Part 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bagaimana mungkin? Sapu tangan itu bukan milik suamiku." Zea tak bisa menahan emosinya. "Dan pemilik sapu tangan itu adalah pembunuhnya. Ini bukan kecelakaan. Tetapi pembunuhan."

"Ya, kami sudah mengonfirmasinya. Sapu tangan itu bukan milik tuan El Daviq. Alibi tuan El Daviq terlalu kuat. Sepertinya ini salah satu tindakan seseorang yang membenci tuan El Daviq."

"Omong kosong."

"Maafkan kami, Nyonya Zachery. Semua bukti menunjukkan bahwa ini adalah kecelakaan."

Geram bukan main dan tak bisa menahan emosinya, Zea menutup panggilan tersebut dan melemparkan ponsel tersebut ke dinding. Menjerit frustrasi. Rupanya Zidan sudah selangkah lebih maju dari pada dirinya. Pria itu pasti sudah memanipulasi pihak berwajib juga. Menggunakan kekuasan besar untuk menutup rapat pintu keadilan untuknya.

Siang itu, mobil Zidan sudah menunggu Zea di halaman rumah. Zea tak punya pilihan selain keluar dengan kakinya sendiri karena Zidan pasti akan menyeretnya jika ia menolak mematuhi pria itu.

Saat Zea keluar, Zidan berdiri bersandar di badan mobil dengan kedua tangan yang tersilang di depan dada. Pakaian pria itu terlihat begitu rapi dan santai. Dengan rambut sedikit panjang disisir ke belakang. Sedikit berantakan karena pria itu baru saja dari bandara langsung ke sini untuk menjemput sekaligus membuatnya dongkol. Tahu dirinya akan membuat keributan jika melawan bawahan pria itu.

Zea pun tak munafik untuk mengakui ketampanan pria itu. Setiap garis wajah Zidan dipenuhi dengan kesempurnaan. Bentuk hidung yang mancung dan tegas, tatapan mata yang tajam, bibir yang tebal, dan rahang yang sempurna. Membuat Zea kesulitan untuk mencari kecacatan dari penampilan fisik seorang Zidan El Daviq.

Senyum kepuasan tersemat di bibir Zidan. Menegakkan punggung dan membuka pintu untuk Zea dan mengisyaratkan pada sopir untuk mengambil koper kecil milik Zea.

"Kau berpikir aku yang membunuh suamimu?" Tanpa basa-basi Zidan melontarkan pertanyaan tersebut tepat ketika Zea mendudukkan pantatnya di jok belakang.

"Aku tidak tahu bagaimana caramu lepas dari tuduhan ini, Zidan. Tapi aku yakin kau lah yang membunuh suamiku."

"Well, aku memang berniat membunuhnya. Tapi ... sepertinya alam semesta mendengar harapanku. Mengabulkannya lebih cepat dari yang kusangka."

"Aku tak akan pernah mengampunimu."

"Dan sejujurnya aku pun tak membutuhkan pengampunanmu. Maaf jika itu menyinggungmu, Zea," semyum tanpa sedikit pun penyesalan tergurat di wajah pria itu. Yang membuat kemarahan Zea di dada semakin bergemuruh. Kedua tangan wanita itu mengepal kuat di atas pangkuan.

"Kau akan mendapatkan semua balasannya, Zidan," sumpah Zea.

"Ya, aku akan mendapatkannya." Zidan mengangguk-anggukan kepala mengejek. Menatap Zea penuh cemooh. "Aku sudah mendapatkannya."

"Kita berangkat," pintahnya pada sopir kemudian dan mobil melaju meninggalkan halaman rumah Zea.

Selama setengah jam perjalanan, keheningan menemani perjalan mereka. Zea yang tampak gusar akan buktinya yang kurang kuat untuk memenjarakan Zidan, dan sedangkan Zidan malah terlihat begitu tenang. Menyibukkan diri dengan berselancar di situs web perbelanjaan untuk mencari-cari gaun, tas, perhiasan, dan bahkan lingerie sebagai hadiah untuk Zea.

"Apa yang akan kau lakukan dengan rumah kami?"

"Aku belum memikirkannya. Karena kau mengingatkannya, aku akan mulai memikirkannya." Zidan mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel ke wajah Zea. "Menurutmu apa yang harus kulakukan dengan rumah itu? Membakarnya? Atau meratakannya saja? Mana yang lebih baik?"

Zea menyesal memulai pembicaraan dan menanyakan pertanyaan tersebut. Ia berpaling, menyandarkan kepala dan menatap jendela mobil. Tak membuka mulut sama sekali hingga mobil berhenti di halaman rumah yang luas dengan air mancur di tengah.

Zidan turun lebih dulu, mengikuti Zea yang menolak uluran tangan Zidan. Turun dengan kedua kakinya sendiri. Rumah Zidan jelas terlihat lebih -amat sangat-megah. Ini adalah pertama kalinya Zea menginjakkan kaki di rumah Zidan.

Rumah bertingkat tiga dengan carport di ujung sana yang dipenuhi berbagai macam koleksi mobil Zidan yang tak bisa Zea hitung. Ya, pria itu amat sangat cukup bersenang-senang dengan segala hal yang dimiliki. Harta, tahta, dan bahkan wanita yang diinginkan oleh pria itu pun mampu Zidan dapatkan. Tak peduli bahkan dengan dirinya yang sudah menikah, dengan bawahan pria itu sendiri.

"Bawa ke kamarku," perintah Zidan ketika keduanya sampai di ruang tengah dan seorang pelayang langsung menyambut menghampiri koper yang dibawa oleh sopir.

"Apa?" Zea terbelalak tak percaya. "Apa maksudmu, Zidan?"

"Apa?"

"Aku tidak ingin tidur di kamar yang sama denganmu."

"Apakah aku meminta pendapatmu?"

Zea menekan dalam-dalam keinginannya untuk menampar wajah Zidan. "Kita belum menikah. Kita tidak memiliki ikatan apa pun untuk tidur di tempat tidur yang sama. Kau pikir aku wanita apaan?"

Zidan terdiam, tampak berpikir selama beberapa saat. "Baiklah. Kau akan tinggal di kamar tamu. Hanya sebelum kita dinyatakan sah sebagai suami istri. Apa kau mengerti, Zea?"

Zea tak mengerti dan tak ingin mengerti. Wanita itu langsung berbalik dan langsung menghilang di salah satu pintu yang dilirik oleh Zidan dan yang paling dekat dengan tangga.

Pernikahan itu benar-benar terjadi seminggu kemudian setelah kepindahan Zea di rumah Zidan. Zea lagi-lagi dibuat tak berkutik. Berpikir mungkin inilah satu-satunya pilihan yang ia miliki sebelum membalaskan dendam atas suaminya yang dibunuh oleh Zidan. Ia akan mengumpulkan semua bukti untuk memenjarakan Zidan.

Satu-satunya keuntungan yang ia miliki oleh pernikahan ini adalah karena tentu saja ia akan kesulitan mencari bukti tersebut jika tidak bisa masuk lebih dalam di kehidupan Zidan.

Dan pernikahan itu benar-benar berlangsung dengan begitu cepat seminggu kemudian. Hanya disaksikan oleh beberapa keluarga Zidan yang tampak jelas-jelas menentang keras pernikahan mereka. Namun, sama seperti dirinya, mereka tak bisa berbuat apa pun karena sepertinya mereka semua juga tak berdaya menghadapi Zidan. Bukan tak mungkin mereka datang pun atas ancaman dari Zidan.

Keduanya mengucap janji, meski sumpah Zea harus beberapa kali tersendat. Dengan air mata yang menggenang di kelopak mata. Semua ingatannya kembali pada pernikahannya dengan Arion. Yang saat itu dipenuhi oleh air mata, air mata kebahagiaan.

Zea lebih dulu memasangkan cincin di jari manis Zidan. Tetapi ...

Pendeta menatap terheran ketika mempersilahkan pengantin pria dan menemukan ada sebuah cincin yang menghias jari manis pengantin wanita.

Zidan mendesah pelan menatap cincin pernikahan Zea dan Arion yang masih melingkari jari manis Zea. "Lepaskan itu, Zea," desisnya tajam.

Zea menatap lurus kedua mata Zidan, dengan dagu yang sedikit terangkat wanita itu menggelengkan kepala. "Tak akan pernah."

"Baiklah, kau yang meminta." Zidan mengambil tangan Zea, memaksa melepaskan cincin itu dari jemari Zea sebelum kemudian diserahkan pada pengawal dan menyuruh untuk membuangnya. Memaksa menyelipkan cincin pernikahan mereka di jari manisnya.

Belum pernah Zea merasa begitu menyedihkan seperti ini, dipermalukan di hadapan umum dan menjadi bahan tontonan. Tak sampai di situ, ketika pernikahan itu selesai. Tiba-tiba seorang wanita dengan rambut bergelombang dan berwarna merah, mengenakan mini dress hitam dan stiletto merahnya. Melangkah dengan penuh keanggunan ke arahnya dan berhenti tepat di hadapannya.

"Wanita menjijikkan," ucap wanita itu. Tepat sedetik sebelum melayangkan tamparan yang keras di wajah Zea.

Plaakkk ....

Zea tercengang dengan keras. Kepalanya serasa dihentak ke samping dan rasa panas menjalar ke seluruh wajahnya akibat tamparan tersebut. Saat itulah Zea mengenali siapa wanita itu. Dia adalah Arumi Lana. Wanita yang begitu dekat dengan Zidan dan banyak yang menggosipkan bahwa Arumi adalah kekasih gelap Zidan El Daviq.

***

Hari ini cerita double Z tamat di apk Fizzo, ya. Yang kepo lanjutannya langsung saja melipir ke sana. Di sana ga pake koin kok. Bacanya gratis...

Selamat membaca...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro