tak mungkin membiarkan Zidan melakukan hal keji itu dengan tanpa hati terhadap satu-satunya kenangan tentang Arion di ingatannya. Baginya, Arion adalah segala kebaikan yang pernah ada di hidupnya. Ia tak akan merusak kenangan itu di dalam hatinya.

"Beri aku waktu." Zea memberanikan diri untuk menawar.

"Aku sudah memberimu waktu." Zidan mengangkat pergelangan tangan dan melihat jamnya. "15 jam, 25 menit, dan 14 detik," senyum Zidan. Yang membuat Zea semakin muak.

Pada akhirnya, Zea tak punya pilihan selain menandatangani semua lampiran yang diulurkan Zidan. Terakhir, Zidan mengambil berkas tersebut dengan penuh kemenangan.

"Kau tahu semua itu masih tak cukup untuk membayar apa yang telah dilakukan oleh Arion terhadap perusahaanku, bukan?"

"Apa lagi yang kau inginkan, Zidan? Aku sudah memberikan semua yang kau inginkan dan kumiliki?"

Seringai tersungging tinggi di sudut bibir Zidan. Pria itu membungkuk dan menangkap rahang Zea.

Zea menggelengkan kepalanya, berusaha menghindar. Tapi Zidan berhasil menangkapnya dan kali ini tidak membiarkan rahangnya terlepas. "Lepaskan aku, Zidan," desisnya tajam.

Wajah Zidan semakin mendekat. Yang membuat pemberontakan Zea semakin menjadi. Bahkan tak peduli jika cengkeraman Zidan di rahangnya mulai menyakitinya. Hampir meremukkan tulang rahangnya.

"Jangan lakukan, Zidan," cicit Zea tanpa daya saat tak bisa menahan rasa nyeri di wajahnya. Air matanya kembali jatuh. Seketika nyalinya menciut. "Kumohon."

Zidan berhenti mendekat. Meninggalkan jarak di antara mereka tak lebih dari satu inci.

Zea menahan napasnya, merasakan napas Zidan yang menerpa wajahnya.

"Kau. Kau memiliki tubuhmu untuk melunasi semua hutang-hutang Arion."

Seluruh tubuh Zea membeku. Selesai sudah. Hidupnya benar-benar selesai jika ia benar-benar jatuh dalam genggaman seorang Zidan El Daviq.

"Mulai detik ini, kau akan menyerahkan hidup dan segenap hatimu. Hanya untuk diriku," bisik Zidan di telinga Zea.

***

Setelah memastikan Zidan menghilang di balik pintu dengan segala hal yang tersisa di hidupnya untuk pria itu miliki, Zea turun dari tempat tidur. Tak menemukan pakaian apa pun di lemari untuk mengganti pakaian pasiennya, Zea pun memutuskan untuk tetap memakai piyama rumah sakit. Melepas jarum infus dan melangkah ke pintu. Akan tetapi, ketika ia baru saja memegang pegangan pintu, kepalanya mendadak pusing.

Zea menggelengkan kepalanya pelan. Memegang pinggiran pintu untuk menyanggah setengah berat tubuhnya. Kakinya terasa begitu lemah, tapi ia harus pergi dari sini. Setelah pusingnya perlahan mereda, Zea melanjutkan langkahnya. Melintasi lorong dengan langkah yang sangat lambat. Berkali-kali menengok ke depan dan ke belakang untuk memastikan tak ada siapa pun yang memergokinya.

Ia berhasil mencapai lift di ujung lorong. Tapi sepertinya keberuntungan tak berbaik hati untunya. Ketika pintu lift terbuka, Zea tercengang menemukan satu-satunya penghuni lift adalah Zidan. Yang lagi-lagi bisa membaca niatnya dengan sangat mudah.

Zidan menggeleng-gelengkan kepala sambil mendecakkan lidah. "Ck, ck, ck. Kau pikir akan kabur ke mana, Zea?"

"A-aku ... hanya ingin pulang."

"Kau akan pulang. Setidaknya beberapa hari lagi setelah keadaanmu membaik."

Zea berusaha melepaskan lengannya ketika Zidan meraih dirinya. Pria itu mengerang pelan, maju dalam satu langkah besarnya dan dengan gerakan sigapnya menyelipkan kedua lengannya di punggung dan balik lututnya. Menggendong tubuh Zea.

Zea memekik keras, dengan sisa tenaganya yang sudah habis ia pakai untuk berjalan melintasi lorong. Tentu saja ia tak bisa menolak tindakan Zidan dengan kekuatan penuh pria itu. Akhirnya ia hanya bisa pasrah dan membiarkan tubuhnya berada dalam gendongan Zidan.

"Setelah dokter menyatakan kau bisa pulang, kita akan langsung menikah."

"Tidak secepat itu, Zidan."

"Persiapan pernikahan sudah 99 % selesai. Hanya tinggal menunggumu pulih."

"Kau memang sudah merencanakan semua ini, kan?"

"Aku sudah mempersiapkannya bahkan sebelum kau keluar dari ruanganku hari itu, Zea."

"Kau benar-benar sudah gila, Zidan."

"Ya, aku memang tergila-gila padamu. Kau tahu itu."

Setelah kejadian itu, Zidan menyuruh dua pengawal pria itu berjaga di depan pintu ruang perawatannya. Selama tiga hari Zea dirawat di rumah sakit, keadaan wanita itu sudah kembali pulih dan dokter mengijinkannya untuk pulang.

Selama tiga hari penuh ini, Zidanlah yang selalu menjaganya. Pria itu akan pergi jam delapan setelah sarapan, kemudian kembali sore harinya dan bermalam di sini. Dan hari itu, karena Zidan sedang ada urusan di luar kota, pria itu tidak datang ke rumah sakit. Hanya pengawal Zidanlah yang mengurus semua kebutuhannya dan menyelesaikan administrasi rumah sakit.

Zea terkejut ketika mobil melintasi jalan yang bukan ke arah rumahnya. Saat ia menanyakan tujuan mereka yang langsung menuju rumah Zidan, Zea menyuruh sopir tersebut untuk membawanya ke rumah karena ada sesuatu yang harus ia ambil. Dan saat si sopir menolak karena ini adalah perintah sang tuan, Zea mengancam akan melompat keluar dari mobil. Membuat si sopir mau tak mau menuruti keinginannya.

Setelah sampai di halaman rumahnya, Zea menyuruh sopir itu pulang dan mengatakan pada Zidan bahwa ia tak akan ke rumah pria itu. Zea langsung masuk ke rumah dan menguncinya dari dalam.

Saat ia memasuki rumah, kesedihan segera menyelimuti hatinya. Zea menatap lantai tempat ia terjatuh dengan rasa panas yang segera merebak di kedua matanya. Kehilangan dua orang yang dicintainya di saat yang bersamaan.

Pandangannya beredar ke setiap sudut ruangan. Menatap sofa yang biasa ia dan Arion duduki, menonton acara televisi bersama dan saling berebut remot. Meja makan, halaman belakang, kolam renang, di setiap sudut rumah mereka. Tergambar begitu jelas di ingatannya. Bahkan suara canda tawanya seperti bergema memenuhi telinganya.

Hanya ingatan baik inilah yang perlu ia ingat. Apa pun yang dikatakan dan semua bukti yang Zidan lemparkan kepadanya, semua itu tidak benar. Itu hanyalah salah satu dari sekian banyaknya kelicikan Zidan. Ia hanya perlu memercayai semua ini. Tak perlu menjadikan semua tuduhan itu menjadi nyata.

"Aku mencintaimu, Arion. Aku memercayaimu." Zea merapal mantra itu berkali-kali dalam hatinya. Mengembalikan kepercayaan terhadap Arion yang sempat memudar.

Butuh cukup lama bagi Zea untuk berhasil naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar. Di sinilah pusat dari segala kenangan indahnya bersama Arion tertanam kuat di kepalanya.

Langkah Zea terhenti ketika menatap kotak yang diberikan oleh pihak berwajib yang berisi barang-barang Arion. Ia melangkah mendekati meja dan duduk di sofa. Mengambil barang-barang Arion yang di dalam kotak satu persatu. Dengan air mata yang mengalir tiada henti. Jaket, kaos polos, celana, jam tangan, ponsel, dompet, kunci mobil, dan sapu tangan. Seketika pandangan Zea beralih ke arah sapu tangan yang berada di antara barang-barang Arion tersebut. Menyadari ada sesuatu yang ganjil.

Sapu tangan. Arion tidak pernah memiliki sapu tangan ini. Zea mengambilnya. Sambil bertanya-tanya milik siapa sapu tangan ini, Zea membolak balik mengamati setiap sisi lembaran kain halus tersebut. Dan pengamatannya terhenti ketika menemukan inisial ZE yang ada di salah satu sudut sapu tangan tersebut. Zea berusaha mengingat, menggali lebih dalam ingatannya.

Saat ia mengingatnya, mata Zea membelalak lebar. Bangkit berdiri dan berlari ke kamar mandi. Langsung membuka tempat sampah di sudut dan mengeluarkan seluruh isinya. Sapu tangan pemberian Zidan masih di sana.

Zea mengambil sapu tangan tersebut, mencari-cari dan membandingkan inisial tersebut dengan sapu tangan yang diberikan oleh Zidan. Bentuk huruf dan inisialnya sama persis. Dan ini pasti milik Zidan.

Jadi, kecurigaannya tak meleset. Zidanlah yang membunuh suaminya. Demi menuntaskan obsesi pria itu terhadap dirinya.

Tubuh Zea jatuh di lantai. Menangis tersedu dengan kedua tangan yang terkepal kuat menggenggam kedua sapu tangan tersebut. Zidan adalah pembunuh Arion.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro